Senin, 21 Desember 2009

Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi

Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi
A. Muqaddimah
Islam sebagai sebuah peradaban memiliki peran fundamental dalam dialektika peradaban secara universal. Keterlibatan yang intens para ilmuan dan cendekiawan Muslim untuk mengapresiasi dan mengadapsi warisan pengetahuan Greco-Roman, Syria Nestorian dan Akademi Jundishapur di Persia, menjadi fakta yang telanjang mengenai pencapaian ilmiah yang hingga kini terkadang masih diingkari oleh sebagian intelektual Barat. Penghargaan yang maksimal terhadap peranan filsuf Muslim dalam upaya menjembatani terputusnya mata rantai antara filsafat Yunani dan filsafat Barat, tampaknya tidak pernah benar-benar terjadi. Deskripsi mengenai filsafat Islam hanya menempati porsi yang sangat minim pada buku-buku sejarah filsafat yang ditulis oleh ilmuan Barat. Bahkan, Leibniz, seorang filsuf Barat yang cukup berpengaruh, mengatakan bahwa “pemikiran filsafat yang dibangun oleh para filsuf Muslim adalah sesuatu yang sangat menjijikkan”.
Hal tersebut merupakan indikasi dari kesalahpahaman sebagian pemikir Barat, atau pembacaan yang tidak selesai terhadap filsafat Islam karena “selubung prasangka” yang berlebihan terhadap Islam. Ironisnya, fakta tersebut tidak diikuti oleh sikap kritis para pemikir Muslim belakangan, atau malah justru mengadopsi pemikiran Barat tertentu dan mempromosikannya sebagai wahana berfikir yang pantas untuk diimani. Melalui makalah ini akan dipaparkan secara singkat pasang surut filsafat Islam dan benturannya dengan ortodoksi Sunni, Di mana sesungguhnya telah terjadi peresapan nilai-nilai filosofis pada beberapa penafsiran filsuf Muslim mengenai hakekat ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Hal ini menimbulkan respon yang keras dari para ulama dan fukaha, karena dianggap akan mengancam eksistensi pemahaman agama yang berdampak pada pendangkalan keimanan karena kerancuan spekulasi filosofis yang menyesatkan. Sampai-sampai Imam Syafi’I berfatwa untuk menghukum para pengikut ajaran filsafat, dengan mengikatnya di atas keledai dan diarak keliling kota, dan disuruh bertaubat.
B. Perkembangan Awal Filsafat Islam pada Abad Kesembilan
Theologi skolastik Kristen awal yang banyak menyerap doktrin-doktrin filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-2 H/8 M, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis, ilmiah, cemerlang serta kuat, yang menghasilkan karya-karya orisinal dan bernilai tinggi pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-6 H/12 M . Secara intelektual, gerakan falsafah merupakan hasil gerakan penerjemahan yang dilakukan secara massif pada masa Khalifah al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya. Ketika itu al-Makmun mempercayakan orang-orang Kristen Nestorian untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini jasa Hunain bin Ishak dan putranya tidak dapat dilupakan.
Fazlur Rahman, mengatakan bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun sistem filsafat Islam berasal dari Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Tetapi konstruksi aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas mengapresiasi doktrin teologis agama Islam . Upaya para filsuf Muslim untuk menciptakan jalinan yang harmonis antara metafisika religius Islam dan metafisika Yunani dengan pendekatan watak Yunani yang rasional menimbulkan respon keras para ulama dan fukaha. Karena dianggap gagal memenuhi tuntutan ortodoksi, filsafat Islam diberangus secara tragis dan tidak diizinkan untuk berkembang.
Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filsuf Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural . Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjana-sarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Akan tetapi semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847) .
Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam, sementara “filsafat pertama” atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi dan ilahi. Menurut Al-Kindi Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Seperti beberapa teolog dalam tradisi Kristen, Al-Kindi percaya bahwa hakekat ilahi Allah memustahilkan manusia untuk memahamiNya sepenuhnya. Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batasnya. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir .
Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Pandangan-pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme (manichaenisme) daripada monotheisme dan kebijaksanaan ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mu’tazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut . Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, wahyu harus ditinggalkan. Dalam pandangannya dunia diciptakan Allah tidak dari ketiadaan, karena materi yang bersifat abadi sudah eksis sebelum adanya penciptaan .

C. Perkembangan Neo-Platonisme dalam Filsafat Islam.
Kecenderungan-kecenderungan Neo-Platonik yang (telah ada secara) implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan da lam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks . Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar . Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang “esensi” dan “eksistensi”, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal .
Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari oleh para sarjana Barat maupun Muslim. William Chittick menyebutnya sebagai kutub intelektual dunia Islam . Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya). Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi melalui karya terakhirnya seperti Isyarat Wa Tanbihat dan Mantiq Al-Masyriqiyyin (logika Timur) yang satu abad kemudian dirumuskan oleh Suhrawardi (w. 1191) dalam sistem filsafat iluminasi (Isyraqiyyah).

D. Filsafat Islam Versus Ortodoksi Sunni dan Fenomena Al-Ghazali.
Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Tiga rangkaian plotinian tentang Tuhan, jiwa dan materi tempat mereka membangun dunia sesuai dengan rangkaian numerikal yang menjadi sumber bilangan. Meskipun mereka menghargai Pythagoras, “sang bijaksawanan” yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka . Selain itu, sebelum terjadi benturan ada beberapa tokoh yang menyebarluaskan budaya filosofis pada medio abad kesepuluh, seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Miskawayh dan Yahya bin Adi .
Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa “mihnah” (inquisition) pada periode Al-Ma’mun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mu’tazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asy’ari, Al-Baqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asy’ariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga yang terutama sekali menjijikkan dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orang-orang yang membenarkannya harus dinyatakan murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akherat . Tujuhbelas proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bid’ah.
Menurut Amin Abdullah, perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsi-asumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri (self evident) melalui “intuisi” . Sedangkan menurut Mehdi Hairi Yazdi, prestasi Al-Ghazali dalam Tahafut sebagian besar bersifat semantik karena dia tergolong filsuf pertama, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, yang membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu pada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya .
Walaupun demikian, menurut hemat penulis, penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat upaya penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathini) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan Al-Ghazali pada kitab Al-Munqidh min Dhalal:
“Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu-- menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut— saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharapkan kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya” .
Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptis ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran . Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang “terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-Madhnun biha ala gayr ahliha) . Celakanya, buku Tahafut ini dijadikan oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya –tanpa pernah disadari Al-Ghazali—buku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar.
Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asy’arian terhadap filsafat, dan membuat “falasifa” menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang “tidur dogmatik” kaum Muslim.
Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd . Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut. Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad (dark ages). Sebagaimana diketahui bahwa gerakan Averroisme telah menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di Barat. Sementara itu dalam lingkungan Syiah, filsafat Islam telah mengkristal menjadi paham iluminasi (isyraqiyyah) yang kompleks, dimana doktrin filsafat Suhrawardian dikawinkan dengan doktrin mistik Ibnu Arabi, dan melahirkan sistem filosofis yang sangat pelik. Sistem filsafat ini kemudian populer dengan istilah irfan (gnosis) atau ilmu hudhuri (knowledge by presence), dan utamanya bermuara pada pemikiran filsafat Shadr Al-Din al-Syirazi (Mulla Shadra).

E. Analisis
Hidup dimasa peralihan dari abad ke-11 menuju abad ke-12, al-Ghazali menyaksikan kekacauan politik dan agama yang mendera umat Islam. Gerakan Fatimiyyah yang didukung Bani Buwaihi, memberontak untuk melawan khalifah Abbasiyah Sunni yang bermarkas di Baghdad. Secara eksternal, umat Islam berhadapan dengan pasukan Salib Perancis, yang pada tahun 1098 M. berhasil merebut Palestina. Pada saat yang sama, perdebatan teologis juga merembet pada konflik politik. Kaum Muktazilah dan kaum Syi’ah mendukung Bani Buwaihi, sedangkan kaum Asy’ariah dan kaum sufi-moderat mendukung Bani Saljuq (Sunni) yang berusaha menghadapi gerakan Batini (Syiah Ismailiyah). Imam Al-ghazali berada pada zaman yang serba dilematis, baginya, menyelamatkan akidah umat Islam (Sunni) dari kebingungan dan kerancuan filsafat adalah yang paling primer, sehingga wajar apabila ia menjadi satu-satunya tokoh pembela ortodoksi yang bersemangat ketika itu. Al-Ghazali berusaha menekankan bahwa umat Islam tidak boleh menggantikan metafisika Qur’an dan Sunnah dengan metafisika Yunani. Wahyu monotheis tidak boleh ditukar dengan mitos politheis.
Hukum kausalitas, sebagai salah satu teori pengetahuan, pada waktu itu benar-benar menantang prinsip kenabian, khususnya mukjizat. Al-Ghazali harus menghadapi filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang meyakini kausalitas sebagai basis epistemologi mereka . Konsep prima kausa Aristoteles menyimpulkan bahwa hubungan antara sebab dan akibat bersifat niscaya, sehingga fakta-fakta teologis seperti mukjizat mustahil terjadi. Kritik Al-Ghazali pada kausalitas bertujuan untuk menegakkan mukjizat dan menegaskan superioritas Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Disinilah letak sumbu permasalahan, di mana Al-Ghazali kemudia dihakimi oleh para modernis sebagai biang keladi kemunduran Islam.
Melalui Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd, melihat bahaya yang akan ditimbulkan oleh serangan Al-Ghazali, berupaya meyakinkan semua pihak bahwa hukum kausalitas merupakan suatu yang niscaya dan bukan suatu yang mungkin. Ibn Rusyd mengingatkan bahwa menolak kausalitas sama saja dengan menolak kemampuan intelektual dan mengembangkan sains. Peringatan ini telah terbukti, umat Islam yang terpengaruh pemikiran al-Ghazali terjatuh ke dalam keterbelakangan saintifik dan teknologis. Gerakan modernisme yang melihat kenyataan ini mengkritik habis-habisan teori kausalitas Al-Ghazali dan memasarkan pandangan Ibn Rusyd secara lebih kuat, contohnya Al-Jabiri dengan proyek kritik nalar Arabnya.

F. Khatimah
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam telah berperan secara signifikan di dalam konstelasi pemikiran filsafat secara global. Selain itu para filsuf Muslim telah berhasil menjadi komentator-komentator yang handal pada pemikiran Yunani dan berupaya menemukan titik temu antara filsafat dan doktrin agama Islam, walaupun tetap dengan memakai baju “Neo-Platonik”. Akan tetapi ketulusan ilmiah para filsuf kemudian disalahpahami oleh Al-Ghazali, dan membuat serangan yang mematikan melalui buku Tahafut. Akibatnya ummat Islam tetap tertidur pulas pada mimpi dogmatik selama berabad-abad. Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah kaum Muslim sudah terjaga dari tidurnya atau tidak, karena kita masih mendapati kelompok-kelompok Muslim yang menganggap filsafat sebagai sosok hantu yang sangat menakutkan. Wallahu A’lamu Bishawwab.





Kepustakaan

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut Al-Falasifah, terj. Akhmad Maimun, Islamika, Jogjakarta, 2003.
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam (Antara Al-Ghazali dan Kant), terj. Hamzah, Mizan, Bandung, 2002.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
M. Higgins, Kathleen dan C. Solomon, Robert, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu, Bentang, Jogjakarta, 2002.
Rahman,Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh Versus Hermeneutika, Pesantren Nawasea Press, Yogyakarta, 2006.
Yazdi, Mehdi Hairi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Ahsin Muhammad, Mizan, Bandung, 2003.

