Jumat, 09 September 2022

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C Medan; Gus Mus’tashimbillah, Pesantren Raudhotutthalibin Cirebon; Jayanti, Dompet Dhu’afa dan Nati Sajidah dari Komunitas Pecinta Al-Qur’an Jakarta, berkesempatan mengikuti program Pertukaran Tokoh Muslim (Muslim Excange Program) Indonesia-Australia. Program yang diinisiasi oleh Indonesia-Australia Institut. Selama dua pekan kami mengunjungi kota Melbourne, Canberra dan Sydney untuk bersilaturrahim dengan komunitas Muslim Australia.

Latar Historis

            Secara historis Islam sudah menjangkau benua Australia sejak abad ke 16, melalui pedagang Muslim Makassar yang berdagang teripang pada orang-orang Aborigin. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kosakata Insya Allah, Subhana Wata’aala pada orang Aborigin. Namun bandul sejarah berkata lain, ketika kolonial Inggris menancapkan kukunya di benua Australia pada abad 18, dan gelombang migrasi dari Eropa (pasca Perang Dunia II), Lebanon, Albania, Yugoslavia, Turki, Vietnam dan negeri-negeri lain yang dilanda perang. Puncaknya ketika mengalami booming mining emas, bijih besi dan batu bara, Australia menjadi surga para migran dari seluruh dunia. Kondisi inilah yang membuat Australia sangat kental dengan suasana multikulturalnya. Wajar jikalau negara ini tidak pernah memperingati hari kemerdekaan, karena selain Aborigin semua adalah pendatang. Dari total jumlah penduduk Australia yang berjumlah 23 juta (setara dengan penduduk Jabodetabek), terdapat 650 ribu penduduk Muslim (2,6%), lebih banyak dari Muslim Amerika yang hanya 1% dari total jumlah penduduk.

Geliat Muslim Melbourne

            Setiba di Melbourne, kami langsung bertemu dengan Prof. Tim Lindsey di Universitas Melbourne untuk mendapatkan penjelasan tentang kondisi Muslim Australia dan pesatnya kemajuan dunia pendidikan di negara ini. Beliau menceritakan bahwa Indonesia pernah memuncaki posisi puncak mahasiswa asing di Australia, namun sekarang sudah digeser oleh RRC. Menyikapi kecenderungan pemerintah Australia yang melakukan pengetatan terhadap migran dan manusia perahu, beliau menyatakan “ kalau seandainya mereka menyadari jati dirinya sebagai pendatang, semestinya itu tidak perlu terjadi.” Dari Melbourne University, kami bergerak ke Australian Islamic Centre (AIC) di wilayah Newport, dan kami dibuat terkesima oleh keindahan Arsitektural khas Australia pada Masjid yang mampu menampung ribuan jamaah itu. Syaikh Muhammad Al-Jibaly, manajer dari AIC, menjelaskan secara detil filosofi dari bangunan masjid. Hari pertama kami di Melbourne ditutup dengan silaturrahim dan makan malam bersama komunitas Muslim kota Melbourne di restoran Thailand. Seperti yang kami lihat, sangat mudah menemukan restoran dengan label halal di Australia.

            Kemajuan pendidikan Muslim di Melbourne juga dapat terlihat dari kunjungan kami ke sekolah Islam Al-Siraat College. Sekolah ini dikelola secara moderen dari jenjang Paud hingga Menengah Atas, dan ada kelas khusus tahfidzul qur’an.Yang menarik, beberapa tenaga pengajarnya dengan penuh percaya diri memakai cadar,dan memakai jubah, gamis, bersurban untuk guru laki-lakinya. Sekolah Islam ini juga mempekerjakan karyawan non-Muslim, menggambarkan suasana khas Australia yang multikultural. Dari sana kami menyambangi “Benevolence Australia.” Organisasi Muslimah yang punya perhatian khusus untuk membina Muslimah di Melbourne, khususnya para muallaf. Jessica Swan, manajer dari lembaga ini menceritakan suka duka muallaf muslimah di Australia.

            Melbourne merupakan bagian dari Provinsi Victoria, kami pun mengunjungi Islamic Council of Victoria (ICV) yang terletak di tengah kota Melbourne. Presiden ICV, Muhammad Mohideen menjelaskan secara gamblang tentang kemajuan umat Islam di Victoria. Dari ICV kami bergerak ke wilayah Doncaster untuk mengunjungi Masjid UMMA (United Muslim Migrant Association). Di sini kami berjumpa cendekiawan Muslim Australia Dr. Abdul Khaliq Kazi. Beliau pernah mewakili Muslim Australia dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Imam Masjid, Syaikh Gul Saeed Shah bertutur bahwa saat ini sudah banyak generasi penghafal al-Qur’an (hafidz 30 juz) di Australia, sehingga di bulan Ramadhan tidak perlu lagi memanggil Imam Tarawih dari luar negeri. Subhanallah.

            Hari terakhir di Melbourne kami berkesempatan mengikuti konferensi tingkat tinggi (summit) tentang Zakat yang diselenggarakan oleh National Zakat Foundation (NZF). Salah satu lembaga zakat di Australia yang berfokus untuk menyelamatkan akidah Islam pengungsi atau migran Muslim yang hijrah ke Australia. Sebagaimana dituturkan oleh Asif Mulla, Manajer Operasional NZF, bahwa mereka berjuang membantu para migran Muslim yang menjadi sasaran empuk Kristenisasi dari lembaga sosial bentukan gereja yaitu Salvation Army. Sebagaimana yang kami saksikan di Katedral ST Patrick, Gereja terbesar dan tertua di Melbourne, terdapat spanduk besar yang bertuliskan “welcome refugees” (selamat datang pengungsi). Suatu hal yang ironis, karena dari hasil sensus kepercayaan agama, tercatat 30 % penduduk Australia mengaku tidak beragama (atheis atau agnostik), yang menandakan bahwa gereja sudah mulai ditinggalkan oleh jemaatnya, lalu gereja sangat bersemangat untuk mengajak imigran Muslim meninggalkan agamanya.

            Rasanya tidak lengkap kalau ke Melbourne kalau tidak berkunjung ke Islamic Museum of Australia. Museum Islam yang dibangun secara swadaya oleh dermawan Muslim Australia untuk mengenalkan Islam yang rahmatan lil aalamiin kepada masyarakat Australia. Selama di Melbourne kami juga bersilaturrahim dengan komunitas-komunitas Muslim setiap harinya dalam jamuan makan malam. Termasuk bersilaturrahim dengan komunitas Indonesia yang tergabung dalam IMCV (Indonesian Muslim Council of Victoria) yang dipimpin oleh bapak Teguh, dalam jamuan makan malam di rumah Pak Ade Ish, Muslim Indonesia yang bekerja sebagai ahli IT sekaligus menjadi Mursyid Tarekat Naqhshabandiyah.

Geliat Muslim Canberra

   Setiba di Canberra yang merupakan Ibu kota Negara Australia, kami langsung bersilaturrahim dengan komunitas Muslim Indonesia yang tergabung dalam Australia-Indonesia Muslim Foundation of The Act (AIMF-ACT) yang dipimpin oleh bapak Marpudin Aziz. Dari pertemuan yang diselingi jamuan makan siang di pinggir danau Yaralumla ini, kami mendengarkan cerita, pengalaman dan geliat dakwah Islamiah di kota Canberra. Bahkan untuk komunitas Indonesia akan mengundang Ust. Abdul Shomad (UAS) dalam waktu dekat. Selanjutnya kami menyambangi Canberra Islamic Centre (CIC) untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang geliat Muslim di Canberra. Yang menarik dari CIC yang sedang berjuang membangun area Islamic Centre dan Masjidnya yang megah ini, terdapat sebuah perpustakaan Islam dengan koleksi yang cukup banyak, dan menjadi tujuan bagi para pelajar Muslim, atau bahkan non Muslim untuk mendapatkan referensi keislaman. Di hari kedua, setelah berkunjung ke gedung parlemen, perpustakaan nasional dan museum Aborigin, kami menghadiri jamuan makan malam bersama organisasi pemuda Muslim Australia “Muslim Collective” yang sudah eksis dua tahun terakhir dan memiliki cabang di seluruh provinsi Australia. Lalu kami juga menyempatkan diri untuk sholat berjamaah di Masjid tertua di Canberra, Masjid Yaralumla.

Geliat Muslim Sydney

            Geliat Muslim juga terasa di saat kami tiba di Sydney. Penjelasan tentang kondisi Muslim Australia yang hidup dengan aman, damai, dan mampu berkompetisi secara profesional di dunia kerja, kami dapatkan langsung dari Grand Mufti Australia, Dr. Ibrahim Shalih di kantornya yang juga merupakan markas dari Perkumpulan Imam Nasional Australia (Australian National Imam Council). Untuk mengetahui kontribusi umat Islam dalam dunia pendidikan tinggi di Sydney, kami juga menyambangi Islamic Sciences and Research Academy (ISRA), sebuah lembaga kajian Islam di bawah Charles Sturt University yang menyelenggarakan program S1 hingga S3 dalam bidang Sejarah, Sains Islam, Dirasah Islamiyah dan studi peradaban Islam.

            Sebagaimana yang dilakukan oleh pelancong Muslim di kota Sydney, kami pun mendatangi dua spot penting, yaitu Masjid Auburn Gallipoli yang dibangun oleh komunitas Muslim Turki. Wajar kalau desain arsitektur, ornamen interior dan eksteriornya dibuat seindah dan semirip mungkin dengan Masjid Sultan Ahmed (blue mosque) di Istanbul. Spot yang kedua adalah berkunjung ke Lakemba, area komunitas Muslim di Sydney. Ketika sampai, kami seolah sedang berada di sebuah negeri Muslim, karena disana-sini yang terlihat lalu-lalang adalah Muslim Australia yang tetap menjaga identitas keislamannya dalam balutan busana Muslim dan saling mengucapkan salam. Lakemba juga menjadi pusat perdagangan buku-buku Islam, busana muslim, dan makanan halal. Sudah bisa dipastikan bahwa restoran yang berjejer juga menyuguhkan makanan halal lagi nikmat. Tetapi kali ini kami menjatuhkan pilihan pada “Warung Ita,” restoran Padang terkenal di area Lakemba. Akhirnya kerinduan kami akan makanan khas yang pas di lidah Indonesia kami terbayar sudah.

            Bertepatan dengan waktu shalat Jum’at, kami pun bergabung dengan ribuan umat Muslim dari pelbagai etnis dan bangsa, untuk sholat Jum’at di Masjid besar Ali bin Abi Thalib, dan mendengarkan khutbah yang berapi-api dari khatib tentang pentingnya perjuangan pembebasan Baitul Maqdis.    

Senin, 04 Juli 2022

PENDANAAN PENDIDIKAN NASIONAL

 

  1. PENDAHULUAN.

Masalah pendidikan adalah masalah yang tak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena ia menyangkut persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah moral kepada eksistensi fithrawinya. Berbagai pemikiran telah dikembangkan para pakar tentang hakekat, makna, dan tujuan pendidikan. Warna dari pemikiran itu sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup (world view) dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pakar tersebut. Tetapi dengan segala perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka bersetuju bahwa pendidikan bertujuan memberi bekal moral, intelektual, dan keterampilan kepada anak manusia, agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.

Pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa, sebab lewat pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do, tetapi yang sangat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to be bisa terwujud, maka diperlukan transfer budaya dan kultur.

Oleh karena demikian pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan, maka perlu diatur suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut, yang terpayungi dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkait antara satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi ummat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya dalam hubungannya dengan masa lampau dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan di masa depan.

Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Indonesia sebagai negara merdeka, bersatu dan berdaulat. Indonesia telah dengan tegas menyatakan jati dirinya, tujuan  dan pandangan hidupnya, sebagaimana yang tertuang dalam preambul UUD 1945[1].  Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan ideologis, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya.

Di Indonesia, pendidikan diselenggarakan dan diperuntukkan bagi segenap warga negara, sebagaimana tertuang jelas dalam UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya.

 

A.    PEMBAHASAN

1. Sumber Dana Pendidikan.

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Untuk itu maka pemerintah pusat dan pemerintah tingkat daerah serta masyarakat, mengarahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Sumber pandanaan pendidikan dari pemerintah meliputi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sedangkan sumber pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan dan lain-lain penerimaan yang sah atau tidak melanggar undang-undang.

Dengan perintah undang-undang seperti itu, maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh menggalang dana atau memungut dari manapun yang tidak sah dan tidak mengikat. Artinya semua sumbangan yang masuk kas penyelenggara pendidikan tidak boleh mengikat secara akademik, politik, ekonomi, dan tidak boleh melanggar prinsip demokrasi, berkeadilan, serta tidak diskriminatif (pasal 4)[2].

Dana pendidikan, baik yang bersumber dari APBN dan APBD, maupun yang bersumber dari masyarakat dan peserta didik, harus dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparan dan akuntabilitasnya terjaga dengan baik. Dengan demikian diperlukan manajemen profesional dan penggunaan SIM (sistem informasi manajemen) dengan menggunakan teknologi komputerisasi.

