Abstrak
Hadits sebagai sumber normatif kedua setelah
Al-Qur’an telah menyajikan banyak informasi dan menjadi khazanah inspiratif
bagi para ilmuan Muslim. Termasuk hadis tentang keutamaan menuntut ilmu dari
Imam Bukhari yang sangat masyhur. Tulisan ini mencoba mengkaji secara
komprehensif hadits tersebut, baik dari sisi sanad periwayatannya, maupun
analisis matan hadis untuk menemukan nilai-nilai ideal moral hadits tersebut
dalam konteks pada masa kini. Persoalan ini menjadi sangat penting di masa
sekarang, melihat telah terjadinya proses segregasi antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin)
dan ilmu-ilmu non-agama. Akibat dari proses dikotomisasi ini, umat Islam jauh
tertinggal dalam penguasaan sains dan teknologi. Bisa jadi hal itu terjadi
karena salah memaknai hadits-hadits tentang pentingnya menuntut ilmu.
Kata kunci: Hadits, Sanad, Matan, Eiditis,
Kontekstualisasi
A. MUQADDIMAH.
“Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” Hadits tersebut di atas menunjukkan
tingkat penghargaan yang tinggi dari ajaran Islam terhadap proyeksi keilmuan,
dan itu diikuti oleh fakta sejarah mengenai kegemilangan para ilmuan Muslim
dalam mengapresiasi pengetahuan klasik yang berasal dari Yunani, Mesir, Syria
Nestorian, dan Persia menjadi konstruksi pengetahuan yang kokoh dan menjadi
landasan kebangkitan pengetahuan era selanjutnya di Barat. Secara
doktriner hadis di atas mengandung penekanan pada penguasaan ilmu-ilmu agama (ulumuddin) melalui penjelajahan
pemahaman secara menyeluruh pada aspek naqliah agama Islam. Karena hal
itu berkaitan erat dengan prospek keimanan yang merupakan jalan lempang menuju
surga. Inilah yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali, yaitu memprioritaskan
ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ain sebagai landasan ilmu-ilmu yang
bersifat fardhu kifayah.
Akan tetapi sesungguhnya pengertian
“mencari ilmu” dapat pula diinterpretasikan bahwa proses pencarian ilmu itu
merupakan harga mati bagi upaya mencapai kebahagiaan (happiness) yang dimetaforakan
dengan term “surga.” Jadi
sesungguhnya hadis di atas secara maknawi mengandung nilai ideal moral, atau
bisa menjadi wisdom bagi kehidupan manusia secara universal. Bahwa salah
satu jalan pintas menuju kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat adalah
menguasai ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh sebuah hadis Nabi
yang artinya: “Barangsiapa yang ingin bahagia di dunia, maka dia harus
berilmu, dan barangsiapa yang ingin bahagia di akherat, maka dia juga harus
berilmu”.
Selain
itu teks hadits tersebut secara tersirat bermakna bahwa proyeksi ilmu atau visi
keilmuan di dalam Islam bersifat eskatologis, yaitu ada kaitan antara proses
menuntut ilmu dengan balasan di surga kelak. Sehingga hadits ini secara tidak
langsung juga memperkuat adanya teori bahwa konsep ilmu di dalam Islam, (baca;
hadits) bersifat sarat dengan nilai-nilai (value
laden), tidak sebagaimana pemahaman umum yang berkembang di Barat atau di
kalangan akademisi Muslim bahwa konsep ilmu bersifat bebas nilai (free value). Pandangan yang pertama
kemudian mendorong untuk melakukan gerakan Islamisasi terhadap konstruksi ilmu
pengetahuan, sedangkan pandangan yang kedua menganggap tidak perlu Islamisasi
Ilmu. Gagasan “pengislaman” ilmu pengetahuan muncul
di tengah lemahnya umat Islam secara keseluruhan di dalam pencapaian sains dan
teknologi, sehingga diformulasikanlah konsep-konsep dan metodologi “yang
islami” untuk menjadi landasan konseptual bagi kaum Muslim untuk mengejar
ketertinggalan tersebut.
B. TELAAH SANAD HADITS
1. Takhrij al-Hadits
Setelah dilakukan penelusuran
melalui kitab al-mu’jam al-mufahras li alfadz al-hadits al-nabawi melalui
entri kata سَلَكَ, redaksi hadis
مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ diriwayat oleh Abu Dawud, pada kitab ‘ilm bab 90.
Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari pada kitab ‘ilm bab 10. Dalam hal ini
al-Bukhari menjadikan hadits tersebut sebagai judul bab di dalam kitabnya, tanpa mengikutsertakan
sanad hadis tersebut, karenanya juga tidak tercatat nomer hadis yang dimaksud.
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Tirmidzi pada kitab Qur’an bab 10
dan kitab ‘ilm bab 19 dan 45. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn
Majah dan Imam Ahmad.
