Senin, 20 Februari 2017

Risalah Istanbul 2016


DI ISTANBUL BAITUL MAQDIS TERASA BEGITU DEKAT
(Sekelumit Risalah Perjalanan Workshop dan Seminar Internasional “Ottomans and Islamicjerusalem” di Istanbul Turki)
Oleh: Abdurrohim Syamsu

Atas rekomendasi Institute al-Aqsha (ISA) lembaga riset dan kajian ilmiah tentang Baitul Maqdis dari Indonesia. Akhirnya saya bersama beberapa kawan dari Indonesia tercatat sebagai undangan “the Third International Forum for Islamicjerusalem Studies” tanggal 08 hingga 11 Desember 2016 di Istanbul Turki. Acara ini diinisiasi oleh “Islamicjerusalem Research Academy” (ISRA), yang merupakan lembaga riset yang telah berkiprah sejak dua puluh tahun silam. Sosok kharismatik dibalik geliat kajian ilmiah tentang Baitul Maqdis (ISRA) ini adalah Prof. Dr. Abd al-Fattah El-Awaisi, F.R.Hist.S.
Undangan tersebut terasa menjadi anugerah yang terindah dari Allah SWT, karena setelah sekian lama, akhirnya bisa menjejakkan kaki keluar negeri. Terlebih lagi negeri Turki menjadi yang pertama dikunjungi. Negeri dengan kegemilangan masa silam Khilafah Ustmaniahnya yang terus mengharu biru di hati.
Perjalanan mengesankan ini dimulai dari Bandara Soetta Jakarta. Setelah menyinggahi Kuala Lumpur dan Dubai yang mempertontonkan kemajuan peradabannya. Dubai khususnya, dengan kemegahan kota yang diwakili oleh Bandaranya yang super sibuk, kemudian melontarkan saya ke masa lalu. Dahulu negeri yang sekarang disebut Dubai ini, adalah jalur penting perdagangan ekonomi dunia yang dikenal dengan “silk road”. Daerah ini pernah dipenuhi oleh tempat persinggahan para kafilah dagang yang disebut dengan “Caravansaries,” sejak puluhan abad yang silam. Karena posisi geografis yang sangat strategis dan terletak di rute udara lintas benua, Dubai adalah salah satu dari bandara yang berbasis di teluk yang mengalami pertumbuhan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari 100 maskapai terbang dari tempat ini ke 260 tujuan dari hub internasional. Wajar kemudian otoritas Bandara Dubai menyebutkan, per Desember jumlah penumpang yang melintas di bandara ini mencapai 83.654.250 orang. 
Tepat pada hari Rabu malam tujuh Desember, akhirnya kami menjejakkan kaki di kota Istanbul. Disambut oleh musim dingin yang menyengat hingga ke tulang. Masih terasa aura kudeta gagal 15 Juli lalu, berhembus bersama aroma laut marmara yang lembab dan asin. Kami tiba di bandara yang orang Turki menyebutnya Attaturk Havilamani, bandara kebanggaan warga Istanbul ini. Bandara ini juga telah menjadi saksi bisu lolosnya Presiden Erdogan dari upaya pembunuhan dan kudeta Militer. Dari lokasi yang sama pula, Erdogan melakukan konferensi pers, lalu disambut dan dielu-elukan oleh rakyat Turki yang sudah melek politik dan jengah terhadap otoritarianisme militer Turki yang selama puluhan tahun membelenggu kemerdekaan mereka. Dalam perjalanan menuju hotel, mulai terlihat Turki yang kian menuju Islamisasi. Proyek yang digagas oleh Mr. Recep Teyyib Erdogan lewat partainya Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP). Sepak terjang dan kemampuan berpolitiknya yang hebat, membuatnya didapuk sebagai “Person of the Year 2016” oleh media Arab baru-baru ini. Selain itu, sekilas dari wajah warga Istanbul yang terlihat di bandara hingga ke jalanan menuju hotel, tak banyak terlihat kemurungan (huzun) yang berulang kali dibicarakan Orhan Pamuk—peraih Nobel Sastra Dunia dari Turki—sebagai “jiwa Istanbul” dalam novel-novelnya. Sekalipun demikian, suasana mencekam masih terasa karena Negara Turki masih dalam status darurat.