Dana pendidikan selain sebagai gaji para pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal dari  20% dari APBD[3]. Namun hal ini belum terealisasi. Sekjen Departemen Pendidikan (Depdiknas), Dodi Nandika di Jakarta, Selasa (29/11) mengatakan bahwa ia berharap tahun 2009 nanti APBN baru mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20%, meningkat 11,6% dibanding tahun 2006 yang hanya dianggarkan sebesar 8,4% dari total APBN[4]. Data dari Depdiknas pada tahun 2005, anggaran pendidikan ditetapkan sebesar Rp. 25,5 trilyun, meningkat Rp. 10 trilyun dari tahun sebelumnya. Sedang untuk tahun 2006, meski belum mencapai 20%, namun nilainya bertambah dari Rp. 10 trilyun, menjadi Rp. 36 trilyun.

Dilihat dari prosentase tersebut, ternyata masih jauh dari yang diamanatkan oleh undang-undang yang jumlahnya sebesar 20%. Namun dengan naiknya angka nominal anggaran pendidikan, hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki kepedulian untuk memprioritaskan masalah pendidikan, dengan peningkatan dana anggaran yang cukup signifikan. Dari sini diharapkan anggaran pendidikan bisa mencapai 20% dengan asumsi setiap tahun ada kenaikan sebesar 2 % dari tahun sebelumnya.

Anggaran pendidikan nasional untuk pertama kalinya mencapai presentase yang tinggi (22,5 %) terjadi pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid[5]. Boleh jadi inilah bukti nyata komitmen pemerintahan Gusdur pada bidang pendidikan, yang tidak hanya diucapkan, tapi diwujudkan lewat tindakan nyata. Kenaikan anggaran pendidikan yang tinggi itu mempunyai makna bagi upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, bila seluruh dana tersebut terserap untuk pengembangan pendidikan secara efektif, efisien, dan tidak terlalu banyak dikorupsi dan diselewengkan oleh aparat pendidikan. Namun demikian, anggaran pendidikan yang tinggi tidak otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan nasional, bila tidak ditunjang oleh kenaikan anggaran bidang lain, terutama yang berkaitan dekat dengan proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, seperti pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana fisik, serta sarana transportasi, telekomunikasi, fasilitas kesehatan dan lainnya. Agar peningkatan anggaran pendidikan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan, dibutuhkan perencanaan yang matang. Karena bila tidak disertai perencanaan yang matang dan kemampuan mengelola dengan baik, yang terjadi justru sebaliknya. Kenaikan anggaran pendidikan bisa memperparah mental korupsi yang ada di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang selama ini dikenal juga sebagai departemen terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kekhawatiran semacam itu cukup beralasan, mengingat lemahnya kemampuan institusi itu untuk melakukan perencanaan secara matang dan pengelolaan dana secara baik, dan belum teruji di lapangan.

Gugatan masyarakat terhadap pemerintah menyangkut penyelenggaraan pendidikan yang bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana, mustahil untuk diselenggarakan pendidikan yang dimaksud. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Anggaran sektor pendidikan terhadap PDP (pendapatan nasional bruto) rata-rata 2,2 %, sedangkan anggaran sektor pendidikan terhadap APBN, rata-rata 12,1 %. Anggaran Diknas terhadap APBN rata-rata 7,3 %. Perbandingan dalam menentukan seluruh anggaran sektor pendidikan nasional yang melalui Depdiknas rata-rata: 59,17 %, sedangkan untuk yang membiayai kegiatan-kegiatan pendidikan yang di luar Depdiknas, yaitu oleh instansi-instansi terkait selain Depdiknas, rata-rata: 40,8 %[6]. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan pendidikan yang didanai oleh Depdiknas, rata-rata lebih besar dari pada kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh instansi diluar Depdiknas.

Rasio pendanaan kegiatan pendidikan nasional tersebut, berbanding terbalik dengan kenyataan di masyarakat. Kegiatan yang berada di Depdiknas lebih kecil dari pada kegiatan yang berada diluar Depdiknas.

2. Peran Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah.

Pemerintah adalah milik masyarakat. Pada masa lalu, pemerintah yang sentralistik dan hierarkis sangat diperlukan, mengikuti rantai komando hingga sampai staf yang berhubungan dengan masyarakat[7]. Sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar wilayah masih sangat lamban, dan aparatur pemerintahan masih relatif belum terdidik. Kini keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat pesat, kebutuhan masyarakat semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini pengambilan keputusan harus melibatkan masyarakat, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat dan membuka ruang partisipasi publik.

Tuntutan reformasi yang amat penting adalah demokratisasi. Konsep demokrasi dalam pengelolaan pendidikan, kemudian dituangkan dalam undang-undang Sisdiknas. Dalam bab III tentang prinsip penyelengaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskrimantif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa[8].

Dalam pasal 10 UU Sisdiknas 2003 juga disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi segenap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (pasal 11 ayat 2).

Namun kenyataannya di lapangan apakah UU Sisdiknas tahun 2003 itu telah sempurna dilaksanakan oleh aparat pemerintah?, kita ambil contoh misalnya, secara struktural madrasah berada dalam lingkungan Departemen Agama. Maka tanggung jawabnya pun berada di pundak Depag. Pertanyaan mendasar yang dimunculkan dalam menyikapi diterapkannya otonomi daerah ini adalah: kebijakan apakah yang diberlakukan bagi madrasah . Madrasah yang berada di bawah institusi Depag, tetapi alokasi pendanaan yang dikucurkan tidak berbeda dengan yang diterima di sekolah konvensional. Ada data yang ditemukan tentang pendanaan ini, misalnya pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per-siswa MIN adalah Rp.19.000, sedangkan SDN sebesar Rp. 100.000 (1:5,2), MTS, Rp. 33.000, sedangkan SMP, Rp. 46.000, (1:1,4)[9].    

Diskriminasi seperti ini harus diakhiri, karena juga tidak sesuai dengan  UU Sisdiknas tahun 2003. mengakhirinya tidak mesti madrasah berada di bawah Diknas atau Pemda, tetapi yang perlu diperhatikan adalah alokasi pembiayaan tidak berbeda antara madrasah dan sekolah konvensional. Pada RAPBN tahun 2002, telah diajukan rencana anggaran pendidikan sebesar Rp. 11,552 trilyun, sekitar 24,5 % dari anggaran pembangunan yang sebesar Rp. 11.47.147 trilyun. Anggaran yang sedemikian itu juga dialokasikan secara proporsional kepada madrasah[10].

Jelas kiranya bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak mungkin tercapai tanpa tersedianya dana dan sarana yang lengkap dan relevan dengan kebutuhan program-program yang ditangani. Namun fasilitas yang lengkap dan mahal tidak dengan sendirinya menjamin tercapainya pendidikan berkualitas, hal ini akan sangat tergantung pada sistem pengelolaan: “memperoleh”, “membelanjakan”, dan “mengembangkan”, serta kemampuan moral para petugas yang bertanggung jawab. Mastuhu mengatakan bahwa  ada butir-butir pemikiran bagaimana seharusnya sistem pendanaan pendidikan dilaksanakan dimasa-masa mendatang, yaitu:

a.       Pemerintah pusat dan daerah hendaknya berperan sebagai Funding Agency.

b.      Pimpinan sekolah atau perguruan tinggi berkewajiban memberikan kewenangan kepada unit atau bagian hierarkis struktural di bawahnya.

c.       Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat

d.      Perhitungan dana hendaknya diorientasikan atas kebutuhan per-siswa.

e.       Perlu dirumuskan “satu sistem pendanaan nasional” (SSPPN), namun masing-masing pemerintah daerah memiliki otonomi dalam mengelola pendidikannya.

f.        Pengelolaan dana harus transparan dan bertanggung jawab.

g.      Strategi pendanaan dan prioritasnya harus selalu memfokuskan diri pada pembangunan mutu pendidikan[11]. 

Maka suatu keharusan bagi sekolah untuk mengembangkan berbagai aneka sumber pendanaan dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha, industri, perdagangan dan sebagainya untuk mendapatkan dana segar pendidikan yang lebih banyak, agar sekolah dapat melayani kebutuhan masyarakat. 

3. Pemerintahan yang Demokratis.

Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance) itu terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Bekerja dalam negara demokratis merupakan cita-cita semua orang yang mau hidup di negara yang menjunjung tinggi semangat demokrasi dan demokratisasi. Selama ini kita belum benar-benar merasakan hal yang demikian itu. Pemerintah sekarang berkeinginan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi di segala bidang, dan prinsip demokrasi yang paling asasi adalah mendasarkan kekuasaan pada kehendak rakyat secara semesta, bukannya ditangan penguasa yang terkadang dipenuhi tendensi politik tertentu. Sementara itu rakyat tidak memiliki rasa takut yang berlebihan untuk memasuki suatu serikat atau perkumpulan yang sesuai dengan hati nurani dan kebutuhan emosionalnya. Selaras dengan tidak adanya rasa takut ini, juga dikembangkan adanya kenyataan dihargainya moral perbedaan pendapat[12].

Pemerintah bisa bertindak demokratis jika peran kontrolnya yang dilakukan rakyat dijalankan secara maksimal, proporsional, konstitusional dan bertanggung jawab. Di dalam pemerintahan yang modern dan demokratis, hampir tidak mungkin manajemen birokrasi pemerintahannya bisa dijalankan, tanpa adanya kontrol penuh dari rakyat. Salah satu kekhawatiran yang tergolong fundamental terhadap pemerintahan modern sekarang ini adalah untuk mendorong timbulya kebiasaan mengunakan kekuasaan dan otoritas yang dipegang oleh penguasa pemerintahan untuk kepentingan tercapainya tujuan masyarakat. Kebiasaan ini harus selalu diingatkan kepada pemerintah, sebagai wujud akuntabilitas.  Salah satu wujud akuntabilitas tersebut adalah mendorong agar semua produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak harus diupayakan dan didasarkan atas undang-undang. Dengan UU rakyat mampu mengakses untuk mengontrol dan mengkritisinya. Lembaga pemerintah yang ada di pusat dan di daerah sekarang ini cenderung menjadi bahan sorotan dan perhatian rakyat banyak, karena terlalu banyaknya borok-borok kekuasaan disana-sini.

Di sebuah negara demokratis, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang dipakai pemerintah adalah milik rakyat, dan anggaran menunjukkan rencana pemerintah untuk membelanjakan uang rakyat. Dalam lingkup daerah, anggaran daerah merupakan blue print keberadaan sebuah daerah. Menjadi sangat penting karena untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran daerah merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik dan lembaga-lembaga pemerintah daerah[13].  

Jadi dalam negara yang demokratis ini, diharapkan  dalam pelaksanaan pendidikan harus secara demokratis dan tidak diskriminatif. Dalam negara yang demokratis ini bagaimana tata pemerintahan yang baik dan ideal dapat disusun dan dilaksanakan. Misalnya memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Mendorong terciptanya otonomi manajerial, terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi.

Tata pemerintahan yang baik dapat menjamin adanya proses kesejahteraan, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni pemerintah (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business) yang berada disektor swasta[14]. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding maka akan terjadi pembiasaan buruk dari tata kepemerintahan yang baik tersebut.

Kita harapkan dimasa datang komponen tersebut bisa menimbulkan hubungan yang kohesif, kongruen, selaras dalam kesetaraan serta terjadi simbiosis mutualisme. Sehingga masing-masing mempunyai peran yang sama pentingnya dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik.

Timbulnya korupsi karena terjadi ketidakseimbangan antara tiga komponen tersebut, dalam arti berat sebalah. Peran pemerintah yang sentral memberikan kontribusi yang besar terhadap komponen sektor swasta tanpa diimbangi peran rakyat untuk bisa mengontrolnya. Jika terjadi proses keseimbangan (equilibrium) maka segala macam penyimpangan termasuk korupsi bisa dideteksi sedini mungkin, hingga tidak berlarut-larut. Seperti yang terjadi di Depdiknas dan Depag. Di samping itu, salah satu komponen yang penting yaitu, tegaknya prinsip moralitas pada aparatus dan birokrasi pemerintahan. Karena selama ini aspek moralitas sering terpinggirkan oleh kepentingan hewaniah para aparatus dan birokrat, dan hanya menjadi sekedar pelengkap penderita pada saat sumpah jabatan saja.

