Senin, 21 Desember 2009

Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi

Pasang Surut Filsafat Islam dan Benturannya dengan Ortodoksi
A. Muqaddimah
Islam sebagai sebuah peradaban memiliki peran fundamental dalam dialektika peradaban secara universal. Keterlibatan yang intens para ilmuan dan cendekiawan Muslim untuk mengapresiasi dan mengadapsi warisan pengetahuan Greco-Roman, Syria Nestorian dan Akademi Jundishapur di Persia, menjadi fakta yang telanjang mengenai pencapaian ilmiah yang hingga kini terkadang masih diingkari oleh sebagian intelektual Barat. Penghargaan yang maksimal terhadap peranan filsuf Muslim dalam upaya menjembatani terputusnya mata rantai antara filsafat Yunani dan filsafat Barat, tampaknya tidak pernah benar-benar terjadi. Deskripsi mengenai filsafat Islam hanya menempati porsi yang sangat minim pada buku-buku sejarah filsafat yang ditulis oleh ilmuan Barat. Bahkan, Leibniz, seorang filsuf Barat yang cukup berpengaruh, mengatakan bahwa “pemikiran filsafat yang dibangun oleh para filsuf Muslim adalah sesuatu yang sangat menjijikkan”.
Hal tersebut merupakan indikasi dari kesalahpahaman sebagian pemikir Barat, atau pembacaan yang tidak selesai terhadap filsafat Islam karena “selubung prasangka” yang berlebihan terhadap Islam. Ironisnya, fakta tersebut tidak diikuti oleh sikap kritis para pemikir Muslim belakangan, atau malah justru mengadopsi pemikiran Barat tertentu dan mempromosikannya sebagai wahana berfikir yang pantas untuk diimani. Melalui makalah ini akan dipaparkan secara singkat pasang surut filsafat Islam dan benturannya dengan ortodoksi Sunni, Di mana sesungguhnya telah terjadi peresapan nilai-nilai filosofis pada beberapa penafsiran filsuf Muslim mengenai hakekat ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Hal ini menimbulkan respon yang keras dari para ulama dan fukaha, karena dianggap akan mengancam eksistensi pemahaman agama yang berdampak pada pendangkalan keimanan karena kerancuan spekulasi filosofis yang menyesatkan. Sampai-sampai Imam Syafi’I berfatwa untuk menghukum para pengikut ajaran filsafat, dengan mengikatnya di atas keledai dan diarak keliling kota, dan disuruh bertaubat.
B. Perkembangan Awal Filsafat Islam pada Abad Kesembilan
Theologi skolastik Kristen awal yang banyak menyerap doktrin-doktrin filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-2 H/8 M, bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan pemikiran filosofis, ilmiah, cemerlang serta kuat, yang menghasilkan karya-karya orisinal dan bernilai tinggi pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-6 H/12 M . Secara intelektual, gerakan falsafah merupakan hasil gerakan penerjemahan yang dilakukan secara massif pada masa Khalifah al-Makmun dengan Baitul Hikmahnya. Ketika itu al-Makmun mempercayakan orang-orang Kristen Nestorian untuk menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini jasa Hunain bin Ishak dan putranya tidak dapat dilupakan.
Fazlur Rahman, mengatakan bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun sistem filsafat Islam berasal dari Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Tetapi konstruksi aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas mengapresiasi doktrin teologis agama Islam . Upaya para filsuf Muslim untuk menciptakan jalinan yang harmonis antara metafisika religius Islam dan metafisika Yunani dengan pendekatan watak Yunani yang rasional menimbulkan respon keras para ulama dan fukaha. Karena dianggap gagal memenuhi tuntutan ortodoksi, filsafat Islam diberangus secara tragis dan tidak diizinkan untuk berkembang.
