Selasa, 02 Maret 2010

Filsafat Pendidikan Pierre Bourdieu (1930-2002)

A. Muqaddimah
Pelopor masuknya diskursus filsafat sosial dalam artian yang formal, adalah John Dewey dengan bukunya yang berjudul School and Society yang terbit pada tahun 1899. Pada buku tersebut Dewey menekankan pendapatnya mengenai sekolah sebagai institusi sosial. Pada waktu itu beberapa ahli ilmu pendidikan dan sosiologi menekankan pentingnya peranan sosiologi bagi pendidikan. Tokoh-tokoh seperti: A.W. Small, E.A. Kirkpatrick, C.A. Ellwood, Alvin Good, dan S.T. Dutton mempersoalkan pentingnya menghubungkan pendidikan dengan pengalaman anak dalam keluarga dan masyarakat. Sekali lagi terbitnya karya John Dewey yang sangat terkenal, yaitu Democracy and Education pada tahun 1916, lebih mendorong timbulnya peranan filsafat sosial dalam pendidikan (ST. Vembriarto, 1984: 9).
Filsafat sosial dalam pemikiran Bourdieu tentang pendidikan dapat dikenal para pendidik atas penjelasannya tentang bagaimana kelompok sosial yang terdidik (kelompok atau kelas professional) menggunakan modal kebudayaan sebagai strategi untuk mempertahankan atau mendapatkan status dan kehormatan dalam masyarakat. The Inheritors, Distinction, Homo Academicus, dan The State Nobility adalah buku-bukunya yang terkenal dalam pemikiran pendidikan. Dalam karya-karyanya ini Bourdieu secara kreatif menggabungkan beragam konsep sosiologi, linguistik, dan filsafat Perancis dan Eropa Kontinental menjadi proyek intelektual yang produktif serta inovatif bagi perkembangan pemikiran pendidikan (sosiologi pendidikan) (Joy A. Palmer, 2003: 408)
Melalui studi tentang pendidikan, tentang bahasa, tentang selera, dan tentang hubungan negara dan pendidikan, Bourdieu secara konsisten membuktikan bahwa struktur-struktur kelas tidaklah dipaksakan dari atas atau diciptakan oleh para ahli etnografi, tetapi direproduksi secara rumit melalui pemeliharaan disposisi-disposisi kultural di dalam kelompok-kelompok kelas. Kekuasaan kelas merupakan penguasaan eksklusif atas modal kultural, suatu pemeliharaan hak kultural secara cerdik untuk membatasi akses ekonomis dan politis. Kelas-kelas pekerja dijebak dalam habitus mereka melalui pemiskinan dan perbedaan kultural (Peter Beilharz, 2002: 53).
B. Homo Academicus
Dalam Homo Academicus, Bourdieu mempunyai berbagai tujuan termasuk menerapkan pemikiran teoritisnya untuk menganalisis lingkungan kehidupan akademis Perancis. Bourdieu menemukan bahwa kehidupan akademis Perancis terbagi antara ilmu hukum dan kedokteran yang dominan dan bidang sains dan seni yang lebih rendah. Pembagian ini paralel dengan pembagian lingkungan kekuasaan, di mana seorang yang mempunyai kompetensi sosial untuk sementara memegang dominasi dan orang yang berkompetensi ilmiah disubordinasikan secara sosial. Namun masalahnya diperumit oleh kenyataan bahwa dunia akademis adalah hierarki sosial (mencerminkan lingkungan kekuasaan maupun sistem stratifikasi sosialnya dan di dalamnya kekuasaan politik dan ekonomi merajalela) dan hierarki kultural yang berasal dari wewenang ilmiah atau kemasyhuran intelektual. Di bidang kultural, hierarki disiplin akademis adalah sebaliknya: sains berada di puncak, ilmu hukum dan kedokteran berada di tingkat lebih rendah. Dengan demikian yang paling umum, pertentangan antara lingkungan politik dan ekonomi dan kultural bertempur habis-habisan di dalam sistem universitas Perancis (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004: 531).