 

        C. KESIMPULAN

            Dari paparan singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa secara normatif aspek pendanaan secara ideal sesungguhnya sudah ditetapkan oleh undang-undang. Namun tetap terjadi ketidaksesuaian dan ambigu disana-sini, karena kurang siapnya penyelenggara kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang dan kehandak hati nurani rakyat secara sungguh-sungguh. Terjadinya disparitas pendanaan antara madrasah dan sekolah konvensional justru melahirkan masalah baru. Selain itu terjadinya inefisiensi pendanaan dan kurangnya kejelian pemerintah menetapkan skala prioritas dalam pembangunan pendidikan nasional membuat anggaran yang sudah ditetapkan menjadi kontraproduktif. Sesungguhnya pemerintah saat ini tampaknya belum mampu melepaskan diri dari hegemoni politik, sehingga tidak mampu percaya diri untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, khususnya mengangkat sekolah atau madrasah yang selama ini menjadi marginal oleh sekolah-sekolah unggulan yang pada umumnya menjadi konsumsi kaum elit. S            ehingga statement “orang cerdas dan pintar” akan terus menerus akan dimonopoli oleh orang-orang kaya. Maka dari itu wajar kemudian timbul istilah “orang miskin dilarang sekolah”, karena pendidikan sudah kehilangan nilai asasinya untuk mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, dan mulai mengadopsi concept of banking education, seperti yang ditegaskan oleh Paulo Freire. Munculnya otonomi daerah juga menjadi tantangan baru pendidikan nasional, karena pendidikan mampu membebaskan diri dari belenggu ”sentralisme pendidikan”, khususnya bagi pendidikan nasional di luar Jawa yang pada masa Orde Baru menjadi korban, dan menjadi marginal secara intelektual. Yang menjadi masalah adalah apabila aparatus dan birokrasi di daerah menjadikan otonomi daerah sebagai lahan korupsi baru, dan pengembangan pendidikan serta pembangunan sekolah hanya sebatas proyek, yang juga menjadi lahan korupsi baru, mengingat kurangnya kontrol pemerintah pusat kepada daerah. Pada akhirnya, landasan penting bagi tegaknya pendanaan pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang ideal, adalah terbangunnya pemerintahan yang demokratis, dimana terjadi sinergi antara pemerintah, rakyat dan para usahawan yang ditopang oleh sistem militer yang efisien. Lebih dari itu adalah tegaknya prinsip-prinsip moralitas agama, dan itu diantaranya merupakan tugas berat para pemikir pendidikan Islam untuk mengkonstruk ulang pemikiran dan membentuk pola pikir serta pandangan dunia baru yang lebih tepat dan terarah. Wallahu A’lamu Bishawwab.                          

 

Kepustakaan

Departemen Agama RI., Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Undang-undang Sisdiknas, Jakarta, 2003.

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta, LKIS, 2005.

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21.,Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2004.

Munir, Badrul, Perencanaan Anggaran Kinerja (Memangkas Inefisiensi Anggaran Daerah), Mataram, SamawaCenter, 2003.

Toha, Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta, Rajawali, 2002.

Kedaulatan Rakyat, Kamis, 1 Desember 2005.

 



[1] Departemen Agama RI., Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Undang-undang Sisdiknas, Jakarta, 2003, hlm. 13.

 

[2] Ibid, hlm. 13.

[3] Ibid, hlm. 55.

 

[4] Kedaulatan Rakyat, Kamis, 1 Desember 2005, hlm. 13.

 

[5] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKIS, Yogyakarta,2005, hlm. 5.

[6] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Safiria Insania Press, Yogyakarta,2004, hlm. 54.

[7] Badrul Munir, Perencanaan Anggaran Kinerja (Memangkas Inefisiensi Anggaran Daerah), Samawa Center, Mataram, 2003. hlm. 11.

 

[8] Departemen Agama RI., Paradigma Baru…, hlm. 37-38.

[9] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 58.

 

[10] Ibid, hlm. 58.

[11] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…, hlm. 111-114.

 

[12] Miftah Toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 2002, hlm. 56.

[13] Badrul Munir, Perencanaan Anggaran…, hlm. 31. 

[14] Miftah Toha, Birokrasi dan Politik..., hlm. 63.

Peningkatan SDM vs Sentralisme Pendidikan

 

Sejak dimulainya pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, khususnya di wilayah Kaltim mulailah terjadi pemekaran-pemekaran wilayah dalam bentuk pembentukan Kabupaten-kabupaten baru, sehingga tercipta sub struktur pemerintahan baru dengan kualitas SDM yang minim. Persoalan peningkatan SDM adalah salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia setelah pemberantasan korupsi, dan itu semua bergantung pada persoalan pendidikan. Kalau SDM suatu bangsa sudah membaik maka secara gradual bangsa itu akan segera keluar dari problem kemiskinan, karena ketidaksejahteraan sebuah masyarakat adalah pertanda kerapuhan sendi-sendi suatu bangsa. Terciptanya kriminalitas, kerusuhan massa, dan perilaku korupsi salah satunya dipicu oleh persoalan ekonomi.

Beberapa tahun terakhir ini baik pemerintah daerah ditingkat satu maupun tingkat dua di Kaltim mulai menyiapkan anggaran untuk menggalakkan perbaikan kualitas SDM melalui peningkatan pendidikan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya APBD karena pemberlakuan otonomi daerah. Akan tetapi ironisnya peningkatan SDM di Kaltim terbilang lambat, karena masih tertinggal oleh sebuah Kabupaten di Propinsi DIY yang bernama Bantul yang baru-baru ini menjadi model percontohan peningkatan SDM di Indonesia. Padahal Kabupaten Bantul notabene adalah Kabupaten yang minim APBD-nya. Yang menjadi pertanyaan besar mengapa Kaltim yang kaya sumber daya alam dan besar APBD-nya belum mampu meningkatkan SDM secara signifikan, dan kira-kira hambatan apa yang terjadi.

Kabupaten Bantul yang sangat dekat dengan kota Yogyakarta yang juga merupakan kota pelajar, membuat bupatinya H. Idham Samawi terinspirasi untuk meningkatkan SDM masyarakatnya dengan menyekolahkan guru-guru lulusan S1 untuk melanjutkan S2 sampai jenjang S3 dengan biaya APBD. Sehingga wajar dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bantul dapat membuat terobosan-terobosan baru utamanya dalam hal pendidikan.

Apabila diamati secara retrospektif, ada semacam "kecelakaan sejarah" dalam hal pendidikan di Indonesia selama ini, khususnya pada era Orde Baru dibawah pemerintahan Soeharto. Dimasa Orde Baru pola kekuasaan sangat sentralistik, karena Soeharto menerapkan pola -Jawa sentris- secara ketat, dimana pulau Jawa menjadi pusat roda perputaran ekonomi, sosial, politik dan budaya, dan daerah luar Jawa menjadi korban eksploitasi secara massif. Hal ini pula yang yang terjadi dibidang pendidikan, dimana pendidikan hanya berkembang dengan pesat di kota-kota seperti Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Bandung dan Malang sehingga terjadi yang disebut sentralisme pendidikan. Ini merupakan efek dari sentralisme kekuasaan yang kemudian berkembang menjadi sentralisme ekonomi dan politik yang berefek pada sentralisme pendidikan. Sehingga muncul sinyalemen bahwa pendidikan yang berkualitas hanya bisa didapatkan di pulau Jawa. Melihat fakta ini, adalah wajar apabila Kabupaten Bantul dapat meningkatkan SDM masyarakatnya, karena secara geografis berdekatan dengan kota -pelajar- Yogyakarta.

Sentralisme pendidikan inilah salah satu penghambat terbesar peningkatan SDM di Kaltim, karena hanya sebagian kecil warga Kaltim yang mampu mengenyam pendidikan di pulau Jawa. Selain itu membumbungnya biaya pendidikan pada saat ini semakin memperkeruh upaya perbaikan SDM, karena pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya, dan orang-orang miskin akan tetap terbawa oleh arus kemiskinan, seperti diilustrasikan oleh sebuah buku yang dikarang oleh Eko Prasetyo yang berjudul "orang miskin dilarang sekolah". Oleh karena itu upaya peningkatan SDM bukanlah pekerjaan mudah, dan diperlukan proses yang panjang.

Pendidikan yang baik menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, dalam artian bahwa mendidik seseorang harus didasarkan pada kaidah fitrawinya sebagai manusia, yaitu apa-apa yang diajarkan akan membawa kepada kesadaran diri tentang hakekat eksistensialnya sebagai manusia dan hakekat menjalani kehidupan. Secara dasariah para filsuf menganalogikan manusia sebagai binatang yang berfikir (al-Hayawan an-Nathiqah), dan fungsi pendidikan adalah memperluas makna tersebut menjadi manusia yang berfikir (al-Insan an-Nathiqah). Oleh karena itu sumber daya manusia yang baik adalah apabila tiga daya substansial insani yang dimiliki dapat berfungsi secara efektif. Yang pertama adalah pengembangan daya kognitif, yaitu pengembangan kemampuan penalaran terhadap sesuatu dengan melakukan proses transfer segala bidang kajian ilmu yang diminati sebagai dasar karakteristik intelektualnya. Yang paling esensial dari pengembangan daya kognitif  adalah menghidupkan kreativitas membaca buku, dan menciptakan semacam budaya membaca buku untuk membentuk kemampuan diskursif-spekulatif seseorang. Hal inilah yang dipraktikkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Malaysia, Korea dan negara maju lainnya di Eropa.

Yang kedua, SDM yang baik tidak hanya kuat dalam hal Intelectual Qoutient atau daya kognitif, akan tetapi juga harus kuat dalam daya afektifnya yaitu kemampuan mengolah rasa, jiwa, atau hatinya. Ini berkaitan dengan aspek-aspek emosional seseorang, dan pendidikan emosional yang terbaik adalah melalui keluarga dan lingkungan yang ditopang oleh semangat religiusitas yang tinggi. Disinilah peranan ilmu agama menjadi penting sebagai penyeimbang dari daya kognitif yang telah dimiliki. Sedangkan yang ketiga adalah pengembangan daya psikomotorik seseorang melalui pelatihan-pelatihan untuk pengembangan skill dengan pengetahuan yang bersifat praktis dan terapan.

Dengan demikian menanggapi permasalahan SDM ini, alangkah baiknya pemerintah daerah Kaltim baik ditingkat satu maupun tingkat dua melakukan langkah-langkah taktis dibidang pendidikan seperti halnya peningkatan mutu dan kualitas perguruan tinggi yang sudah ada dengan pembangunan sarana fisik yang baik dan kualitas pengajar yang mumpuni. Selain itu mempermudah akselerasi akses terhadap buku-buku dari pusat-pusat pendidikan di pulau Jawa, sekaligus memberikan subsidi terhadap penjualan buku-buku tersebut, sehingga terjangkau oleh pembeli di Kaltim. Karena saat ini prosentase pembeli dan pembaca buku di Kaltim sangat minim, disamping karena buku masih dianggap barang yang mewah dan mahalnya harga buku membuat minat baca semakin tidak bertambah. Untuk meningkatkan minat baca kita bisa mencontoh gagasan walikota Yogyakarta Heri Zudianto yang sedang membangun Taman Pintar, yang disana masyarakat Yogyakarta dapat membeli dan membaca buku dengan enjoy karena didukung oleh suasana yang kondusif.

Walhasil, untuk menghilangkan sentralisme pendidikan di Indonesia membutuhkan waktu yang lama, semoga dengan pemerintahan baru nanti dapat merombak sistem pendidikan di Indonesia yang sangat sentralistik, dan memberi ruang yang luas kepada daerah-daerah di luar Jawa untuk mengembangkan pendidikan secara mandiri, agar kesetaraan di dalam pencapaian ilmu pengetahuan dapat dinikmati oleh segenap masyarakat Indonesia. Selain itu menjadikan reformasi pendidikan sebagai prioritas utama setelah pemberantasan korupsi, karena pendidikan adalah satu-satunya prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Karena bangsa Indonesia sudah tertinggal jauh di dalam penguasaan ilmu pengetahuan, sementara Rusia sudah mulai mereformasi sistem pendidikannya sejak tahun 1694 di bawah pemerintahan Peter Agung, yang kemudian disusul oleh Jepang pada tahun 1868 yang dikenal dengan Restorasi Kaisar Meiji. Oleh karena itu kita harus segera bangkit dari keterpurukan sejarah, untuk membuat sejarah gemilang di masa mendatang. Wallahu A'lamu Bishawwab. (*Penulis adalah pemerhati masalah kemanusiaan, tinggal di Ponpes Hidayatullah Pusat Balikpapan.)                  