Panitia Workshop dan Seminar Internasional tampaknya jeli memilih hotel tempat kami menginap. Terletak di bilangan Fetih Emniyet Istanbul, dan merupakan daerah favorit para pelancong yang berwisata ke Istanbul. Dinamakan Fetih karena merupakan area tempat Sultan Mehmed al-Fatih dahulu membangun kota untuk pertama kalinya setelah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel ini pada tahun 1453 Masehi. Lalu al-Fatih mengubah nama kota menjadi Islambul (menemukan Islam), dan kemudian menjadi Istanbul setelah Turki mengadaptasi abjad latin pada tahun 1928. Tidak jauh dari hotel, di area yang lebih tinggi di kawasan Fetih, berdiri kokoh Masjid Sultan Mehmed al-Fatih, berikut dengan makam tempat peristirahatan terakhir beliau bersama seluruh keluarga dekatnya. Situs bersejarah ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari hotel. Selain Fetih, area ini disebut juga Emniyet, karena hanya sepelemparan batu dari hotel, terdapat Markas Kepolisian Negara Turki di Istanbul. Ada sekelebat keyakinan bahwa perjalanan ini akan aman karena berdekatan dengan Markas Kepolisian. Akan tetapi keyakinan itu runtuh setelah beberapa hari kemudian, kami dan dunia dikejutkan oleh bom bunuh diri di Stadion Sepakbola yang menyasar petugas kepolisian Turki. Dalam perjalanan menuju hotel juga terlihat di sepanjang jalan dari alun-alun Taqsim yang menjadi pusat perlawanan rakyat Turki ketika kudeta 15 Juli lalu, berjejer toko-toko dan apartemen-apartemen yang berdesain mewah, mengingatkan saya akan bangunan dan tata kota di Eropa seperti Frankfurt, Wina dan Praha. Seperti yang pernah saya lihat dalam gambar, karena belum sempat menjejakkan kaki ke sana.
Setiba di hotel, saya disambut ramah oleh ketua panitia seminar dan workshop, seorang muslimah dengan wajah Turkinya yang khas. Dibalut jilbab hitam yang lebar menjuntai, menggambarkan proses Islamisasi yang mulai merasuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Turki. Ada semburat ketakjuban ketika mengetahui bahwa acara yang bertaraf internasional ini dikomandani oleh seorang wanita Muslimah yang masih muda belia. Menggambarkan semangat Turki Muda Islami yang bertumbuh pesat di era pemerintahan Presiden Erdogan.
Setelah bergabung dengan anggota delegasi yang lain, lalu kami disambut oleh Dr. Khaleed al-Awaisi dan Prof. Abd.Fattah al-Awaisi, inisiator dari perhelatan ilmiah ini. Malam itu juga, sekalipun masih dalam kondisi jetlag perjalanan Jakarta-Kuala Lumpur-Dubai-Istanbul. Saya bersama peserta workshop dan seminar dari negara lain, langsung melakukan pertemuan dengan pengurus salah satu sponsor dari acara, yaitu IHH (insan Hak ve Hurriyetleri insan Yardim Vakfi). Sebuah lembaga sosial kemanusiaan yang berdiri sejak tahun 1992, lalu resmi terdaftar di Istanbul pada tahun 1995. Saat ini IHH dipimpin oleh Fehmi Bulent Yildrim. Pertemuan ini juga adalah sesi penyambutan secara resmi dan perkenalan dengan seluruh peserta workshop.
Untuk menjaga semangat kesantrian yang dibawa jauh-jauh dari Indonesia, delegasi khusus yang berasal dari Indonesia dan Malaysia menyepakati kegiatan group fokus (halaqah) tiap sebelum sholat subuh yang berisi tilawah al-Qur’an dan pemahaman tafsirnya. Lalu dilanjutkan sholat subuh berjamaah dengan waktu Turki yang menganut mazhab Hanafi yang jatuh pada pukul 06.30 pagi. Kegiatan ini cukup ampuh untuk menjadi benteng diri anggota delegasi, di tengah suasana kota Istanbul yang nuansa hedonisme dan sekularismenya masih terasa.