Bourdieu menyerang keadaan intelektual sistem universitas, dimana menurutnya, untuk sukses, orang harus menyesuaikan diri ketimbang menjadi penemu cara-cara baru. Waktu yang digunakan untuk meningkatkan kekuasaan akademis (seperti melalui partisipasi dan komisi) hampir menyita waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan. Sebagian besar waktu digunakan untuk menghimpun dan mempertahankan kekuasaan akademis—waktu yang tak dapat dicurahkan untuk mengejar prestasi intelektual. Menurut Bourdieu, semuanya ini bukanlah produk pilihan yang disadari dari pihak akademis, tetapi lebih merupakan akibat dinamika interaksi posisi dalam lingkungan akademis.
Pierre Bourdieu juga menyebutkan bahwa manusia saat ini tidak hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model simbolik kapital.
Kritik Bourdieu terhadap aristokrasi pendidikan di Perancis sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan hanya dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, dan rakyat kecil yang berpenghasilan minim tetap tersaruk-saruk dalam kebodohan. Di tengah sulitnya mendapatkan pendidikan bagi rakyat kecil gagasan mengenai pendidikan gratis menjadi agenda penting yang perlu digulirkan. Hal ini kiranya bisa dikerjakan oleh beberapa organisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau LSM yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan untuk membuka kelas atau sekolah yang memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat yang tak mampu. Tidak perlu dibuat dalam bentuk struktur birokratik atau menjadi terkesan formal. Kalau memang terbentur soal dana operasionalisasi pendidikan, seperti pengadaan buku pelajaran, maka strategi yang tepat adalah berani untuk memfotokopi buku atau modul sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Lantas bagaimana dengan nilai dan ijazah?. Mengenai nilai dan ijazah, dalam proses pendidikan ala kaum tertindas ini, keduanya tidak menjadi acuan utama. Seperti dikatakan Illich, nilai atau formalitas pendidikan hanya akan menghasilkan anak didik yang tak bermutu karena dipenuhi otak proyek pengumpulan nilai bagus dan demi ijazah saja, tanpa memperhatikan proses pengembangan diri secara dinamis. Dengan begitu, maka setidaknya kaum tertindas tidak lagi terjebak pada permainan komersial yang gencar dilakukan beberapa oknum kapitalis pendidikan (termasuk negara).
C. Sejarah Intelektual dan Habitus
Bourdieu juga tertarik untuk menggali hubungan antara pendidikan yang diterima di sekolah dengan kehidupan intelektual dalam sebuah konteks historis. Menurutnya sekolah adalah faktor fundamental dalam konsensus budaya, sejauh ia merepsesentasikan keberbagian common sense yang merupakan prasyarat komunikasi. Secara paradigmatis, masyarakat dapat ditautkan pada periode mereka sendiri melalui pendekatan masalah mereka. Meskipun terdapat ketidaksepakatan, orang-orang luar dapat melihat (dari perspektif historis) kesepakatan dasar yang implisit –dalam kesepakatan mereka yang tak terucap tentang hal-hal yang tidak perlu disepakati—‘konsensus dalam dinsensus’ (Richard Harker et. al, 2002: 123). Dalam sebuah paparan alternatif mengenai aspek khusus ‘ranah intelektual’, Bourdieu merujuk kebiasaan berfikir ini sebagai ‘ketaksadaran budaya’, dan yang kemudian dimasukkan ke dalam konsep habitus . Tentu saja, mesti diingat bahwa pengaruh-pengaruh semacam itu hanya dapat berhubungan secara langsung dengan orang-orang yang benar-benar menghadiri sekolah. Namun pembagian-pembagian organisasi sekolah merupakan prinsip bentuk-bentuk klasifikasi , yang pada gilirannya merupakan bentuk-bentuk dominasi simbolik, sehingga pengaruh sekolah tersebar keseluruh masyarakat.
