DI ISTANBUL BAITUL MAQDIS TERASA BEGITU DEKAT
(Sekelumit Risalah Perjalanan Workshop dan Seminar Internasional
“Ottomans and Islamicjerusalem” di Istanbul Turki)
Oleh: Abdurrohim Syamsu
Atas rekomendasi Institute
al-Aqsha (ISA) lembaga riset dan kajian ilmiah tentang Baitul Maqdis dari
Indonesia. Akhirnya saya bersama beberapa kawan dari Indonesia tercatat sebagai
undangan “the Third International Forum for Islamicjerusalem Studies” tanggal
08 hingga 11 Desember 2016 di Istanbul Turki. Acara ini diinisiasi oleh
“Islamicjerusalem Research Academy” (ISRA), yang merupakan lembaga riset yang
telah berkiprah sejak dua puluh tahun silam. Sosok kharismatik dibalik geliat
kajian ilmiah tentang Baitul Maqdis (ISRA) ini adalah Prof. Dr. Abd al-Fattah
El-Awaisi, F.R.Hist.S.
Undangan tersebut terasa
menjadi anugerah yang terindah dari Allah SWT, karena setelah sekian lama,
akhirnya bisa menjejakkan kaki keluar negeri. Terlebih lagi negeri Turki
menjadi yang pertama dikunjungi. Negeri dengan kegemilangan masa silam Khilafah
Ustmaniahnya yang terus mengharu biru di hati.
Perjalanan mengesankan ini
dimulai dari Bandara Soetta Jakarta. Setelah menyinggahi Kuala Lumpur dan Dubai
yang mempertontonkan kemajuan peradabannya. Dubai khususnya, dengan kemegahan
kota yang diwakili oleh Bandaranya yang super sibuk, kemudian melontarkan saya
ke masa lalu. Dahulu negeri yang sekarang disebut Dubai ini, adalah jalur
penting perdagangan ekonomi dunia yang dikenal dengan “silk road”.
Daerah ini pernah dipenuhi oleh tempat persinggahan para kafilah dagang yang
disebut dengan “Caravansaries,” sejak puluhan abad yang silam. Karena posisi
geografis yang sangat strategis dan terletak di rute udara lintas benua, Dubai
adalah salah satu dari bandara yang berbasis di teluk yang mengalami
pertumbuhan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari 100 maskapai
terbang dari tempat ini ke 260 tujuan dari hub internasional. Wajar kemudian
otoritas Bandara Dubai menyebutkan, per Desember jumlah penumpang yang melintas
di bandara ini mencapai 83.654.250 orang.
Tepat pada hari Rabu malam
tujuh Desember, akhirnya kami menjejakkan kaki di kota Istanbul. Disambut oleh
musim dingin yang menyengat hingga ke tulang. Masih terasa aura kudeta gagal 15
Juli lalu, berhembus bersama aroma laut marmara yang lembab dan asin. Kami tiba
di bandara yang orang Turki menyebutnya Attaturk Havilamani, bandara kebanggaan
warga Istanbul ini. Bandara ini juga telah menjadi saksi bisu lolosnya Presiden
Erdogan dari upaya pembunuhan dan kudeta Militer. Dari lokasi yang sama pula,
Erdogan melakukan konferensi pers, lalu disambut dan dielu-elukan oleh rakyat
Turki yang sudah melek politik dan jengah terhadap otoritarianisme militer
Turki yang selama puluhan tahun membelenggu kemerdekaan mereka. Dalam
perjalanan menuju hotel, mulai terlihat Turki yang kian menuju Islamisasi.
Proyek yang digagas oleh Mr. Recep Teyyib Erdogan lewat partainya Adalet ve
Kalkinma Partisi (AKP). Sepak terjang dan kemampuan berpolitiknya yang hebat,
membuatnya didapuk sebagai “Person of the Year 2016” oleh media Arab
baru-baru ini. Selain itu, sekilas dari wajah warga Istanbul yang terlihat di
bandara hingga ke jalanan menuju hotel, tak banyak terlihat kemurungan (huzun)
yang berulang kali dibicarakan Orhan Pamuk—peraih Nobel Sastra Dunia dari Turki—sebagai
“jiwa Istanbul” dalam novel-novelnya. Sekalipun demikian, suasana mencekam
masih terasa karena Negara Turki masih dalam status darurat.