Redaksi hadis tersebut jika
ditelusuri melalui CD ROM mausu’ah al-hadits al-syarif, diriwayatkan
oleh imam Muslim dalam bentuk redaksi yang lebih panjang. Adapun bentuk redaksi
hadis tersebut keseluruhannya adalah sebagai berikut:
1. Bukhari
Kitab al-‘ilm
Bab al-‘ilm qabl al-qauli wa
al-‘amali
بَاب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ
وَالْعَمَلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَرَّثُوا
الْعِلْمَ مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ
بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَقَالَ جَلَّ
ذِكْرُهُ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ وَقَالَ وَمَا
يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا
كُنَّا فِي
أَصْحَابِ السَّعِيرِ وَقَالَ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ
لا يَعْلَمُونَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا الْعِلْمُ
بِالتَّعَلُّمِ وَقَالَ أَبُو ذَرٍّ لَوْ وَضَعْتُمْ الصَّمْصَامَةَ عَلَى هَذِهِ
وَأَشَارَ إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ ظَنَنْتُ أَنِّي أُنْفِذُ كَلِمَةً سَمِعْتُهَا
مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ تُجِيزُوا عَلَيَّ
لأَنْفَذْتُهَا وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ
وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ
كِبَارِهِ
2. Muslim
Kitab al-Dzikr al-Du’a al-Taubat al-Istighfar
Bab Fadl al-Ijtima’i ‘ala Tilawat al-Qur’an wa ‘ala Dzikri
Nomor hadis 4867
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاءِ
الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الآخَرَانِ
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ
اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا
سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي
بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ
بَيْنَهُمْ إِلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ
بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَاه نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَا حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ
حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَخَبَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ غَيْرَ
أَنَّ حَدِيثَ أَبِي أُسَامَةَ لَيْسَ فِيهِ ذِكْرُ التَّيْسِيرِ عَلَى
الْمُعْسِرِ
2. Tirmidzi
Kitab al ‘Ilmun ‘an Rasulillah
Bab Fadl Thalab al ‘Ilm
Nomor hadis 2570
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلانَ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
3. Tirmidzi
Kitab al ‘Ilmun ‘an Rasulillah
Bab:Ma Jaa fi Fadl Fiqh al ‘Ibadah
Nomor hadis 2606
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خِدَاشٍ
الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا
عَاصِمُ بْنُ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ كَثِيرٍ قَالَ قَدِمَ رَجُلٌ
مِنْ الْمَدِينَةِ عَلَى أَبِي الدَّرْدَاءِ وَهُوَ بِدِمَشْقَ فَقَالَ مَا
أَقْدَمَكَ يَا أَخِي فَقَالَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا جِئْتَ لِحَاجَةٍ قَالَ لا
قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِتِجَارَةٍ قَالَ لَا قَالَ مَا جِئْتُ إِلا فِي طَلَبِ
هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ
اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا
رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي
السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ
بِحَظٍّ وَافِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَلا نَعْرِفُ هَذَا الْحَدِيثَ إِلا مِنْ
حَدِيثِ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ وَلَيْسَ هُوَ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ هَكَذَا
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خِدَاشٍ هَذَا الْحَدِيثَ وَإِنَّمَا يُرْوَى هَذَا
الْحَدِيثُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ مَحْمُودِ بْنِ خِدَاشٍ وَرَأْيُ
مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَعِيلَ هَذَا أَصَحُّ
4. Tirmidzi
Kitab al Qiraah ‘an Rasulillah
Bab Ma Jaa ‘an al Qur’an Unzila ‘ala Sab’ati ahruf
Nomor hadis 2869
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلانَ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ
اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا
كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ
عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا قَعَدَ قَوْمٌ فِي
مَسْجِدٍ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا نَزَلَتْ
عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ
وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى
هَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ هَذَا
الْحَدِيثِ وَرَوَى أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ حُدِّثْتُ
عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بَعْضَ هَذَا الْحَدِيثِ
5. Abu Dawud
Kitab al ‘Ilm
Bab:al Hatsu ‘ala Thalab al-‘Ilam
Nomor hadis 3157
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ
حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ
فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ
طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ
الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ
فِي الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ
أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ لَقِيتُ شَبِيبَ بْنَ شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ يَعْنِي عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ
6. Ibn Majah
Kitab Muqaddimah
Bab Fadl al-‘Ulama
wa al-Hatsu ‘ala Thalab al-‘Ilm
Nomor hadis 219
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ
بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ
جَالِسًا عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ
فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ
بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ
تِجَارَةٌ قَالَ لا قَالَ وَلا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ فَإِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ
كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ
الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا
إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
7. Ibn Majah
Kitab Muqaddimah
Bab Fadl al-‘Ulama
wa al-Hatsu ‘ala Thalab al-‘Ilm
Nomor hadis 221
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ
الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي
عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ
لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ
بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا
حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ
الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ
لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
8. Ahmad
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ
حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي
عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ
نَسَبُهُ
9. Ahmad
حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا
إِلَى الْجَنَّةِ
10. Ahmad
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ
أَنَا عَاصِمُ بْنُ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ قَدِمَ
رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى أَبِي الدَّرْدَاءِ وَهُوَ بِدِمَشْقَ فَقَالَ مَا
أَقْدَمَكَ أَيْ أَخِي قَالَ حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ
بِهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِتِجَارَةٍ قَالَ لا قَالَ
أَمَا قَدِمْتَ لِحَاجَةٍ قَالَ لا قَالَ مَا قَدِمْتَ إِلا فِي طَلَبِ هَذَا
الْحَدِيثِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ
اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ
مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ
الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ لَمْ يَرِثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا
وَإِنَّمَا وَرِثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ حَدَّثَنَا
الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ
حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ أَقْبَلَ
رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ
11.Al-Darimi
Kitab Muqaddimah
Bab; fi Fadl ‘Ilm wa al-‘Alim
Nomor hadis 346
أَخْبَرَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ
عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ
أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا
الدَّرْدَاءِ إِنِّي أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ
تِجَارَةٌ قَالَ لا قَالَ وَلا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ
طَالِبَ الْعِلْمِ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى
الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ
الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا
وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ
وَافِرٍ
12. Al-Darimi
Kitab Muqaddimah
Bab fi Fadl ‘Ilm wa al-‘Alim
Nomor hadis 349
أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبَانَ
عَنْ يَعْقُوبَ هُوَ الْقُّمِّيُّ عَنْ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا سَلَكَ رَجُلٌ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ الْعِلْمَ
إِلا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَنْ يُبْطِئْ بِهِ
عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
13. Al-Darimi
Kitab Muqaddimah
Bab fi Fadl ‘Ilm wa al-‘Alim
Nomor hadis 359
أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ ثَابِتٍ
أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ هَارُونَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ
يَتَذَاكَرُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا
أَظَلَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي بِهِ الْعِلْمَ سَهَّلَ اللَّهُ
طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ
نَسَبُهُ
2. I’tibar Hadits
Pemasangan seluruh rangkaian jalur
sanad dapat dilihat pada bagan berikut. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan
melihat posisi setiap periwayat terhadap hadis tersebut. I’tibar dimaksudkan
agar terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga
nama-nama periwayat yang diteliti, dan metode periwayatan yang digunakan oleh
masing-masing periwayat. Adapun skema
hadis tersebut adalah:
Dari sanad
al-Tirmidzi yang diteliti, urutan periwayat dan sanad hadis adalah:
No.
|
Nama Periwayat
|
Urutan Periwayat
|
Urutan Sanad
|
1.
|
Abu Hurairah
|
I
|
V
|
2.
|
Abu Shalih
|
II
|
IV
|
3.
|
Al-A’masy
|
III
|
III
|
4.
|
Abu Usamah
|
IV
|
II
|
5.
|
Mahmud ibn Ghailan
|
V
|
I
|
6.
|
Al-Tirmidzi
|
VI
|
Mukharrij al-hadits
|
Penilaian
terhadap para periwayat hadis dimulai dari tingkat pertama, Abu Hurairah, lalu
selanjutnya ke periwayat berikutnya.