Selasa, 17 November 2009

Kritik Sanad (sebuah tinjauan singkat)

A. Muqaddimah
Hadis sebagai pedoman par exelence kedua setelah al-Qur’an menjadi bagian yang sangat penting di dalam proyeksi pemahaman keagamaan seorang Muslim. Hadis yang merupakan pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi s.a.w. menjadi rujukan aplikatif-pragmatis seorang Muslim sekaligus menjadi solusi alternatif pemecahan problematika aksiologis dalam kehidupan sehari-hari. Selain al-Qur’an, hadis menjadi stimulus internal untuk mengejawantahkan proyeksi kehidupan Nabi dalam kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya. Integralitas konsepsi Islam dalam kehidupan sehari-hari dapat terbaca dengan jelas melalui ungkapan-ungkapan sadar seorang Muslim terhadap anjuran hadis untuk memulai segala sesuatunya dangan ucapan basmalah. Dari sini kita dapat mengambil sebuah proposisi bahwa hadis selain berperan secara inheren dalam pemahaman Islam, hadis juga turut ambil bagian dalam mentransendensikan kehidupan seorang Muslim.
Tak dapat dipungkiri bahwa hadis bergerak secara efektif dalam proses sejarah, khususnya sejarah Islam. Karena itu terminologi sanad juga terbentuk melalui arketipe-arketipe pemahaman sejarah. Mata rantai periwayatan hadis yang berlangsung dalam sejarah Islam terjadi secara simultan pada tiap-tiap tahapan (thabaqah). Sejak dari periode Nabi ke sahabat, dari thabi’in ke thabiit thabi’in, hingga masa pengkodifikasian (tadwin) oleh para Mukhorrij. Oleh karena itu kritik sanad menjadi sangat penting untuk menjadi upaya preventif dalam menanggulangi distorsi historis dalam periwayatan hadis. Timbulnya kritik sanad bermula dari peristiwa fitnah kubro yang menyisakan beban dan trauma historis yang mendalam bagi ummat Islam hingga kini. Karena peristiwa tersebut menimbulkan dampak dipelbagai bidang pemahaman, baik secara sosiologis, psikologis, politik dan filosofis. Peristiwa ini juga membuat sakralitas sejarah Islam tereduksi menjadi paham sejarah yang lebih membumi[1].
B. Kritik Sanad dan Metode Sejarah
Al-Tsawri (w. 163/779 M) diriwayatkan pernah mengatakan bahwa, “jika perawi berbohong, maka kita mengujinya dengan menerapkan metode sejarah (Lamma ista mala al-ruwat al kidzb, ista’malna lahum al-tarikh)[2]. Dari statement tersebut Al-Tsawri tersebut, maka sangat dimungkinkannya kritik sanad dengan metode sejarah untuk membuktikan adanya hubungan antara para rawi satu dengan yang lain. Sejarah sebagai salah satu disiplin ilmu sosial dengan sifat keterbukaannya dari berbagai macam pendekatan, karenanya Syuhudi Ismail berpendapat bahwa hadis dalam kapasitasnya sebagai fakta sejarah, mestinya juga memiliki sifat keterbukaan, sedikitnya berkenaan dengan penetapan kualitas yang tampaknya telah dianggap mapan, khususnya tentang kaidah yang digunakannya[3].
Bagaimanapun juga hadis merupakan dokumen sejarah, atau biasa disebut sebagai artifak yang mengandung kebenaran masa lalu yang perlu diverifikasi otentisitasnya. Dalam metode sejarah, pada dokumen yang ada ditetapkan dua hal: pertama, apakah dokumen-dokumen itu otentik, atau bagian-bagian mana yang otentik atau hanya beberapa bagian dari padanya yang otentik?. Kedua, seberapa banyak dari pada bagian-bagian yang otentik itu yang bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya[4]. Secara defenitif metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau[5]. Dengan demikian sasaran penelitian yang berorientasi sejarah sama dengan sasaran penelitian hadis, yakni sama-sama berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang otentik dan dapat dipercaya[6].
Dalam metode sejarah, sebelum data digunakan, terlebih dahulu sumbernya harus diteliti. Penelitian terhadap sumber data ada dua macam: (1) kritik eksternal; dan (2) krtitik internal. Tujuan kritik ekstern adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misalnya: apakah dokumen itu otentik atau palsu; siapa pembuatnya; apa atau siapa yang menjadi sumber itu. Untuk kritik intern, tujuannya adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: apakah isi sumber itu dapat dipercaya atau tidak; apakah kandungannya dapat diterima sebagai sesuatu yang historis, benar atau tidak, bagaimana bahasa tulisan itu ketika ditulis; dan apa tujuan tulisan itu. Dengan memperbandingkan kedua macam kritik sejarah tersebut, maka kritik sanad merupakan kritik eksternal atau biasa juga disebut dengan istilah al-Naqd al-Kharijiy, atau al-Naqd al-Zhairiy[7].


C. Urgensi Kritik Sanad
Sejak peristiwa Fitnah Kubro, dimana khalifah Utsman Bin Affan menjadi korban dalam pemberontakan para petani (ahlul Qura’) yang berasal dari wilayah bulan sabit yang subur (fertile crescent). Maka terjadi proliferasi aliran politik dan sekte dalam tubuh ummat Islam. Dengan demikian bermunculan hadis-hadis amatiran untuk melegitimasi masing-masing kelompok tersebut. Sehingga proses transmisi hadis (sanad) secara eksternal itupun mulai berlaku untuk memverifikasi otentisitas hadis-hadis yang dikeluarkan oleh para perawi. Karenanya tepat sekali ucapan Abdullah bin Al-Mubarak (w.181 H.): “sistem sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam, bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu sisi keistimewaan umat Islam, dimana sistem itu tidak dimiliki umat-umat lain[8]. Karenanya seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi s.a.w. sudah mengalami nasib tragis seperti ajaran Nabi sebelumnya yang mengalami banyak distorsi. Maka disinilah letak nilai utama dan urgensi sanad dalam Islam.
Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadis yang membentuk sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung kepada Nabi s.a.w. atau tidak. Dapat diketahui pula apakah masing-masing rawi itu legitimate atau tidak. Sehingga dapat diketahui nilai dan kualitas hadis yang diriwayatkan itu dapat dinilai sebagai hadis sahih (otentik), hasan (baik), atau dhaif (lemah) bahkan maudhu’(palsu)[9].
Kritik sanad semakin menempati posisi penting karena dalam sejarah: (a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadis tertulis; (b) sesudah zaman Nabi telah berkembang pemalsuan hadis; dan (c) penghimpunan (tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis[10]. Dengan demikian ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis untuk melakukan kritik sanad, yaitu:
(1) Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan ummat Islam, akan tetapi dalam sejarah ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat Islam yang menolak otoritas hadis. Mereka dikenal dengan sebutan Inkar al-Sunnah. Sejak periode al-Syafi’iy (w. 204 H/820 M), paham ini telah timbul, sehingga Imam Syafi’iy menulis bantahan terhadap argumen-argumen mereka dan membuktikan keabsahan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Tindakan preventif al-Syafi’iy ini membuat ia digelari sebagai “pembela hadis” (nashir al-hadis)[11]. Karenanya kritik terhadap sanad hadis adalah upaya mengangkat derajat hadis sebagai sumber kebenaran ajaran Islam secara proporsional dari keterpurukan pemahaman kelompok inkar al-sunnah terhadap hadis.
(2) Tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi.
Periwayatan hadis pada era Nabi hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir, dan periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad. Karena itu: (a) tersampaikannya hadis tidak selalu dihadapan sahabat Nabi yang pandai menulis; (b) fokus perhatian Nabi sendiri, sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya, lagipula perhatian para sahabat lebih tertuju pada pemeliharaan al-Qur’an; (c) para sahabat yang menjadi sekretaris Nabi hanya menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi dan (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain dengan peralatan yang serba sederhana, sehingga periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis[12].
(3) Munculnya Pemalsuan Hadis.
Berdasarkan bukti yang ada, pemalsuan hadis baru berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, walaupun tidak mustahil terjadi sebelum itu, karena sejatinya pertentangan politik antara sesama umat Islam sudah terjadi ketika nabi baru saja wafat. Melalui data dan sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang non-Muslim yang bertujuan merusak Islam dari dalam. Adapun orang Islam membuat hadis palsu untuk membela kepentingan politik, teologi, mazhab fiqih, memikat hati orang lain, menjadikan orang lain lebih zahid, untuk mengamalkan suatu ibadah tertentu, untuk menjilat penguasa, untuk mendapat harta, dan kepentingan ashabiyah suku tertentu[13].
(4) Proses Penghimpunan (tadwin) Hadis.
Sesudah era Umar bin Khattab, tidak ada khalifah yang memberi kebijakan untuk menghimpun hadis Nabi, terkecuali khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz’ (w.101 H/720 M). Namun demikian tidaklah berarti bahwa masa sebelum Umar bin Abdul Aziz tidak ada pencatatan hadis, akan tetapi pencatatan itu masih bersifat pribadi-pribadi. Lagi pula baik kalangan sahabat dan al-thabi’in tetap berteguh diri pada penghafalan, bahkan sebagian dari mereka mencela penulisan hadis[14].
Keempat faktor di atas inilah yang mendorong ulama untuk mengadakan peneleitian sanad hadis. Hal ini dilakukan oleh para ulama hadis karena sanad adalah bagian yang menentukan dari pengetahuan hadis, dan dalam praktiknya sanad hadis selalu menjadi perhatian khusus para ulama.
D. Parameter Kesahihan Sanad Hadis
Dalam disertasinya, H.M. Syuhudi Ismail membagi tolak ukur kesahihan sanad hadis dalam dua terminologi, yaitu kaedah mayor, dan kaedah minor:
1. Kaedah Mayor.
Pendapat ulama hadis mengenai kaedah kesahihan sanad hadis belum ada yang eksplisit (sharih) sampai abad III H. Pada umumnya para ulama mutaqaddimun ini berpendapat bahwa kesahihan sanad hadis ialah: (a) tidak boleh menerima hadis terkecuali dari orang yang siqat; (b) orang yang meriwayatkan hadis tersebut seorang ahli ibadah, dan memiliki ahlaq yang mulia; (c) harus memiliki pengetahuan tentang hadis; (d) bukan seorang pendusta, pendosa yang pernah ditolak kesaksiannya[15]. Dalam perkembangannya standarisasi kesahihan hadis juga ditetapkan oleh Imam Syafi’I, Bukhari, Muslim, dan Imam Nawawi. Di samping itu secara eksternal ada yang berpendapat bahwa sanad yang paling sahih adalah rantai sanad yang menyertakan Al-Zuhri dari Salim dari ayahnya. Ada pula yang menyertakan mata rantai dari Ibnu Sirin dari Abidah dari Ali. Pada pendapat lain menyebutkan mata rantai al-Amasy dari Ibrahim dari Al-Qamah dari Ibnu Mas’ud. Ada pula yang meyakini mata rantai sanad Al-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari ayahnya Ali. Ada juga rantai sanad Malik bin Umar. Dalam kaitan ini pula ada yang mengatakan bahwa sanad yang paling sahih adalah rantai sanad yang di dalamnya menyertakan al-Syafi’I dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar[16]. Pada intinya, kaedah mayor ini dapat disimpulkan menjadi: Sanad yang bersambung (muttashil), periwayat bersifat adil, dhabith, dalam hadits tidak ada kejanggalan (syudzudz) dan tidak terdapat cacat (illat)[17].
2. Kaedah Minor.
A. Unsur kaedah mayor yang pertama, sanad bersambung mengandung kaedah minor: Muttashil, Marfu, Mahfuz, dan bukan Muallal.
B. Unsur kaedah mayor periwayat bersifat Adil mengandung kaedah minor: Islam, Mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara Muru’ah.
C. Unsur kaedah mayor, periwayat bersifat dhabith, mengandung kaedah minor: hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihapalnya kepada orang lain,terhindar dari Syudzuz dan terhindar dari Illat[18].
D. Berbagai Varian Penilaian Terhadap Rawi.
Jumhur ulama-ulama hadis dan fiqih bersepakat bahwa seorang rawi yang periwayatannya acceptable adalah rawi yang adil dalam artian integritas pribadi diukur dari ajaran Islam, dan bersifat dhabith, atau memiliki kualitas intelektual yang mumpuni. Menurut Imam Al-Nawawi, kredibilitas seorang rawi bisa dipastikan dengan adanya pengakuan terhadap kekredibilitasannya dari dua orang yang adil atau juga bisa melalui istifadlah (melihat reputasi kekredibilitasannya)[19]. Sebagian besar ulama hadis bersepakat bahwa seluruh sahabat Nabi, tanpa terkecuali dijustifikasi bersifat adil, akan tetapi argumen ini ternyata sangat debatable karena setelah diteliti, ternyata argumen ini menyalahi fakta historis, dan generalisasi tentang sifat adil para sahabat ini ditumbangkan oleh fakta bahwa ada juga satu dua orang sahabat yang tidak bersifat adil[20].
Penilaian terhadap kualitas perawi pun berbeda-beda, dikarenakan oleh:
(1) Sikap ulama hadis yang tidak sama, ada yang bersifat ketat (mutasyaddid), longgar (mutasahil), dan pertengahan antara sifat ketat dan longgar (mutawassith).
(2) Tingkat pengenalan dan pengetahuan ulama hadis terhadap biografi periwayat, tidak selalu sama.
(3) Pembagian peringkat kualitas periwayat yang dianut oleh masing-masing ulama, tidak selalu sama.
Sekiranya apa yang termaktub dalam pembahasan di atas adalah titik kelemahan dalam periwayatan hadis, akan tetapi kelemahan itu tidak mengusik substansi akurasi unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadis. Kelemahan itu hanya berkaitan dengan cara penerapan kaedah sanad hadis. Ini membuktikan bahwa semakin kritis periwayat dinilai oleh peneliti, maka akan semakin tampak derajat akurasi unsur-unsur kesahihan sanad yang berkenaan dengan kualitas periwayat[21].
D. Khatimah
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sanad secara tidak langsung telah menjadi penyangga otoritas hadis sebagai sumber par exelence kedua setelah al-Qur’an. Yang menjadi masalah adalah upaya kontekstualisasi terhadap teks hadis. Apabila kita merujuk pada metode sejarah yang memproses fakta, data, artifak, dan dokumen sejarah melalui tahapan heuristik (pengumpulan),verifikasi, interpretasi dan historiografi (penulisan ulang). Maka hadis setelah dikumpulkan (tadwin) dan diverifikasi (kritik matan dan sanad), juga harus melalui proses interpretasi untuk kemudian dilakukan penulisan ulang (historiografi) agar memberikan wawasan yang segar terhadap pemahaman masyarakat muslim mengenai hadis. Secara esensial tidak ada dikotomi antara penafsiran al-Qur’an dan interpretasi (syarah) terhadap hadis seperti yang dianut oleh faham inkar al-Sunnah. Karena Nabi s.a.w. sebagai penyambung lidah Tuhan (hermeneut), bisa dikatakan memiliki kualitas transendental, dimana dikatakan oleh al-Qur’an “min huwa illa wahyu yuuha”, sehingga bisa ditarik sebuah proposisi bahwa’idea’ dari hadis itu juga tetap berasal dari Tuhan.
Dalam konteks kekinian, penulis melihat bahwa pemahaman terhadap hadis mengalami dekadensi yang luar biasa. Fenomena radikalisme dan fundamentalisme yang saat ini menjamur dikalangan Muslim menjadi fakta yang telanjang mengenai misinterpretasi terhadap teks hadis. Hal ini terjadi karena paradigma tekstual-formal yang ditanamkan oleh sebagian asatidz yang berfaham wahabi dan mengklaim sebagai penganut manhaj salafusshalih, sehingga tertutup lah peluang kontekstualisasi terhadap hadis, yang terjadi justru adalah monopoli kebenaran. Tidak jarang pemahaman yang rigid terhadap teks hadis ini malah menimbulkan friksi diantara sesama Muslim, karena berpegang pada statement hadis yang berbunyi “kullu min bidh’atin dalaalah”, karenanya tuduhan sebagai ahlul bidh’ah bagi orang lain dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Wallahu Ta’ala A’lam