Membincangkan soal sekularisme di Turki, mengingatkan kita pada 1940 silam, Soekarno pernah memuji-muji gerakan sekularisme Turki dalam sebuah artikel yang bertitel “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara” yang terbit di Panji Islam. Artikel yang ditulis oleh Bung Karno dari pembuangannya di Bengkulu ini, secara gamblang membela dan memuji gerakan Turki Muda yang akhirnya menjadi kekuatan pendongkel Khilafah Ustmaniyah dari jejak sejarah, setelah menjadi kampiun peradaban Islam hampir selama lima abad. Lalu dilanjutkan dengan gerakan memadamkan cahaya Islam, lewat upaya penghancuran sendi-sendi ajaran Islam secara massif dan terstruktur. Misi besar dari sekularisme Turki ini adalah menghapus keagungan Islam dari memori kolektif masyarakat Turki, seperti yang masih terlihat jejak-jejaknya pada masyarakat Turki pada hari ini. Artikel Bung Karno ini lalu mengundang polemik dalam jagad pemikiran politik Islam ketika itu. Sehingga dengan menggunakan nama pena A. Muchlis, M. Natsir—salah seorang murid terbaik A.Hassan pendiri Persis—berupaya membantah argumentasi Sukarno. Dari sinilah polemik ideologis tentang relasi agama dan Negara di Indonesia semakin menguat, yang membuktikan bahwa gerakan sekularisasi Turki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk turut menginspirasi kelompok Nasionalis di Indonesia.
Keesokan hari, aura keberkahan Baitul Maqdis mulai terasa sejak hari pertama workshop. Pada acara pembukaan forum pertemuan sarjana diploma Studi Baitul Maqdis, Prof. Abd. Fattah dengan berapi-api menggugah semangat peserta workshop yang datang dari berbagai negara untuk menanamkan semangat kecintaan kepada Baitul Maqdis dan terlibat dalam upaya pembebasan Baitul Maqdis. Beliau menuturkan bahwa apa yang telah dicapai oleh Zionis Israel pada hari ini, dimulai dari upaya pengkajian dan riset ilmiah terhadap Baitul Maqdis. Sehingga jikalau kaum Muslimin hari ini ingin membebaskan kembali Baitul Maqdis, juga harus dimulai dengan riset dan pengkajian ilmiah secara mendalam sebagai basis saintifiknya. Dari penuturan beliau dan para pakar tentang Baitul Maqdis, baik di acara workshop maupun di acara seminar, kian terasa bahwa Baitul Maqdis yang terletak ribuan kilometer dari kota Istanbul, terasa begitu sangat dekat.
Berpacu dengan waktu, acara workshop juga membagi peserta dalam beberapa komisi untuk mendiskusikan rencana strategis dan hal-hal yang harus dilakukan oleh para peneliti dan pemerhati Baitul Maqdis yang hadir di arena workshop. Salah satu sesi yang menarik perhatian peserta adalah presentasi motivator ulung dari Mesir, Dr. Ahmad Taufiq tentang pentingnya bagi para peserta workshop untuk membangun kualitas diri hingga bisa mencapai puncak aktualisasi dirinya dengan menjadi ikon perubahan (ramz) di masyarakat. Khususnya untuk mendiseminasikan kecintaan terhadap Baitul Maqdis pada seluruh umat Muslim di negerinya masing-masing.
Pada hari kedua, delegasi khusus Indonesia dan Malaysia berkesempatan membuat forum khusus yang berisi presentasi dari masing-masing peserta tentang Baitul Maqdis dan seluk-beluk yang ada di dalamnya. Diselingi pemutaran film dan tayangan foto-foto tentang Baitul Maqdis, yang dipamungkasi presentasi oleh Ummu Khaleed, salah seorang pakar Baitul Maqdis, yang juga adalah istri dari Prof. Abd. El-Fattah. Semerbak keharuman keberkahan Baitul Maqdis kembali terasa lewat penuturan lugas Ummu Khaleed tentang landasan Qur’ani, sejarah para Nabi dan anasir-anasir keberkahan lainnya dari Baitul Maqdis. Melengkapi keberkahan hari Jum’at di Istanbul, acara workshop peneliti dan pemerhati Baitul Maqdis dari seluruh Dunia itu ditutup dengan penandatanganan MOU antara ISRA (Islamicjerusalem Research Academy) dan Institut al-Aqsha (ISA), lembaga riset Baitul Maqdis dari Tanah Air.
Dua malam pertama di hotel, Istanbul yang sarat dengan warisan sejarah, hanya bisa dinikmati dari balik jendela kamar hotel. Lalu sayup-sayup terdengar cuitan burung-burung camar yang menyeruak di tengah hembusan angin musim dingin yang menggigit hingga ke tulang. Ada rasa rindu yang membuncah, rindu untuk menziarahi dan menjejakkan kaki pada situs-situs dan artefak sejarah kegemilangan Daulah Ustmaniyah. Kerinduan purba bagi sesiapapun yang pernah mencelupkan diri pada sejarah Daulah Ustmani yang dibangun oleh anak keturunan Erthogrul itu. Ada setangkup harap untuk menghirup aura heroisme para tentara Muslim di tahun 1453 dengan menyusuri area Tanduk Emas (golden horn) hingga Tanjung Seraglio, lalu menyusuri jejak sejarah Ustmani dari Menara Leandros; jalur trem nostalgia di jalan Istiqlal; Istana Dolmabache; Masjid Ortakoy di depan Jembatan Bosphorus; Panorama 1453; Situs dinding kota Konstantinopel; area Sultan Ahmed dengan Masjid Birunya (Blue Mosque) yang memesona. Lalu dipamungkasi dengan mengunjungi Hagia Sophia dan Museum Tokapi yang menyimpan memorabilia Rasulullah S.A.W. dan para Sahabat beliau.