Panitia Workshop dan Seminar
Internasional tampaknya jeli memilih hotel tempat kami menginap. Terletak di
bilangan Fetih Emniyet Istanbul, dan merupakan daerah favorit para pelancong
yang berwisata ke Istanbul. Dinamakan Fetih karena merupakan area tempat Sultan
Mehmed al-Fatih dahulu membangun kota untuk pertama kalinya setelah berhasil
menaklukkan kota Konstantinopel ini pada tahun 1453 Masehi. Lalu al-Fatih
mengubah nama kota menjadi Islambul (menemukan Islam), dan kemudian
menjadi Istanbul setelah Turki mengadaptasi abjad latin pada tahun 1928. Tidak
jauh dari hotel, di area yang lebih tinggi di kawasan Fetih, berdiri kokoh
Masjid Sultan Mehmed al-Fatih, berikut dengan makam tempat peristirahatan
terakhir beliau bersama seluruh keluarga dekatnya. Situs bersejarah ini dapat
ditempuh dengan berjalan kaki dari hotel. Selain Fetih, area ini disebut juga
Emniyet, karena hanya sepelemparan batu dari hotel, terdapat Markas Kepolisian
Negara Turki di Istanbul. Ada sekelebat keyakinan bahwa perjalanan ini akan
aman karena berdekatan dengan Markas Kepolisian. Akan tetapi keyakinan itu
runtuh setelah beberapa hari kemudian, kami dan dunia dikejutkan oleh bom bunuh
diri di Stadion Sepakbola yang menyasar petugas kepolisian Turki. Dalam
perjalanan menuju hotel juga terlihat di sepanjang jalan dari alun-alun Taqsim
yang menjadi pusat perlawanan rakyat Turki ketika kudeta 15 Juli lalu, berjejer
toko-toko dan apartemen-apartemen yang berdesain mewah, mengingatkan saya akan
bangunan dan tata kota di Eropa seperti Frankfurt, Wina dan Praha. Seperti yang
pernah saya lihat dalam gambar, karena belum sempat menjejakkan kaki ke sana.
Setiba di hotel, saya
disambut ramah oleh ketua panitia seminar dan workshop, seorang muslimah dengan
wajah Turkinya yang khas. Dibalut jilbab hitam yang lebar menjuntai,
menggambarkan proses Islamisasi yang mulai merasuk ke sendi-sendi kehidupan
masyarakat Turki. Ada semburat ketakjuban ketika mengetahui bahwa acara yang
bertaraf internasional ini dikomandani oleh seorang wanita Muslimah yang masih
muda belia. Menggambarkan semangat Turki Muda Islami yang bertumbuh pesat di
era pemerintahan Presiden Erdogan.
Setelah bergabung dengan anggota
delegasi yang lain, lalu kami disambut oleh Dr. Khaleed al-Awaisi dan Prof.
Abd.Fattah al-Awaisi, inisiator dari perhelatan ilmiah ini. Malam itu juga,
sekalipun masih dalam kondisi jetlag perjalanan Jakarta-Kuala
Lumpur-Dubai-Istanbul. Saya bersama peserta workshop dan seminar dari negara
lain, langsung melakukan pertemuan dengan pengurus salah satu sponsor dari
acara, yaitu IHH (insan Hak ve Hurriyetleri insan Yardim Vakfi). Sebuah
lembaga sosial kemanusiaan yang berdiri sejak tahun 1992, lalu resmi terdaftar
di Istanbul pada tahun 1995. Saat ini IHH dipimpin oleh Fehmi Bulent Yildrim.
Pertemuan ini juga adalah sesi penyambutan secara resmi dan perkenalan dengan
seluruh peserta workshop.
Untuk menjaga semangat
kesantrian yang dibawa jauh-jauh dari Indonesia, delegasi khusus yang berasal
dari Indonesia dan Malaysia menyepakati kegiatan group fokus (halaqah)
tiap sebelum sholat subuh yang berisi tilawah al-Qur’an dan pemahaman
tafsirnya. Lalu dilanjutkan sholat subuh berjamaah dengan waktu Turki yang menganut
mazhab Hanafi yang jatuh pada pukul 06.30 pagi. Kegiatan ini cukup ampuh untuk
menjadi benteng diri anggota delegasi, di tengah suasana kota Istanbul yang
nuansa hedonisme dan sekularismenya masih terasa.