Daftar Pustaka
Al-Nawawi, Imam, Dasar-dasar Ilmu hadis, Terj. Syarif Made Hasyah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.
Jurnal Al-Hikmah No. 14. Vol. VI, 1995.
Ismail, H.M. Syuhudi, Prof ,Dr, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 2001
Ilyas, Yunahar, Lc, et.al, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, LPPI, Yogyakarta, 1996
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosutanto, UI Press, Jakarta, 1998.
Yaqub,Ali Mustafa, Prof, Dr, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.


[1] Para sarjana Muslim pada umumnya berpandangan bahwa kepedulian terhadap isnad berawal sesudah terbunuhnya khalifah ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan. Ada perselisihan pendapat dikalangan orientalis mengenai permulaan isnad pada tahun 126 H. Robson menempatkannya pada tahun-tahun pertengahan abad pertama hijrah, horovitz pada sepertiga terakhir abad pertama hijrah; Sezgin menempatkannya pada masa al-Zuhri (w.125 H); Goldziher mengatakan bahwa isnad muncul sesudah wafatnya Nabi. Kesimpulan-kesimpulan mereka tampaknya didasarkan pada laporan-laporan awa’il atau pada perkataan Ibnu Sirin. Studi- studi paling akhir mengenai masalah tersebut adalah seperti yang dilakukan Juynboll dan Van Ess. Van Ess—dengan berpijak pada laporan tertentu—berpandangan bahwa isnad dimulai setelah terbunuhnya Utsman. (Jurnal Al-Hikmah No. 14, Vol. VI/Thn 1995..hlm. 20)

[2] Jurnal Al-hikmah No. 14. Vol. VI/Thn. 1995. hlm. 20

[3] HM. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 14
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosutanto, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 18.

[5] Ibid, hlm. 32.

[6] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, hlm. 15.

[7] Ibid, hlm. 16.
[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 4.

[9] Ibid, hlm. 98.
[10] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan…, hlm. 85.

[11] Ibid, hlm. 86.
[12] Ibid, hlm.102.

[13] Ibid, hlm. 107-108
[14] Ibid, hlm. 111.

[15] Ibid, hlm. 120.
[16] Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, terj. Syarif Made Hasyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 3-4.

[17] Yunahar Ilyas Lc. et.al, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI, 1996), hlm. 7.

[18] Ibid, hlm. 8.
[19] Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis, hlm. 39.

[20] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan…., hlm. 226.

[21] Ibid, hlm.227.

Rabu, 11 November 2009

Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial

A. Pendahuluan
“Sekolah adalah siksaan tak tertahankan”. Penggalan syair Rabindhranat Tagore ini mengingatkan kita pada proyeksi pendidikan di Indonesia saat ini yang berada pada titik nadir. Di tengah kesulitan para pemikir dan praktisi pendidikan untuk keluar dari jebakan labirin kesemrawutan pendidikan di Indonesia, pendidikan kini menjadi sangat mahal. Praktis dunia pendidikan di Indonesia saat ini ibarat menara gading, di mana para penikmat pendidikan hanyalah sekelompok orang berpunya (muthrafin) yang terus menerus menjadi kekuatan hegemonik penindas terhadap orang-orang lemah (mustadh’afin).
Fenomena sosial ini timbul akibat efek domino yang disebabkan krisis multidimensional yang mendera Indonesia, sehingga menimbulkan depresi ekonomi yang membuat lembaga pendidikan menjadi badan otonom sekaligus menjadi lahan bisnis baru para pemilik modal. Depresi ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini mirip dengan depresi ekonomi yang menimpa Amerika pada tahun 1930-an. Ketika itu digambarkan bahwa di Amerika terjadi sebuah kelaparan di tengah kemakmuran. Persoalan bangsa Amerika lebih terpusat pada pendistribusian kekayaan dan bahan makanan dari pada pemroduksiannya, sebagian sektor bisnis lumpuh dan para politisi dan ekonom nampak tidak sanggup menghadapi bencana ekonomi tersebut[1].
Dari fenomena tersebut, George S. Counts dan Theodore Brameld menggagas orientasi baru pendidikan di Amerika, di mana para pendidik diajak untuk membuang mentalitas budak, agar secara hati-hati menggapai kekuatan dan kemudian berjuang membentuk sebuah tatanan sosial baru yang didasarkan pada sistem ekonomi kolektif dan prinsip-prinsip demokratis. Selain itu kalangan profesional pendidikan dianjurkan untuk mengorganisir diri dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) dan menggunakan kekuatan terorganisir mereka untuk kepentingan-kepentingan masyarakat luas[2]. Oleh karena itu pendidikan diarahkan sebagai sumber dan implementasi tujuan sosial baru untuk rekonstruksi sosial yang penekanannya pada tujuan sekaligus metode[3].
Pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial yang ditawarkan aliran rekonstruksianisme merupakan seperangkat gagasan yang bisa jadi merupakan tawaran pemikiran alternatif yang bisa diadapsi oleh pemikir pendidikan di Indonesia dalam upaya membebaskan pendidikan dari jebakan “carut-marut” dunia pendidikan yang terjadi saat ini. Pendidikan seharusnya diselenggarakan untuk membebaskan manusia dari “kerangkeng” kebodohan, akan tetapi sebagaimana terjadi pada saat ini, pendidikan tidak hadir dalam upaya rekonstruksi sosial pada masyarakat secara semesta. Karenanya kita masih mendapati banyaknya anak-anak yang putus sekolah, anak-anak yang gantung diri karena tidak mampu membayar SPP, dan banyaknya mahasiswa yang terancam drop out karena menunggak pembayaran SPP.
B. Latar Belakang Historis Aliran Rekonstruksianisme
Sebagaimana aliran filsafat pendidikan yang lain, rekonstruksianisme mendasarkan gagasan rekonstruksinya pada para filsuf terdahulu yang dianggap sebagai “filsuf rekonstruksianis”. Diantaranya adalah Plato yang telah merancang desain negara masa depan (The Republik), dan secara tandas menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar utama dari pembangunan masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya terjadi ekualitas seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan diperintah oleh pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis. Selain Plato, filsuf Stoic seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf dari kerajaan Romawi, yang mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat nasionalisme dan chauvinisme. Sementara itu, filsuf era Skolastik seperti St. Augustine juga menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen ideal, sebagaimana tertuang dalam karyanya The City of God[4].
Pada era revolusi industri banyak bermunculan tulisan-tulisan yang bernada sosialistik dari para pemikir seperti Comte de Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen, Francois Noel Babeuf, dan Edward Bellamy. Para pemikir ini melihat bahaya dari akibat revolusi industri yang cenderung menjadikan teknologi semata-mata akan memperkaya segelintir pemilik modal dan bukan demi kemaslahatan kemanusiaan sedunia. Upaya rekonstruksi sosial secara sistematik juga digagas oleh Karl Marx, di mana ia melihat penderitaan kaum proletar yang didehumanisasi oleh sistem industri kapitalis, dan berupaya merekonstruksi masyarakat dunia, dengan berdasarkan jaringan komunisme internasional[5].
Kesemua pemikir tersebut merekomendasikan pendidikan sebagai instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial, contohnya Plato yang menegaskan bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari masyarakat terbaik; Marx melihat pendidikan sebagai jalan untuk membantu kaum proletar dalam mengembangkan pandangan mengenai “kesadaran sosial”.
Di Amerika Serikat ada pula beberapa pemikir yang melihat pendidikan sebagai alat perubahan sosial, diantaranya: Horace Mann, Henry Barnard, William Torrey Harris, Francis Parker dan John Dewey. Dewey melihat pendidikan sebagai instrumen perubahan individu dan masyarakat[6]. Dari filsafat pragmatisme Dewey inilah landasan filosofi rekonstruksianisme dibangun. Akan tetapi aliran rekonstruksianisme tidak sekedar mempromosikan metode saintifik, problem solving, naturalisme dan humanisme sebagaimana kaum pragmatis. Rekonstruksianis berbeda dari kaum pragmatis tentang bagaimana penerapan metode pragmatis dalam dunia pendidikan. Berbeda pula dengan pendekatan yang dilakukan aliran progresifisme, rekonstruksianisme tidak sekedar ingin “memperbaiki” masyarakat, tetapi juga ingin melakukan perubahan sosial di masyarakat. Sementara itu aliran rekonstruksianisme dalam satu prinsip sependapat dengan perennialisme, bahwa ada satu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern saat ini yang sedang berada di tubir kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran[7].
Walaupun demikian, aliran rekonstruksianisme mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Aliran perennialisme memilih untuk kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture sebagai solusi yang paling ideal. Sedangkan aliran rekonstruksianisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina satu konsensus yang paling luas mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan umat manusia[8].
Secara fundamental, pemikiran rekonstruksianisme muncul karena terjadi kesenjangan antara teori dan praktik dalam pendidikan dan kekecewaan terhadap teori-teori umum (general theory) yang tidak dapat bersikap “kritis”. Sehingga diperlukan teori yang membumi (grounded theory) yang mampu mengapresiasi aspek sosial, budaya, dan politik secara maksimal. Serangan terhadap teori umum dimulai oleh C. Wright Mills dan mengalami puncaknya pada Habermas yang merupakan wakil terkemuka pada kecenderungan perlawanan terhadap teori-teori besar.
Rekonstruksianisme adalah filsafat sosial yang menuntut diperlukan suatu teori kritis yang substantif mengenai masyarakat yang dikembangkan ke taraf metateoritis dalam kaitannya dengan upaya refleksi diri terhadap teori dan metode. Hal ini dimotivasi oleh kepedulian yang mendalam terhadap nasib umat manusia di mana individu-individu sebagai insan sosial dikontekstualisasikan dalam totalitas sosial yang berupa kultur material dan spiritual. Aliran ini juga bertujuan melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo. Asumsi utama yang dikedepankan adalah upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis yang merupakan suatu bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial.
Rekonstruksianisme mendasarkan pada dua premis mayor: (1) masyarakat membutuhkan rekonstruksi yang konstan atau perubahan, dan (2) perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pendidikan dan menggunakan pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat[9]. Cakrawala utopian ini tetap menjadi perhatian utama dan ciri permanen yang menjadi landasan aliran rekonstruksianisme secara menyeluruh. Pada intinya rekonstruksianisme bertujuan untuk mengkongkretisasi kehidupan, di mana dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat, anak, sekolah dan pendidikan dalam koodinasi sosial budaya dan cara serta arah pendidikan harus sesuai tuntutan masyarakat.
Sekalipun rekonstruksianisme lebih banyak dipengaruhi oleh pragmatisme John Dewey, tampaknya teori kritis yang dikembangkan mazhab Frankfurt ikut serta mewarnai variasi perspektif Marxian yang mendasari ide rekonstruksi dan perubahan sosial aliran rekonstruksianisme. Pada awal tahun 1900-an hingga 1930-an teori Marxian terus berkembang, diantaranya pendirian Institut Riset Sosial di Frankfurt, Jerman, oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923. Institut ini dibesarkan oleh pemikir utama seperti Marx Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Berkuasanya rezim Nazi di Jerman membuat Institut ini berpindah ke Universitas Columbia di Amerika, dan seusai perang, tahun 1949 Horkheimer mengembalikan Institut ini ke Jerman[10].
Sebagaimana halnya rekonstruksianisme, aliran teori kritis juga merupakan filsafat sosial yang menurut Horkheimer bertujuan untuk menggariskan tugas-tugas “filsafat sosial”. Hal ini menunjukkan adanya minat yang sama terhadap suatu teori mengenai masyarakat yang dikembangkan dari pertemuan dialektis antara problem-problem filsafat kontemporer dengan riset ilmiah empiris[11].
Aliran kritis mengecam keras “industri pengetahuan” seperti sekolah, universitas dan lembaga penelitian yang menjadi struktur otonom di masyarakat, karena struktur ini akan senantiasa opresif untuk menanamkan kultur dominan di masyarakat. Habermas membedakan tiga sistem pengetahuan dan kepentingannya yang saling berhubungan. Tipe pertama adalah ilmu analitik atau sistem saintifik positivik klasik yang kepentingan dasarnya adalah kontrol teknis dan opresif yang dipaksakan pada lingkungan, masyarakat dan individu. Tipe kedua adalah pengetahuan humanistik yang kepentingan dasarnya adalah untuk memahami dunia dengan pandangan aposteriori agar dapat membantu kita untuk memahami diri dan memahami orang lain. Pengetahuan tipe ini tidak bersifat opresif dan dan membebaskan. Tipe ketiga adalah pengetahuan kritis yang didukung oleh Habermas dan pemikir mazhab Frankfurt pada umumnya. Kepentingan dasar yang melekat pengetahuan jenis ini adalah emansipasi manusia[12].
Paradigma kritis yang dikembangkan oleh mazhab Frankfurt tidak meninggalkan pengaruh yang mendalam pada aliran rekonstruksianisme sebagaimana halnya pada pedagogik kritis. Rekonstruksianisme memandang pendidikan adalah upaya rekonstruksi masyarakat secara terus menerus, bukan untuk merevolusi secara radikal suatu masyarakat dan terjadi upaya destruksi terhadap tatanan sosial yang sudah mapan di masyarakat tersebut.
C. Pandangan Filosofis Tokoh-tokoh Rekonstruksianisme
Rekonstruksianisme secara terminologis bukan sebuah filosofi dalam maknanya yang tradisional, karena tidak sampai pada aspek epistemologi dan logika secara mendetail. Hal ini dapat terlihat bahwa rekonstruksianisme lebih mencurahkan perhatian pada rekonstruksi sosial dan budaya di mana kita berpijak. Bisa dikatakan bahwa rekonstruksianisme hampir murni sebuah filsafat sosial, karena membawa penganutnya tidak menjadi filosof professional, akan tetapi menjadi sarjana dan aktifis pendidikan yang berkonsentrasi pada perbaikan kondisi sosial dan budaya[13].
Diantara tokoh rekonstruksianisme yang utama adalah George S. Counts (1889-1974). Dia merupakan figur penting dalam pendidikan di Amerika selama beberapa tahun dan menjadi professor pendidikan pada institusi pendidikan utama seperti universitas Yale, Chicago dan Columbia, serta merupakan penulis lusinan buku yang mengandung banyak aspek pendidikan, filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan[14].
Pandangan sentral Counts’ adalah ketika pendidikan dalam sejarah digunakan untuk mengenalkan peserta didik pada tradisi, budaya, sosial dan kondisi budaya, dalam waktu yang sama telah direduksi oleh sains modern, teknologi dan industrialisasi. Sehingga pendidikan sekarang harus diarahkan pada kekuatan positif untuk membangun kultur budaya baru dan mengeliminasi patologi sosial. Dia menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki visi dan prospek untuk perubahan sosial secara radikal dan mengimplementasikan proyek tersebut. Counts’ menyeru para pendidik untuk membebaskan diri dari kebiasaan pendidik yang merasa nyaman menjadi pendukung status quo dan terjun bebas menjadi aktor perubahan sosial di masyarakat[15].
Dalam karya monumentalnya “Dare the School Build a New Social Order?” ia menulis:
Jika pendidikan progresif ingin sungguh-sungguh mendidik dan benar-benar progresif. Ia harus membebaskan diri dulu dari pelukan kelas menengah, lalu menghadapi setiap isu sosial dengan berani dan langsung, menjumpai kenyataan hidup yang paling jahannam sekalipun tanpa memicingkan mata, memantapkan hubungan timbal balik yang organik dengan komunitas, mengembangkan teori yang komprehensif dan realistis tentang kesejahteraan, mengambil visi tentang takdir manusia secara tegas dan lantang dan jangan cepat gemetar kalau bertemu dengan hantu yang bernama penanaman dan indoktrinasi[16].