Memasuki hari ketiga di hari Sabtu, acara seminar Internasional pun dihelat. Panitia memilih tempat gedung pertemuan milik Munisipalitas Distrik Istanbul (Istanbul Buyuksehir Belediyisi), yang terletak tepat di belakang Markas Kepolisian Kota Istanbul. Rupanya gedung ini sangat familiar bagi aktivis Muslim Istanbul, karena pada hari Jumat malam, Syaikh Dr. Yusuf Qaradhawi—ulama kenamaan Timur Tengah kontemporer—juga menghelat acara di gedung yang sama. Pada acara seminar Internasional kali ini, peserta juga datang berduyun-duyun dari berbagai penjuru kota Istanbul, sehingga kursi yang tersedia penuh sesak. Dari wajah-wajah yang hadir, terlihat bahwa mereka adalah para mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum yang hatinya telah terpaut pada Baitul Maqdis. Tema besar seminar juga sangat menggugah, yakni menelisik lebih dalam tentang kontribusi Daulah Khilafah Turki Ustmani dalam penjagaan, pelayanan, dan perjuangan terhadap Baitul Maqdis (Osmanlilar ve Beytul Maqdis). Seminar ini juga mengambil momentum peringatan masuknya Sultan Selim I ke Baitul Maqdis 500 tahun yang silam. Setelah sesi pembukaan, dilangsungkan acara wisuda mahasiswa diploma dari berbagai negara yang telah menyelesaikan studi dan riset ilmiah tentang Baitul Maqdis melalui lembaga ISRA (Islamicjerusalem Research Academy).
Di tengah dinginnya cuaca Istanbul, peserta seminar langsung dihangatkan oleh sajian materi pertama yang mengulas situasi historis pemerintahan Sultan Selim I dan perhatian beliau terhadap Baitul Maqdis, oleh sejarawan dan editor jurnal “Deep History”, yaitu Mustafa Armagan. Elaborasi historis lalu ditambahi oleh Prof. Abd. El-Fattah El-Awaisi yang menyajikan materi tentang warisan sejarah Daulah Khilafah Ustmani, dan peran warga Turki dalam upaya melindungi Baitul Maqdis. Selanjutnya sajian wawasan sejarah terus diluaskan oleh Dr. Haithem F. Al-Ratrout dari Palestina dengan ulasan tentang kontribusi Daulah Umayyah hingga Daulah Ustmani pada Baitul Maqdis. Menyusul kemudian Dr. Khaleed El-Awaisi yang mengulas tentang peta dan batasan area Baitul Maqdis pada masa Daulah Khilafah Ustmani secara geografis. Menjelang sore, para peserta terus dihangatkan oleh kajian sejarah. Secara bergantian Dr. Mustafa Oksuz menguraikan kajian demografis populasi penduduk di distrik kota Yerusalem di dalam administrasi pemerintahan Utsmani. Lalu Dr. Ziya Polat mengulas tentang upaya migrasi Zionis ke Baitul Maqdis pada era menjelang kejatuhan Turki Ustmani. Seminar Internasional hari pertama ini lalu dipamungkasi oleh Mohammad El-Hamy dari Mesir yang mengungkap formasi pengaruh anasir-anasir asing di Baitul Maqdis selama periode pemerintahan Muhammad Ali Pasha di Mesir.
Semua materi hari pertama terasa sangat mengenyangkan wawasan. Di penghujung hari, saya berempat bersama Faris, Jundi, dan Nurul Zaman—mahasiswa anggota delegasi Indonesia yang sedang kuliah di Timur Tengah—menyempatkan diri untuk menziarahi gedung Panorama 1453 yang terletak di seberang Benteng bersejarah Topkapi-Edirnekapi. Sebuah museum sejarah yang di bagian paling atasnya terdapat lukisan diorama ukuran raksasa selebar 38 meter dengan area yang diameternya seluas 2,350 meter. Diorama tersebut menggambarkan heroisme para tentara Muslim Turki Ustmani di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed al-Fatih dalam menaklukkan kota Konstantinopel (Istanbul). Para pengunjung, termasuk kami berempat seolah terbawa dalam suasana heroik di saat tentara Ustmani menjebol dinding kota Konstantinopel dengan meriam-meriam berukuran raksasa.