D. Ranah Pendidikan
Pierre Bourdieu melihat pendidikan sebagai sebuah ranah dalam sebuah ruang sosial multidimensi yang melaluinya para individu (atau tiap-tiap kelompok sosial) menelusuri suatu trajektori atau jalan tertentu. Trajektori merupakan konsekuensi dari posisi-posisi yang dipegang dalam ranah yang berkaitan, yang sebagian besar, pada gilirannya merupakan konsekuensi dari jumlah modal yang dipegang yang relevan dengan ranah-ranah tertentu. Untuk membawa ide-ide ini lebih jauh, dapat dikatakan bahwa beberapa bentuk (seperti kualifikasi pendidikan, latar belakang keluarga) ‘berlaku umum’ untuk sejumlah ranah (bahkan untuk beberapa ranah di mana bentuk-bentuk modal tersebut memiliki sedikit kegunaan ) dan dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan sebuah posisi dalam sebuah ranah yang berkaitan, sehingga mempertinggi trajektori (Ibid: 124). Dalam karyanya tentang sistem pendidikan Perancis, Bourdieu berpendapat bahwa tempat pendidikan mensyaratkan tempat keluarga. Artinya, perjuangan di antara modal yang diproduksi tempat ini menjadi berat sebelah demi keuntungan keluarga. Habitus, fraksi sosial dan budaya dominan, berperan sebagai pengganda modal pendidikan, tidak hanya dalam ranah pendidikan melainkan juga dalam ranah pekerjaan yang berkaitan, komunitas kerja, konsumsi budaya dan sebagainya (Ibid: 124).
Secara singkat, konsep ranah pendidikan menurut Bourdieu dapat dimaknakan dalam ungkapan: ubahlah masyarakat, maka secara natural akan ada perubahan dalam persentuhan dan keberdampingan ranah-ranah, sebuah perubahan dalam keseimbangan antara keluarga dan sekolah, antarjenis (dan jumlah) modal yang mereka hasilkan, keberlakuan umum mereka, beserta keseluruhan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan lainnya.
Sebagai ikhtisar singkat, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah ranah yang di dalamnya para agen memperjuangkan modal (mandat kepercayaan). Tapi ia juga berkaitan dengan ranah-ranah lainnya di dalam ruang sosial, dan karena ia tak bisa—demi tujuan studi—diisolasi dari ruang sosial dan dari ranah-ranah yang relatif otonom yang mengelilinginya. Argumen Bourdieu adalah bahwa sekolah merupakan artefak-artefak dari fraksi sosial dan budaya dominan. Karenanya , kelompok-kelompok yang berbeda memiliki hubungan yang berbeda dengan sekolah, tergantung pada trajektori mereka dalam hubungannya dengan kelompok dominan. Secara tradisional, sebagian kelompok telah menggunakan sistem sekolah untuk mereproduksi posisi kelas mereka (berbagai fraksi kelas ‘menengah’) sementara sebagian lainnya tidak (kelompok petani, pedagang, kelas ‘pekerja’). Ketika pendidikan semakin tersebar luas, dan tersedia bagi setiap kelompok, perangkat-perangkat lain terpaksa digunakan untuk melanggengkan ‘perbedaan-perbedaan’ di antara kelompok sosial semacam itu. Yang paling jelas di antara strategi-strategi dalam pendidikan ini adalah penggunaan sekolah swasta alternatif. Sekolah ini dapat menjadi bagian habitus kelompok dominan (seperti di Inggris) (Ibid: 127). Dengan demikian, ia dapat mempertahankan perbedaan pendidikan melalui pemilikan modal simbolik tertentu, melalui penukaran modal ekonomi yang menjamin sebuah tempat dalam kelompok dominan bagi anak-anak. Oleh sebab itu, persekolahan swasta menjadi perluasan keluarga bagi kelompok dominan.