Membincangkan soal
sekularisme di Turki, mengingatkan kita pada 1940 silam, Soekarno pernah
memuji-muji gerakan sekularisme Turki dalam sebuah artikel yang bertitel “Apa
Sebab Turki Memisah Agama dari Negara” yang terbit di Panji Islam. Artikel yang
ditulis oleh Bung Karno dari pembuangannya di Bengkulu ini, secara gamblang
membela dan memuji gerakan Turki Muda yang akhirnya menjadi kekuatan pendongkel
Khilafah Ustmaniyah dari jejak sejarah, setelah menjadi kampiun peradaban Islam
hampir selama lima abad. Lalu dilanjutkan dengan gerakan memadamkan cahaya
Islam, lewat upaya penghancuran sendi-sendi ajaran Islam secara massif dan
terstruktur. Misi besar dari sekularisme Turki ini adalah menghapus keagungan
Islam dari memori kolektif masyarakat Turki, seperti yang masih terlihat
jejak-jejaknya pada masyarakat Turki pada hari ini. Artikel Bung Karno ini lalu
mengundang polemik dalam jagad pemikiran politik Islam ketika itu. Sehingga
dengan menggunakan nama pena A. Muchlis, M. Natsir—salah seorang murid terbaik
A.Hassan pendiri Persis—berupaya membantah argumentasi Sukarno. Dari sinilah
polemik ideologis tentang relasi agama dan Negara di Indonesia semakin menguat,
yang membuktikan bahwa gerakan sekularisasi Turki yang dipelopori oleh Mustafa
Kemal Attaturk turut menginspirasi kelompok Nasionalis di Indonesia.
Keesokan hari, aura
keberkahan Baitul Maqdis mulai terasa sejak hari pertama workshop. Pada acara
pembukaan forum pertemuan sarjana diploma Studi Baitul Maqdis, Prof. Abd.
Fattah dengan berapi-api menggugah semangat peserta workshop yang datang dari
berbagai negara untuk menanamkan semangat kecintaan kepada Baitul Maqdis dan
terlibat dalam upaya pembebasan Baitul Maqdis. Beliau menuturkan bahwa apa yang
telah dicapai oleh Zionis Israel pada hari ini, dimulai dari upaya pengkajian
dan riset ilmiah terhadap Baitul Maqdis. Sehingga jikalau kaum Muslimin hari
ini ingin membebaskan kembali Baitul Maqdis, juga harus dimulai dengan riset
dan pengkajian ilmiah secara mendalam sebagai basis saintifiknya. Dari
penuturan beliau dan para pakar tentang Baitul Maqdis, baik di acara workshop
maupun di acara seminar, kian terasa bahwa Baitul Maqdis yang terletak ribuan
kilometer dari kota Istanbul, terasa begitu sangat dekat.
Berpacu dengan waktu, acara
workshop juga membagi peserta dalam beberapa komisi untuk mendiskusikan rencana
strategis dan hal-hal yang harus dilakukan oleh para peneliti dan pemerhati
Baitul Maqdis yang hadir di arena workshop. Salah satu sesi yang menarik perhatian
peserta adalah presentasi motivator ulung dari Mesir, Dr. Ahmad Taufiq tentang
pentingnya bagi para peserta workshop untuk membangun kualitas diri hingga bisa
mencapai puncak aktualisasi dirinya dengan menjadi ikon perubahan (ramz)
di masyarakat. Khususnya untuk mendiseminasikan kecintaan terhadap Baitul
Maqdis pada seluruh umat Muslim di negerinya masing-masing.
Pada hari kedua, delegasi
khusus Indonesia dan Malaysia berkesempatan membuat forum khusus yang berisi
presentasi dari masing-masing peserta tentang Baitul Maqdis dan seluk-beluk
yang ada di dalamnya. Diselingi pemutaran film dan tayangan foto-foto tentang
Baitul Maqdis, yang dipamungkasi presentasi oleh Ummu Khaleed, salah seorang
pakar Baitul Maqdis, yang juga adalah istri dari Prof. Abd. El-Fattah. Semerbak
keharuman keberkahan Baitul Maqdis kembali terasa lewat penuturan lugas Ummu
Khaleed tentang landasan Qur’ani, sejarah para Nabi dan anasir-anasir
keberkahan lainnya dari Baitul Maqdis. Melengkapi keberkahan hari Jum’at di
Istanbul, acara workshop peneliti dan pemerhati Baitul Maqdis dari seluruh
Dunia itu ditutup dengan penandatanganan MOU antara ISRA (Islamicjerusalem
Research Academy) dan Institut al-Aqsha (ISA), lembaga riset Baitul Maqdis dari
Tanah Air.
Dua malam pertama di hotel,
Istanbul yang sarat dengan warisan sejarah, hanya bisa dinikmati dari balik
jendela kamar hotel. Lalu sayup-sayup terdengar cuitan burung-burung camar yang
menyeruak di tengah hembusan angin musim dingin yang menggigit hingga ke
tulang. Ada rasa rindu yang membuncah, rindu untuk menziarahi dan menjejakkan
kaki pada situs-situs dan artefak sejarah kegemilangan Daulah Ustmaniyah.