Secara umum diterima dengan suara bulat bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi sebagai penggagas pertama penulisan kreatif dalam filsafat Islam, dan dianggap sebagai filsuf Arab pertama, baik dalam arti etnik maupun kultural . Ketika Al-Kindi dilahirkan, kota Basrah dan Kufah merupakan pusat kegiatan pendidikan Islam. Ketika itu diskursus filsafat sudah mulai dikaji oleh kaum rasionalis Muslim (Muktazilah). Al-Kindi berperan aktif dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan filosofis Yunani, baik sebagai pelindung penerjemahan yang dilakukan sarjana-sarjana lain, maupun sebagai ahli merevisi dan juru penerang naskah-naskah filsafat. Akan tetapi semua upaya Al-Kindi ini dapat berjalan mulus berkat dukungan langsung dari tiga orang khalifah Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842) dan al-Watsiq (842-847) .
Mengikuti Aristoteles, Al-Kindi menganggap bahwa tujuan filsafat ialah menemukan hakekat sejati benda-benda melalui penjelasan-penjelasan kausal. Penjelasan-penjelasan alamiah bertujuan untuk mencari kebenaran tentang alam, sementara “filsafat pertama” atau metafisika, berkenaan dengan bidang yang lebih tinggi dan ilahi. Menurut Al-Kindi Allah adalah satu-satunya pelaku yang sejati (the only true agent), dan kepelakuan (agency) tindakan manusia bersifat sekunder dan metaforis. Seperti beberapa teolog dalam tradisi Kristen, Al-Kindi percaya bahwa hakekat ilahi Allah memustahilkan manusia untuk memahamiNya sepenuhnya. Karena itu pelukisan Al-Kindi tentang Allah pertama-tama dirumuskan dalam istilah-istilah negatif, seperti via negatifa-nya Philo. Akan tetapi dalam banyak hal, kepercayaan religius Al-Kindi disesuaikan dengan ortodoksi, dan ia bersedia mengakui akal budi mempunyai batas-batasnya. Seperti para Stois, ia mempunyai respek yang mendalam terhadap takdir .
Pasca Al-Kindi, berkembang paham naturalisme dan tantangan terhadap dogma Islam melalui Ibnu Al-Rawandi dan Al-Razi. Pandangan-pandangan filosofis Al-Rawandi seperti keabadian dunia, keunggulan dualisme (manichaenisme) daripada monotheisme dan kebijaksanaan ilahi yang tidak berguna, menguatkan kesan bahwa pemikir ini pada mulanya adalah teolog Mu’tazilah yang sangat ahli dan dihormati, akan tetapi mengalami problem skeptisisme yang akut . Adapun Abu Bakr Muhammad bin Zakariya al-Razi, menganggap filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, yang mencakup baik pengetahuan dan perilaku. Mengikuti Plato, ia meyakini bahwa akal budi adalah piranti-piranti untuk menentukan kebenaran, dan jika akal budi bertentangan dengan wahyu, wahyu harus ditinggalkan. Dalam pandangannya dunia diciptakan Allah tidak dari ketiadaan, karena materi yang bersifat abadi sudah eksis sebelum adanya penciptaan .

C. Perkembangan Neo-Platonisme dalam Filsafat Islam.
Kecenderungan-kecenderungan Neo-Platonik yang (telah ada secara) implisit dalam sistem filsafat Al-Kindi dan Al-Razi, menjadi sangat dominan da lam tulisan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dua orang filsuf Muslim pertama yang membangun sebuah sistem metafisika besar dan sangat kompleks . Abu Nashr Al-Farabi (870-950) dikenal sebagai guru kedua dan otoritas terbesar sesudah Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan dia memulai wacananya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar . Sumbangan filosofisnya yang asli, misalnya berkenaan dengan pendapat-pendapat Aristoteles tentang “esensi” dan “eksistensi”, dimana Al-Farabi membedakan antara esensi (struktur fundamental) pengada yang niscaya (yang wajib ada) dengan pengada yang kontingen (yang bergantung pada sebab-sebab dan dapat menjadi hal lain). Al-Farabi mengadopsi pandangan Neo-Platonisme tentang penciptaan. Ia percaya bahwa semua penciptaan ber-emanasi dari Allah, Sang penyebab pertama, dan bahwa pikiran manusia dapat mengetahui penciptaan ini melalui penerangan yang diberikan oleh intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal .
Sedangkan Ibnu Sina (980-1037) adalah filsuf Muslim ternama yang menjadi tokoh sentral filsafat paripatetik. Ia merupakan ilmuan-filsuf yang amat produktif menerbitkan karya karya-karya ilmiahnya yang hingga kini masih terus dipelajari oleh para sarjana Barat maupun Muslim. William Chittick menyebutnya sebagai kutub intelektual dunia Islam . Mengikuti konsep Neo-Platonisme, Ibnu Sina berargumen bahwa Allah menciptakan dunia melalui emanasi. Dia percaya bahwa Allah adalah pikiran murni dan ciptaan dihasilkan dari pemikiran Tuhan (sebagai aktifitas fundamentalNya). Walaupun demikian, Ibnu Sina meninggalkan ciri-ciri tertentu pandangan Neo-Platonisme, misalnya ia tidak menganggap materi sebagai fondasi abadi benda-benda, sejalan dengan pemahaman Aristoteles . Dalam perkembangan filsafat Islam; Ibnu Sina juga adalah perintis pemikiran iluminasi melalui karya terakhirnya seperti Isyarat Wa Tanbihat dan Mantiq Al-Masyriqiyyin (logika Timur) yang satu abad kemudian dirumuskan oleh Suhrawardi (w. 1191) dalam sistem filsafat iluminasi (Isyraqiyyah).

D. Filsafat Islam Versus Ortodoksi Sunni dan Fenomena Al-Ghazali.
Sebelum memasuki periode benturan dengan ortodoksi, filsafat Islam juga memasuki kecenderungan Neo-Pythagoreanisme yang tegas, gerakan ini dipelopori oleh Ikhwan al-Shafa. Tiga rangkaian plotinian tentang Tuhan, jiwa dan materi tempat mereka membangun dunia sesuai dengan rangkaian numerikal yang menjadi sumber bilangan. Meskipun mereka menghargai Pythagoras, “sang bijaksawanan” yang tiada henti-hentinya mereka puji dan kaji, tetapi Ikhwan mengumpulkan sedikit demi sedikit dari setiap sudut yang mungkin. Karena motto mereka untuk tidak meninggalkan sumber pengetahuan manapun, dan untuk meliput aspek positif semua kepercayaan dalam ajaran mereka . Selain itu, sebelum terjadi benturan ada beberapa tokoh yang menyebarluaskan budaya filosofis pada medio abad kesepuluh, seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Miskawayh dan Yahya bin Adi .
Persentuhan antara tradisi Hellenistik dengan dogma mulai terjadi sejak abad kedelapan, dimana teologi skolastik (kalam) mulai menemukan bentuknya, namun interaksi filsafat dengan dogma menghasilkan perpecahan bertahap antara keduanya. Perbenturan awal terjadi pada peristiwa “mihnah” (inquisition) pada periode Al-Ma’mun yang berupaya mempropagandakan doktrin Mu’tazilah, dan kemenangan partai Hambali dan tradisionalis (ahl al-Sunnah) pada era Mutawakkil. Munculnya pembaharuan teologi skolastik yang dipelopori Al-Asy’ari, Al-Baqillani dan Al-Juwayni membawa angin segar baru dalam pemikiran Kalam, yang kemudian konsepsi teologis Asy’ariah menjadi sangat dominan, sehingga terbentuklah ortodoksi Sunni. Perbenturan filsafat Islam yang Neo-Platonik dengan ortodoksi Sunni terjadi secara sistematik pada buku Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali. Buku tersebut mengelaborasi dua puluh proposisi, dimana enambelas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan terhadap mana Mukmin yang lengah harus diperingatkan. Dari proposisi-proposisi ini, ada tiga yang terutama sekali menjijikkan dilihat dari sudut pandang agama, dan karena itu orang-orang yang membenarkannya harus dinyatakan murtad. Ketiga proposisi tersebut adalah, keabadian dunia melalui doktrin emanasi, pengetahuan Tuhan yang terbatas pada hal-hal yang universal dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani di akherat . Tujuhbelas proposisi lainnya menurut hemat Al-Ghazali tidak dikategorikan sebagai kufur (kufr) melainkan bid’ah.