”Balatu'sy Syuhada" (Pertempuran Tours dan Poiters)

 

Peristiwa pertempuran di kota Tours dan Poiters antara ummat Islam dan Kristen merupakan babakan sejarah yang sangat menentukan dalam sejarah Islam. Istilah Balatu'sy Syuhada yang berarti "timbunan mayat para syuhada" merupakan gambaran betapa dahysatnya pertempuran tersebut, karena banyaknya pemuka Islam dan Tabi'in yang wafat ketika itu. Peristiwa ini terjadi setelah Abdurrahman Bin Abdullah al-Ghafiki diangkat sebagai gubernur Andalusia, segera ia memperbaiki dan menata kembali pemerintahan Islam di Andalusia yang sedang kacau oleh pergolakan internal. Setelah tata pemerintahan telah kokoh, Abdurrahman dengan tentaranya yang berjumlah 100.000 orang pada tahun 732 M. (awal tahun 114 H.) melintasi Arragon (At-Thager al-A'la) dan Navarre yaitu negeri suku Baschon dan memasuki kota-kota di Perancis. Ia langsung menuju kota Arles -dipinggir sungai Rhone- yang enggan membayar Jizyah dan menduduki kota itu setelah terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Pangeran Eudo di pinggiran sungai. Kemudian ia bergerak ke arah Barat dan menyeberangi sungai Garonne, dan bagaikan halilintar tentara Islam menyapu Acquitania, menggempur kota dan dataran-datarannya yang subur seperti Guyenne, Perigord, Saintonge dan Poitu. Pangeran Eudo mengalami kekalahan pahit di pinggiran sungai Dardogne, Abdurrahman mengejar Eudo sampai ke Bordeaux (Burdal), ibukota yang dapat direbutnya setelah pengepungan yang tidak lama.

            Dengan ditemani beberapa orang sahabatnya Pangeran Eudo melarikan diri ke Utara, hingga dengan demikian seluruh Acquitania jatuh ke tangan kaum Muslimin. Kemudian Abdurrahman kembali berputar ke lembah sungai Rhine dan tentara Islam melintasi Bourgondia, menduduki kota-kota Lyon dan Besancon, sedang pasukan perintisnya telah sampai di Sens yang jaraknya hanya 100 mil saja dari kota Paris. Lalu ia mengarah ke Barat hingga ke pinggir sungai Loire untuk menyempurnakan penaklukan di daerah ini, dengan maksud untuk bergerak ke ibukota kerajaan Franka.      

            Perancis ketika itu dalam kekuasaan kerajaan Franka dengan rajanya yang bernama Theodorik III, akan tetapi yang sebenarnya berkuasa adalah Karel Martel, seorang kepala Pejabat Istana. Karena bahaya Islam telah demikian mendesak maka Karel mengumpulkan segenap bala tentaranya, akan tetapi pasukan Abdurrahman telah memasuki jantung kota Perancis. Sumber-sumber sejarah Islam menyatakan bahwa Karel sengaja mengulur-ulur waktu dan membiarkan pergerakan tentara Islam tersebut, yang pertama agar kerajaan Pangeran Eudo yang merupakan rival politiknya, hancur ditangan ummat Islam. Yang kedua membiarkan tentara Islam mengumpulkan harta rampasan yang banyak, sehingga ketika semangat jihadnya sudah terkontaminasi oleh harta benda akan mudah dikalahkan.

            Ketika pasukan Karel Martel bergerak untuk menghadapi pasukan Islam, wilayah Acquitania dan seluruh Perancis Selatan telah dikuasai oleh Abdurrahman. Setelah Kerajaannya jatuh dan tentaranya tercerai berai, maka Pangeran Eudo meminta bantuan kepada musuh lamanya Karel. Karelpun menghimpun tentara dari suku-suku Franka dan kabilah-kabilah liar dari Jerman serta pasukan sewaan dari seberang sungai Rhein. Sebagian besar pasukan ini tidak teratur, hampir telanjang dan hanya memakai pakaian dari kulit serigala, sedang rambutnya yang keriting terurai di atas bahu yang terbuka.         

            Para sejarawan sukar untuk menentukan dengan pasti di mana terjadi pertempuran yang akan memutuskan nasib sejarah Timur dan Barat itu. Tetapi secara garis besar telah disepakati bahwa itu terjadi di sebuah dataran yang terletak antara Tours dan Poiters, di pinggir sungai Claine dan Vienne, -anak-anak sungai Loire- tidak jauh dari kota Tours. Sebelumnya Abdurrahman al-Ghafiki mengepung dan menduduki kota Poiters, kemudian menyerang kota Tours yang terletak di sebelah kiri sungai Loire dan menguasainya pula. Pada saat itu tentara Franka telah mencapai tepi sungai Loire. Pada mulanya pasukan Islam tidak menyadari hal ini, sedang pasukan mata-mata Islam memberikan taksiran yang meleset mengenai jumlah pasukan Franka. Demikianlah, ketika Abdurrahman hendak menyeberang sungai Loire dengan maksud hendak menghadapi  lawan di pinggir kanan, ia terkejut melihat kedatangan tentara yang sangat besar yang dipimpin Karel Martel.

            Sadar akan kekuatan besar dari tentara Franka ini, maka Abdurrahman mundur dari pinggiran sungai, kembali menuju dataran antara Tours dan Poiters tadi. Pada saat yang sama pasukan Karel Martel menyeberang pula ke sebelah Barat kota Tours dan berkemah dengan tentaranya beberapa mil disebelah kiri kaum Muslimin, antara sungai Claine dan Vienn. Sementara itu di tubuh pasukan kaum Muslimin sangat mengkhawatikan dan mencemaskan. Secara internal di kalangan kabilah-kabilah Berber (suku dari Afrika Utara) yang merupakan bagian terbesar dari pasukan tersebut mengalami perpecahan. Mereka ingin mengundurkan diri untuk menyelamatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang sangat melimpah. Rupanya perkiraan Karel Martel menjadi benar adanya, karena melimpahnya harta rampasan perang justru membuat kebingungan dan kegaduhan, sehingga semangat jihad pasukan Islam menyusut.

            Masalah ghanimah ini cukup disadari oleh Abdurrahman, akan tetapi dengan sia-sia ia menasehati pasukannya untuk meninggalkan harta tersebut, dan ia tidak mau menggunakan kekerasan karena khwatir akan timbul perlawanan. Lagi pula kaum Muslimin sangat lelah dan letih, disebabkan oleh penyerbuan yang terus menerus selama beberapa bulan sejak mereka memasuki Perancis. Walaupun demikian panglima pasukan Islam Abdurrahman al-Ghafiki telah bersiap-siap untuk menghadapi musuh dengan tekad yang bulat dan kepercayaan yang penuh dalam pertempuran yang menentukan ini. Perang dimulai pada 12 atau 13 Oktober 732 M. (akhir bulan Sya'ban, 114 H.) selama 7 atau 8 hari dalam pertempuran-pertempuran kecil, akan tetapi tidak mempengaruhi kedudukan masing-masing. Pertempuran besar mulai berkobar dengan dahsyat pada hari kesembilan, akan tetapi tidak ada kemajuan apa-apa hingga malam tiba.

Pada keesokan harinya pertempuran berkobar kembali, masing-masing menunjukkan menunjukkan keberanian dan ketabahan yang luar biasa hingga akhirnya tanda-tanda kelemahan tampak pada barisan Franka, dan hampir saja kemenangan akan diraih oleh pihak kaum Muslimin. Akan tetapi Karel Martel melakukan siasat yang cerdas, yaitu menyerang kemah-kemah penyimpanan harta rampasan perang milik kaum Muslimin yang melimpah. Melihat hal ini sejumlah besar pasukan berkuda kaum Muslimin menarik diri dari tengah medan pertempuran, menuju barisan belakang untuk mempertahankan harta-harta rampasan tersebut, diikuti oleh prajurit jalan kaki untuk menjaga barang masing-masing hingga dengan demikian barisan tentara Islam menjadi kacau balau.

Dengan sia-sia dicoba oleh Abdurrahman untuk mengembalikan disiplin dan meyakinkan pasukannya, tetapi ketika ia bergerak kemuka untuk memimpin barisan dan mengumpulkan anak-buahnya, tiba-tiba sebuah anak panah musuh menancap di tubuhnya dan menyebabkan ia jatuh dari kuda dan syahid menemui ajalnya. Gempar dan kekacauan menimpa angkatan kaum Muslimin dan sementara itu tentara Franka terus melakukan tekanan keras hingga banyak diantara kaum Muslimin yang gugur. Akan tetapi pasukan Islam yang tersisa tetap bertahan di tempat itu untuk menangkis serangan dengan gigih, hingga malam tiba dan kedua barisan berpisah tanpa ada kemenangan menentukan pada salah satu pihak. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 732 M. (awal Ramadhan 114 H.)

Wafatnya sang panglima Abdurrahman al-Ghafiki dan para panglima-panglima utama merupakan bencana yang tak terkira buat kaum Muslimin, Ia adalah gubernur terbaik yang pernah memerintah Andalusia, seorang jenderal ulung yang pernah muncul di sebelah Barat, dan satu-satunya pemimpin yang dapat menyatukan kaum Muslimin di Spanyol berkat wibawa dan sikapnya yang tegas. Dengan demikian hilangnya Abdurrahman dalam suasana genting seperti itu adalah bencana besar bagi cita-cita Islam dan rencana khilafat untuk menaklukkan Eropa.

Dengan wafatnya sang panglima, timbul perpecahan dan perselisihan dalam tubuh pasukan yang tersisa, muncul pendapat yang berbeda-beda, kecemasan, dan kekacauan merajalela. Setelah melihat bahwa sudah tidak ada harapan lagi untuk menang dan membuat serangan balasan, maka para pemimpin pasukan yang masih hidup memutuskan untuk mengundurkan diri ke arah Selatan yaitu ke pangkalan mereka di Septemania. Pada keesokan harinya, melihat sepinya perkemahan tentara Islam, Karel bersama sekutunya Pangeran Eudo maju dengan hati-hati dan mendapatinya dalam keadaan kosong. Karena khawatir kalau-kalau kaum Muslimin sedang melakukan siasat dan tipu muslihat, maka Karel Martel pun enggan dan tidak berani mengejar sisa-sisa pasukan, dan ia merasa puas dengan kemunduran pasukan kaum Muslimin.

Peristiwa "Timbunan mayat para Syuhada (Balatu'sy Syuhada) masih terpatri dalam kenangan sejarah Barat ; rentetan kejadian dan akibat-akibatnya masih menjadi buah bibir dan renungan bagi ahli-ahli sejarah Eropa. Berlalunya masa 12 abad semenjak terjadinya peristiwa itu di rayakan ulang tahunnya di Perancis, dan ia merupakan sumber baru dari  pemikiran dan buah pembicaraannya, seakan mereka hendak mengulang kembali raungan yang mengerikan dari sejarah silam yang berbunyi: "Seandainya tentara Islam tidak dapat dibendung di dataran Tours, tiadalah dijumpai lagi Dunia dan Eropah Kristen, dan tentulah sekarang Islam akan berkuasa di Eropah!, Sampai-sampai ke ujung Utara ia akan dihuni oleh putera-putera Semit dengan mata dan rambut hitam, sebagai ganti bangsa Arya yang berambut pirang dan bermata biru! ".         

Peperangan ini adalah puncak penentrasi kaum Muslimin ke benua Eropa, dan menjadi peristiwa yang sangat menentukan dalam sejarah Islam. Seorang sejarawan Barat yaitu Edward Gibbon mengatakan bahwa peristiwa peperangan ini "membebaskan nenek moyang kita (Barat) bangsa Britania begitu juga bangsa Gallia dari belenggu pemerintahan dan kepercayaan ala Qur'an, juga melindungi kebesaran Roma dan memperlambat kejatuhan Konstantinopel, memperkuat pula pertahanan orang Kristen, sebaliknya menaburkan diantara kaum Muslimin benih-benih perpecahan dan sebab-sebab kemunduran".

Mengenai kegigihan kaum Muslimin untuk menaklukkan Eropa, Edward Gibbon mengomentari bahwa pergerakan kaum Muslimin adalah "satu garis kemenangan gemilang", telah ditarik langkah 1000 mil panjangnya dari bukit Gibraltar (Jabal Thariq) hingga pinggir sungai Loire. Penarikan kembali garis sepanjang itu akan membawa kaum Muslimin ke batas-batas Polandia dan ke dataran tinggi Skotlandia; sungai Rhine tidak akan lagi sukar dilayari sebagaimana sungai Nil atau Eufrat, dan armada Islam akan berlayar memasuki sungai Thames di Eropa dengan tanpa perlawanan. Dan mungkin sekarang ini di sekolah-sekolah Oxford akan diajarkan tafsir al-Qur'an, sedang dari mimbar-mimbarnya akan dikhotbahkan kepada khalayak yang sudah berkhitan, kesucian dan kebenaran nubuwat Muhammad".

Di dataran antara Tours dan Poiters ini ummat Islam telah kehilangan kesempatan untuk memegang kendali dunia, dan nasib sejarah dunia berubah karenanya ; badai penaklukan Islam terdampar di hadapan bangsa-bangsa Utara, sebagaimana ia terbentur beberapa tahun sebelumnya di muka tembok kota Konstantinopel pada masa pemerintahan khalifah Sulaiman bin Abdul Walid. Dengan demikian gagallah usaha yang terakhir dari khilafat untuk menundukkan bangsa Barat dan membawa agama Kristen ke dalam pengaruh kekuasaan Islam

Islam yang bersatu padu dengan jumlah yang sekian banyak dengan tekad bulat dan semangat jihad seperti itu tidak pernah lagi mendapat kesempatan untuk menjelajah ke pusat jantung Eropa sebagaimana pergerakan pasukan Abdurrahman al-Ghafiki menuju Balatu'sy Syuhada. Karena ummat Islam tidak lama setelah itu mulai jatuh dalam perpecahan. Sementara kaum Muslimin di Spanyol ribut dengan pertentangan sesamanya, maka sebuah imperium Franka yang besar dan bersatu muncul di balik pegunungan Pyrenea yang mengancam Islam di sebelah Barat dan menyaingi kekuasaan serta pengaruhnya.