Kerinduan purba bagi sesiapapun yang pernah mencelupkan diri pada sejarah
Daulah Ustmani yang dibangun oleh anak keturunan Erthogrul itu. Ada setangkup
harap untuk menghirup aura heroisme para tentara Muslim di tahun 1453 dengan
menyusuri area Tanduk Emas (golden horn) hingga Tanjung Seraglio, lalu
menyusuri jejak sejarah Ustmani dari Menara Leandros; jalur trem nostalgia di
jalan Istiqlal; Istana Dolmabache; Masjid Ortakoy di depan Jembatan Bosphorus;
Panorama 1453; Situs dinding kota Konstantinopel; area Sultan Ahmed dengan
Masjid Birunya (Blue Mosque) yang memesona. Lalu dipamungkasi dengan
mengunjungi Hagia Sophia dan Museum Tokapi yang menyimpan memorabilia
Rasulullah S.A.W. dan para Sahabat beliau.
Memasuki hari ketiga di hari
Sabtu, acara seminar Internasional pun dihelat. Panitia memilih tempat gedung
pertemuan milik Munisipalitas Distrik Istanbul (Istanbul Buyuksehir
Belediyisi), yang terletak tepat di belakang Markas Kepolisian Kota
Istanbul. Rupanya gedung ini sangat familiar bagi aktivis Muslim Istanbul,
karena pada hari Jumat malam, Syaikh Dr. Yusuf Qaradhawi—ulama kenamaan Timur
Tengah kontemporer—juga menghelat acara di gedung yang sama. Pada acara seminar
Internasional kali ini, peserta juga datang berduyun-duyun dari berbagai
penjuru kota Istanbul, sehingga kursi yang tersedia penuh sesak. Dari
wajah-wajah yang hadir, terlihat bahwa mereka adalah para mahasiswa, dosen, dan
masyarakat umum yang hatinya telah terpaut pada Baitul Maqdis. Tema besar
seminar juga sangat menggugah, yakni menelisik lebih dalam tentang kontribusi
Daulah Khilafah Turki Ustmani dalam penjagaan, pelayanan, dan perjuangan
terhadap Baitul Maqdis (Osmanlilar ve Beytul Maqdis). Seminar ini juga
mengambil momentum peringatan masuknya Sultan Selim I ke Baitul Maqdis 500
tahun yang silam. Setelah sesi pembukaan, dilangsungkan acara wisuda mahasiswa
diploma dari berbagai negara yang telah menyelesaikan studi dan riset ilmiah
tentang Baitul Maqdis melalui lembaga ISRA (Islamicjerusalem Research
Academy).
Di tengah dinginnya cuaca
Istanbul, peserta seminar langsung dihangatkan oleh sajian materi pertama yang
mengulas situasi historis pemerintahan Sultan Selim I dan perhatian beliau
terhadap Baitul Maqdis, oleh sejarawan dan editor jurnal “Deep History”, yaitu
Mustafa Armagan. Elaborasi historis lalu ditambahi oleh Prof. Abd. El-Fattah
El-Awaisi yang menyajikan materi tentang warisan sejarah Daulah Khilafah
Ustmani, dan peran warga Turki dalam upaya melindungi Baitul Maqdis.
Selanjutnya sajian wawasan sejarah terus diluaskan oleh Dr. Haithem F.
Al-Ratrout dari Palestina dengan ulasan tentang kontribusi Daulah Umayyah
hingga Daulah Ustmani pada Baitul Maqdis. Menyusul kemudian Dr. Khaleed
El-Awaisi yang mengulas tentang peta dan batasan area Baitul Maqdis pada masa
Daulah Khilafah Ustmani secara geografis. Menjelang sore, para peserta terus
dihangatkan oleh kajian sejarah. Secara bergantian Dr. Mustafa Oksuz menguraikan
kajian demografis populasi penduduk di distrik kota Yerusalem di dalam
administrasi pemerintahan Utsmani. Lalu Dr. Ziya Polat mengulas tentang upaya
migrasi Zionis ke Baitul Maqdis pada era menjelang kejatuhan Turki Ustmani.
Seminar Internasional hari pertama ini lalu dipamungkasi oleh Mohammad El-Hamy
dari Mesir yang mengungkap formasi pengaruh anasir-anasir asing di Baitul
Maqdis selama periode pemerintahan Muhammad Ali Pasha di Mesir.
Semua materi hari pertama
terasa sangat mengenyangkan wawasan. Di penghujung hari, saya berempat bersama
Faris, Jundi, dan Nurul Zaman—mahasiswa anggota delegasi Indonesia yang sedang
kuliah di Timur Tengah—menyempatkan diri untuk menziarahi gedung Panorama 1453
yang terletak di seberang Benteng bersejarah Topkapi-Edirnekapi. Sebuah museum
sejarah yang di bagian paling atasnya terdapat lukisan diorama ukuran raksasa
selebar 38 meter dengan area yang diameternya seluas 2,350 meter. Diorama
tersebut menggambarkan heroisme para tentara Muslim Turki Ustmani di bawah
kepemimpinan Sultan Mehmed al-Fatih dalam menaklukkan kota Konstantinopel
(Istanbul). Para pengunjung, termasuk kami berempat seolah terbawa dalam
suasana heroik di saat tentara Ustmani menjebol dinding kota Konstantinopel
dengan meriam-meriam berukuran raksasa.