C. PENELUSURAN KUALITAS PERIWAYAT
1. Abu
Hurairah
Menurut
Khalifah ibn Khayyath dan Hisyam ibn Kalbi, nama lengkap Abu Hurairah adalah
‘Umair ibn ‘Amir ibn Abdi dzi al-Syara ibn Tharif ibn ‘Atab ibn Abi Sha’ab ibn
Munabbih ibn Sa’ad ibn Tsa’labah ibn Sulaim ibn Fahmun ibn Ghanam ibn Dausi.
Para pengkaji sejarah banyak memperdebatkan nama Abu Hurairah yang panjang ini.
Menurut putranya, Muharrar, nama Abu Hurairah adalah ‘Abdu ‘Umar ibn ‘Abdu
Ghanam. Nama ini juga dibenarkan oleh ‘Umar ibn Ali al-Fallasi.
Sebelum
memeluk Islam, namanya adalah ‘Abd al-Syams, atau ‘Abd Ghanam. Setelah masuk
Islam Nabi memberi nama beliau ‘Abdullah. Adapun julukan “Abu Hurairah”
(bapaknya kucing) melekat padanya disebabkan oleh ia memelihara dan menyukai
anak kucing. Sedangkan nama ibunya adalah Maimunah binti Shabih.
Abu
Hurairah adalah salah satu shahabat Rasul yang paling banyak meriwayatkan
hadits. Ia memiliki banyak guru. Di antara guru-gurunya adalah: Nabi Saw
sendiri, Ubay ibn Ka’ab, Usamah ibn Zaid ibn Haritsah, Bashrah ibn Abi Bashrah
al-Ghifari. Dan Abu Hurairah pun memiliki murid yang jauh lebih banyak.
Diantaranya adalah Ibrahim ibn Ismail, Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn Abi
Thalib, Ma’bad ibn Abdullah ibn Hisyam al-Quraisyi, Nafi’ ibn Abbas dan
lain-lain.
Abu Hurairah
tinggal di Madinah dan beliau wafat pada tahun 58 H. dalam riwayat lain
disebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 59 H. oleh karena Abu Hurairah adalah
salah satu shahabat Nabi, maka kualitas pribadinya tidak perlu dibicarakan
lagi. Hal itu disebabkan oleh berlakunya kaidah Kulluhum ‘Udul bagi
sahabat Rasulullah
2. Abu Shalih
Nama
lengkapnya adalah Dzakwan. Kunyah beliau adalah Abu Shalih, sedangkan Laqab beliau
adalah al-Saman al-Zayad. Beliau adalah bekas budak Juwairiyah binti al-Ahmasy
al-Ghatafani. Beliau tinggal di Madinah dan wafat pada tahun 101 H. beliau meriwayatkan
hadits dari guru-gurunya di antaranya:
Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abu Hurairah, Abu Darda’, Sa’id al-Khudriy, Ibnu
Abbas, Aisyah Ummul Mukminin, Ummu Habibah dll. Hadits beliau diriwatkan oleh
murid-muridnya, diantaranya adalah: ketiga anaknya yaitu Suhail, Shalih dan
Abdullah, Atha’ ibn Abi Rabah, Abdullah ibn Dinar, ‘Ashim ibn Bahdalah Sulaiman
al-A’masy, Sulaiman ibn Mihran dll.
Penilaian
ulama terhadap kualitas pribadi beliau adalah misalnya: Ahmad ibn Hanbal
menilai beliau Tsiqah Tsiqah. Yahya ibn Ma’in menilai beliau Tsiqah.
Abu Zur’ah menilai beliau Tsiqah, Mustaqim al-Hadits. Abu Hatim menilai
beliau Tsiqah, Shalih al-Hadits. Muhammad ibn Sa’ad menilai beliau Tsiqah,
Katsir al-Hadits. Al-‘Ijliy menilai beliau Tsiqah. Sedangkan Ibnu Hibban juga menilai beliau Tsiqah
3. Al-A’masy
Nama
lengkap beliau adalah Sulaiman ibn Mihran al-Asadiy al-Kahiliy. Kunyah beliau
adalah Abu Muhammad, sedangkan Laqab beliau adalah al-A’masy. Beliau berasal
dari Thabaristan dan dilahirkan di Kufah. Beliau dilahirkan pada bulan Asyura’
tahun 61 H, dan ada yang mengatakan 59 H. sedangkan beliau wafat pada bulan
Rabi’ul Awwal tahun 147 H, ada yang mengatakan 148 H pada usia 88 tahun.
Beliau
meriwayatkan hadits dari guru-gurunya. Diantaranya adalah: Ibrahim al-Taimiy, Ibrahim
al-Nakha’i, Dzakwan ibn Abi Shalih al-Saman, Hakm ibn ‘Utaibah, Hakim ibn
Jubair dll. Hadits beliau banyak diriwayatkan oleh murid-murid beliau, di
antaranya adalah: Jarir ibn Abd al-Hamid, Ja’far ibn Aun, Zaidah ibn Qudamah,
Sufyan al-Tsauriy, Sufyan ibn ‘Uyainah dan lainnya. Penilaian ulama terhadap kualitas pribadi
beliau misalnya adalah: Yahya ibn Ma’in menilai beliau tsiqah. Al-Nasa’i
menilai beliau Tsiqah Tsabat. Al-‘Iijliy menilai beliau Tsiqah Tsabat.
Ibnu Hibban menilai beliau Tsiqah. Ibn Ammar juga menilai beliau Tsiqah.
4. Abu Usamah
Nama lengkapnya Hammad ibn Usamah
ibn Zayd al-Qarsyi Abu Usamah al-Kufi.