Selain Counts’, tokoh yang berpengaruh pada pengembangan pemikiran aliran rekonstruksianisme adalah Theodore Brameld (1904-1987). Dia adalah penulis banyak buku, diantaranya: Toward a Reconstructed Philosophy of Education, Education as Power, dan Patterns of Educational Philosophy. Brameld mengajar filsafat dan filsafat pendidikan, hidup dan mengajar di Puerto Rico, dan pernah mengajar di universitas terkemuka di Amerika[17].
Brameld melihat rekonstruksianisme sebagai filsafat kritis yang tidak hanya mengapresiasi persoalan pendidikan, tetapi juga persoalan budaya. Dia melihat masalah kemanusiaan sedang berada di simpang jalan dan hampir mengalami kehancuran, hanya dengan berusaha penuh kita bisa menyelamatkan kemanusiaan tersebut. Karenanya dia melihat rekonstruksianisme juga sebagai filsafat nilai. Nilai yang dimaksud adalah nilai yang berdasarkan asas-asas supernatural yang menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis[18].
Brameld juga menekankan untuk membangun tujuan-tujuan yang jernih untuk pembebasan, dalam maksud lain dia menyebut persatuan dunia untuk menghilangkan bias yang ditimbulkan nasionalisme yang sempit dan menyatukan komunitas ke dalam pandangan dunia yang lebih luas. Hal tersebut akan menjadikan pemerintahan-pemerintahan dunia dan peradaban-peradaban dunia di mana orang-orang dari seluruh ras, negara, warna kulit dan kepercayaan ikut terlibat bersama dalam kedamaian dunia. Menurutnya satu aktifitas filsafat yang utama adalah penjelajahan makna terhadap perbedaan konsepsi dari pusat tujuan penyatuan dunia[19].
Rekonstruksianisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tata susunan baru seluruh lingkungannya. Tujuan ini hanya mungkin diwujudkan melalui usaha kerja sama semua bangsa-bangsa. Secara ringkas rekonstruksianisme bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan sintesa, perpaduan ajaran Kristen dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan seni modern di dalam satu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan bangsa-bangsa sedunia. Rekonstruksianisme mencita-citakan terwujudnya satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam kontrol mayoritas umat manusia.
D. Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksianisme
Diantara beberapa prinsi-prinsip pokok pemikiran yang dikembangkan rekonstruksianisme dapat diuraikan sebagai berikut antara lain:
1. Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan yang ada tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan mengalami kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial budaya yang timbul akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya alam yang kian menipis, berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia, kesenjangan global antara negara kaya dan miskin, kapitalisme global, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan penyalahgunaan teknologi. Seperti diketahui, teknologi saintifik adalah penyumbang terbesar terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri menjadi harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini. Teknologi saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta meningkatkan bahaya kimiawi yang terkandung pada makanan dan lahan pertanian[20].
2. Perlunya sebuah tatanan sosial semesta. Maksudnya untuk mengatasi persoalan-persoalan global tersebut, perlu kolaborasi menyeluruh dari seluruh antar elemen bangsa-bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang berasaskan keadilan dan kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia sedunia, dan mengabaikan batasan-batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa dan agama.
3. Pendidikan formal adalah agen utama dalam upaya rekonstruksi tatanan sosial. Aliran rekonstruksianisme menilai sekolah-sekolah formal yang ada merefleksikan nilai-nilai sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena nya sekolah-sekolah formal harus merekonstruksi secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Bagi mereka pendidikan dapat menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan[21].
4. Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Dalam perspektif rekonstruksianis, adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, sosial. Di sisi lain menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mau mengungkapkan dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Lebih dari itu rekonstruksianisme mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia[22].
5. Pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia global, dan terlibat aktif dalam mengajarkan perubahan sosial. Pendidikan harus memantikkan kesadaran peserta didik akan problematika sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi. Kesadaran sosial (social consciousness) dapat ditumbuhkan dengan menanamkan sikap dan daya kritis terhadap isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu para peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.
E. Tujuan, Metode dan Kurikulum Pendidikan Rekonstruksianisme
Rekonstruksianisme menekankan pada kebutuhan akan perubahan, ini adalah cita-cita dan tujuan utopis yang dihubungkan dengan kebudayaan dunia dan peradaban. Baginya tujuan spesifik dari proses pendidikan adalah untuk mengakomodir perubahan sosial dan aksi sosial. Tujuan pendidikan ini adalah sejenis perkembangan evolusioner dari paradigma Hegelianisme yang dihubungkan dengan pragmatisme Dewey. Di mana rekonstruksianis ingin melibatkan orang-orang untuk menjadi agen perubahan, dan menolak untuk mengabstraksi filosofi pendidikan yang lebih menekankan pengetahuan (knowing) daripada praktik (doing). Rekonstruksianis ingin memberangus mentalitas “intelektual menara gading”, dengan melibatkan setiap orang pada partisipasi sosial yang aktif, dan tidak memisahkan sekolah dari bagian masyarakat dan individu, karenanya lebih menekankan penyatuan dari pada pola pikir fragmentaris. Komunitas dunia, persaudaraan, dan demokrasi adalah tiga tujuan ideal yang dipercaya dan ingin diimplementasikan oleh rekonstruksianis di sekolah dan di masyarakat. Sekolah-sekolah seharusnya menerapkan ketiga tujuan ideal tersebut melalui kurikulum, administrasi sekolah, dan praktik pengajaran[23].
Dalam hal metode, rekonstruksianisme ingin merubah metode pendidikan tradisional yang memiliki kecenderungan mengikat diri pada status quo dan menolak untuk berubah. Diantaranya para guru harus berperan aktif mengapresiasi nilai-nilai ideal di atas dan tidak mengajarkan teks buku secara doktriner, karena hal itu akan membunuh kesadaran kritis peserta didik, karena tidak jarang buku teks ajar yang ada mengandung banyak distorsi dan membawa nilai-nilai dominan yang menghegemoni sebuah masyarakat dan negara tertentu.
Pendidikan harus dihubungkan pada kepentingan aktif dalam aktifitas publik, contohnya dengan menghadirkan seorang pakar dan ahli dalam bidang politik, sosial, budaya dan sebagainya, di mana para peserta didik akan belajar melalui partisipasi aktif dalam diskusi tanpa harus membuat para siswa kelelahan dengan kewajiban membaca dan menghapal buku teks ajar. Selain itu para guru mulai memfokuskan pada kritik isu-isu sosial kontemporer yang biasanya tidak tersentuh pada buku teks ajar yang ada. Sehingga para guru harus menjadi lebih kritis, analitis dan tidak diskriminatif dalam menjustifikasi suatu permasalahan.
Dalam metode pengajaran, para guru mengaktifkan para siswa pada proses belajar kelompok, dimana para peserta didik melakukan pendeteksian suatu masalah dan kemudian diajarkan bagaimana caranya memecahkan permasalahan tersebut. Dalam upaya pemecahan masalah tersebut, para siwa dibimbing untuk berfikir kritis dan kreatif, sehingga melahirkan pembuatan keputusan yang brilian. Selain itu peserta didik diajarkan simulasi komputer, kemagangan, pengenalan studi kerja, bermain peran, pembelajaran kooperatif, dan penelitian tindakan metafor. Adapun manajemen kelas yang dipakai adalah model resolusi konflik, eksperimentasi, optimisme, fleksibilitas dan pengembangan komunitas.
Mengenai kurikulum, rekonstruksianisme mengorganisir kurikulum yang oleh Brameld disebut “the wheel” (roda) kurikulum, di mana inti (core) tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari kurikulum “roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan. Kurikulum ini bersifat sentripetal sekaligus sentrifugal, sentripetal karena akan membawa masyarakat atau komunitas bersama kepada studi yang bersifat umum. Sentrifugal karena akan meningkatkan proyeksi pendidikan di sekolah-sekolah formal ke dalam komunitas yang lebih luas. Hal tersebut secara tidak langsung akan menciptakan transformasi kultural di dalam hubungan yang dinamis antara sekolah dan masyarakat[24].
Implikasi pemikiran filosofis rekonstruksianisme dalam kurikulum diarahkan kepada penumbuhan kesadaran kritis peserta didik dengan model keaksaraan kritis pada materi yang diajarkan. Selain itu kurikulum ditekankan pada upaya membangun kesadaran polyculture dengan mengapresiasi keragaman budaya, adat istiadat suatu suku tertentu untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural. Demikian pula proyeksi hubungan kemanusiaan dan aspek politik harus ditekankan baik secara eksplisit maupun implisit dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik para peserta didik sehingga “nalar kritis” terhadap berbagai macam ketimpangan sosial dan politik yang diakibatkan oleh kesewenang-wenangan status quo, dapat menjadi modal dasar untuk melahirkan agen-agen perubahan sosial dimasa selanjutnya. Persoalan perubahan ekonomi dan kehidupan nyata juga menjadi titik tekan utama aliran rekonstruksianisme, dalam rangka melacak peranan perubahan ekonomi, kebijakan ekonomi status quo yang menimbulkan akibat-akibat baik positif maupun negatif pada kehidupan bermasyarakat suatu negara. Pada puncaknya, kurikulum diatur sedemikian rupa untuk merespon perlunya sebuah tatanan sosial yang mendunia, di mana para peserta didik tidak memiliki pemahaman yang fragmentaris, agar persoalan-persoalan primordial seperti keyakinan, ras, warna kulit, suku dan bangsa tidak menjadi alasan terjadinya krisis kemanusiaan, seperti permusuhan, kebencian dan perang.
Rekonstruksianisme mengajukan kurikulum semesta yang menekankan pada kebenaran, persaudaraan dan keadilan. Mereka menolak kurikulum parokial yang sempit dan hanya membawa kepentingan ideal komunitas lokal tertentu[25]. Contohnya, pengajaran sejarah dunia semestinya juga diarahkan pada kerja-kerja kontemporer lembaga-lembaga internasional seperti PBB, ASEAN, OKI dan lain-lain. Kurikulum juga diorientasikan pada aksi peserta didik, seperti gerakan mengumpulkan dana amal, terlibat dalam petisi, protes atau demo bersama masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang menimbulkan problematika sosial. Peserta didik tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar pada fenomena sosial yang ada seperti kemiskinan, perusakan alam, polusi udara, pemanasan global, pornografi dan lain-lain. Oleh karena itu rekonstruksianisme menjadikan aspek-aspek sosial, budaya dan isu-isu kontemporer menjadi muatan inti kurikulum, agar peserta didik memiliki kepekaan dan empati sosial. Kurikulum tersebut harus mulai diimplementasikan sejak Taman Kanak-Kanak, yaitu pada usia yang paling peka. Dengan demikian, peserta didik dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan menjadi agitator utama perubahan sosial.
F. Rekonstruksianisme dan Pendidikan Islam
Menyoal pendidikan Islam, maka kita akan menjumpai konsepsi pendidikan dengan kekhasan tersendiri, di mana term pendidikan (tarbiyah) terikat pada tatanan nilai (value laden) dan doktrin teologis agama Islam. Islam yang hadir sebagai sumber inspirasi perubahan sosial dan kultur jahiliah di Mekkah ketka itu, membuktikan bahwa doktrin teologis Islam mengandung aspek nilai dan upaya rekonstruksi sosial yang bertujuan menciptakan tatanan sosial dan budaya yang sama sekali baru yang berlandaskan nilai-nilai tauhid.