Perjalanan kami berlanjut ke dinding
benteng kota Konstantinopel yang sisa-sisa keruntuhannya masih dijaga dengan
baik. Pada saat ditaklukkan, Konstantinopel berjarak 20 kilometer dari dinding
benteng. Yaitu dinding Theodosia sepanjang 5,5 km; dinding laut di sepanjang
Golden Horn sepanjang 7 km; dinding laut di sepanjang Laut Marmara sepanjang
7,5 km. Dinding benteng yang kami datangi adalah Dinding Theodosia yang dijebol
langsung oleh tentara Muslim Ustmani ketika itu. Setelah itu perjalanan
berlanjut ke Masjid Sultan Ahmed (Sultanahmed Camii). Untuk mencapai
daerah tersebut, kami menaiki trem yang jalurnya sudah ada sejak jaman Daulah
Ustmani. Masjid ini juga dinamakan Masjid Biru (blue mosque) karena pada
masa lalu desain interiornya berwarna biru. Akan tetapi cat biru tersebut bukan
dari dekorasi asli masjid, maka cat tersebut dihilangkan. Ketika kami tiba di
sana, desain interior masjid tidak terlihat berwarna biru. Masjid yang dibangun
antara tahun 1609 dan 1616 atas perintah Sultan Ahmad 1, yang kemudian namanya
ditahbiskan menjadi nama masjid tersebut. Ketika memasuki area halaman masjid,
tampak kokoh berdiri bangunan makam peristirahatan terakhir beliau.
Masjid Sultan Ahmed dibangun
di kawasan tertua Istanbul, di mana sebelum 1453 merupakan pusat pemerintahan
Kekaisaran Bizantium Romawi Timur. Berada di dekat situs kuno Hippodrome, serta
berdekatan dengan Gereja Kristen yang fenomenal Hagia Sophia (kebijaksanaan
suci). Berbeda dengan bangunan indah peninggalan Turki Ustmani lainnya yang
rata-rata dirancang oleh Mimar Sinan, Masjid Sultan Ahmed diarsiteki oleh
Sedefhar Mehmet Aga. Saat itu beliau diberi mandat oleh Sultan untuk membangun
masjid yang indah, tanpa perlu memikirkan biaya besar yang harus dikeluarkan.
Maka keindahannya yang memesona membuat kami dan pengunjung lainnya hanyut
dalam ketakjuban yang tak habis-habisnya. Struktur dasar bangunan ini hampir
berbentuk kubus, berukuran 53 kali 51 meter persegi dengan mozaik dan ukiran kaligrafi
yang indah, dan disempurnakan oleh lampu-lampu gantung yang cahayanya temaram,
dan semakin menambah kekhusyukan ibadah di dalamnya.
Tapak tilas sejarah kami
beranjut ke Hagia Sophia atau Aya Sophia yang merupakan Basilika atau katedral
monumental peninggalan Kekaisaran Romawi yang saat ini telah beralih fungsi
menjadi museum. Dalam sejarah, katedral ini tetap menjadi katedral terbesar di
dunia selama hampir seribu tahun sampai Katedral Sevilla diselesaikan pada
tahun 1520. Bangunan yang dibangun antara tahun 532-537 M (sebelum lahirnya
Rasulullah SAW) atas perintah Kaisar Romawi Timur Yustinianus I itu, tampak
masih kokoh berdiri dan dipertahankan untuk menjadi simbol supremasi Daulah
Turki Ustmani terhadap dunia Kristen di masa itu. Arsitektural Bizantium pada
Hagia Sophia turut mengilhami banyak masjid Ustmani, seperti Masjid Sultan
Ahmed, Masjid Sehzade (Masjid Pangeran), Masjid Suleymaniye, Masjid Rustem
Pasha dan Masjid Kilic Ali Pasha.
Hal menarik yang tidak banyak
diketahui oleh pelancong yang berkunjung ke Haqia Sophia. Bahwa bangunan ini
menyimpan 10,000 sampel surat yang dikeluarkan oleh Khalifah maupun yang
ditujukan kepada Khalifah. Diantaranya, surat sertifikat tanah untuk para
pengungsi Yahudi pada tahun 1519 yang lari dari Inkuisisi Spanyol, pasca
jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Bahkan juga terdapat surat ucapan
terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim
Khalifah Ustmani pasca Revolusi Amerika abad ke-18. Fakta historis ini
menggambarkan semangat toleransi yang diperlihatkan oleh Daulah Khilafah
Ustmani kepada Yahudi dan non-Muslim. Suatu hal yang bertolak belakang ketika
Ustmani menjelang keruntuhannya. Zionis Yahudi melakukan pembusukan dari dalam
Daulah Ustmani, agar dengan mudah mereka merebut kembali Baitul Maqdis.