Peristiwa pertempuran ini menyisakan pelajaran dan wajib bagi kaum Muslimin untuk mengambil ibrah dan hikmah dari peristiwa tersebut. Apa yang terjadi pada pertempuran di Tours dan Poiters ini mengingatkan kita pada peristiwa yang hampir serupa secara kasuistik, yaitu perang Uhud, dimana semangat jihad yang suci mudah terkotori oleh hawa nafsu terhadap harta benda duniawi. Sehingga untuk yang kesekian kalinya tentara Islam harus mundur dan banyak yang berjatuhan menjadi Syuhada hanya karena terlenakan oleh hawa nafsu terhadap harta benda. Oleh karena itu peritiwa ini menjadi pelajaran bernilai para aktifis da'wah dan harakah agar terus memperbaiki niat di dalam memperjuangkan Islam, jangan sampai kemilaunya harta benda dunia membutakan mata bathin kita, dan terperosok dalam jurang kekufuran sehingga merusak Syahadat kita kepada Allah.

Adapun hikmah dibalik peristiwa ini adalah bahwa Allah telah menghendaki mundurnya tentara Islam dari Tours dan Poiters, agar Islam bisa masuk ke Eropa tidak melalui aneksasi dan penaklukan. Akan tetapi melalui jalan masuk secara damai atau Peneteration Facifique, dan itu mulai terasa beberapa dekade ini, dimana ajaran Kristen mulai ditinggalkan oleh pengikutnya di Eropa. Hal ini pada puncaknya terjadi di Belanda pada tahun 1993, sekitar 500.000 orang Kristen Belanda yang memutuskan untuk keluar dari ajaran Kristen, dan tidak sedikit diantaranya yang melakukan konversi ke ajaran Islam. Fenomena konversi masyarakat Eropa kepada Islam semakin meningkat beberapa tahun terakhir, justru karena stereotipe negatif yang senantiasa menghiasi media massa dan televisi, dan membuat orang-orang Eropa tertarik dan penasaran untuk mengetahui al-Islam, sehingga banyak diantara mereka mendapat hidayah dari Allah dan menjadi pemeluk agama Islam. Suatu hal yang sangat ironis sedang terjadi di negeri kita Indonesia, dimana gerakan missionaris menggebu-gebu untuk mempengaruhi kaum Muslimin untuk melakukan konversi ke ajaran Kristen. Sementara pada saat yang sama di belahan benua Eropa, gereja-gereja mulai kosong karena ditinggalkan jamaahnya dan tidak sedikit diantaranya yang berubah menjadi masjid. Wallahu A'lamu Bishawwab. (Abdurrohim, disarikan dari berbagai sumber)

Telaah atas Sanad serta Matan Hadis Keutamaan Menuntut Ilmu dan Kontekstualisasinya dalam Pemikiran Islam

 

Abstrak

Hadits sebagai sumber normatif kedua setelah Al-Qur’an telah menyajikan banyak informasi dan menjadi khazanah inspiratif bagi para ilmuan Muslim. Termasuk hadis tentang keutamaan menuntut ilmu dari Imam Bukhari yang sangat masyhur. Tulisan ini mencoba mengkaji secara komprehensif hadits tersebut, baik dari sisi sanad periwayatannya, maupun analisis matan hadis untuk menemukan nilai-nilai ideal moral hadits tersebut dalam konteks pada masa kini. Persoalan ini menjadi sangat penting di masa sekarang, melihat telah terjadinya proses segregasi antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu-ilmu non-agama. Akibat dari proses dikotomisasi ini, umat Islam jauh tertinggal dalam penguasaan sains dan teknologi. Bisa jadi hal itu terjadi karena salah memaknai hadits-hadits tentang pentingnya menuntut ilmu.

 

Kata kunci: Hadits, Sanad, Matan, Eiditis, Kontekstualisasi

 

A. MUQADDIMAH.

Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Hadits tersebut di atas menunjukkan tingkat penghargaan yang tinggi dari ajaran Islam terhadap proyeksi keilmuan, dan itu diikuti oleh fakta sejarah mengenai kegemilangan para ilmuan Muslim dalam mengapresiasi pengetahuan klasik yang berasal dari Yunani, Mesir, Syria Nestorian, dan Persia menjadi konstruksi pengetahuan yang kokoh dan menjadi landasan kebangkitan pengetahuan era selanjutnya di Barat. Secara doktriner hadis di atas mengandung penekanan pada penguasaan ilmu-ilmu agama (ulumuddin) melalui penjelajahan pemahaman secara menyeluruh pada aspek naqliah agama Islam. Karena hal itu berkaitan erat dengan prospek keimanan yang merupakan jalan lempang menuju surga. Inilah yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali, yaitu memprioritaskan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ain sebagai landasan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah.

            Akan tetapi sesungguhnya pengertian “mencari ilmu” dapat pula diinterpretasikan bahwa proses pencarian ilmu itu merupakan harga mati bagi upaya mencapai kebahagiaan (happiness) yang dimetaforakan dengan term “surga.” Jadi sesungguhnya hadis di atas secara maknawi mengandung nilai ideal moral, atau bisa menjadi wisdom bagi kehidupan manusia secara universal. Bahwa salah satu jalan pintas menuju kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat adalah menguasai ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh sebuah hadis Nabi yang artinya: “Barangsiapa yang ingin bahagia di dunia, maka dia harus berilmu, dan barangsiapa yang ingin bahagia di akherat, maka dia juga harus berilmu”.

            Selain itu teks hadits tersebut secara tersirat bermakna bahwa proyeksi ilmu atau visi keilmuan di dalam Islam bersifat eskatologis, yaitu ada kaitan antara proses menuntut ilmu dengan balasan di surga kelak. Sehingga hadits ini secara tidak langsung juga memperkuat adanya teori bahwa konsep ilmu di dalam Islam, (baca; hadits) bersifat sarat dengan nilai-nilai (value laden), tidak sebagaimana pemahaman umum yang berkembang di Barat atau di kalangan akademisi Muslim bahwa konsep ilmu bersifat bebas nilai (free value). Pandangan yang pertama kemudian mendorong untuk melakukan gerakan Islamisasi terhadap konstruksi ilmu pengetahuan, sedangkan pandangan yang kedua menganggap tidak perlu Islamisasi Ilmu. Gagasan “pengislaman” ilmu pengetahuan muncul di tengah lemahnya umat Islam secara keseluruhan di dalam pencapaian sains dan teknologi, sehingga diformulasikanlah konsep-konsep dan metodologi “yang islami” untuk menjadi landasan konseptual bagi kaum Muslim untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

 

B. TELAAH SANAD HADITS

1. Takhrij al-Hadits

            Setelah dilakukan penelusuran melalui kitab al-mu’jam al-mufahras li alfadz al-hadits al-nabawi melalui entri kata سَلَكَ, redaksi hadis مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ diriwayat oleh Abu Dawud, pada kitab ‘ilm bab 90. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari pada kitab ‘ilm  bab 10. Dalam hal ini al-Bukhari menjadikan hadits tersebut sebagai judul bab di dalam kitabnya, tanpa mengikutsertakan sanad hadis tersebut, karenanya juga tidak tercatat nomer hadis yang dimaksud. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Tirmidzi pada kitab Qur’an bab 10 dan kitab ‘ilm bab 19 dan 45. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Imam Ahmad.[1] 

Redaksi hadis tersebut jika ditelusuri melalui CD ROM mausu’ah al-hadits al-syarif, diriwayatkan oleh imam Muslim dalam bentuk redaksi yang lebih panjang. Adapun bentuk redaksi hadis tersebut keseluruhannya adalah sebagai berikut:

 

1. Bukhari

Kitab al-‘ilm

Bab al-‘ilm qabl al-qauli wa al-‘amali

بَاب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَرَّثُوا الْعِلْمَ مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَقَالَ جَلَّ ذِكْرُهُ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ وَقَالَ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ وَقَالَ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَقَالَ أَبُو ذَرٍّ لَوْ وَضَعْتُمْ الصَّمْصَامَةَ عَلَى هَذِهِ وَأَشَارَ إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ ظَنَنْتُ أَنِّي أُنْفِذُ كَلِمَةً سَمِعْتُهَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ تُجِيزُوا عَلَيَّ لأَنْفَذْتُهَا وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ

 

2. Muslim

Kitab al-Dzikr al-Du’a al-Taubat al-Istighfar

Bab Fadl al-Ijtima’i ‘ala Tilawat al-Qur’an wa ‘ala Dzikri

Nomor hadis 4867

 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَاه نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَخَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ أَبِي أُسَامَةَ لَيْسَ فِيهِ ذِكْرُ التَّيْسِيرِ عَلَى الْمُعْسِرِ

 

 

2. Tirmidzi

Kitab al ‘Ilmun ‘an Rasulillah

Bab Fadl Thalab al ‘Ilm

Nomor hadis  2570

 

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

 

3. Tirmidzi

Kitab al ‘Ilmun ‘an Rasulillah

Bab:Ma Jaa fi Fadl Fiqh al ‘Ibadah

Nomor hadis 2606

 

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خِدَاشٍ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ كَثِيرٍ قَالَ قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ عَلَى أَبِي الدَّرْدَاءِ وَهُوَ بِدِمَشْقَ فَقَالَ مَا أَقْدَمَكَ يَا أَخِي فَقَالَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا جِئْتَ لِحَاجَةٍ قَالَ لا قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِتِجَارَةٍ قَالَ لَا قَالَ مَا جِئْتُ إِلا فِي طَلَبِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَلا نَعْرِفُ هَذَا الْحَدِيثَ إِلا مِنْ حَدِيثِ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ وَلَيْسَ هُوَ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ هَكَذَا حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خِدَاشٍ هَذَا الْحَدِيثَ وَإِنَّمَا يُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ مَحْمُودِ بْنِ خِدَاشٍ وَرَأْيُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَعِيلَ هَذَا أَصَحُّ

 

4. Tirmidzi

Kitab al Qiraah ‘an Rasulillah

Bab Ma Jaa ‘an al Qur’an Unzila ‘ala Sab’ati ahruf

Nomor hadis 2869

 

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا قَعَدَ قَوْمٌ فِي مَسْجِدٍ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ هَذَا الْحَدِيثِ وَرَوَى أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ حُدِّثْتُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بَعْضَ هَذَا الْحَدِيثِ

 

5. Abu Dawud

Kitab al ‘Ilm

Bab:al Hatsu ‘ala Thalab al-‘Ilam

Nomor hadis 3157

 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ لَقِيتُ شَبِيبَ بْنَ شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ يَعْنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ

 

6. Ibn Majah

Kitab Muqaddimah

Bab  Fadl al-‘Ulama wa al-Hatsu ‘ala Thalab al-‘Ilm

Nomor hadis 219

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لا قَالَ وَلا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

 

7. Ibn Majah

Kitab Muqaddimah

Bab  Fadl al-‘Ulama wa al-Hatsu ‘ala Thalab al-‘Ilm

Nomor hadis 221

 

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

8. Ahmad

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

9. Ahmad

حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

10. Ahmad

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ أَنَا عَاصِمُ بْنُ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى أَبِي الدَّرْدَاءِ وَهُوَ بِدِمَشْقَ فَقَالَ مَا أَقْدَمَكَ أَيْ أَخِي قَالَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِتِجَارَةٍ قَالَ لا قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِحَاجَةٍ قَالَ لا قَالَ مَا قَدِمْتَ إِلا فِي طَلَبِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ لَمْ يَرِثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرِثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ

 

11.Al-Darimi

Kitab Muqaddimah

Bab; fi Fadl ‘Ilm wa al-‘Alim

Nomor hadis 346

أَخْبَرَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لا قَالَ وَلا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ وَافِرٍ

 

12. Al-Darimi

Kitab Muqaddimah

Bab fi Fadl ‘Ilm wa al-‘Alim

Nomor hadis 349

أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبَانَ عَنْ يَعْقُوبَ هُوَ الْقُّمِّيُّ عَنْ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا سَلَكَ رَجُلٌ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ الْعِلْمَ إِلا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَنْ يُبْطِئْ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

13. Al-Darimi

Kitab Muqaddimah

Bab fi Fadl ‘Ilm wa al-‘Alim

Nomor hadis 359

أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ ثَابِتٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ هَارُونَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتَذَاكَرُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا أَظَلَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي بِهِ الْعِلْمَ سَهَّلَ اللَّهُ طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

 

 

2. I’tibar Hadits

 

            Pemasangan seluruh rangkaian jalur sanad dapat dilihat pada bagan berikut. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan melihat posisi setiap periwayat terhadap hadis tersebut. I’tibar dimaksudkan agar terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayat yang diteliti, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Adapun skema hadis tersebut adalah:

Dari sanad al-Tirmidzi yang diteliti, urutan periwayat dan sanad hadis adalah:

 

No.