. Ia bekas budak bani Hasyim, yakni bekas budak Hasan ibn Sa’ad. Dan hasan ibn
Sa’ad bekas budak Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib.
Di antara guru-gurunya adalah Hisyam ibn ‘Urwah, Buraid ibn ‘Abdullah ibn Abi
Burdah, Isma’il ibn Khalid, al-A’masy, Mujalid, Abdullah ibn ‘Umar, dan
lain-lain..
Abu Usamah punya banyak murid. Diantara murid-muridnya adalah Al-Syafi’iy,
Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Ruwahaih,, Ibrahim al-Jauhari, Mahmud ibn Ghailan,
Muhammad ibn ‘Ashim al-Ahbahani.
Ahmad menilai dirinya tsiqat
tsabat, ‘alam al-nas, shahih al-kitab, dlabith al-hadits. Ulama yang lain,
ibn Ma’in, ibn Hibban, dan al-‘Ijli menilai Abu Usamah sebagai orang yang tsiqah.
Ibn Sa’ad menilainya tsiqah, katsir al-hadits. Ibn Qani’ menilainya
shalih al-hadits.
Al-Ijli dan al-Bukhari mengatakan
bahwa Abu Usamah wafat pada bulan syawal tahun 210 H. al-Bukhari menambahkan
bahwa Abu Usamah wafat pada usia 80 tahun.
5. Mahmud ibn
Ghailan
Nama lengkapnya adalah Mahmud ibn
Ghailan al-Aduwwi Abu Ahmad al-Marwaziy al-Hafidz.
Di antara guru-gurunya adalah Waki’, ibn’Uyainah, Abu Usamah, Zahir ibn Sa’ad
al-Saman, Basyar ibn al-Sari, Said ibn Amir, dan lain-lain.
Murid-muridnya diantaranya adalah Abu Dawud, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu
al-Ahwash, abu al-Qasim al-Baghawiy, al-Tirmidzi, dan lain-lain.
Al-Nasa’i dan ibn Hibban menilainya
sebagai orang yang tsiqah. Ia wafat pada bulan Ramadlon tahun 239 H. Abu
Raja Muhammad ibn Hamid al-Marwazi berpendapat bahwa Mahmud ibn Ghailan
melaksanakan haji pada tahun 246 H. kemudian berpindah ke Merv dan wafat pada tanggal 10 bulan
Dzulqa’dah tahun 249 H.
6. Al-Tirmidzi
Nama lengkapnya adalah Abu Isa
muhammad ibn Isa ibn Tsaurah ibn Musa ibn al-Dahhak al-Sulami al-Bughi
al-Tirmidzi. Ahmad Muhammad Syakir menambahkan dengan sebutan al-Dharir, karena
ia mengalami kebutaan di masa tuanya..
Di antara guru-gurunya adalah Ishaq ibn Rahawayh, Muhammad ibn Amru al-Sawaq.
Di antara murid-muridnya adalah Ahmad ibn Yusuf al-Nasafi, Ahmad ibn Abdullah
al-Maruzi, al-Tajiri, Haisim ibn Kulaib al-Syahin. Ulama menilainya tsiqah, ibn Hibban
dan al-Khalil misalnya. Ia wafat di al-Turmudz pada bulan Rajab tanggal 13
tahun 279 H. pada malam senin.
D. HASIL PENELUSURAN SANAD.
Untuk melihat adanya persambungan
sanad dapat dilihat dari segi kualitas periwayat dalam sanad yakni dengan
melihat ketsiqahannya (‘Adil dan Dlabith-nya) Tanpa adanya tadlis
dan sah menurut tahammul wa al-ada’ serta hubungan dengan periwayat yang
terdekat.
Berdasarkan data di atas dapat
dilihat persambungan sanadnya. Antara Nabi dan Abu Hurairah tidak diragukan
lagi persambungannya. Hal tersebut mengingat Abu Hurairah adalah sahabat Nabi
dan dikenal sebagai seorang sahabat Nabi yang sangat intens dalam meriwayatkan
hadits. Pada ilmu hadits berlaku pandangan bahwa semua sahabat Nabi adalah
adil. Maka itu persambungan pada tingkat ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Sighat
tahammul wa al-ada’ antara Nabi dengan Abu Hurairah adalah ‘an.
Selanjutnya sighat tahammul wa
al-ada’ antara Abu Hurairah dan Abu Shalih adalah ‘an juga. Dalam
kitab Tahdzib al-Kamal disebutkan bahwa Abu Hurairah wafat tahun 56 H,
dan ada yang mengatakan 57 atau 58 H. Namun tidak ada data yang menunjukkan kapan
Abu Shalih dilahirkan. Data tentang Abu Shalih hanya memuat tahun wafatnya
yaitu tahun 101 H. Walaupun begitu, dengan melihat angka tersebut masih
memungkinkan bagi keduanya untuk bertemu dan hidup sezaman. Dalam kitab-kitab rijal
seperti telah disebutkan di depan, bahwa Abu Shalih adalah salah satu murid
Abu Hurairah. Para kritikus menilai Abu Shalih baik.
Kemudian, sighat tahammul
wa al-ada’ antara Abu Shalih dan Sulaiman ibn Mihran adalah ‘an. Abu
Shalih wafat pada tahun 101 H, sedangkan Sulaiman ibn Mihran lahir tahun 61 H
dan wafat pada tahun 147 atau 148 H. Seperti telah disebutkan di muka, Sulaiman
ibn Mihran adalah salah satu murid dari Abu Shalih. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa antara Abu Shalih dan Sulaiman ibn Mihran keduanya hidup
sezaman, dan periwayatannya bersambung dan dapat diterima. Para kritikus
menilai Sulaiman ibn Mihran baik.
Selanjutnya, hadis Sulaiman
ibn Mihran diriwayatkan oleh muridnya, yakni Abu Usamah. Shigat yang
digunakan adalah ‘an. Abu Usamah meninggal pada bulan syawal tahun 201 H
pada usia 80 tahun, sementara gurunya, Sulaiman ibn Mihran, meninggal pad tahun
147 atau 148 H. Dari angka ini, dapat diketahui bahwa saat gurunya meninggal,
Abu Usamah berusia 26 atau 27 tahun. Oleh sebab itu, keduanya hidup sezaman,
dan periwayatannya bersambung. Para kritikus menilai Abu Usamah baik.