Ziarah sejarah selanjutnya
adalah Istana Topkapi (Topkapi Sarayi), tempat kediaman para Sultan
Ustmaniyah yang dihuni sejak 1465 hingga tahun 1856 (600 tahun). Pembangunan
istana ini dimulai pada tahun 1459 atas perintah Sultan Mehmed II. Kompleks
istana ini terdiri dari empat lapangan utama dan banyak bangunan-bangunan
kecil. Pada puncaknya, istana ini bisa dihuni oleh 4.000 orang. Selain sebagai
tempat tinggal kerajaan, istana digunakan untuk acara-acara kenegaraan dan hiburan
kerajaan. Aura kemegahan Istana Topkapi mulai memudar pada akhir abad ke-17,
karena sultan lebih suka menghabiskan waktu di istana baru mereka di Bosporus.
Pada tahun 1856, Sultan Abd-ul-Mejid I memindahkan kediamannya ke Istana
Dolmabahçe. Istana yang menghiasi onamen interiornya dengan emas murni ini,
yang kemudian menjadi dinding pemisah antara Sultan dengan rakyat Turki, hingga
keruntuhan Khilafah Turki Ustmani pada tanggal 3 Maret 1924. Namun Istana Topkapi
hanya bisa kami nikmati dari gerbang masuknya saja, karena langit Istanbul
mulai ditingkapi oleh senja yang memerah saga.
Di tengah keharuan dan
sukacita ziarah ke masjid Sultan Ahmed,—yang foto megahnya pernah menjadi
wallpaper layar monitor komputer bututku, dan setia menemaniku menuntaskan
skripsi di Jurusan Sejarah Peradaban Islam dua belas tahun silam—. Sambil
menghirup udara lembab dan asin yang berhembus dari arah laut marmara,
disyahdukan oleh indahnya simfoni orkestra yang berasal dari cuitan burung-burung
camar yang berterbangan di langit dan pelataran Hagia Sophia. Terdengar
sayup-sayup kumandang azan Maghrib membelah angkasa Istanbul dari minaret
Masjid Sultan Ahmed. Kami pun berderap menuju masjid, berwudhu dengan air yang
super dingin, menuntaskan rukuk, sujud, dan memunajatkan doa-doa terbaik. Salah
satunya melabuhkan harapan agar suatu saat bisa kembali ke masjid ini bersama
orang-orang dicintai. Ziarah singkat ini sudah cukup menjadi pengobat rasa
rindu tapak tilas sejarah. Kalau pun masih banyak situs dan artefak sejarah
yang luput dari pandangan, masih ada doa dan harapan, bahwa suatu saat bisa
kembali ke negeri Mr. Erdogan.
Sisi lain dari kota Istanbul
saat itu juga terkuak. Ketika meninggalkan area Sultan Ahmed, kami menyaksikan
anak-anak pengungsi Suriah yang menjajakan tisu, pulpen dan barang sederhana lainnya untuk mengganjal
perut dan bertahan hidup di tengah kerasnya kota Istanbul. Tidak hanya itu, di
sudut jalan sebelum memasuki stasiun metro, mataku tertumbuk pada seorang ibu muda
pengungsi Suriah sambil menggendong bayinya yang mungil, juga menggelar tikar
sederhana untuk menjajakan dagangan serupa. Ingatan terhadap para pengungsi
Suriah itu terus terbawa hingga ke penginapan. Sembari mencoba mengendapkan
rasa dengan penghayatan betapa penderitaan jutaan pengungsi Suriah yang dihajar
oleh musim dingin di lokasi-lokasi pengungsian di perbatasan Turki-Suriah,
ratusan kilometer dari Istanbul. Hanya beratapkan tenda sederhana dan
persediaan makan terbatas, berjuang mati-matian di tengah dahsyatnya musim
dingin. Hanya ditemani kasur tipis dan selimut satu-satunya yang sudah mulai
jebol dan kumal di sana-sini. Mereka meringkuk kedinginan di sana dengan sisa
air mata yang membeku. Hanyut dalam lamunan kenangan tentang orang tua, anak-anak
tersayang, sanak saudara, dan tetangga dekat yang meregang nyawa oleh
dahsyatnya kedzaliman rezim penguasa Suriah. Suramnya masa depan, hebatnya duka
nestapa dan suratan takdir yang begitu memilukan itu, semoga bisa terobati
dengan hadirnya insan-insan berhati mulia yang peduli kepada penderitaan
mereka.