Nama Periwayat

Urutan Periwayat

Urutan Sanad

1.

Abu Hurairah

I

V

2.

Abu Shalih

II

IV

3.

Al-A’masy

III

III

4.

Abu Usamah

IV

II

5.

Mahmud ibn Ghailan

V

I

6.

Al-Tirmidzi

VI

Mukharrij al-hadits

 

Penilaian terhadap para periwayat hadis dimulai dari tingkat pertama, Abu Hurairah, lalu selanjutnya ke periwayat berikutnya.

 

C. PENELUSURAN KUALITAS PERIWAYAT

1. Abu Hurairah

Menurut Khalifah ibn Khayyath dan Hisyam ibn Kalbi, nama lengkap Abu Hurairah adalah ‘Umair ibn ‘Amir ibn Abdi dzi al-Syara ibn Tharif ibn ‘Atab ibn Abi Sha’ab ibn Munabbih ibn Sa’ad ibn Tsa’labah ibn Sulaim ibn Fahmun ibn Ghanam ibn Dausi. Para pengkaji sejarah banyak memperdebatkan nama Abu Hurairah yang panjang ini. Menurut putranya, Muharrar, nama Abu Hurairah adalah ‘Abdu ‘Umar ibn ‘Abdu Ghanam. Nama ini juga dibenarkan oleh ‘Umar ibn Ali al-Fallasi.[2]

Sebelum memeluk Islam, namanya adalah ‘Abd al-Syams, atau ‘Abd Ghanam. Setelah masuk Islam Nabi memberi nama beliau ‘Abdullah. Adapun julukan “Abu Hurairah” (bapaknya kucing) melekat padanya disebabkan oleh ia memelihara dan menyukai anak kucing. Sedangkan nama ibunya adalah Maimunah binti Shabih.[3]

Abu Hurairah adalah salah satu shahabat Rasul yang paling banyak meriwayatkan hadits. Ia memiliki banyak guru. Di antara guru-gurunya adalah: Nabi Saw sendiri, Ubay ibn Ka’ab, Usamah ibn Zaid ibn Haritsah, Bashrah ibn Abi Bashrah al-Ghifari. Dan Abu Hurairah pun memiliki murid yang jauh lebih banyak. Diantaranya adalah Ibrahim ibn Ismail, Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn Abi Thalib, Ma’bad ibn Abdullah ibn Hisyam al-Quraisyi, Nafi’ ibn Abbas dan lain-lain.[4]

Abu Hurairah tinggal di Madinah dan beliau wafat pada tahun 58 H. dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 59 H. oleh karena Abu Hurairah adalah salah satu shahabat Nabi, maka kualitas pribadinya tidak perlu dibicarakan lagi. Hal itu disebabkan oleh berlakunya kaidah Kulluhum ‘Udul bagi sahabat Rasulullah

2. Abu Shalih

Nama lengkapnya adalah Dzakwan. Kunyah beliau adalah Abu Shalih, sedangkan Laqab beliau adalah al-Saman al-Zayad. Beliau adalah bekas budak Juwairiyah binti al-Ahmasy al-Ghatafani. Beliau tinggal di Madinah dan wafat pada tahun 101 H. beliau meriwayatkan hadits dari guru-gurunya di antaranya:  Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abu Hurairah, Abu Darda’, Sa’id al-Khudriy, Ibnu Abbas, Aisyah Ummul Mukminin, Ummu Habibah dll. Hadits beliau diriwatkan oleh murid-muridnya, diantaranya adalah: ketiga anaknya yaitu Suhail, Shalih dan Abdullah, Atha’ ibn Abi Rabah, Abdullah ibn Dinar, ‘Ashim ibn Bahdalah Sulaiman al-A’masy, Sulaiman ibn Mihran dll.[5]

Penilaian ulama terhadap kualitas pribadi beliau adalah misalnya: Ahmad ibn Hanbal menilai beliau Tsiqah Tsiqah. Yahya ibn Ma’in menilai beliau Tsiqah. Abu Zur’ah menilai beliau Tsiqah, Mustaqim al-Hadits. Abu Hatim menilai beliau Tsiqah, Shalih al-Hadits. Muhammad ibn Sa’ad menilai beliau Tsiqah, Katsir al-Hadits. Al-‘Ijliy menilai beliau Tsiqah.  Sedangkan Ibnu Hibban juga menilai beliau Tsiqah

3. Al-A’masy

Nama lengkap beliau adalah Sulaiman ibn Mihran al-Asadiy al-Kahiliy. Kunyah beliau adalah Abu Muhammad, sedangkan Laqab beliau adalah al-A’masy. Beliau berasal dari Thabaristan dan dilahirkan di Kufah. Beliau dilahirkan pada bulan Asyura’ tahun 61 H, dan ada yang mengatakan 59 H. sedangkan beliau wafat pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 147 H, ada yang mengatakan 148 H pada usia 88 tahun.[6]

Beliau meriwayatkan hadits dari guru-gurunya. Diantaranya adalah: Ibrahim al-Taimiy, Ibrahim al-Nakha’i, Dzakwan ibn Abi Shalih al-Saman, Hakm ibn ‘Utaibah, Hakim ibn Jubair dll. Hadits beliau banyak diriwayatkan oleh murid-murid beliau, di antaranya adalah: Jarir ibn Abd al-Hamid, Ja’far ibn Aun, Zaidah ibn Qudamah, Sufyan al-Tsauriy, Sufyan ibn ‘Uyainah dan lainnya.[7] Penilaian ulama terhadap kualitas pribadi beliau misalnya adalah: Yahya ibn Ma’in menilai beliau tsiqah. Al-Nasa’i menilai beliau Tsiqah Tsabat. Al-‘Iijliy menilai beliau Tsiqah Tsabat. Ibnu Hibban menilai beliau Tsiqah. Ibn Ammar juga menilai beliau Tsiqah.

4. Abu Usamah

            Nama lengkapnya Hammad ibn Usamah ibn Zayd al-Qarsyi Abu Usamah al-Kufi.[8] . Ia bekas budak bani Hasyim, yakni bekas budak Hasan ibn Sa’ad. Dan hasan ibn Sa’ad bekas budak Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib.[9] Di antara guru-gurunya adalah Hisyam ibn ‘Urwah, Buraid ibn ‘Abdullah ibn Abi Burdah, Isma’il ibn Khalid, al-A’masy, Mujalid, Abdullah ibn ‘Umar, dan lain-lain.[10]. Abu Usamah punya banyak murid. Diantara murid-muridnya adalah Al-Syafi’iy, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Ruwahaih,, Ibrahim al-Jauhari, Mahmud ibn Ghailan, Muhammad ibn ‘Ashim al-Ahbahani.

            Ahmad menilai dirinya tsiqat tsabat, ‘alam al-nas, shahih al-kitab, dlabith al-hadits. Ulama yang lain, ibn Ma’in, ibn Hibban, dan al-‘Ijli menilai Abu Usamah sebagai orang yang tsiqah. Ibn Sa’ad menilainya tsiqah, katsir al-hadits. Ibn Qani’ menilainya shalih al-hadits.[11]

            Al-Ijli dan al-Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah wafat pada bulan syawal tahun 210 H. al-Bukhari menambahkan bahwa Abu Usamah wafat pada usia 80 tahun.[12]

5. Mahmud ibn Ghailan

            Nama lengkapnya adalah Mahmud ibn Ghailan al-Aduwwi Abu Ahmad al-Marwaziy al-Hafidz.[13] Di antara guru-gurunya adalah Waki’, ibn’Uyainah, Abu Usamah, Zahir ibn Sa’ad al-Saman, Basyar ibn al-Sari, Said ibn Amir, dan lain-lain.[14] Murid-muridnya diantaranya adalah Abu Dawud, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu al-Ahwash, abu al-Qasim al-Baghawiy, al-Tirmidzi, dan lain-lain.

            Al-Nasa’i dan ibn Hibban menilainya sebagai orang yang tsiqah. Ia wafat pada bulan Ramadlon tahun 239 H. Abu Raja Muhammad ibn Hamid al-Marwazi berpendapat bahwa Mahmud ibn Ghailan melaksanakan haji pada tahun 246 H. kemudian berpindah ke Merv dan wafat pada tanggal 10 bulan Dzulqa’dah tahun 249 H.[15]

6. Al-Tirmidzi

            Nama lengkapnya adalah Abu Isa muhammad ibn Isa ibn Tsaurah ibn Musa ibn al-Dahhak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi. Ahmad Muhammad Syakir menambahkan dengan sebutan al-Dharir, karena ia mengalami kebutaan di masa tuanya.[16]. Di antara guru-gurunya adalah Ishaq ibn Rahawayh, Muhammad ibn Amru al-Sawaq.[17] Di antara murid-muridnya adalah Ahmad ibn Yusuf al-Nasafi, Ahmad ibn Abdullah al-Maruzi, al-Tajiri, Haisim ibn Kulaib al-Syahin.[18] Ulama menilainya tsiqah, ibn Hibban dan al-Khalil misalnya. Ia wafat di al-Turmudz pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H. pada malam senin.[19]

 

D. HASIL PENELUSURAN SANAD.

Untuk melihat adanya persambungan sanad dapat dilihat dari segi kualitas periwayat dalam sanad yakni dengan melihat ketsiqahannya (‘Adil dan Dlabith-nya) Tanpa adanya tadlis dan sah menurut tahammul wa al-ada’ serta hubungan dengan periwayat yang terdekat.[20]

Berdasarkan data di atas dapat dilihat persambungan sanadnya. Antara Nabi dan Abu Hurairah tidak diragukan lagi persambungannya. Hal tersebut mengingat Abu Hurairah adalah sahabat Nabi dan dikenal sebagai seorang sahabat Nabi yang sangat intens dalam meriwayatkan hadits. Pada ilmu hadits berlaku pandangan bahwa semua sahabat Nabi adalah adil. Maka itu persambungan pada tingkat ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Sighat tahammul wa al-ada’ antara Nabi dengan Abu Hurairah adalah ‘an.

Selanjutnya sighat tahammul wa al-ada’ antara Abu Hurairah dan Abu Shalih adalah ‘an juga. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal disebutkan bahwa Abu Hurairah wafat tahun 56 H, dan ada yang mengatakan 57 atau 58 H. Namun tidak ada data yang menunjukkan kapan Abu Shalih dilahirkan. Data tentang Abu Shalih hanya memuat tahun wafatnya yaitu tahun 101 H. Walaupun begitu, dengan melihat angka tersebut masih memungkinkan bagi keduanya untuk bertemu dan hidup sezaman. Dalam kitab-kitab rijal seperti telah disebutkan di depan, bahwa Abu Shalih adalah salah satu murid Abu Hurairah. Para kritikus menilai Abu Shalih baik.

Kemudian, sighat tahammul wa al-ada’ antara Abu Shalih dan Sulaiman ibn Mihran adalah ‘an. Abu Shalih wafat pada tahun 101 H, sedangkan Sulaiman ibn Mihran lahir tahun 61 H dan wafat pada tahun 147 atau 148 H. Seperti telah disebutkan di muka, Sulaiman ibn Mihran adalah salah satu murid dari Abu Shalih. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa antara Abu Shalih dan Sulaiman ibn Mihran keduanya hidup sezaman, dan periwayatannya bersambung dan dapat diterima. Para kritikus menilai Sulaiman ibn Mihran baik.

          Selanjutnya, hadis Sulaiman ibn Mihran diriwayatkan oleh muridnya, yakni Abu Usamah. Shigat yang digunakan adalah ‘an. Abu Usamah meninggal pada bulan syawal tahun 201 H pada usia 80 tahun, sementara gurunya, Sulaiman ibn Mihran, meninggal pad tahun 147 atau 148 H. Dari angka ini, dapat diketahui bahwa saat gurunya meninggal, Abu Usamah berusia 26 atau 27 tahun. Oleh sebab itu, keduanya hidup sezaman, dan periwayatannya bersambung. Para kritikus menilai Abu Usamah baik.

            Kemudian, antara Abu Usamah dan Mahmud ibn Ghailan, sighat yang digunakan adalah haddatsana.  Abu Usamah adalah salah satu guru dari Mahmud ibn Ghailan. Mahmud ibn Ghailan meninggal pada tahun 239 H., 38 tahun stelah gurunya, Abu Usamah, meninggal. Dalam kitab-kitab rijal disebutkan behwa keduanya adalah guru dan murid. Salah satu murid Mahmud ibn Ghailan adalah al-Tirmidzi. Sighat yang digunakan adalah haddatsana. Ulama menilainya baik. Maka dapat disimpulkan periwayatannya dapat diterima.  Dari keterangan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas sanad hadis ini tergolong hasan dan dapat di terima sebagai hujjah.