Perjalanan kami berlanjut ke dinding benteng kota Konstantinopel yang sisa-sisa keruntuhannya masih dijaga dengan baik. Pada saat ditaklukkan, Konstantinopel berjarak 20 kilometer dari dinding benteng. Yaitu dinding Theodosia sepanjang 5,5 km; dinding laut di sepanjang Golden Horn sepanjang 7 km; dinding laut di sepanjang Laut Marmara sepanjang 7,5 km. Dinding benteng yang kami datangi adalah Dinding Theodosia yang dijebol langsung oleh tentara Muslim Ustmani ketika itu. Setelah itu perjalanan berlanjut ke Masjid Sultan Ahmed (Sultanahmed Camii). Untuk mencapai daerah tersebut, kami menaiki trem yang jalurnya sudah ada sejak jaman Daulah Ustmani. Masjid ini juga dinamakan Masjid Biru (blue mosque) karena pada masa lalu desain interiornya berwarna biru. Akan tetapi cat biru tersebut bukan dari dekorasi asli masjid, maka cat tersebut dihilangkan. Ketika kami tiba di sana, desain interior masjid tidak terlihat berwarna biru. Masjid yang dibangun antara tahun 1609 dan 1616 atas perintah Sultan Ahmad 1, yang kemudian namanya ditahbiskan menjadi nama masjid tersebut. Ketika memasuki area halaman masjid, tampak kokoh berdiri bangunan makam peristirahatan terakhir beliau.
Masjid Sultan Ahmed dibangun di kawasan tertua Istanbul, di mana sebelum 1453 merupakan pusat pemerintahan Kekaisaran Bizantium Romawi Timur. Berada di dekat situs kuno Hippodrome, serta berdekatan dengan Gereja Kristen yang fenomenal Hagia Sophia (kebijaksanaan suci). Berbeda dengan bangunan indah peninggalan Turki Ustmani lainnya yang rata-rata dirancang oleh Mimar Sinan, Masjid Sultan Ahmed diarsiteki oleh Sedefhar Mehmet Aga. Saat itu beliau diberi mandat oleh Sultan untuk membangun masjid yang indah, tanpa perlu memikirkan biaya besar yang harus dikeluarkan. Maka keindahannya yang memesona membuat kami dan pengunjung lainnya hanyut dalam ketakjuban yang tak habis-habisnya. Struktur dasar bangunan ini hampir berbentuk kubus, berukuran 53 kali 51 meter persegi dengan mozaik dan ukiran kaligrafi yang indah, dan disempurnakan oleh lampu-lampu gantung yang cahayanya temaram, dan semakin menambah kekhusyukan ibadah di dalamnya.    
Tapak tilas sejarah kami beranjut ke Hagia Sophia atau Aya Sophia yang merupakan Basilika atau katedral monumental peninggalan Kekaisaran Romawi yang saat ini telah beralih fungsi menjadi museum. Dalam sejarah, katedral ini tetap menjadi katedral terbesar di dunia selama hampir seribu tahun sampai Katedral Sevilla diselesaikan pada tahun 1520. Bangunan yang dibangun antara tahun 532-537 M (sebelum lahirnya Rasulullah SAW) atas perintah Kaisar Romawi Timur Yustinianus I itu, tampak masih kokoh berdiri dan dipertahankan untuk menjadi simbol supremasi Daulah Turki Ustmani terhadap dunia Kristen di masa itu. Arsitektural Bizantium pada Hagia Sophia turut mengilhami banyak masjid Ustmani, seperti Masjid Sultan Ahmed, Masjid Sehzade (Masjid Pangeran), Masjid Suleymaniye, Masjid Rustem Pasha dan Masjid Kilic Ali Pasha.
Hal menarik yang tidak banyak diketahui oleh pelancong yang berkunjung ke Haqia Sophia. Bahwa bangunan ini menyimpan 10,000 sampel surat yang dikeluarkan oleh Khalifah maupun yang ditujukan kepada Khalifah. Diantaranya, surat sertifikat tanah untuk para pengungsi Yahudi pada tahun 1519 yang lari dari Inkuisisi Spanyol, pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Bahkan juga terdapat surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah Ustmani pasca Revolusi Amerika abad ke-18. Fakta historis ini menggambarkan semangat toleransi yang diperlihatkan oleh Daulah Khilafah Ustmani kepada Yahudi dan non-Muslim. Suatu hal yang bertolak belakang ketika Ustmani menjelang keruntuhannya. Zionis Yahudi melakukan pembusukan dari dalam Daulah Ustmani, agar dengan mudah mereka merebut kembali Baitul Maqdis.   