Kemudian, antara Abu Usamah dan Mahmud ibn Ghailan, sighat
yang digunakan adalah haddatsana. Abu Usamah adalah salah satu guru dari Mahmud
ibn Ghailan. Mahmud ibn Ghailan meninggal pada tahun 239 H., 38 tahun stelah
gurunya, Abu Usamah, meninggal. Dalam kitab-kitab rijal disebutkan behwa
keduanya adalah guru dan murid. Salah satu murid Mahmud ibn Ghailan adalah
al-Tirmidzi. Sighat yang digunakan adalah haddatsana. Ulama
menilainya baik. Maka dapat disimpulkan periwayatannya dapat diterima. Dari keterangan data di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kualitas sanad hadis ini tergolong hasan dan dapat di
terima sebagai hujjah.
E. TELAAH MATAN HADITS
Sebuah matan hadis dapat diuji pertama dengan kualitas
sanadnya. Sebuah matan yang dapat diterima haruslah juga berasal dari sanad
yang dapat diterima. Jika diteliti sanadnya lemah, maka secara otomatis matan
tersebut tertolak untuk dikatakan sebagai redaksi yang dinisbahkan kepada nabi.
Terhadap sanad hadis tentang keutamaan menuntut ilmu, telah dilakukan
penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sanad hadis tersebut bisa
diterima.
Selanjutnya, untuk menguji kesahihan sebuah matan tentu
saja menggunakan kriteria-kriteria yang telah digariskan oleh ulama-ulama
terdahulu. Meneliti matan sesungguhnya jauh lebih sulit dari pada meneliti
sanad. Kriteria kesahihan matan secara umum dapat digariskan sebagai berikut:
- Redaksi matan tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis
shahih lainnya.
- Redaksi matan hadis tersebut tidak bertentangan dengan akal sehat.
- Redaksi matan tersebut tidak bertentangan dengan sejarah atau dalil
yang sudah pasti.
Al-Adlabi menambahkan bahwa
sebuah redaksi hadis yang tidak menyerupai perkataan Nabi harus ditolak. Hadis
yang tidak menyerupai perkataan Nabi, menurut al-Adlabi, terbagi menjadi tiga
bentuk:
1.
Hadis-hadis yang mengandung
keserampangan.
2.
Hadis-hadis yang mengandung makna
rendah.
3.
Hadis-hadis yang lebih menyerupai
ulama khalaf.
Hadis mengenai keutamaan menuntut
ilmu terdapat dalam beberapa bentuk redaksi matan. Bentuk-bentuk redaksi
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Al-Tirmidzi meriwayatkan
tiga bentuk
Bentuk ke-I
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةٌ
Bentuk
ke-II
قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ الْمَدِينَةِ عَلَى
أَبِي الدَّرْدَاءِ وَهُوَ بِدِمَشْقَ فَقَالَ مَا أَقْدَمَكَ يَا أَخِي فَقَالَ
حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَا جِئْتَ لِحَاجَةٍ قَالَ لا قَالَ أَمَا قَدِمْتَ
لِتِجَارَةٍ قَالَ لا قَالَ مَا جِئْتُ إِلا فِي طَلَبِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ
فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ
الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ
فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ
وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا
دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ
Bentuk ke-III
مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ
طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا قَعَدَ قَوْمٌ فِي مَسْجِدٍ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ
عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
2. Bukhari pada muqaddmah bab al-‘il
qabl al-qauli wa al-‘amali menyebutkan redaksi hadis ini.
بَاب الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ
وَالْعَمَلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَرَّثُوا
الْعِلْمَ مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ
بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ …
3. Muslim
meriwayatkan
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ
بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ
عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ
وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ
يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
4.Abu
Dawud meriwayatkan
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي
الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا
الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ
اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ
مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ
الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ
الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا
دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ قَالَ لَقِيتُ
شَبِيبَ بْنَ شَيْبَةَ فَحَدَّثَنِي بِهِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ
أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ
يَعْنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ
5. Ibn Majah
meriwayatkan:
Bentuk ke-I
كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ أَبِي
الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا
الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ
قَالَ لَا قَالَ وَلَا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ
الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ
فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ
عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Bentuk ke-II
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي
عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ
وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمْ
اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ
نَسَبُهُ
6. Al-Darimi
meriwayatkan:
Bentuk
ke-I
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي
الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا
الدَّرْدَاءِ إِنِّي أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَمَا جَاءَ بِكَ
تِجَارَةٌ قَالَ لا قَالَ وَلا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ قَالَ لا قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ
طَالِبَ الْعِلْمِ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى
الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ
الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلا دِرْهَمًا
وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ
وَافِرٍ
Bentuk ke-II
مَا سَلَكَ رَجُلٌ طَرِيقًا يَبْتَغِي
فِيهِ الْعِلْمَ إِلا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَنْ
يُبْطِئْ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Bentuk III
أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ ثَابِتٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ
يَزِيدَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ هَارُونَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتَذَاكَرُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلا أَظَلَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ
بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَبْتَغِي بِهِ الْعِلْمَ سَهَّلَ اللَّهُ طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَمَنْ
أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
1.
Analisis Redaksi Matan
Dari
semua bentuk di atas, dapat dilihat ada beberapa perbedaan. Perbedaan itu
terjadi, pertama, pada beberapa bentuk redaksi matan. Dan kedua, pada
panjang dan pendeknya matan. Dalam ilmu hadis, hal demikian tak menjadi masalah
sepanjang perbedaan redaksi tersebut
tidak menimbulkan makna yang terlalu jauh.