Hari Ahad adalah hari
terakhir seminar Internasional, kerinduan dan kecintaan terhadap Baitul Maqdis
semakin merekah layaknya cendawan di musim hujan. Dari kawasan Fetih Emniyet
kota Istanbul, Baitul Maqdis begitu terasa semakin dekat di hati para peserta
seminar. Soalan tentang fakta sejarah masih jadi penghangat. Dimulai dari Dr.
Feyza Betul Kose yang menguak fakta tentang aktifitas lembaga-lembaga
pendidikan Islam di Baitul Maqdis selama pemerintahan Daulah Khilafah Turki
Ustmani. Tidak terbatas pada lembaga pendidikan Islam, lalu Hafida Ben Dahman
juga menguraituntaskan bahasan tentang aktifitas pendidikan asing non-Muslim di
distrik Kota Jerusalem, sebagaimana yang tercatat dari kementerian pendidikan
Daulah Khilafah Ustmani di tahun 1899.
Berkejaran dengan waktu
dhuha, Muhammed Ali Bioud dari Sudan lalu menguraikan tentang perlindungan kaum
minoritas pada pemerintahan Daulah Khilafah Ustmani. Termasuk kebijakan dan
aturan hukum yang ditegakkan untuk memberikan perlindungan keamanan dan
semangat toleransi bagi kelompok minoritas di Baitul Maqdis. Bahasan ini
menjadi representasi wajah Islam Rahmatan lil Aalamiin yang ditunjukkan
oleh Daulah Ustmani. Tidak cukup sampai di situ, uraian tentang kesejukan wajah
Islam di Baitul Maqdis dilanjutkan oleh Semiha Muhterem Ataman yang mengulas
semangat toleransi dalam keberagaman etnis dan agama di Baitul Maqdis dan
Palestina sebagaimana yang termaktub dalam risalah perjalanan Ewliya Celebi ke
Palestina. Tidak hanya persoalan Baitul Maqdis, Prof. Dr. Ibrahim Ozcozar juga
mengangkat konteks historis Gereja Makam Suci (Holy Sepulchre) dan
Gereja Bethlehem serta tarik-menarik kepentingan agama antara mazhab Armenian
dan mazhab Kristen Ortodox Syria pada abad ke-19. Pembahasan tentang aspek
pluralitas, toleransi, koeksistensi antar budaya dan agama disempurnakan oleh
Dr. Salah Eddine S. Arkadan yang menyajikan keberagaman kultural di Baitul
Maqdis dan Palestina pada era kekuasaan Daulah Khilafah Turki Ustmani.
Meninggalkan waktu dhuhur,
sajian materi yang telah menggugah rasa ingin tahu para peserta, membuat
suasana semakin semarak dan bersemangat. Panitia seminar dengan jeli menyajikan
menu coffe break yang memaniskan lidah dan menyegarkan tenggorokan
dengan minuman khas Turki yang diproses dari buah-buahan terpilih pegunungan
Anatolia. Cukup untuk membunuh rasa lelah dan kantuk yang bisa datang dengan
tiba-tiba. Memasuki siang di mana matahari memandikan sinarnya, yang cahaya
panasnya menjadi lembut karena musim dingin, dan aura keberkahan Baitul Maqdis
terus bertahta di hati para peserta seminar. Apalagi bahasan pemateri semakin
meluas, melampaui batas-batas historis yang telah dipaparkan. Kali ini
menyentuh persoalan mendasar dari sebuah peradaban, yaitu Ekonomi. Dimulai oleh
Abdelhammid Rolami dari Algeria, yang mengulas panjang lebar tentang aturan
yang ditegakkan oleh Daulah Ustmani untuk mengatur persoalan zakat, infaq dan
wakaf di Baitul Maqdis. Lalu Prof. Dr. Mustafa Guler mengangkat peranan yayasan
dana amal milik Daulah Khilafah Ustmani pada akhir abad ke-18. Masuk pada
bahasan yang lebih teknis, Dr. Serife Eroglu Memis mengurai tentang kebijakan
manajemen dan karyawan lembaga wakaf di wilayah sekitar pintu Magharibah Baitul
Maqdis pada abad ke-18. Pembahasan tidak cukup sampai disitu, Prof. Dr.