Ziarah sejarah selanjutnya adalah Istana Topkapi (Topkapi Sarayi), tempat kediaman para Sultan Ustmaniyah yang dihuni sejak 1465 hingga tahun 1856 (600 tahun). Pembangunan istana ini dimulai pada tahun 1459 atas perintah Sultan Mehmed II. Kompleks istana ini terdiri dari empat lapangan utama dan banyak bangunan-bangunan kecil. Pada puncaknya, istana ini bisa dihuni oleh 4.000 orang. Selain sebagai tempat tinggal kerajaan, istana digunakan untuk acara-acara kenegaraan dan hiburan kerajaan. Aura kemegahan Istana Topkapi mulai memudar pada akhir abad ke-17, karena sultan lebih suka menghabiskan waktu di istana baru mereka di Bosporus. Pada tahun 1856, Sultan Abd-ul-Mejid I memindahkan kediamannya ke Istana Dolmabahçe. Istana yang menghiasi onamen interiornya dengan emas murni ini, yang kemudian menjadi dinding pemisah antara Sultan dengan rakyat Turki, hingga keruntuhan Khilafah Turki Ustmani pada tanggal 3 Maret 1924. Namun Istana Topkapi hanya bisa kami nikmati dari gerbang masuknya saja, karena langit Istanbul mulai ditingkapi oleh senja yang memerah saga.
Di tengah keharuan dan sukacita ziarah ke masjid Sultan Ahmed,—yang foto megahnya pernah menjadi wallpaper layar monitor komputer bututku, dan setia menemaniku menuntaskan skripsi di Jurusan Sejarah Peradaban Islam dua belas tahun silam—. Sambil menghirup udara lembab dan asin yang berhembus dari arah laut marmara, disyahdukan oleh indahnya simfoni orkestra yang berasal dari cuitan burung-burung camar yang berterbangan di langit dan pelataran Hagia Sophia. Terdengar sayup-sayup kumandang azan Maghrib membelah angkasa Istanbul dari minaret Masjid Sultan Ahmed. Kami pun berderap menuju masjid, berwudhu dengan air yang super dingin, menuntaskan rukuk, sujud, dan memunajatkan doa-doa terbaik. Salah satunya melabuhkan harapan agar suatu saat bisa kembali ke masjid ini bersama orang-orang dicintai. Ziarah singkat ini sudah cukup menjadi pengobat rasa rindu tapak tilas sejarah. Kalau pun masih banyak situs dan artefak sejarah yang luput dari pandangan, masih ada doa dan harapan, bahwa suatu saat bisa kembali ke negeri Mr. Erdogan.
Sisi lain dari kota Istanbul saat itu juga terkuak. Ketika meninggalkan area Sultan Ahmed, kami menyaksikan anak-anak pengungsi Suriah yang menjajakan tisu, pulpen dan  barang sederhana lainnya untuk mengganjal perut dan bertahan hidup di tengah kerasnya kota Istanbul. Tidak hanya itu, di sudut jalan sebelum memasuki stasiun metro, mataku tertumbuk pada seorang ibu muda pengungsi Suriah sambil menggendong bayinya yang mungil, juga menggelar tikar sederhana untuk menjajakan dagangan serupa. Ingatan terhadap para pengungsi Suriah itu terus terbawa hingga ke penginapan. Sembari mencoba mengendapkan rasa dengan penghayatan betapa penderitaan jutaan pengungsi Suriah yang dihajar oleh musim dingin di lokasi-lokasi pengungsian di perbatasan Turki-Suriah, ratusan kilometer dari Istanbul. Hanya beratapkan tenda sederhana dan persediaan makan terbatas, berjuang mati-matian di tengah dahsyatnya musim dingin. Hanya ditemani kasur tipis dan selimut satu-satunya yang sudah mulai jebol dan kumal di sana-sini. Mereka meringkuk kedinginan di sana dengan sisa air mata yang membeku. Hanyut dalam lamunan kenangan tentang orang tua, anak-anak tersayang, sanak saudara, dan tetangga dekat yang meregang nyawa oleh dahsyatnya kedzaliman rezim penguasa Suriah. Suramnya masa depan, hebatnya duka nestapa dan suratan takdir yang begitu memilukan itu, semoga bisa terobati dengan hadirnya insan-insan berhati mulia yang peduli kepada penderitaan mereka.   