 

E. TELAAH MATAN HADITS

            Sebuah matan hadis dapat diuji pertama dengan kualitas sanadnya. Sebuah matan yang dapat diterima haruslah juga berasal dari sanad yang dapat diterima. Jika diteliti sanadnya lemah, maka secara otomatis matan tersebut tertolak untuk dikatakan sebagai redaksi yang dinisbahkan kepada nabi. Terhadap sanad hadis tentang keutamaan menuntut ilmu, telah dilakukan penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sanad hadis tersebut bisa diterima.

            Selanjutnya, untuk menguji kesahihan sebuah matan tentu saja menggunakan kriteria-kriteria yang telah digariskan oleh ulama-ulama terdahulu. Meneliti matan sesungguhnya jauh lebih sulit dari pada meneliti sanad. Kriteria kesahihan matan secara umum dapat digariskan sebagai berikut:

  1. Redaksi matan tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih lainnya.
  2. Redaksi matan hadis tersebut tidak bertentangan dengan akal sehat.
  3. Redaksi matan tersebut tidak bertentangan dengan sejarah atau dalil yang sudah pasti.

Al-Adlabi menambahkan bahwa sebuah redaksi hadis yang tidak menyerupai perkataan Nabi harus ditolak. Hadis yang tidak menyerupai perkataan Nabi, menurut al-Adlabi, terbagi menjadi tiga bentuk:[21]

1.      Hadis-hadis yang mengandung keserampangan.

2.      Hadis-hadis yang mengandung makna rendah.

3.      Hadis-hadis yang lebih menyerupai ulama khalaf.

Hadis mengenai keutamaan menuntut ilmu terdapat dalam beberapa bentuk redaksi matan. Bentuk-bentuk redaksi dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Al-Tirmidzi meriwayatkan tiga bentuk

Bentuk ke-I

 مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةٌ

Bentuk ke-II

قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ عَلَى أَبِي الدَّرْدَاءِ وَهُوَ بِدِمَشْقَ فَقَالَ مَا أَقْدَمَكَ يَا أَخِي فَقَالَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا جِئْتَ لِحَاجَةٍ قَالَ لا قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِتِجَارَةٍ قَالَ لا قَالَ مَا جِئْتُ إِلا فِي طَلَبِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Bentuk ke-III

مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا قَعَدَ قَوْمٌ فِي مَسْجِدٍ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

2. Bukhari pada muqaddmah bab al-‘il qabl al-qauli wa al-‘amali menyebutkan redaksi hadis ini.

بَاب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَرَّثُوا الْعِلْمَ مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ …

3. Muslim  meriwayatkan

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

4.Abu Dawud meriwayatkan

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ لَقِيتُ شَبِيبَ بْنَ شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ يَعْنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ

 

5. Ibn Majah meriwayatkan:

Bentuk ke-I

كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لَا قَالَ وَلَا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Bentuk ke-II

 

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

6. Al-Darimi meriwayatkan:

Bentuk ke-I

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ قَالَ لا قَالَ وَلا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Bentuk ke-II

مَا سَلَكَ رَجُلٌ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ الْعِلْمَ إِلا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَنْ يُبْطِئْ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Bentuk III

أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ ثَابِتٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ هَارُونَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتَذَاكَرُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا أَظَلَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي بِهِ الْعِلْمَ سَهَّلَ اللَّهُ طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

 

1. Analisis Redaksi Matan

Dari semua bentuk di atas, dapat dilihat ada beberapa perbedaan. Perbedaan itu terjadi, pertama, pada beberapa bentuk redaksi matan. Dan kedua, pada panjang dan pendeknya matan. Dalam ilmu hadis, hal demikian tak menjadi masalah sepanjang perbedaan  redaksi tersebut tidak menimbulkan makna yang terlalu jauh.

            Perbedaan dari bentuk-bentuk diatas dapat kita lihat pada kata:

  1. مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّة
  2. مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
  3. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
  4. مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ
  5. سَلَكَ رَجُلٌ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ الْعِلْمَ إِلا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
  6. مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي بِهِ الْعِلْمَ سَهَّلَ اللَّهُ طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّة

Perbedaan dapat diihtisarkan sebagai berikut:

  1. يَلْتَمِسُ َ dan  يَبْتَغِي dan يَطْلُبُ
  2. طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّة  dan طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّة (Pada kata thariqan dan thariqahu. Pada kata min dan ila)
  3. لَهُ طَرِيقًا dan بِهِ طَرِيقًا

2. Telaah Eiditis

A. Pendekatan Linguistik

Yaltamisu adalah fi’il mudlari dari fi’il madli iltamasa yang bermakna “mencari’ atau “menuntut”. Iltamasa bermakna thalaba. Yabtaghi adalah fiil mudlari’ dari fi’il madli ibtaghaa yang bermakna “mencari”. Yathlubu  adalah fi’il mudlari dari fi’il madli thalaba yang bermakna mencari.

Salaka = melalui/memasuki/menempuh

Thariqan = jalan, thariqahu = jalannya

Al-Jannah = surga

Bihi = padanya/dengannya

Lahu = baginya/padanya

            Maka, perbedaan redaksi diatas tidak berimplikasi pada perbedaaan makna. Perbedaan bentuk redaksi di atas hanya memngindikasikan bahwa hadis tersebut diriwayatkan bi al-ma’na. Redaksi hadis diatas dapat diartikan sebagai berikut:

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.”

B. Kajian Tematik Komprehensif

Secara tematik-komprehensif hadis tersebut di atas senafas dengan hadis-hadis populer lainnya seperti:

“Carilah ilmu meskipun harus ke Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim”

            “Orang yang paling berilmu adalah yang mengumpulkan ilmu dari yang lain kepada ilmunya: orang yang paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya, dan yang paling hina adalah orang yang paling bodoh”

            “Kearifan adalah harta orang beriman yang hilang, di mana saja ia menemukannya, dia lebih berhak memilikinya dari yang lain”.

 

            Kalimat من سلك bermakna barang siapa yang masuk atau berjalan طرىقا pada suatu jalan dekat atau pun jauh dengan tujuan untuk menambah ilmu pengetahuan akan mendapatkan balasan tidak ternilai (surga). Dalam hal ini terdapat interkoneksitas antara طرىقا dengan علما, bahwa usaha pencarian ilmu harus melalui upaya yang sungguh-sungguh, walaupun harus menempuh jarak yang jauh dari satu daerah ke daerah yang lain. Fenomena ini ini telah diperlihatkan dalam sejarah Islam, dimana para murid turun ke jalan pencarian ilmu (syadd al-rikal) kepada para tokoh-tokoh sentral dan menjadi ciri khas pengetahuan tradisional. Kemudian kalimat سهل merupakan penegasan dari hadis tersebut bahwa dalam kegiatan mencari ilmu, secara aksidental akan memberi manfaat, yang secara normatif di dalam hadis ini, manfaat terbesarnya adalah balasan di akherat kelak dengan term surga.

            Sebagaimana yang sudah disinggung pada pendahuluan, bahwa hadis ini secara tematik memiliki dua makna, yaitu makna secara internal dan eksternal. Secara internal, hadis ini menjadi doktrin bahwa tujuan akhir (final destination) hidup di dunia ini adalah menjadi penghuni surga di akherat kelak, dengan menuntut ilmu, maka Allah akan melicinkan jalannya menuju surga. Tentunya di sini yang dimaksud adalah ilmu-ilmu agama yang bersifat wajib ain bagi setiap muslim. Adapun secara eksternal, hadis di atas bisa dipahami bahwa untuk mencapai kebahagiaan (surga) di dunia, maka salah satu prasyaratnya adalah dengan berilmu. Proposisi eksternal ini secara maknawi bisa dipahami sebagai wisdom secara universal.

            Menurut Shadr Al-Din Syirazy dalam komentarnya terhadap hadis “mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim”, mengatakan bahwa hadis-hadis Nabi tentang keutamaan ilmu itu menyatakan bahwa pada tingkat ilmu apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya lebih jauh. Nabi bermaksud bahwa mencari ilmu wajib setiap Muslim; bagi para ilmuan, juga mereka yang bodoh, bagi pemula, juga bagi para sarjana terpelajar. Apapun tingkat ilmu yang dicapainya, ia seperti anak kecil yang beranjak dewasa; artinya ia harus mempelajari hal-hal yang sebelumnya tidak wajib baginya[22]. Selain itu, hadis-hadis tersebut menyiratkan bahwa mencari ilmu atau menuntut ilmu adalah salah satu tanggung jawab seorang Muslim, dan tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya sendiri; karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan. Alasan mengapa beberapa ilmu dianggap tercela, adalah akibat dari ketercelaan (kerancuan) pemahaman orang-orang yang menghasilkannya.

C. Kajian Konfirmatif

            Hadis mengenai keutamaan menuntut ilmu tersebut diperkuat oleh ayat-ayat al-Qur’an dalam maknanya secara umum, di antaranya adalah:

            Katakanlah: adakah mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengatahui itu sama? (QS. 39: 9)

            (Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang belum dia ketahui (QS. 95: 5)

            ….dan di atas tiap-tiap orang yang berilmu ada lagi yang Maha Mengetahui (QS. 12: 76)

            ….dan di antara kalian ada yang dikembalikan kepada bagian terjelek kehidupan, sehingga setelah memiliki ilmu dia tidak mengetahui sesuatu pun…(QS. 16: 70.

            Ayat-ayat di atas secara eksplisit mengandung makna bahwa pencarian pengetahuan merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai manusia dan sekaligus sebagai hambaNya yang beriman. Karena Allah sebagai pemilik pengetahuan akan memberikan karunia yang tidak ternilai kepada orang-orang yang sungguh-sungguh untuk menuntut ilmu. Selain itu, salah satu prasyarat dalam mencari ilmu, adalah keikhlasan dan ketulusan hati, karena motivasi mencari ilmu bukan untuk memenuhi hasrat duniawi semata. Karena saat ini banyak orang yang mencari ilmu untuk mendapatkan pamor, agar prestisenya semakin meningkat di mata masyarakat. Biasanya orang seperti ini juga memiliki arogansi intelektual, dan dia tidak sadar sesungguhnya ilmu yang dia miliki justru membuat ia semakin bodoh. Karena ilmu yang dia miliki justru membuatnya semakin jauh dari kesadaran eksistensialnya sebagai hamba Tuhan.

            Secara hakiki, semakin tinggi pengetahuan seseorang, seharusnya semakin meningkatkan kemawasdiriannya akan hakekat terdalam dari kehidupannya sebagai manusia, sehingga membuahkan rasa keimanan yang kuat kepada Sang Khalik. Jadi sejatinya proses pencarian pengetahuan adalah sebuah proses mendaki, di mana dibutuhkan kesungguhan dan keikhlasan, sebagaimana yang terjadi pada proyeksi keimanan. Semakin banyak yang diketahui, semakin sadar kita akan betapa bodoh dan lemahnya kita di hadapan Allah. Ketika kita sudah mampu mengetahui kebenaran tertinggi (the ultimate truth), maka itulah puncak dari kebahagiaan kita sebagai manusia dan sebagai hamba Tuhan, karena itulah “surga” yang sesungguhnya, sebagaimana maksud hadis yang dibahas.

D. Analisis Generalisasi.

            Untuk bisa menangkap ideal moral dari hadis tersebut di atas, langkah pertamanya adalah membumikan makna hadis tersebut. Ada dua kata kunci dalam hadis tersebut, yaitu “jalan menuntut ilmu” dan “jalan menuju surga”. Dalam perspektif duniawi (sekuler), konteks keilmuan di sini sangatlah profan, dan berlawanan dengan term “surga” yang merupakan wilayah eskatologis dan metafisik. Kedua konteks tersebut disandingkan dalam makna “jalan” (thariqah), dan dalam perspektif duniawi, keduanya merupakan sebuah jalan, atau sebuah proses. Akan tetapi dua jalan (proses) tersebut secara substansial sangat berlawanan secara diametral. Sedangkan dalam penafsiran secara literal, hadis tersebut bisa ditarik menjadi wisdom  universal, yaitu term “surga” bisa di derivasikan sebagai makna kebahagiaan (happiness), dan untuk mencapainya harus dengan proses menuntut ilmu. Makna kebahagiaan di sini bersifat multi-tafsir (interpretable), dan dalam Islam, surga yang dimaksud adalah, kebahagiaan di akherat kelak.