Perbedaan dari bentuk-bentuk diatas
dapat kita lihat pada kata:
- مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا
إِلَى الْجَنَّة
- مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ
- وَمَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ
- مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ
طُرُقِ الْجَنَّةِ
- سَلَكَ
رَجُلٌ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ الْعِلْمَ إِلا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ
طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
- مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي بِهِ الْعِلْمَ سَهَّلَ
اللَّهُ طَرِيقَهُ مِنْ الْجَنَّة
Perbedaan dapat
diihtisarkan sebagai berikut:
- يَلْتَمِسُ
َ dan يَبْتَغِي dan يَطْلُبُ
- طَرِيقَهُ
مِنْ الْجَنَّة
dan طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّة (Pada
kata thariqan dan thariqahu. Pada kata min dan ila)
- لَهُ طَرِيقًا dan بِهِ طَرِيقًا
2. Telaah
Eiditis
A. Pendekatan Linguistik
Yaltamisu adalah fi’il mudlari dari
fi’il madli iltamasa yang bermakna “mencari’ atau “menuntut”. Iltamasa
bermakna thalaba. Yabtaghi adalah fiil mudlari’ dari fi’il
madli ibtaghaa yang bermakna “mencari”. Yathlubu adalah fi’il mudlari dari fi’il madli thalaba
yang bermakna mencari.
Salaka =
melalui/memasuki/menempuh
Thariqan =
jalan, thariqahu = jalannya
Al-Jannah =
surga
Bihi =
padanya/dengannya
Lahu =
baginya/padanya
Maka, perbedaan redaksi diatas tidak
berimplikasi pada perbedaaan makna. Perbedaan bentuk redaksi di atas hanya
memngindikasikan bahwa hadis tersebut diriwayatkan bi al-ma’na. Redaksi
hadis diatas dapat diartikan sebagai berikut:
“Barang siapa menempuh jalan
untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.”
B. Kajian
Tematik Komprehensif
Secara
tematik-komprehensif hadis tersebut di atas senafas dengan hadis-hadis populer
lainnya seperti:
“Carilah
ilmu meskipun harus ke Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim”
“Orang yang paling
berilmu adalah yang mengumpulkan ilmu dari yang lain kepada ilmunya: orang yang
paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya, dan yang paling hina
adalah orang yang paling bodoh”
“Kearifan adalah
harta orang beriman yang hilang, di mana saja ia menemukannya, dia lebih berhak
memilikinya dari yang lain”.
Kalimat من سلك
bermakna barang siapa
yang masuk atau berjalan طرىقا pada suatu jalan dekat atau pun jauh dengan tujuan
untuk menambah ilmu pengetahuan akan mendapatkan balasan tidak ternilai (surga).
Dalam hal ini terdapat interkoneksitas antara طرىقا
dengan علما, bahwa usaha pencarian ilmu harus melalui upaya yang sungguh-sungguh,
walaupun harus menempuh jarak yang jauh dari satu daerah ke daerah yang lain. Fenomena
ini ini telah diperlihatkan dalam sejarah Islam, dimana para murid turun ke jalan pencarian ilmu (syadd
al-rikal) kepada para tokoh-tokoh sentral dan menjadi ciri khas pengetahuan tradisional.
Kemudian kalimat سهل merupakan
penegasan dari hadis tersebut bahwa dalam kegiatan mencari ilmu, secara aksidental
akan memberi manfaat, yang secara normatif di dalam hadis ini, manfaat
terbesarnya adalah balasan di akherat kelak dengan term surga.
Sebagaimana yang sudah
disinggung pada pendahuluan, bahwa hadis ini secara tematik memiliki dua makna,
yaitu makna secara internal dan eksternal. Secara internal, hadis ini menjadi
doktrin bahwa tujuan akhir (final destination) hidup di dunia ini adalah
menjadi penghuni surga di akherat kelak, dengan menuntut ilmu, maka Allah akan
melicinkan jalannya menuju surga. Tentunya di sini yang dimaksud adalah
ilmu-ilmu agama yang bersifat wajib ain bagi setiap muslim. Adapun
secara eksternal, hadis di atas bisa dipahami bahwa untuk mencapai kebahagiaan
(surga) di dunia, maka salah satu prasyaratnya adalah dengan berilmu. Proposisi
eksternal ini secara maknawi bisa dipahami sebagai wisdom secara
universal.
Menurut Shadr Al-Din
Syirazy dalam komentarnya terhadap hadis “mencari ilmu itu wajib bagi setiap
Muslim”, mengatakan bahwa hadis-hadis Nabi tentang keutamaan ilmu itu menyatakan
bahwa pada tingkat ilmu apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya
lebih jauh. Nabi bermaksud bahwa mencari ilmu wajib setiap Muslim; bagi para
ilmuan, juga mereka yang bodoh, bagi pemula, juga bagi para sarjana terpelajar.
Apapun tingkat ilmu yang dicapainya, ia seperti anak kecil yang beranjak
dewasa; artinya ia harus mempelajari hal-hal yang sebelumnya tidak wajib
baginya.
Selain itu, hadis-hadis tersebut menyiratkan bahwa mencari ilmu atau menuntut
ilmu adalah salah satu tanggung jawab seorang Muslim, dan tidak ada lapangan
pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya sendiri; karena
ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan. Alasan mengapa beberapa
ilmu dianggap tercela, adalah akibat dari ketercelaan (kerancuan) pemahaman
orang-orang yang menghasilkannya.
C. Kajian Konfirmatif
Hadis mengenai keutamaan
menuntut ilmu tersebut diperkuat oleh ayat-ayat al-Qur’an dalam maknanya secara
umum, di antaranya adalah:
Katakanlah: adakah
mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengatahui itu sama? (QS.
39: 9)
(Allah) mengajarkan
kepada manusia apa yang belum dia ketahui (QS. 95: 5)
….dan di atas
tiap-tiap orang yang berilmu ada lagi yang Maha Mengetahui (QS. 12: 76)
….dan di antara
kalian ada yang dikembalikan kepada bagian terjelek kehidupan, sehingga setelah
memiliki ilmu dia tidak mengetahui sesuatu pun…(QS. 16: 70.
Ayat-ayat di atas secara
eksplisit mengandung makna bahwa pencarian pengetahuan merupakan suatu
kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai manusia dan sekaligus sebagai
hambaNya yang beriman. Karena Allah sebagai pemilik pengetahuan akan memberikan
karunia yang tidak ternilai kepada orang-orang yang sungguh-sungguh untuk
menuntut ilmu. Selain itu, salah satu prasyarat dalam mencari ilmu, adalah keikhlasan
dan ketulusan hati, karena motivasi mencari ilmu bukan untuk memenuhi hasrat
duniawi semata. Karena saat ini banyak orang yang mencari ilmu untuk
mendapatkan pamor, agar prestisenya semakin meningkat di mata masyarakat.