Hari Ahad adalah hari terakhir seminar Internasional, kerinduan dan kecintaan terhadap Baitul Maqdis semakin merekah layaknya cendawan di musim hujan. Dari kawasan Fetih Emniyet kota Istanbul, Baitul Maqdis begitu terasa semakin dekat di hati para peserta seminar. Soalan tentang fakta sejarah masih jadi penghangat. Dimulai dari Dr. Feyza Betul Kose yang menguak fakta tentang aktifitas lembaga-lembaga pendidikan Islam di Baitul Maqdis selama pemerintahan Daulah Khilafah Turki Ustmani. Tidak terbatas pada lembaga pendidikan Islam, lalu Hafida Ben Dahman juga menguraituntaskan bahasan tentang aktifitas pendidikan asing non-Muslim di distrik Kota Jerusalem, sebagaimana yang tercatat dari kementerian pendidikan Daulah Khilafah Ustmani di tahun 1899.
Berkejaran dengan waktu dhuha, Muhammed Ali Bioud dari Sudan lalu menguraikan tentang perlindungan kaum minoritas pada pemerintahan Daulah Khilafah Ustmani. Termasuk kebijakan dan aturan hukum yang ditegakkan untuk memberikan perlindungan keamanan dan semangat toleransi bagi kelompok minoritas di Baitul Maqdis. Bahasan ini menjadi representasi wajah Islam Rahmatan lil Aalamiin yang ditunjukkan oleh Daulah Ustmani. Tidak cukup sampai di situ, uraian tentang kesejukan wajah Islam di Baitul Maqdis dilanjutkan oleh Semiha Muhterem Ataman yang mengulas semangat toleransi dalam keberagaman etnis dan agama di Baitul Maqdis dan Palestina sebagaimana yang termaktub dalam risalah perjalanan Ewliya Celebi ke Palestina. Tidak hanya persoalan Baitul Maqdis, Prof. Dr. Ibrahim Ozcozar juga mengangkat konteks historis Gereja Makam Suci (Holy Sepulchre) dan Gereja Bethlehem serta tarik-menarik kepentingan agama antara mazhab Armenian dan mazhab Kristen Ortodox Syria pada abad ke-19. Pembahasan tentang aspek pluralitas, toleransi, koeksistensi antar budaya dan agama disempurnakan oleh Dr. Salah Eddine S. Arkadan yang menyajikan keberagaman kultural di Baitul Maqdis dan Palestina pada era kekuasaan Daulah Khilafah Turki Ustmani.
Meninggalkan waktu dhuhur, sajian materi yang telah menggugah rasa ingin tahu para peserta, membuat suasana semakin semarak dan bersemangat. Panitia seminar dengan jeli menyajikan menu coffe break yang memaniskan lidah dan menyegarkan tenggorokan dengan minuman khas Turki yang diproses dari buah-buahan terpilih pegunungan Anatolia. Cukup untuk membunuh rasa lelah dan kantuk yang bisa datang dengan tiba-tiba. Memasuki siang di mana matahari memandikan sinarnya, yang cahaya panasnya menjadi lembut karena musim dingin, dan aura keberkahan Baitul Maqdis terus bertahta di hati para peserta seminar. Apalagi bahasan pemateri semakin meluas, melampaui batas-batas historis yang telah dipaparkan. Kali ini menyentuh persoalan mendasar dari sebuah peradaban, yaitu Ekonomi. Dimulai oleh Abdelhammid Rolami dari Algeria, yang mengulas panjang lebar tentang aturan yang ditegakkan oleh Daulah Ustmani untuk mengatur persoalan zakat, infaq dan wakaf di Baitul Maqdis. Lalu Prof. Dr. Mustafa Guler mengangkat peranan yayasan dana amal milik Daulah Khilafah Ustmani pada akhir abad ke-18. Masuk pada bahasan yang lebih teknis, Dr. Serife Eroglu Memis mengurai tentang kebijakan manajemen dan karyawan lembaga wakaf di wilayah sekitar pintu Magharibah Baitul Maqdis pada abad ke-18. Pembahasan tidak cukup sampai disitu, Prof. Dr. Muhammad Majid Salah al-Din Al-Hizmawi dari Qatar juga mengurai tentang peran lembaga amal Daulah Ustmani yang dikenal dengan “The Royal Surra” untuk membiayai para ulama, sarjana, ilmuan, dan orang-orang miskin selama pemerintahan Daulah Ustmani tahun (1111-1317 H/1700-1900 M). Menutup soalan tentang lembaga sosial kemanusiaan di Baitul Maqdis, Abeer Qatanani dari Yordania, menguraikan peranan lembaga amal swasta di Baitul Maqdis pada periode pemerintahan Daulah Ustmani, dengan mengangkat sebuah lembaga yang bernama “Al-Imara al-Amira” dan dampaknya pada kehidupan sosial masyarakat, sebagaimana yang tercatat Dewan Syariah Palestina.