Menurut Amin Abdullah, perselisihan Al-Ghazali dengan falasifah disebabkan argumen-argumen partikular filsuf Muslim Neo-Platonik secara logis salah dan aneka posisi yang mereka pegang dalam sistem keseluruhan tidak konsisten satu sama lain. Akan tetapi yang terpenting, karena sejumlah asumsi dasar mereka tidak ditemukan. Asumsi-asumsi tersebut, yang dibuktikan Al-Ghazali dengan sangat kuat, tidak dapat di demonstrasikan secara logis dan tidak terbukti sendiri (self evident) melalui “intuisi” . Sedangkan menurut Mehdi Hairi Yazdi, prestasi Al-Ghazali dalam Tahafut sebagian besar bersifat semantik karena dia tergolong filsuf pertama, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, yang membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu pada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya .
Walaupun demikian, menurut hemat penulis, penulisan kitab Tahafut ini adalah upaya memperkuat upaya penguasa ketika itu, yaitu Nizamul Mulk untuk mempropagandakan ortodoksi Sunni dalam rangka melawan doktrin Syiah Ismailiyah (bathini) dan falasifah yang sudah dicemari paham Neo-Platonisme dan teologi Aristotelian. Oleh karena itu ada kesan oppurtunistik dari kitab Tahafut, karena secara tidak langsung, melalui karya ini prestise Al-Ghazali semakin meningkat di mata penguasa, dan semakin meneguhkan posisi dia saat itu yang kebetulan telah menggantikan posisi Al-Juwayni (gurunya) sebagai guru besar Universitas Nizamiyah. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan Al-Ghazali pada kitab Al-Munqidh min Dhalal:
“Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun saya tidak kembali (dalam pengertian yang sebenarnya). Karena “kembali” berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu-- menunjuk pada saat berada di Baghdad ketika menulis Tahafut— saya menyebar ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharapkan kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya” .
Sementara itu telah diketahui bahwa Al-Ghazali ketika menulis Tahafut, sesungguhnya sedang dalam fase skeptis ringan (Asy-Syakk al-Khafi), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk akan hakekat kebenaran . Karenanya, kitab Tahafut tidak dapat dijadikan representasi pemikiran Al-Ghazali secara keseluruhan. Selain itu Al-Ghazali sendiri menegaskan dalam buku al-Arbain fi Usul ad-Din, bahwa buku Tahafut diketegorikan sebagai buku yang “terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-Madhnun biha ala gayr ahliha) . Celakanya, buku Tahafut ini dijadikan oleh para penganjur ortodoksi Sunni untuk menyerang filsafat dan memproteksi doktrin agama dari pengaruh filsafat. Akibatnya –tanpa pernah disadari Al-Ghazali—buku Tahafut ini telah menidurkan ummat Islam dalam mimpi dogmatik selama berabad-abad. Maka wajar kemudian Al-Ghazali dituduh sebagai biang keladi dari kemunduran ummat Islam, walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar.
Penerimaan buku Tahafut secara luas di masyarakat merupakan kemenangan telak teologi skolastik Asy’arian terhadap filsafat, dan membuat “falasifa” menjadi tidak populer. Kenyataan ini diikuti dekadensi peradaban Islam, dimana kaum Muslim tenggelam dalam kecenderungan mistik (tasawuf) yang berimplikasi pada berkembangnya paham fatalisme yang berlebihan, sehingga semakin menambah panjang “tidur dogmatik” kaum Muslim.