Muhammad Majid Salah al-Din Al-Hizmawi dari Qatar juga mengurai tentang peran
lembaga amal Daulah Ustmani yang dikenal dengan “The Royal Surra” untuk
membiayai para ulama, sarjana, ilmuan, dan orang-orang miskin selama
pemerintahan Daulah Ustmani tahun (1111-1317 H/1700-1900 M). Menutup soalan
tentang lembaga sosial kemanusiaan di Baitul Maqdis, Abeer Qatanani dari
Yordania, menguraikan peranan lembaga amal swasta di Baitul Maqdis pada periode
pemerintahan Daulah Ustmani, dengan mengangkat sebuah lembaga yang bernama “Al-Imara
al-Amira” dan dampaknya pada kehidupan sosial masyarakat, sebagaimana yang
tercatat Dewan Syariah Palestina.
Klimaks dari acara seminar,
situasi kekinian dari Baitul Maqdis juga tidak luput dari pembahasan. Musa
Akkari dari Malaysia menyajikan kerja-kerja akademik dari studi tentang Baitul
Maqdis, khususnya kajian tentang relasi antara Turki dan Israel. Begitu pula
Ayman Abu Khalil yang juga dari Malaysia, menyajikan tentang
kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintah Republik Turki terhadap masalah
Palestina dan Baitul Maqdis. Tidak terasa seminar mendekati menit-menit akhir.
Aura kepuasan tampak dari wajah-wajah peserta seminar, yang kemudian
dipamungkasi oleh sosok yang sangat familiar bagi peserta workshop, yaitu Dr.
Hichame Toufike dari Marokko. Beliau menutup seminar dengan materi yang tidak
kalah canggih, yakni pemetaan Daulah Turki Ustmani dan Baitul Maqdis
(Palestina) dalam konteks politik, budaya, dan agama. Akhirnya seminar pun
berakhir, menyisakan keharuan, kenangan yang akan terus terpatri dalam memori
para peserta, termasuk anggota delegasi dari Indonesia dan Malaysia. Pada sesi
penutupan, anggota delegasi Indonesia-Malaysia ingin menorehkan kenangan manis
bagi peserta dari seluruh dunia dan juga panitia. Dikomandani pimpinan
delegasi, seluruh anggota delegasi Indonesia-Malaysia berdiri dari tempat
duduknya dan menyorakkan kalimat “birruh, biddam nafdiika ya Aqsha”,
yang bermakna bahwa dengan ruh dan darah, kami akan membebaskanmu wahai al-Aqsha.
Sebuah akhir yang indah.
Desau angin yang dingin
menderu dan menerpa jendela hotel. Terlihat salju sudah mulai turun di
Istanbul. Malam itu adalah malam terakhir saya di Istanbul. Berharap malam bisa
lebih panjang dari biasanya, agar bisa berlama-lama di kota yang menyimpan
berjuta pesona ini. Fajar pagi hari terakhirku di Istanbul pun merekah. Berkejaran
dengan waktu, saya menyempatkan diri mendatangi pusat perekonomian peninggalan
Daulah Ustmani yang melegenda. Grand Bazzar tempat itu disebut. Merupakan salah
satu pasar tertutup (covered market) yang paling tua dan paling besar di
dunia. Bukan bermaksud untuk memuaskan nafsu belanja, tapi untuk melihat dari
dekat kompleks yang dibangun oleh arsitek legendaris Turki Ustmani Mimar Sinan pada pertengahan abad ke 16 itu. Area
yang terdiri dari 60 lorong dengan lebih dari 5000 toko dan kios, dengan jumlah
pengunjung yang datang per hari bisa mencapai 400.000 orang dari berbagai
Negara.
Karena waktu yang sangat
pendek, hanya beberapa kios yang sanggup di datangi, sambil menawar
pernak-pernik buah tangan seperti gantungan kunci, tempelan kulkas, hingga kaus
bertuliskan Istanbul. Tidak terlupa panganan khas Turki yang manisnya bukan
main, yang biasa disebut dengan Turkish Delight turut menjejali kantung bawaan.
Dari semua yang terbeli, satu-satunya oleh-oleh terbaik yang sanggup dibawa
pulang dan menjadi teman dalam perjalanan pulang ke tanah air, adalah sebuah
buku yang berjudul “A Portrait Album of the Ottoman Sultans”. Sebuah
buku kecil yang dicetak dengan sangat baik dan berisi biografi singkat para
Sultan dan Khalifah Daulah Khilafah Turki Ustmani.
Jazakumullahu Ahsanal Jaza wa
Khairan Katsiraa atas
ukhuwah dan kebersamaan dalam rihlah ilmiah kali ini. Semoga suatu saat kita
semua dikumpulkan kembali oleh Allah SWT, dalam gelombang, frekuensi dan ritme
kecintaan terhadap Baitul Maqdis yang lebih dahsyat lagi. Wallahu A’lamu bi
al-Shawwab
Gunung
Tembak, 21 Januari 2017