Berangkat dari fakta demikian, maka upaya rekonstruksi sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam konsepsi pendidikan Islam. Upaya rekonstruksi sosial adalah sesuatu yang inheren dalam pendidikan Islam, sebagaimana inherennya konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam doktrin Islam. Menurut Noeng Muhadjir, dalam fungsinya sebagai anggota sosial, seorang muslim berkewajiban mengembangkan kemampuan lingkungan sosialnya untuk kebaikan, kemaslahatan dan keutamaan hidup masyarakat. Kemampuan tersebut ditampilkan dalam amar ma’ruf dan nahi munkar yang mencakup moralitas deontologik atau moralitas produk budaya, dan moralitas ontologik berdasarkan wahyu. Baginya konsep dasar “pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial” adalah merekonstruksi relasi kekuatan antara kekuatan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama dengan peranan pendidikan[26].
Sekalipun gagasan filosofis rekonstruksianisme sesungguhnya senafas dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar, pendidikan Islam dari sekarang bisa menjadikan dua premis mayor rekonstruksianis tentang perlunya rekonstruksi yang konstan dan perubahan sosial serta kesadaran bahwa pendidikan Islam harus menjadi wahana rekonstruksi sosial di masyarakat, karena kita masih melihat posisi pendidikan Islam yang masih terkesan dianaktirikan oleh pendidikan nasional, sehingga pendidikan Islam menjadi tempat menumpuknya permasalahan pendidikan. Hal ini membuat pendidikan Islam belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya rekonstruksi sosial di masyarakat. Selain itu saat ini pendidikan Islam masih dianggap sebagai lahan yang subur untuk persemaian nilai-nilai radikalisme dan sektarianisme. Dengan gagasan perlunya rekonstruksi masyarakat baru yang menghilangkan batasan-batasan primordial yang sering menjadi sumber konflik, pendidikan Islam harus mampu hadir sebagai prototipe pendidikan yang menjadi wahana perubahan sosial.
Menurut Noeng Muhadjir, setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi dasar konstruk bangunan filsafat pendidikan Islam dimasa depan. Pertama, pendidikan Islam perlu menjadi pemeran aktif dalam menciptakan arah perubahan sosial yang lebih ideal; kedua, subyek-didik dan satuan sosial adalah sentral pengubah, bukan sekedar komponen mekanistik perubahan; dan ketiga, pola pikir dekonstruksi perlu mewarnai filosofi pendidikan Islam[27]
Dalam pendidikan Islam, beberapa asas-asas pemikiran rekonstruksianis cukup relevan untuk diapresiasi khususnya aspek kurikulum, seperti pentingnya keaksaraan kritis, pluralitas kultural, untuk menanamkan sikap toleran terhadap keragaman keyakinan dan budaya. Dalam hal ini metode yang digunakan dalam pengajaran adalah, proses kelompok, pendeteksian masalah dan “problem solving”, sedangkan dalam manajemen kelas, mengadopsi model resolusi konflik dan eksperimentasi
Pada pengalaman sejarah, kita dapat melihat lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah sangat getol dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialis Belanda, dibandingkan sekolah-sekolah formal milik penjajah yang mengarahkan siswanya untuk berpihak pada status quo. Dalam konstelasi politik internasional, kita dapat melihat peristiwa revolusi Islam di Iran adalah bersatunya masyarakat umum, mahasiswa, dan pelajar yang didukung oleh para mullah untuk menggulingkan kekuasaan despotik Syah Reza Pahlevi, dan membangun tatanan sosial baru.
Paradigma rekonstruksi sosial sangat melekat dalam konsepsi pendidikan Islam, karena outcome-nya adalah orang-orang yang tercerahkan secara intelektual dan memiliki sense of critic serta kesadaran sosial, atau yang disebut oleh Ali Syariati (ideolog revolusi Iran) sebagai “Rausyanfikr”. Jadi dalam praktiknya, sesungguhnya pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat kuat dalam upaya melakukan rekonstruksi sosial, akan tetapi pada saat ini kontribusi pendidikan Islam di Indonesia terhadap upaya rekonstruksi sosial seolah jauh panggang dari api. Khususnya terhadap upaya penumbuhan kesadaran etika sosial dan upaya amar ma’ruf (kebajikan sosial), pendidikan Islam sangat jauh tertinggal oleh pendidikan Kristen atau Katolik dalam persoalan ini.

G. Kritik Terhadap Rekonstruksianisme
Filosofi pendidikan rekonstruksianisme merupakan respon terhadap fenomena pendidikan di Amerika, sehingga secara tidak langsung gagasan ini muncul sesuai dengan kondisi demografis-sosiologis Amerika yang sangat multikultur dan multietnik. Apabila ingin diterapkan di Indonesia maka harus ditinjau kembali apakah gagasan tersebut layak atau tidak untuk diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia.
Paradigma utopian yang sangat kental dari filosofi pendidikan rekonstruksianisme membuat gagasan-gagasan yang ada di dalamnya justru menjadi sangat teoritik dan cenderung tidak realistik. Karena gagasan seperti pembentukan tatanan sosial baru yang sangat ideal sebagai solusi atas bencana kemanusiaan yang terjadi, ibarat “mimpi disiang bolong”, sebab upaya utopis tersebut seolah mengabaikan kondisi rill umat manusia saat ini
Selain itu, tawaran pemikiran yang direkomendasikan oleh rekonstruksianisme, seperti keterlibatan aktif dunia pendidikan pada dunia politik, akan berdampak buruk pada aktifitas pendidikan yang secara akademik terlalu sakral untuk kemudian dicemari oleh intrik-intrik politik yang kotor dan menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu kekuasaan sebuah kelompok politik tertentu. Selain itu tidak bisa digeneralisir bahwa semua peserta didik harus melek politik, budaya, sosial dan ekonomi, karena pendidikan itu mencakup segala bidang perhatian.
Filosofi rekonstruksianisme bersifat makro, dan kurang menitikberatkan pada individu, padahal pendidikan seharusnya bertujuan untuk membangun kepribadian yang di dalamnya terdapat kebagusan akal budi dan moralitas individu (ahlak). Pendidikan tidak hanya ingin melahirkan para aktivis sosial, akan tetapi juga manusia yang bermoral, berkarakter, dan memiliki spiritualitas cukup. Apabila kesemua hal ini terpenuhi, maka otomatis kepedulian sosial sang anak akan muncul dengan sendirinya.