            Selain itu, dari hadis ini bisa diambil satu proposisi bahwa, jalan menuju surga tidak hanya melalui jihad dalam pengertian qital atau melalui perang yang selama ini banyak dipahami secara tekstual oleh sebagian kaum Muslim. Akan tetapi jihad juga bisa bermakna upaya yang sungguh-sungguh dalam pencarian ilmu pengetahuan. Di sisi lain, dalam konteks keilmuan secara universal, bagaimana dengan para ilmuan diluar Islam apabila dilihat dari konteks hadis ini?. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa makna surga bisa dimaknai sebagai kebahagiaan (happiness) yang bisa di dapatkan di dunia maupun di akherat kelak. Sementara itu kalangan non Muslim, memiliki perspektif berbeda dengan term surga yang dimaksud oleh hadis ini, yaitu surga dalam perpektif orang Islam. Terkecuali apabila para ilmuan non Muslim tersebut dapat menerima perspektif surga versi Islam setelah mendapat hidayah melalui pencarian ilmu yang dia lakukan, seperti yang banyak terjadi di kalangan intelektual Barat.   

Dalam konteks epistemologis, hadis tersebut mewakili perspektif keilmuan versi Islam, yang tidak pernah menjadikan persoalan duniawi dan akherati, adalah sesuatu yang dikotomis, dan derivasi konsepsi tersebut terjadi dalam pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan. Di mana tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu duniawi, karena keduanya adalah satu kesatuan. Hal ini secara eksplisit terlihat pada surah al-Mujadalah ayat 11, di mana posisi orang yang beriman karena pemahaman agamanya dan bergelut dengan ayat-ayat qauliah Allah, dan orang-orang berilmu yang pemahaman agamanya nominal, tetapi intens mendalami ayat-ayat qauliah Allah, mendapat posisi yang sederajat di hadapan Allah. Jadi makna “jalan” dalam hadis tersebut sangat tepat, karena dalam Islam, idealnya seseorang yang semakin tinggi pengetahuannya, baik ilmu agama maupun ilmu non agama, akan membuat ia semakin dekat dengan Tuhan. Karena jalan menuntut ilmu berbanding lurus dengan jalan keimanan menuju surga.

 

F. KONTEKSTUALISASI DALAM PEMIKIRAN ISLAM.

            Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat yang senada dengan bunyi hadis di atas. Misalnya QS. Al-Mujadalah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang yang berilmu beberapa derajat. Juga di dalam hadis-hadis shahih yang lain, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta penghuni langit dan bumi sampai semut dalam liangnya sekalipun, juga ikan laut bershalawat atas orang-orang yang mengajari manusia kebaikan”

            “Tidaklah sama antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui”, begitu Allah befirman. Betapa ilmu sangat diagungkan. Sebab, menuntut ilmu adalah tahapan yang pertama yang harus ditempuh oleh manusia. Ia ibarat anak tangga pertama. Menuntut ilmu adalah memasuki sebuah jalan. Di ujung jalan itu ada sesuatu yang tentunya akan dicapai.

            Dalam redaksi hadis di atas, dapat dilihat, bahwa Nabi menggunakan kata thariqan. Thariq adalah jalan yang bukan fisik. Ia memiliki kesamaan sifat dengan jalan dalam artian fisik, yakni sesuatu yang dilewati untuk mencapai sebuah tempat tujuan. Maka seperti dikatakan di depan, bahwa “melewati jalan” ini adalah mutlak dan niscaya. Hanya mereka yang menempuh jalan ilmu, yang dapat sampai tujuan dengan benar dan selamat.

            Ibn Manzur mengatakan bahwa ‘ilmun adalah salah satu dari sifat Allah. Maka, secara indirect munasabah, Allah bisa dipahami dengan benar hanya melalui ilmu. Menurut penulis disinilah korelasi yang paling pas. Islam secara hakiki adalah agama Tauhid, di mana hanya Allah satu-satunya yang layak disembah. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka manusia perlu “berilmu”. Hadis di atas adalah satu bentuk stimulan. Ada satu janji yang ditawarkan pada mereka yang berada di jalan ilmu, yakni surga. Bahkan Rasul pernah bersabda: “Barang siapa keluar (dari rumahnya)  untuk mencari ilmu, maka dia dalam jihad di jalan Allah sehingga ia kembali”.

            Kesimpulannya, bahwa hadis di atas mengusung satu nilai mendasar dalam Islam, yakni Tauhid. Bagaimana mungkin nilai Tauhid itu bisa tercerap pada manusia jika tanpa mempelajarinya, yakni mendalami ilmunya. Sungguh pun demikian, seperti telah disebutkan di depan, bahwa menempuh jalan ilmu adalah bagaikan anak tangga pertama. Ia tak punya arti apa-apa tanpa diikuti melangkah ke anak tangga selanjutnya. Setelah orang mengetahui (berilmu), lalu untuk apa? Maka setelah orang mengetahui, dia harus mengamalkan apa yang dia ketahui tadi. Ilmu tanpa amal tak ada gunanya.

            Islam sebagai peradaban, sudah menorehkan tinta emas sejarah pencapaian ilmu pengetahuan lewat proses kreatif-adaptif para intelektual Muslim yang mampu membangun konstruksi pengetahuan yang lebih berkembang dari masa-masa sebelumnya, dengan metode empirik-eksperimental, dan pengembangan logika berfikir induktif. Maka wajar apabila bermunculan secara massif ilmuan dan intelektual Muslim dari berbagai bidang kajian ilmu pengetahuan. Satu hal yang mengherankan adalah, bahwa para ilmuan tersebut tidak hanya pakar dalam bidang ilmu-ilmu non agama, akan tetapi juga mereka menguasai bidang agama, dan bersifat multidisipliner (polymath). Fakta tersebut bisa jadi turut dimotivasi oleh statement hadis di atas, di mana kuriousitas (khirsun) yang luar biasa dari para intelektual Muslim di latar belakangi oleh semangat agama. Hal ini berlawanan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan di Barat (renaissance) justru di latar belakangi oleh semangat penolakan terhadap agama. Maka wajar apabila ilmu yang berkembang di Barat, sangat bebas nilai dan sekularistik, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa di Barat banyak intelektual dan ilmuan yang semakin canggih taraf berfikir dan pengetahuannya, maka ia semakin agnostik (menolak Tuhan). Hal ini sangat berlawanan secara diametral dengan para ilmuan Muslim yang notabene adalah para peletak pertama dasar-dasar pengetahuan yang berkembang di Barat. Dari hadis di atas mari kita tumbuhkan kesadaran historis kita, untuk merekonstruksi paradigma berfikir kita yang terlanjur hanyut dalam kejumudan, dengan berupaya mendewesternisasikan ilmu pengetahuan yang terlanjur sekularistik dengan celupan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah. 

 

G. KHATIMAH

            Dari hasil telaah sanad dan matan hadits paparan di atas dapat disimpulkan  bahwa hadits tersebut termasuk dalam kategori hadits yang baik untuk dirujuk oleh umat Islam. Selain itu, hadits tersebut juga telah menjadi sumber inspiratif yang penting untuk mendorong umat Islam agar senantiasa belajar dan menuntut ilmu. Namun perlu dilakukan proses kontekstualisasi terhadap hadis tersebut, agar mendapatkan relevansinya dalam konteks kekinian. Dari proses kontekstualisasi tersebut, diharapkan Umat Islam tidak memahami konteks mencari ilmu sebagai tugas eskatologis an sich, tapi juga punya kepentingan teleologis yang bersifat keduniaan, agar cita-cita membangun peradaban Islam bisa terwujud di masa depan.

(Wallahu A’lam bish-shawab.)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bibliografi

 

Ad-Dzahabi,Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Usman, Siyaru A'lami an-Nubala'i, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, t.th.

Al-Asqalani, Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Abu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 1325 H

Al-Asqalani,Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Abu Hajar, Lisan al-Mizan, Beirut Libanon :Dar al-Ilmiyah, t.th

Al-Baghdadi,Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khotib, Tarikh Baghdad, Beirut:Darul Fikr, t.th.

Al-Bandari,Abdul Ghoffar Sulaiman, Mausu’ah Rijal Kutub al-Tis’ah, Beirut: Dar al-fikr al-Ilmiyyah, Cet. I, 1993

Al-Bukhari,Abu ‘Abdillah Isma’il bin Ibrahim al-Ju’fi, al-Tarih al-Kabir, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

Al-Busti,Abi Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad al-Tamimi, Kitab al-Tsiqat, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Dzahabi,Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Usman, Mizan al-'Itidal fi Naqd al-Rijal, Dar al-Khaya al-Kutub al-Araby, t.th.

Al-Mazi,Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzibul Kamal fi Asma ar-Rijal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Razi,Ibnu Hatim, al-Jarh wa Ta’dil, Beirut Libanon: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th.

Al-Adlabi, Shalahuddin ibn Ahmad, Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004

Al-Shafadiy, Shalah al-Din Khalil ibn Ibak, al-Wafi bi al-Wafayat, Beirut: Dar al-Nasyr, 1979, jilid XV.

Golshani, Mehdi, Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an, terj. Agus Effendi, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.

Syakir, Ahmad Muhammad, al-Jami’ al-Shahih, Hijir Britania: tp., 1912.

Syuhudi Ismail, Muhammad, Kaedah Keshahihan Sanad hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

 



[1] A.J Wensinck, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, (Leiden: E.J Brill, 1936) jilid 2 hlm 506.

[2] Izzuddin Abdul Hasan Ali ibn Muhammad ibn al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid VI, hlm 319.

[3] Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf ibn Abd al-Rahman al-Mizzi al-Dimasyqiy, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid XXII, hlm 91.

[4] Syihab al-Din Ahmad ibn Ali al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1913), Jilid XII, hlm 262. 

[5] Ibid, Jilid III, hlm 219. Lihat juga Abu Abdullah Ismail ibn Ibrahim al-Ju’fi al-Bukhari, Tarik al-Bukhari al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), jilid I, hlm 260.  

[6] Al-Bukhari, Tarik al-Bukhari al-Kabir… jilid IV, hlm 37. lihat juga Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabiy, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, (tkp: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1963), jilid II, hlm 224.

[7] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib….jilid IV, hlm 222. Lihat juga Shalah al-Din Khalil ibn Ibak al-Shafadiy, al-Wafi bi al-Wafayat, (Beirut: Dar al-Nasyr, 1979), jilid XV, hlm 428.

[8] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib,  Jilid III, hlm. 2. Lihat juga  al-Shafadiy, al-Wafi bi al-Wafayat,  jilid XIII, hlm 148 Lihat juga  Al-Busti, Kitab al-Tsiqat, jilid VI, hlm 222 Lihat juga  al-Bukhari, Tarik al-Bukhari al-Kabir,  jilid III, hlm 27. Lihat juga Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, al-Kasyif fi Ma’rifati Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, (Mesir: Dar al-Ta’lif, t.th), jilid I, hlm.250. Lihat juga Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Abu Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, (Beirut Libanon :Dar al-Ilmiyah, t.th), juz VII, hlm. 203  

[9] al-Busti, Kitab al-Tsiqat, jilid VI, hlm 222 Lihat juga thabaqah ibn Sa’ad, jilid VI, hlm……

[10] al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid III, hlm. 2

[11] al-Busti, Kitab al-Tsiqat, jilid VI, hlm. 222Lihat juga thabaqah ibn Sa’ad hlm…… Bandingkan dengan al-Shafadiy, al-Wafi bi al-Wafayat, hlm. 148

[12] Ibid

[13] al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid X, hlm. 64. Lihat juga Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala’, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah,t.th.), jilid XII , hlm. 223. Lihat juga al-Busti, Kitab al-Tsiqat, jilid IX, hlm. 202. Lihat juga Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khotib al-Bagdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut:Darul Fikr, t.th.), jilid XIII, hlm.89..

[14] al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid X, hlm. 64. Lihat juga al-Dzahabi, Siyar al-A’lam , jilid XII , hlm. 223. Lihat juga Lihat juga al-Busti, Kitab al-Tsiqat, jilid IX, hlm. 202. Lihat juga al-Bagdadi, Tarikh Baghdad, jilid XIII, hlm.89. Lihat juga al-Bukhari, Tarik al-Bukhari al-Kabir,  jilid VII, hlm 404.

[15] ibid

[16] Ahmad Muhammad Syakir, al-Jami’ al-Shahih, (Hijir Britania: tp., 1912), jilid I, hlm 77.

[17] Syamsudin Muhammad ibn  Ahmad ibn Utsman ibn Qayyim al-Dzahabi, Siyar al-‘Alam al-Nubala, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1881), jilid XIII, hlm. 271

[18] al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid IX, hlm. 388. Lihat juga Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mazi, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, (Dar al-Fikr, t.th.), juz: X, hlm. 122

[19] Ahmad Muhammad Syakir, al-Jami’ al-Shahih, (Hijir Britania: tp., 1912), jilid I, hlm 77.

[20] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. 2 hlm 182-216.

[21] Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) hlm.270

[22] Mehdi Golshani, Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an, terj. Agus Effendi, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), hlm. 6.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...