C. Pendidikan Sebagai Praktik Budaya
Sebagai suatu bentuk praktik budaya, pendidikan dapat diinterpretasikan dalam kerangka teoritis Bourdieu yang menyatakan bahwa sekolah beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, tetapi juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah (ekonomi, tekhnologi, dan politik). Persepsi tentang kondisi ini disaring melalui habitus yang sama yang sudah terbentuk, seringkali sambil memberikan hawa ketidarealan pada adaptasi yang diciptakan sekolah terhadap keadaan-keadaan eksternal yang berubah. Misalnya, reaksi banyak sekolah terhadap tingkat pengangguran yang meningkat adalah dengan menjalankan kursus-kursus tentang bagaimana cara melamar dan wawancara untuk sebuah pekerjaan—dalam bahasa Bourdieu, bagaimana mentransmisi bahasa ‘gaya’ dan tingkah laku habitus dominan (Ibid: 131). Ironi strategi ini adalah bahwa manifestasi habitus melalui sistem sekolah inilah yang pertama-tama membawa pada ‘kegagalan’ sekolah-sekolah tersebut. Apa yang terpelihara (walaupun bentuk mungkin berubah) dalam reaksi sekolah terhadap keadaan eksternal yang berubah-ubah, seperti pengangguran tersebut, adalah dominasi kelanjutan dari suatu kelompok yang habitusnya diwujudkan dalam sekolah-sekolah.
Tapi reproduksi tidaklah bersifat mekanistis seperti mesin fotokopi. Disposisi adaptasi yang kumulatif pada masa-masa ‘kemunduran’ ekonomi semacam ini menghendaki sekolah-sekolah untuk menjadi lebih berorientasi kejuruan. Namun, reaksi ini tidak bersifat segera maupun tuntas. Ada suatu kelambanan waktu antara struktur dan habitus, yang sumbernya terletak pada dialektika antara perubahan dalam perangkat produksi dan perubahan dalam sistem pendidikan (Bourdieu dan Boltansky, 1981: 142).
Teori Bourdieu tentang praktik budaya mengembangkan gagasan tentang reproduksi hingga tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang dapat ditemukan dalam berbagai tulisan, khususnya mengenai pendidikan. Ia membekali kita sebuah perangkat metodologis unik untuk mengupayakan suatu analisis tajam mengenai ketidakmerataan sosial dan peran yang dimainkan sekolah-sekolah dalam pelanggengan ketidakmerataan tersebut.
E. Khatimah
Meski proyek intelektual Bourdieu menjangkau karya dalam beberapa area (sastra, seni, filsafat, pendidikan, dan etnografi), komitmennya di dalam setiap area ini adalah pada sebuah metodologi kritis yang sama. Di satu sisi, metodenya mencoba melarutkan pembagian antara perspektif obyektif dan subyektif dalam ilmu sosial melalui penghalusan dan penggunaan konsep-konsep, seperti habitus, ranah, sifat dasar,kekuasaan simbolik, modal, dan gagasan tentang strategi. Di sisi lain, hasil karya empirisnya yang melimpah, menegaskan bahwa ia menggunakan bukti statistik dan etnografis ketika menciptakan dan memakai berbagai konstruksi teoritisnya.
Pemikiran Bourdieu tentang pendidikan dapat dibandingkan dengan pemikir pendidikan kontemporer lainnya. Salah satunya adalah penelitian Basil Bernstein yang juga memberikan perhatian pada persoalan hubungan kelompok sosial, pengetahuan, dan diferensiasi sosial. Perbedaan penting kedua pemikir tersebut adalah bahwa pemikiran Bernstein sangat dipengaruhi tradisi filsafat analitik dari intelektual Inggris dalam memunculkan ide mengenai hubungan, sedangkan Bourdieu sangat dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa kontinental. Wallahu A’lam Bishawwab


Kepustakaan
Beilharz, Peter, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2002
Harker, Richard et. al, An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, The Macmillan Press Ltd, London, 1990.
Palmer, A. Joy, Fifty Modern Thinkers in Education, Routledge, London, 2001.
Ritzer, George, J. Goodman, Douglas, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan, Prenada Media, Jakarta, 2003.
Vembriarto, ST., Sosiologi Pendidikan, Andi Offset, Yogyakarta, 1990.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...