H. Penutup

Dari pemaparan singkat di atas dapat diketahui bahwa aliran rekonstruksianisme mendasarkan paradigma filosofisnya pada tatanan-tatanan ideal utopis seperti konsep “negara filsuf” milik Plato dan “kota Tuhan” milik St. Augustine. Paradigma tersebut diimbuhi semangat sosialistik (baca: sosialisme) ketika melihat fenomena depresi ekonomi di Amerika pada era tahun 1930-an. Seperti diketahui bahwa George S. Counts’ adalah orang Amerika yang banyak melakukan riset di Uni Soviet ketika itu. Begitupula Theodore Brameld yang banyak dipengaruhi perspektif Marxian. William F. O’neil juga menegaskan bahwa rekonstruksianisme Counts’ dan Brameld secara tradisional bisa dianggap sebagai corak liberasionalisme radikal pra-revolusioner, yang mengait pada pembetulan dan pengoreksian sebagian kesalahan atau noda-noda dalam sistem kapitalis[28].
Walaupun demikian, kita tidak bisa mengabaikan nilai-nilai positif dari perspektif filosofis yang ditawarkan oleh aliran rekonstruksianisme sebagai solusi alternatif untuk keluar dari kesemrawutan dan carut-marut pendidikan di Indonesia saat ini, karena bagaimanapun juga masyarakat Indonesia membutuhkan rekonstruksi yang konstan atau perubahan sosial secara menyeluruh dan terus menerus. Perubahan sosial yang dimaksud meliputi rekonstruksi pendidikan untuk merekonstruksi masyarakat ke tatanan sosial dan budaya yang lebih baik. Selain itu pendidikan Islam sudah semestinya untuk mulai mengapresiasi atau concern terhadap nilai-nilai sosial, komunitas kemanusiaan, kedamaian dunia, keadilan ekonomi, persamaan, kemerdekaan dan demokrasi, dalam rangka untuk mengeliminir kejahatan sosial seperti kebencian, kerakusan, sektarianisme, radikalisme, korupsi dan perang. Wallahu A’lamu Bishawwab.




Kepustakaan

Beilharz, Peter, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Counts, George S., Beranikah Sekolah Membangun Tatanan Sosial Baru, dalam Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001.
Hunnex, Milton D., Peta Filsafat (Pendekatan Kronologis dan Tematis), terj. Zubair, Teraju-Mizan, Jakarta, 2004.
Jalaluddin dan Idi Abdullah, Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Knight, George M., Filsafat Pendidikan (Isu-isu Kontemporer dan Solusi alternatif), terj. Mahmud Arif, IdeaL Press, Yogyakarta, 2004.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2004.
_______________, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000.
Noor Syam, Muhammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1986.
Ozmon, Howard A. dan Craver, Samuel M., Philosophical Foundations of Education, Prentice-Hall, Inc, New Jersey, 1995.
O’Neil, William F., Ideologi-ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Weber, Christian O., Basic Philosophies of Education, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1970.



[1] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, terj. Mahmud Arif, (Yogyakarta: IdeaL Press, 2004), hlm. 127.
[2] George S. Count, Beranikah Sekolah Membangun Tatanan Sosial Baru, dalam Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 355.
[3] Milton D. Hunnex, Peta Filsafat (Pendekatan Kronologis dan Tematis) terj. Zubair, (Jakarta: Teraju-Mizan,2004), hlm. 93.
[4] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1995,) hlm. 171.
[5] Ibid, hlm. 172.
[6] Ibid, hlm. 174.
[7] Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 340.
[8] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 97.
[9] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations, hlm. 171.
[10] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 85-6.
[11] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 142.
[12] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi…, hlm. 86.
[13] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations…, hlm. 175.
[14] Christian O. Weber, Basic Philosophies of Education, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1970), hlm. 262.
[15] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations…, hlm. 176.
[16] George S. Count, Beranikah Sekolah…, hlm. 335.
[17] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations…, hlm. 177.
[18] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan…, hlm. 100.
[19] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations…, hlm. 172
[20] Ibid, hlm. 178.
[21] George R. Knight, Filsafat Pendidikan…, hlm. 130.
[22] Ibid, hlm. 130-131.
[23] Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations…, hlm. 189-190
[24] Ibid, hlm. 192.
[25] Ibid, hlm. 192.
[26] Noeng Muhadjir, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004), hlm. 131.
[27] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm 111.
[28] William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, terj, Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 470.

Minggu, 08 November 2009

Antologi Puisiku

Tanda-tanda Itu


Bertanya kepadamu tentang kisah
Yang surut dalam perihnya luka
Seperti malam yang bergetar
Oleh lolongan tua sang pencinta


Entah dimana kenangan manis
Ketika duduk-duduk, kita bercanda
Seolah tanda-tanda itu, adalah
Kekhawatiran untuk tak lagi
Berjumpa.








Di Senja itu


Duhai kekasih, ilhami wajahku
Untukmu senyum terulas hampa
Tanpa warna


Menilai diriku yang runtuh seperti
Daun, kehabisan nyawa hingga kering
Tinggal tulang yang menua dimakan Sisa


Betulkah sayang, kau senandungkan
Lagu kematian
Di senja itu ketika camar tinggalkan
Pesona di ufuk timur yang memerah Padam.








Rindu


Rindu kepadanya adalah tangis
Sang bayi yang terenggut dari
Pangkuan sang ibu


Mencarinya di sisa-sisa waktu
Ketika purnama tak kunjung tiba
Rindu bocah-bocah yang tak lagi riang
Bersorakan untuk caya_nya,
yang Hanya singgah sebentar


Rinduku menjadi asap, karena
Cinta yang membakar, untuk
Segera bercumbu dengan awan
Di semesta hasrat, tersimpan










Tadi dalam pesona…


Tadi dalam pesona burung-burung
Aku berkhayal
Indah nian, aku terbang
Ke ranting-ranting dan
Dahan-dahan yang hampir patah


Menyanyikan siulan abadi
Sahut menyahut, harmoni rasa rindu
Aku bebas, terbang kepuncak-puncak
Tinggi , melayang kebawah
Akhir kesadaran.


Tadi dalam pesona gunung-gunung
Aku bermimpi, merengkuhmu
Hangat
Menghunjam ubun kesadaranku
Untuk tidak berhenti mencintaimu.






Ayat kata-kata


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan lipatan buku-buku, ocehan burung-burung
Atau dari bibir-bibir yang luka, tanpa senyum


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan gemericik air, pesona bunga-bunga
Atau dari gunung-gunung yang kerontang,
Tanpa angin


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan desahan rumput-rumput, beningnya embun
Atau dari langit yang kosong
Tanpa bintang


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan deburan ombak-ombak,
kilatan buih-buih
Atau dari derap-derap langkah, tanpa arah


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan gemuruh jiwa-jiwa,Kalbu-kalbu yang tulus Atau dari tetes-tetes airmata
Tanpa sang kekasih




Cinta I


Cinta, seolah kapas yang basah oleh air
Dan hatipun basah oleh rasa aneh itu
Kau tak tahu, kalau aku terlalu mendamba, hadirmu mempesona
Di pelukku


Entah, rasa itu membuatku gila
Tiap desah nafas adalah angka-angka hidup dalam nyawa
dan senyummu
Membuat duniaku seolah tanpa raga


Seperti langit yang kembali muram
Dalam gelapnya temaram, tanpa
Rembulan, mengaca mentari
Seperti senyum hampa sang bidadari


Mimpiku yang kunjung tiba
Mendera hati, keluh kesah
Menampar wajahku sendiri
Seperti kau yang pergi
Tanpa pamit, barangkali




Dari Goethe untuk Imuth,


Pandangnya yang tertunduk
Saat dia melintas
Tertera jauh dia dalam hatiku
Betapa singkat kesempatan itu terikat
Membuat aku sangat terpikat




Bisu


Mimpiku malam ….
Mencarimu nanar dikala siang
Aku tak sanggup
Malam biru kelam memagut


Cinta, hati bisu untukmu
Bukan pesona wangi tubuhmu
Tetapi untukku, jiwamu
Membutakan sukmaku.






Hari ini


Hari ini, mentari menatapku dengan sedih, caya_nya tak lagi lembut
Seperti kemarin


Entah siapa yang tersangkut di hati ini,
begitu dalam
Malam-malamku adalah khayal untuknya
Tidurku pun terlalu malam dibuatnya.


Hingga detik ini, kau slalu basahi fikiran, menjelma rintik-rintik air mata, sesal mengapa ku slalu rindu padamu.


Suatu saat kita berjumpa, rindu bergejolak
menghempas-hempas
Semua kaku terkatup, bibirpun tak sanggup untuk berkata "aku suka kamu"”


Hati ini terlalu sepi hari ini menepi dalam sunyi.






Hujan


Hari-hari adalah puisi untukmu
Tik-tok jam dinding kamarku
Menjadi bahasa waktu, ketika
Aku terlalu merindu


Tutz-tutz, irama four "elise
Membawa senyap kamarku
Dalam dahagaku padanya
Seperti angin yang rindu pada hujan.


Terkenang-kenang, berlinang
Airmata menggenang, didada
Sesak mengumpal membatu kesedihan.


Lagi-lagi tentangmu.
Seperti sedih selimuti malam
Panjang-panjang, memanjang
Tiada kantuk menyerang, hilang






Cinta II


Hati itu hancur karena cinta, sebelah mata memandang


Persepsi indah, hilang terbang. Engkau milik orang lain, sayang.


Sedih, hati tak sanggup melepasmu, tenggelam dalam citra pesonamu.


Luluh aku, saat menatapmu terakhir kali
Seperti mati suri
Barangkali.






Cinta III


Ini yang pertama kali
Aku jatuh hati
Ku hanya ingin satu kali
Seperti ini, sampai mati


Untukmu saja, bukan perempuan yang mana.
Cinta sejati dan suci itu seperti apa?
Aku tulus, sampai putih hati ini.
Seperti mencintaimu,barangkali






Hening


Hening, membaca sunyi
Nyala, sekam terbawa benci sekaligus
rindu padamu.


Aku, hampir lupa pada nukilan cerita sedih
Kepada langit yang mendung
Menahan tangis


Aku, hancur berdebu-debu
Tinggal angin, yang basah
Dalam pesonanya merekah


Nyala, sekam terbawa benci sekaligus
rindu padamu.
Hening, membaca sunyi
Untukmu.






Luka


Cinta yang kutulis dalam kata-kata
tak bermakna


Laksana senyummu yang menyimpan
berjuta rahasia


Langkahmu, yang berkelebat dalam angin, yang membisikkan
Dalamnya luka yang kau
Tinggalkan.




Detik-detik


Dalam penggalan waktu
Hingga malam ini
Slalu untukmu, angin yang membisik,
menyapa malamku yang muram.
Huruf-huruf yang kaku, membaca
Detik-detik yang kian ringkih
Duhai pelangi, wahai awan
Jangan biarkan dia pergi
Aku terlalu untuknya




Puing-puing cerita


Sekali waktu, angin membisik
Mengugah kesadaran, menyatu
Dalam pesonanya yang lekat
Liat tubuhku yang hancur


Semua seperti puing-puing cerita
yang berpenggalan
Dalam sedihnya malam
Entah, aku seperti apa hari ini, tanpa
sang kekasih


Merahnya mawarmu, singkapkan senyum lembutmu, terpana.mabuk aku seperti
anai-anai yang terbakar dalam caya_Nya.


Akhirnya malam harus menjelma senyum
sang biduan
Yang hangatkan jiwaku
Malam ini.




Tertipu


Sekarang aku, hampa, hampir menangis
Bukan menyesali pertemuan yang tiba-tiba
Atau menertawakan langkahku yang sia-sia
Kemarin, adalah terang nyala jiwaku


Bukan, aku tidak gampang menangis
Sekedar menyesali perpisahan yang tak terduga
Karena tertipu, atau tersipu malu
Oh, perasaanku yang tak tahu malu.




Perempuan


Dalam sedihnya aku tak sanggup
Dalam senyumnya, tersirat makna
Perempuan-perempuan gentayangan
Di hatiku/dimataku, kau jadi hantu


Perempuan yang kurindu, hilang sekejap
Cinta tulus, untuk apa






Selamat Tinggal


Gemuruh Jiwa, hancur
Bohong! Cerita tentangmu
Lunglai aku, dalam kesedihan
Ranting emas ini, telah patah


Sembunyi kau, dalam kata-kata palsu
Tutupi bangkai di hatimu
Menggapaimu dalam mimpi-mimpi kering
Ucapkan untukku, selamat tinggal.