Klimaks dari acara seminar, situasi kekinian dari Baitul Maqdis juga tidak luput dari pembahasan. Musa Akkari dari Malaysia menyajikan kerja-kerja akademik dari studi tentang Baitul Maqdis, khususnya kajian tentang relasi antara Turki dan Israel. Begitu pula Ayman Abu Khalil yang juga dari Malaysia, menyajikan tentang kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintah Republik Turki terhadap masalah Palestina dan Baitul Maqdis. Tidak terasa seminar mendekati menit-menit akhir. Aura kepuasan tampak dari wajah-wajah peserta seminar, yang kemudian dipamungkasi oleh sosok yang sangat familiar bagi peserta workshop, yaitu Dr. Hichame Toufike dari Marokko. Beliau menutup seminar dengan materi yang tidak kalah canggih, yakni pemetaan Daulah Turki Ustmani dan Baitul Maqdis (Palestina) dalam konteks politik, budaya, dan agama. Akhirnya seminar pun berakhir, menyisakan keharuan, kenangan yang akan terus terpatri dalam memori para peserta, termasuk anggota delegasi dari Indonesia dan Malaysia. Pada sesi penutupan, anggota delegasi Indonesia-Malaysia ingin menorehkan kenangan manis bagi peserta dari seluruh dunia dan juga panitia. Dikomandani pimpinan delegasi, seluruh anggota delegasi Indonesia-Malaysia berdiri dari tempat duduknya dan menyorakkan kalimat “birruh, biddam nafdiika ya Aqsha”, yang bermakna bahwa dengan ruh dan darah, kami akan membebaskanmu wahai al-Aqsha. Sebuah akhir yang indah.
Desau angin yang dingin menderu dan menerpa jendela hotel. Terlihat salju sudah mulai turun di Istanbul. Malam itu adalah malam terakhir saya di Istanbul. Berharap malam bisa lebih panjang dari biasanya, agar bisa berlama-lama di kota yang menyimpan berjuta pesona ini. Fajar pagi hari terakhirku di Istanbul pun merekah. Berkejaran dengan waktu, saya menyempatkan diri mendatangi pusat perekonomian peninggalan Daulah Ustmani yang melegenda. Grand Bazzar tempat itu disebut. Merupakan salah satu pasar tertutup (covered market) yang paling tua dan paling besar di dunia. Bukan bermaksud untuk memuaskan nafsu belanja, tapi untuk melihat dari dekat kompleks yang dibangun oleh arsitek legendaris Turki Ustmani Mimar  Sinan pada pertengahan abad ke 16 itu. Area yang terdiri dari 60 lorong dengan lebih dari 5000 toko dan kios, dengan jumlah pengunjung yang datang per hari bisa mencapai 400.000 orang dari berbagai Negara.  
Karena waktu yang sangat pendek, hanya beberapa kios yang sanggup di datangi, sambil menawar pernak-pernik buah tangan seperti gantungan kunci, tempelan kulkas, hingga kaus bertuliskan Istanbul. Tidak terlupa panganan khas Turki yang manisnya bukan main, yang biasa disebut dengan Turkish Delight turut menjejali kantung bawaan. Dari semua yang terbeli, satu-satunya oleh-oleh terbaik yang sanggup dibawa pulang dan menjadi teman dalam perjalanan pulang ke tanah air, adalah sebuah buku yang berjudul “A Portrait Album of the Ottoman Sultans”. Sebuah buku kecil yang dicetak dengan sangat baik dan berisi biografi singkat para Sultan dan Khalifah Daulah Khilafah Turki Ustmani.
Jazakumullahu Ahsanal Jaza wa Khairan Katsiraa atas ukhuwah dan kebersamaan dalam rihlah ilmiah kali ini. Semoga suatu saat kita semua dikumpulkan kembali oleh Allah SWT, dalam gelombang, frekuensi dan ritme kecintaan terhadap Baitul Maqdis yang lebih dahsyat lagi. Wallahu A’lamu bi al-Shawwab
                                                                                                Gunung Tembak, 21 Januari 2017



GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...