Biasanya orang seperti ini juga memiliki arogansi intelektual, dan dia tidak
sadar sesungguhnya ilmu yang dia miliki justru membuat ia semakin bodoh. Karena
ilmu yang dia miliki justru membuatnya semakin jauh dari kesadaran
eksistensialnya sebagai hamba Tuhan.
Secara hakiki, semakin
tinggi pengetahuan seseorang, seharusnya semakin meningkatkan kemawasdiriannya
akan hakekat terdalam dari kehidupannya sebagai manusia, sehingga membuahkan
rasa keimanan yang kuat kepada Sang Khalik. Jadi sejatinya proses pencarian
pengetahuan adalah sebuah proses mendaki, di mana dibutuhkan kesungguhan dan
keikhlasan, sebagaimana yang terjadi pada proyeksi keimanan. Semakin banyak
yang diketahui, semakin sadar kita akan betapa bodoh dan lemahnya kita di
hadapan Allah. Ketika kita sudah mampu mengetahui kebenaran tertinggi (the
ultimate truth), maka itulah puncak dari kebahagiaan kita sebagai manusia
dan sebagai hamba Tuhan, karena itulah “surga” yang sesungguhnya, sebagaimana
maksud hadis yang dibahas.
D. Analisis Generalisasi.
Untuk bisa menangkap ideal
moral dari hadis tersebut di atas,
langkah pertamanya adalah membumikan makna hadis tersebut. Ada dua kata kunci
dalam hadis tersebut, yaitu “jalan menuntut ilmu” dan “jalan menuju surga”.
Dalam perspektif duniawi (sekuler), konteks keilmuan di sini sangatlah profan,
dan berlawanan dengan term “surga” yang merupakan wilayah eskatologis dan
metafisik. Kedua konteks tersebut disandingkan dalam makna “jalan” (thariqah),
dan dalam perspektif duniawi, keduanya merupakan sebuah jalan, atau sebuah
proses. Akan tetapi dua jalan (proses) tersebut secara substansial sangat
berlawanan secara diametral. Sedangkan dalam penafsiran secara literal, hadis
tersebut bisa ditarik menjadi wisdom universal, yaitu term “surga” bisa di
derivasikan sebagai makna kebahagiaan (happiness), dan untuk mencapainya
harus dengan proses menuntut ilmu. Makna kebahagiaan di sini bersifat
multi-tafsir (interpretable), dan dalam Islam, surga yang dimaksud
adalah, kebahagiaan di akherat kelak.
Selain itu, dari hadis
ini bisa diambil satu proposisi bahwa, jalan menuju surga tidak hanya melalui
jihad dalam pengertian qital atau melalui perang yang selama ini banyak
dipahami secara tekstual oleh sebagian kaum Muslim. Akan tetapi jihad juga bisa
bermakna upaya yang sungguh-sungguh dalam pencarian ilmu pengetahuan. Di sisi
lain, dalam konteks keilmuan secara universal, bagaimana dengan para ilmuan
diluar Islam apabila dilihat dari konteks hadis ini?. Sebagaimana dijelaskan di
atas bahwa makna surga bisa dimaknai sebagai kebahagiaan (happiness) yang
bisa di dapatkan di dunia maupun di akherat kelak. Sementara itu kalangan non
Muslim, memiliki perspektif berbeda dengan term surga yang dimaksud oleh hadis
ini, yaitu surga dalam perpektif orang Islam. Terkecuali apabila para ilmuan
non Muslim tersebut dapat menerima perspektif surga versi Islam setelah
mendapat hidayah melalui pencarian ilmu yang dia lakukan, seperti yang banyak
terjadi di kalangan intelektual Barat.
Dalam konteks
epistemologis, hadis tersebut mewakili perspektif keilmuan versi Islam, yang
tidak pernah menjadikan persoalan duniawi dan akherati, adalah sesuatu yang
dikotomis, dan derivasi konsepsi tersebut terjadi dalam pandangan Islam
terhadap ilmu pengetahuan. Di mana tidak ada perbedaan antara ilmu agama
dan ilmu duniawi, karena keduanya adalah satu kesatuan. Hal ini secara
eksplisit terlihat pada surah al-Mujadalah ayat 11, di mana posisi orang yang
beriman karena pemahaman agamanya dan bergelut dengan ayat-ayat qauliah
Allah, dan orang-orang berilmu yang pemahaman agamanya nominal, tetapi intens
mendalami ayat-ayat qauliah Allah, mendapat posisi yang sederajat di
hadapan Allah. Jadi makna “jalan” dalam hadis tersebut sangat tepat, karena
dalam Islam, idealnya seseorang yang semakin tinggi pengetahuannya, baik ilmu
agama maupun ilmu non agama, akan membuat ia semakin dekat dengan Tuhan. Karena
jalan menuntut ilmu berbanding lurus dengan jalan keimanan menuju surga.
F. KONTEKSTUALISASI DALAM PEMIKIRAN ISLAM.
Dalam al-Qur’an, banyak
sekali ayat-ayat yang senada dengan bunyi hadis di atas. Misalnya QS.
Al-Mujadalah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang yang berilmu beberapa derajat. Juga di dalam
hadis-hadis shahih yang lain, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh
al-Tirmidzi: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta penghuni langit
dan bumi sampai semut dalam liangnya sekalipun, juga ikan laut bershalawat atas
orang-orang yang mengajari manusia kebaikan”
“Tidaklah sama antara
orang yang mengetahui dan tidak mengetahui”, begitu Allah befirman. Betapa
ilmu sangat diagungkan. Sebab, menuntut ilmu adalah tahapan yang pertama yang
harus ditempuh oleh manusia. Ia ibarat anak tangga pertama. Menuntut ilmu
adalah memasuki sebuah jalan. Di ujung jalan itu ada sesuatu yang tentunya akan
dicapai.