Ayat Allah


Aku mengingat_Mu dengan suka cita
Dalam rintik-rintik, dan detik-detik
Hening, syahdu penuh seluruh
Hilang, dalam benderang pesona_Mu.




Rizal


Sisi hidup terbaca ringkas
Sedih, lapar untukmu puas
Cinta bergelayutan, digagang telfon
Di kursi sang penjual lotek


Sayang, hidup pergi tanpa arah
Walau peluh keringat membaca jalan
Dari sagan ke kampus, bolak-balik
Serapah! Aku sudah semester empat


Sinyal belum nyala merah, katanya,Tuhan
Aku sungguh-sungguh untukmu.




Pasrah


Malam tadi aku terjerembab
Beribu pasang mata
Memaksa aku untuk pergi
Dan aku merelakannya


Tiba suatu saat yang dinanti
Tak kunjung datang
Katanya, terlambat dua belas jam
Bersama ribuan orang sesak
Aku menunggu, tak kunjung tiba


Sudah!, hari ini bukan untukku
Bukan untukmu, tetapi
Hari untuk Tuhan
Aku pasrah!




Muthy...


Penat aku membayangkanmu
Thy, aku gelisah dalam
Wajah-wajah asing
Aku merindukanmu




Pupus


Di laut itu Talisayan
Kubenamkan kenangan
Indahnya cinta tak berbalas
Disekujur hatiku terluka


Senyummu terakhir
Terpana rasa rindu menahun
Pesonamu tak lagi menyala
Dan, biarkan diriku untuk yang lain


Untuk apa mengejar masa lalu
Yang mati
Walau tampak indah
Bagai mimpi


Biarkan kenangan cinta itu
Tersapu ombak
Pupus bersama ombak
Di laut itu, Talisayan.




Salam


Tertitip salam, entah rindu
Atau benci apa!
Bunga-bunga mekar di taman
Kembali di hati katanya
Bayang-bayangmu di pelupuk
indah dimata


nyanyi-nyanyi indah
tarian pesonamu
membakar
tertitip salam, entah rindu
atau benci apa!


Terima kasih.






Biar


Senyap, kaku, membisu
Langit tak berkata apa-apa
Selain pesan hujan rintik
Dan detik-detik


Sisa nyawa, di ubun-ubun
Mengulas sisa senyum
Untukku bukan?
Ah, biar


Pergi untukku, kawan
Kekasih bukan apa-apa
Yah! sekedar belajar
Untuk melupakannya.




Mimpi Buruk


Keringat basahi tubuh
Bercucuran,bersorak
Dengan nafas yang tinggal satu-satu


Alunan keras musik, mengajakku
Menghentakkan kepalaku
Di angin
Yang tak mengerti kalau
aku sedang sedih


semalam aku berjumpa dengannya
dengan seulas senyum hampa
aku bangkit dari mimpi buruk
kembali tentang Imuth
yang kurindu.




Jam-jam yang lalu


Dalam jam-jam yang lalu
Aku bertanya kepada angin
Kemana ? kedamaian yang tercipta
Dalam hembusannya yang padu


Kemarin dalam desahan udara
Aku bernyanyi, kepada hening
Iringan dawai membuatku mabuk
Dalam selaksa cinta tak terperi


Kau, yang melintas dalam makna
Kelam, memagut suci kerinduan
Tanpa terasa hangat airmata
Membakar cinta kita dalam seribu pelukan




Tanpa Dosa


Tiba-tiba jantung ini berdegup kencang
Melihatnya melintas tanpa dosa
Mengaca kesombongan di cermin matanya
Walaupun jiwa ini tetap mendesis, duhai permata hatiku


Aku juga memimpikannya semalam
Melihatnya berdua dengan seseorang
Tidak mimpi atau kenyataan
Dia tetap tak punya perhatian.








Hidup


Nyala jiwa seperti api
Yang dingin dalam petala jiwa
Atau kebisuan dari bibir yang kaku
Seperti aku yang hilang, senyap


Malamnya rembulan dan
Pepohonan yang riang, bintang
gemintang, memacu deru udara
yang malam, aku bermimpi


bukan, sebenarnya aku tak sanggup
menanggung derita gembira, arti hidup
yang panjang nan luas, sebatas
pandang cintaku kepadaNya






Atau


Atau kehadiranku di dunia
Yang penuh atau keniscayaan
Atau kesedihanku tentang
Hilangnya, atau sang kekasih
Atau kemarahanku pada
Atau kebencian dalam kearifan
Atau perbincangan yang tak habis-habis
Atau diskusi yang sudah sobek
Atau penantianku pada atau kegelisahan
Tentang atau yang tak kunjung atau, tiba






Disuatu Pagi


Disuatu pagi, secerah penantianku
Pada mentari yang belum juga tersenyum
Hujan semalam, diam, kaku, terpaku
Tentang masa depan, tentang kekasih
Yang sudah pergi, hilang


Kemarin sepucuk kata maaf untukku
Entah untuk apa tujuan, kata maaf
Harus segera dikembalikan, untuk
Satu kepentingan. Persahabatan
Kasih sayang


Belum juga reda hujan dihatiku
Oleh kegembiraan, kasih sayang Tuhan yang berdatangan, tak menentu arah, tak terduga


Sebuah kata tak beraturan, dalam
Puisi tentang pagi yang sejuk
Hingga rongga dadaku bergetar
Menyalakan api rindu yang telah lama padam
Dalam penantianku pada sang waktu, saat yang tepat untuk sebuah pertemuan


Dibawah tenda waktu yang sudah usang
Menyaksikan orang-orang asing berlarian
Mengejar mimpi karena takut mati
Karena berhati-hati untuk menikmati hidup lebih lama lagi
Ketika Pagi


Merobek patahan senja, ketika pagi
Batapa menyakitkan, tubuh tertanda luka
Sepi mengurat nadi, mencabik ketenangan hati


Kutingkap wajah hitam arang, menjelma
Pesonamu, jadi bara dalam sekam
Untuk apa menangis, mata tak boleh berpura
Membohongi nurani, jiwa nelangsa


Seperti putih, tak pernah benci hitam seperti kertas hitam diatas putih, merona temaram
Sembunyikan senyum yang tak pernah disunggingkan
Biarkan kelam, hancurkan jiwaku sampai remuk redam.


Seperti buih, barangkali






Palung


Penaku menggurat sedih
Jadi palung
Hitam
Dalam
Merengkuh
Pekat
Penat
Senyap
Tusuk
Segala
Diam
Tetap
Berderap
Seperti
Mimpi
Menjilat
Lidahku
Terbakar
Asa
Yang tak pernah padam
Hanya padamu
Benci!






For Ish


Senyapkan berjuta kalimat, selinap, dekat
Biarkan berseri dunia itu, maya
Entah cinta, persahabatan, atau
diskusi harian
jiwa bergejolak dalam gemuruhnya yang hampir lindap


semua bekas,jejak kata bukan sebenarnya jiwa
sepenggal waktu dariNya, tidak pernah tersia-sia
menangkal batas, dalam atau lebar luasnya sebuah kata cinta






Hujan di bulan Januari


Dingin, suatu sore hujan menari-nari
Menghanyutkan sisa-sisa kemarau yang meradang
Menjelma gelembung-gelembung udara, mengalir
Ketepi-tepi penantianku padamu


Sekilas gejolak, yang lewat
Adalah irama syahdu diatap-atap rumah
Riang gemuruhnya tak berpaling, dalam
Sekedup jiwaku, aku menunggu


Hujan di bulan januari, adalah
Hujan di sore hari, ketika engkau pergi
Dan takkan pernah kembali
Hujan terlalu lebat dihatiku


Dan aku pun menangis
Seperti langit




Badai


Masih tersisa harapan
Nyala kecil pelita hati yang belum juga padam
Menutup luka lama dengan air mata
Mengubur kenangan indah dengan nisannya yang pualam


Badai terlalu kencang hari ini
Kaki goyah, berserakan entah kemana
Tapi kami masih punya hati yang lembut
Untuk teguh berpegangan pada dahanNya yang kokoh


Seperti air bah memang kesedihan itu
Menghanyutkan segalanya, tanpa tersisa
Tapi masih bersinar juga mentari, juga kicau burung
Pertanda kehidupan baru, nyalanya yang hidup






Sang Malam


Asap, pengap membakar daunnya yang berguguran
Habis sudah musim semi, tinggal sedih
Jiwaku kembali membumbung tinggi
Senyum lembutnya masih tersisa


Tempatku mengadu, Tuhanku
Aku dalam kulitMu, berjuta pori-pori
Yang tak mungkin terbaca, dalam
Huruf-huruf yang berkilauan, tanpa henti


Kala senja menderap langkah, mentari mundur malu-malu, mempersilahkan
sang malam
berbaring di peraduannya, memimpikan
apa-apa yang akan terjadi esok hari






Lupa


Lupa pada sang waktu
Seperti air tinggalkan
Bebatuan di pegunungan
Menuju lautan, dahaga terpuaskan


Lupa padamu
Seperti malam yang mencekam
Tinggalkan senyap, sepi, sendiri
Menuju esok yang kujelang, sendirian


Kulupakan kesedihan hari ini
Untuk tertawa esok hari, demi kau!




Pandang pertama


Aduhai cantik dikau hari ini
Senyum, kerlingan mata,
gerakTubuhmu beserta aromanya
Menghanyutkanku dalam cinta
Ketika kita bersatu pandang
Ada getaran aneh, bergelora
Di dadaku, dan aku pun tak tahu
Apa kau merasakan yang sama
Wahai pemilik kecantikan
Sunggingkan sebuah senyum
Untukku agar ku terlelap
Dan segera memimpikanmu




Sujud


Di keheningan itu
Aku bercanda dengan ombak-ombak
Yang menghempas dihatiku
Tidak ada sedih dan airmata
Karena aku terlalu gembira
Oleh gemuruh yang di ciptakanNya


Kususuri sebuah pantai
Entah dihati siapa aku berlabuh
Tidak pada gemerisik rerumputan
Dan juga bukan pada gerimis yang
membelah hutan


Engkau disana menjadi bayang-bayang
diantara deburan ombak dan gemerisik rerumputan


aku terlelap dalam buaian alam
membuatku bermimpi tentangMu
dalam sebuah pertemuan suci
sekilas aku takjub, tak mampu bergerak
menjadikanku sulit untuk bangkit
dari sujudku yang panjang




For Muthy


Thy, andai aku bisa menatap matamu, maka aku akan tahu, betapa beningnya hatimu, kasih
Mengapa kau sembunyikan senyummu yang manis itu, dibalik keanggunan pesonamu, kasih
Aduhai dikau maha cipta terindah, membawaku rohku terbang bersama anganku tentangmu, kasih
Keteguhan jiwamu, membakar hasratku untuk takjub kepadamu, kasih
Thy, cahaya hati, semerbak bunga lily
di taman hati.
Kuingin menatap wajahmu untuk yang kesekian kali, agar puisi ini lebih panjang lagi.




Kidung kematian


Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Tinggalkan semua manisnya kenangan,
Kepersembahkan untukmu, puisi berbunga
Yang aromanya mengingatkanku akan aroma tubuhmu, sayang
Kelopak-kelopaknya, mengingatkanku
Akan jiwamu yang indah bermekaran
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Hatiku terkubur bersama jasadmu, sayang
Kepersembahkan untukmu kidung kematian
Di pusaramu aku bersimpuh, dan kukubur hatiku bersama pilu
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang






Seribu Wajah


Hari berlalu dengan langkah sendu
Menerjang hari penuh rasa malu
Bercampur aduk, dalam desah nafas memburu
Melepas tangis ke angkasa biru


Penaku tertatih di perjamuan itu
Gelak tawa membahana
Diantara gelas piring beradu
Mabuk aku di perjamuan itu


Bergetar aku dalam logika dan mantra-mantra
Marasuk lembut, mewangi dupa kencana
Hasratku menjulang tinggi, penuh birahi, membuncah
Berkubang dalam aroma lumpur dan nanah


Mencuri hati sang perawan di matanya
Menghirup wangi gaunnya yang merah
Mencari permata dari tiap helai rambutnya
Dukaku melintas dalam seribu wajah






Demam


Aku demam berhari-hari
Dingin, menggigil, seolah dunia bergerak sendiri
Hentakan ritmis yang mengetuk-ngetuk kepalaku
Seperti musik kemarahan Tuhan kepadaku


Aku sudah kelewat batas
Terperangkap nafsu yang tak pernah puas
Terpesona pada segala lekuk dan bentuk
Dia begitu indah, tetapi juga terkutuk


Aku demam karena bentuk-bentuk
tak beraturan yang mempermanis dunia
aku ingin sembuh, wahai pencipta makna dari segala bentuk
akan kutelan segala makna, agar aku tidak lagi mabuk pada lekuk dan bentuk
kemana harus kucari makna itu?
Apakah di bawah telapak kakiMu
Duhai Tuhanku






Cinta IV


Setiap kali aku melihatmu, setiap itu pula aku semakin cinta kepadamu
Kata mentari pada bumi kala pagi
Kata rembulan pada malam ketika senja menjelang
Kata embun pada rumput dan dedaunan ketika pagi
Kata sepasang merpati yang tak pernah pindah kelain hati, kataku padamu dalam tiap desahan nafasku.




Tentang Embun-embun


Yang sudah usang biarkan terbuang
Senyap nyalamu, penatkan jiwa-jiwa ini, hilang
Semua sudah patah dalam remahan cerita
Tentang mimpi dan senyuman sang dewi malam


Juga keresahan, semburat angan-angan
Menyingkap tirainya yang besi, berbatu
Menggapai lembut tanganmu, tentang embun-embun yang memuai di atas lentik matamu.




Senarai


Daun-daun berguguran
Diatas jalan setapak itu
Pecah jejaknya, berkubang, berlubang


Nyanyinya yang renta
Adalah tangis kematian, sebuah lolongan panjang
Sudah! Kita hancur-kita luluh
Dan biarkan senarai panjangNya
Mendekap kita dengan khidmat


Tuhanku, aku sudah cukup




Sebuah Judul yang salah


Percuma kuceritakan semua
Menetakkan peristiwa pada judul sang salah
Kisah kita, bukan lagi nyanyian indah burung-burung
Bukan lagi pesona secawan anggur


Kita hanyut dalam dangkal, sungai perasaan
Mampukah kita hadir dalam jiwa-jiwa yang tulus
Merengkuh peluh, cium, genggam tanganmu
Dan kita pun bersanding, berjalan ke dalam pekat


Menumpah tangis pada cawan masing-masing
Sayangku, sekali lagi jangan pergi




Kaliurang


Sebuah penggalan dari negeri khayangan
Indah nian bukan kepalang
Anak-anak merapi menebar pesonanya
dalam sejuk pepohonan rindang tinggi menjulang
melesat di awan-awan


kaliurang, adalah bahasa keindahan ciptaan Tuhan
Merapi menjadi mahakarya kebesaranNya
Kawan-kawan, Tuhan masih sayang kita
Merapi masih diam untuk menyimpan
Lahar amarahNya
Sampai kita tak pernah lagi menyebut-nyebut
NamaNya.




Untuk


Kucoba merengkuh waktu ditanganku
Untuk mendayung kesempatan
Untuk menggamit tangan lembutmu
Untuk mencoba membangun jembatan kesempatan untuk sempat menyayangimu
Aduhai nasib, aduhai nasib
Darah ini telah mengalir di sungai jiwamu
Dan biarkan kuncupnya mekar sejenak
Untuk memandang paras indahmu
Sampai terbenam
Sampai tenggelam
Sampai hilang
Sampai aku hanyut dalam waktu
Yang tak bisa rengkuh ditanganku.




Tuhan, aku ingin pulang


Tuhan, aku ingin pulang
Untuk bersimpuh di lantai rumahMu
Untuk mencuci kotor bajuku
Untuk menggamit lembut tanganMu
Untuk menatap indah parasMu
Sampai aku luluh
Dalam cinta yang suci
KepadaMu






Perih


Perih, menahan rindu
Padamu, tangis semalam
Adalah, gerimis di penghujung musim
Duhai, amarah membongkar nafsu dunia
Kemarau, mempercepat kepak elang
Diriku, yang mati sore tadi
Pulang, hari sudah malam




Di Sabtu itu


Di sabtu itu, kucari pesonamu dalam tumpukan buku-buku perpus
Setengah mati, aku terkejut, kau menjelma di sisiku tersenyum
Kusapa dirimu, seolah buku-buku bak taman bunga bermekaran
Padahal waktu itu, hati ini telah redup, menepi dalam sunyi
Sambil berpura-pura lupa padamu, walau aku terlalu merindu




Menunggu


Detik-detik yang luruh dihadapanku
Menyisakan penggalan cerita yang kian usang
Sudah kupadamkan bara di jiwaku
Untuk menunggumu sampai tengah malam


Kupinta angin untuk menyanyikan lagu
Sampai detik-detik itu menari-nari
Melupakan kegelisahan, amarah dan cinta
Dan kudekap selalu jam dinding waktuMu
Sampai aku lupa,
Bahwa Engkau telah lama menungguku




Thank you so much


Tanganku yang kerontang
Tengadah, mengais-ngais harap
Di pintuMu, di pintumu
Terima kasih, telah membukakan pintu rizkiMu, juga pintu hatimu yang indah
Untukku


Uluran tanganmu, seolah lengan panjangNya,
Mengelus ubun-ubunku yang kering, dan meminyakinya dengan kasih sayang
Ntuk’ mengibaskan kegelisahan, kepapaan,
Sampai aku bersorak-sorak kegirangan
Untuk mensyukuri jalan hidupku yang lempang
kulepas nafas sepuas-puasnya,
mensyukuri hilangnya gumpalan kesedihan
Yang tadinya menyekat dada


Terima kasih yang tiada berbilang
Atas semua bantuan dan perhatian
Kebaikanmu akan tertera jauh
Di lubuk hati yang terdalam
Takkan pernah hilang
Sampai ajal menjelang
Tanganku yang tak lagi kerontang
Tengadah, menghatur sembah terima kasih
Di pintuMu, di pintumu
Terima kasih telah membukakan pintu rizkuMu Juga pintu hatimu yang indah
Untukku.




Diam


Aku terpaku dalam diam tak berujung
Menyelami hakekat gelap jiwaku
Sampai aku hilang dalam waktu
Merengkuh kesadaran hingga terbuang


Kau yang sudah pergi, tersenyum dalam bening matanya yang menghitam
Patah arang menunggumu hingga bertulang
Dalam diam tak berujung….






Sahabat


Malam itu,jiwaku gelisah untuk menyambung pertalian jiwa yang telah lama putus. Entah, angin apa yang merasukku sehingga aku memacu derapku ke internet.
Malam itu, aku mengharu biru dalam gembira tak terkata, setelah membaca emailmu. Persahabatan abadi yang kunanti, menyapa malamku bagai mimpi.
Sahabat, orang bijak pernah berkata bahwa mencari sahabat sejati lebih sulit dari mencari kekasih sejati. Dalam persahabatan, tidak ada benci dan dendam, yang ada hanyalah saling memberi, tanpa pamrih, untuk satu ketulusan, satu kesetiaan. Sekalipun kita belum pernah mengaca wajah, tetapi dalam kata-kata, kita seolah bercanda di sebuah taman hati, persahabatan.
Sahabat, bulan ramadhan ini menjadi penuh kesan, diantaranya karena terbinanya kembali persahabatan yang lama terpendam. Kalbuku, kembali menyala dalam indahnya pertemuan. Berat rasa rindu untuk bertemu, untuk membincangkan betapa besar arti sebuah persahabatan. Berat rasa rindu untuk bertemu, untuk saling menatap dan membagi kegelisahan masing-masing.
Sahabat, dalam persahabatan ada cinta kasih, dalam cinta kasih ada tanggung jawab dan ketulusan. Persahabatan adalah keikhlasan untuk menjiwai masing-masing dan hal itu akan melahirkan kesadaran untuk menerima apa-adanya tanpa tendensi apapun.




Sore di sebuah Masjid


Sahabatku, ditengah syahdunya alam si sekitar masjid, sore itu aku sedang terpekur merenungi hari-hari terakhir di bulan suci. Ada saja geliat dan pesona yang lekat, membuat jiwaku terbang ke angkasa, untuk meraih harapan yang hampir padam. Terkadang harus bersedih untuk menyesali, kalau tahun ini tidak sanggup mengecup punggung tangan ayah-bunda, untuk mengurai permohonan maaf. Walaupun hingga hari ini, darah dan jiwa bergetar oleh rasa rindu yang dalam, aku tetap tak sanggup untuk menahan derai air mata, disaat semua orang berbahagia di hari lebaran
Sahabatku, barangkali hanya engkau yang bisa membaca airmata yang menetes dari segumpal hatiku yang tulus, aku rindu kampung halaman.aku yang terbakar oleh cita-cita yang tinggi, membuatku tak pernah takut untuk menghadapi resiko perpisahan dan kesendirian.
Sahabatku, aku harus lebih bersabar untuk menanggung betapa berat kehilangan kasih sayang dan perhatian ayah-bunda. Tetapi aku bukan apa-apa, dibanding ratusan bahkan ribuan anak-anak yang tak lagi berayah-beribu. Anak-anak yang dahaga kasih sayang ketika melihat kawannya yang berbaju baru bergelayutan di dalam genggaman ayah-bundanya.
Sahabatku, hanya engkau yang membaca kegelisahan di balik tulisan ini, karena itu persahabatan kita menjadi terlalu berarti dan penuh makna kalau kita bisa menjadi pelipur lara dan mendoakan satu sama lain. Satu permohonan yang ingin kuhaturkan, yaitu, jangan pernah bosan untuk tetap setia dalam persahabatan ini, karena persahabatan ini terlalu berarti.




Pada tengah Malam


Malam semakin risik, tenggelam dalam pelukan bumi, aku masih terkapar dalam khayalku tentang masa depan, tentang sahabat di negeri jiran, tentang ibuku yang mungkin juga belum tertidur, karena kenangan hari-hari yang berlalu dengan cepat.
Malam ini aku baru saja mengembara di dalam cerita-cerita Tagore yang mengesankan, membawaku pada khayalan asing, dimana aku berjumpa denganmu, dan menyapamu ‘duhai sahabat apa kabarmu hari ini’.
Malam semakin mendekapku dengan erat , seolah-olah membuat bumi berhenti berputar, bahkan nyanyian burung terasa samar tak terdengar, hanyut dalam dada sang malam, aku bahkan belum sempat bertanya padanya, ‘ apakah sahabatku di negeri sana sudah tertidur’.
Andaikan malam belum membuatnya tertidur, aku ingin membaitkan barisan puisi ini untuk mengabadikan sebuah persahabatan dalam sebuah pertemuan, karena disaat kita berjumpa, tentu senyuman kita bahkan tidak bisa dilukiskan oleh ini puisi ini sekalipun.
Masih tentang malam-malam panjang yang menghitam tanpa bintang, membawa keresahanku dalam gelap, pekat, memikat jiwaku yang semakin penat oleh cerita-cerita suram hidupku, hanya senyum lembutmu yang bisa mencairkan semuanya, dalam kebahagiaan tanpa akhir.
Sahabatku, doakan aku malam ini, semoga kita berjumpa dalam mimpi, untuk saling menceritakan betapa besar makna sebuah persahabatan
Malam telah menyelimutiku dengan hangat, selamat tidur sahabat,




Sahabat II


Ada saja himpitan yang membelenggu hidup ini, seperti kesedihan orang-orang miskin papa yang menulis luka, atau kesedihan orang-orang kaya yang jiwanya hampa penuh sampah dunia. Adapun kegembiraan orang-orang yang hidup bersama Tuhan dalam tiap desahan nafasnya, atau senyum orang-orang yang menahan dunianya untuk Tuhannya
Entah kita berada pada garis yang mana, kita masih menikmati kesombongan logika dan kehendak nafsu untuk sepuas-puasnya, padahal manusia adalah mahlug yang tak pernah puas. Pernahkah kita cukup puas untuk menikmati persahabatan dengan Tuhan. Tuhan adalah sahabat sekaligus kekasih kita, karena dalam pelukan lembutNya, kita merasa nyaman untuk melupakan himpitan hidup kita. Biarkan Tuhan tersenyum, disaat kita menyapanya dengan lembut dikala pagi dan sore hari, dikala duduk, baring dan berdiri. Tetapi kadang kita masih sering lupa dan kembali ke jalan yang salah. Oh Tuhan ku, oh Allahku, maafkan aku sebagaimana engkau memaafkan sahabat dan kekasihmu yang lain

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...