Dalam redaksi hadis di
atas, dapat dilihat, bahwa Nabi menggunakan kata thariqan. Thariq adalah
jalan yang bukan fisik. Ia memiliki kesamaan sifat dengan jalan dalam artian
fisik, yakni sesuatu yang dilewati untuk mencapai sebuah tempat tujuan. Maka
seperti dikatakan di depan, bahwa “melewati jalan” ini adalah mutlak dan
niscaya. Hanya mereka yang menempuh jalan ilmu, yang dapat sampai tujuan dengan
benar dan selamat.
Ibn Manzur mengatakan
bahwa ‘ilmun adalah salah satu dari sifat Allah. Maka, secara indirect
munasabah, Allah bisa dipahami dengan benar hanya melalui ilmu. Menurut penulis disinilah korelasi
yang paling pas. Islam secara
hakiki adalah agama Tauhid, di mana
hanya Allah satu-satunya yang layak disembah. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
manusia perlu “berilmu”. Hadis di atas adalah satu bentuk stimulan. Ada satu
janji yang ditawarkan pada mereka yang berada di jalan ilmu, yakni surga.
Bahkan Rasul pernah bersabda: “Barang siapa keluar (dari rumahnya) untuk mencari ilmu, maka dia dalam jihad di
jalan Allah sehingga ia kembali”.
Kesimpulannya, bahwa
hadis di atas mengusung satu nilai
mendasar dalam Islam, yakni Tauhid. Bagaimana mungkin nilai Tauhid itu bisa
tercerap pada manusia jika tanpa mempelajarinya, yakni mendalami ilmunya. Sungguh
pun demikian, seperti telah disebutkan di depan, bahwa menempuh jalan ilmu
adalah bagaikan anak tangga pertama. Ia tak punya arti apa-apa tanpa diikuti
melangkah ke anak tangga selanjutnya. Setelah orang mengetahui (berilmu), lalu
untuk apa? Maka setelah orang mengetahui, dia harus mengamalkan apa yang dia
ketahui tadi. Ilmu tanpa amal tak ada gunanya.
Islam sebagai peradaban,
sudah menorehkan tinta emas sejarah pencapaian ilmu pengetahuan lewat proses
kreatif-adaptif para intelektual Muslim yang mampu membangun konstruksi
pengetahuan yang lebih berkembang dari masa-masa sebelumnya, dengan metode
empirik-eksperimental, dan pengembangan logika berfikir induktif. Maka wajar
apabila bermunculan secara massif ilmuan dan intelektual Muslim dari berbagai bidang kajian ilmu pengetahuan. Satu hal yang mengherankan adalah, bahwa
para ilmuan tersebut tidak hanya pakar dalam bidang ilmu-ilmu non agama, akan
tetapi juga mereka menguasai bidang agama, dan bersifat multidisipliner (polymath).
Fakta tersebut bisa jadi turut dimotivasi oleh statement hadis di atas,
di mana kuriousitas (khirsun)
yang luar biasa dari para intelektual Muslim di latar belakangi oleh semangat
agama. Hal ini berlawanan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan di Barat (renaissance)
justru di latar belakangi oleh semangat penolakan terhadap agama. Maka wajar
apabila ilmu yang berkembang di Barat, sangat bebas nilai dan sekularistik, dan
sudah menjadi rahasia umum bahwa di Barat banyak intelektual dan ilmuan yang
semakin canggih taraf berfikir dan pengetahuannya, maka ia semakin agnostik
(menolak Tuhan). Hal ini sangat berlawanan secara diametral dengan para ilmuan
Muslim yang notabene adalah para peletak pertama dasar-dasar pengetahuan yang
berkembang di Barat. Dari hadis di atas mari kita tumbuhkan kesadaran historis
kita, untuk merekonstruksi paradigma berfikir kita yang terlanjur hanyut dalam
kejumudan, dengan berupaya mendewesternisasikan ilmu pengetahuan yang terlanjur
sekularistik dengan celupan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah.
G. KHATIMAH
Dari
hasil telaah sanad dan matan hadits paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut termasuk dalam kategori
hadits yang baik untuk dirujuk oleh umat Islam. Selain itu, hadits tersebut
juga telah menjadi sumber inspiratif yang penting untuk mendorong umat Islam
agar senantiasa belajar dan menuntut ilmu. Namun perlu dilakukan proses
kontekstualisasi terhadap hadis tersebut, agar mendapatkan relevansinya dalam
konteks kekinian. Dari proses kontekstualisasi tersebut, diharapkan Umat Islam
tidak memahami konteks mencari ilmu sebagai tugas eskatologis an sich,
tapi juga punya kepentingan teleologis yang bersifat keduniaan, agar cita-cita
membangun peradaban Islam bisa terwujud di masa depan.
(Wallahu A’lam
bish-shawab.)
Bibliografi
Ad-Dzahabi,Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin
Usman, Siyaru A'lami an-Nubala'i, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, t.th.
Al-Asqalani, Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Abu
Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 1325 H
Al-Asqalani,Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Abu
Hajar, Lisan al-Mizan, Beirut Libanon :Dar al-Ilmiyah, t.th
Al-Baghdadi,Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khotib, Tarikh
Baghdad, Beirut:Darul Fikr, t.th.
Al-Bandari,Abdul Ghoffar Sulaiman, Mausu’ah Rijal
Kutub al-Tis’ah, Beirut: Dar al-fikr al-Ilmiyyah, Cet. I, 1993
Al-Bukhari,Abu ‘Abdillah Isma’il bin Ibrahim
al-Ju’fi, al-Tarih al-Kabir, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Al-Busti,Abi Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad
al-Tamimi, Kitab al-Tsiqat, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Dzahabi,Abi
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Usman, Mizan al-'Itidal fi Naqd al-Rijal, Dar
al-Khaya al-Kutub al-Araby, t.th.
Al-Mazi,Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzibul
Kamal fi Asma ar-Rijal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Razi,Ibnu Hatim, al-Jarh wa Ta’dil, Beirut
Libanon: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th.
Al-Adlabi,
Shalahuddin ibn Ahmad, Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qadirun Nur
dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004
,.
Golshani, Mehdi, Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an,
terj. Agus Effendi, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
Syakir, Ahmad Muhammad, al-Jami’ al-Shahih, Hijir Britania: tp.,
1912.
Syuhudi Ismail, Muhammad, Kaedah Keshahihan Sanad
hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.