Meskipun demikian, filsafat Islam tidak pernah benar-benar habis dari wajah sisa-sisa peradaban Islam. Spekulasi filosofis kembali disemaikan di Spanyol Muslim oleh Ibnu Massarah, Al-Majrithi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufayl dan Ibnu Rusyd . Bahkan Ibnu Rusyd berupaya menyanggah buku Tahafut Al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut at-Tahafut. Akan tetapi sudah sangat terlambat, karena ummat Islam terlanjur hanyut dalam mimpi dogmatiknya. Upaya Ibnu Rusyd untuk menghidupkan kembali tradisi Aristotelianisme justru dapat membangunkan Barat dari tidur panjangnya selama berabad-abad (dark ages). Sebagaimana diketahui bahwa gerakan Averroisme telah menjadi cikal bakal kebangkitan intelektual di Barat. Sementara itu dalam lingkungan Syiah, filsafat Islam telah mengkristal menjadi paham iluminasi (isyraqiyyah) yang kompleks, dimana doktrin filsafat Suhrawardian dikawinkan dengan doktrin mistik Ibnu Arabi, dan melahirkan sistem filosofis yang sangat pelik. Sistem filsafat ini kemudian populer dengan istilah irfan (gnosis) atau ilmu hudhuri (knowledge by presence), dan utamanya bermuara pada pemikiran filsafat Shadr Al-Din al-Syirazi (Mulla Shadra).

E. Analisis
Hidup dimasa peralihan dari abad ke-11 menuju abad ke-12, al-Ghazali menyaksikan kekacauan politik dan agama yang mendera umat Islam. Gerakan Fatimiyyah yang didukung Bani Buwaihi, memberontak untuk melawan khalifah Abbasiyah Sunni yang bermarkas di Baghdad. Secara eksternal, umat Islam berhadapan dengan pasukan Salib Perancis, yang pada tahun 1098 M. berhasil merebut Palestina. Pada saat yang sama, perdebatan teologis juga merembet pada konflik politik. Kaum Muktazilah dan kaum Syi’ah mendukung Bani Buwaihi, sedangkan kaum Asy’ariah dan kaum sufi-moderat mendukung Bani Saljuq (Sunni) yang berusaha menghadapi gerakan Batini (Syiah Ismailiyah). Imam Al-ghazali berada pada zaman yang serba dilematis, baginya, menyelamatkan akidah umat Islam (Sunni) dari kebingungan dan kerancuan filsafat adalah yang paling primer, sehingga wajar apabila ia menjadi satu-satunya tokoh pembela ortodoksi yang bersemangat ketika itu. Al-Ghazali berusaha menekankan bahwa umat Islam tidak boleh menggantikan metafisika Qur’an dan Sunnah dengan metafisika Yunani. Wahyu monotheis tidak boleh ditukar dengan mitos politheis.
Hukum kausalitas, sebagai salah satu teori pengetahuan, pada waktu itu benar-benar menantang prinsip kenabian, khususnya mukjizat. Al-Ghazali harus menghadapi filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang meyakini kausalitas sebagai basis epistemologi mereka . Konsep prima kausa Aristoteles menyimpulkan bahwa hubungan antara sebab dan akibat bersifat niscaya, sehingga fakta-fakta teologis seperti mukjizat mustahil terjadi. Kritik Al-Ghazali pada kausalitas bertujuan untuk menegakkan mukjizat dan menegaskan superioritas Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Disinilah letak sumbu permasalahan, di mana Al-Ghazali kemudia dihakimi oleh para modernis sebagai biang keladi kemunduran Islam.
Melalui Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd, melihat bahaya yang akan ditimbulkan oleh serangan Al-Ghazali, berupaya meyakinkan semua pihak bahwa hukum kausalitas merupakan suatu yang niscaya dan bukan suatu yang mungkin. Ibn Rusyd mengingatkan bahwa menolak kausalitas sama saja dengan menolak kemampuan intelektual dan mengembangkan sains. Peringatan ini telah terbukti, umat Islam yang terpengaruh pemikiran al-Ghazali terjatuh ke dalam keterbelakangan saintifik dan teknologis. Gerakan modernisme yang melihat kenyataan ini mengkritik habis-habisan teori kausalitas Al-Ghazali dan memasarkan pandangan Ibn Rusyd secara lebih kuat, contohnya Al-Jabiri dengan proyek kritik nalar Arabnya.

F. Khatimah
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam telah berperan secara signifikan di dalam konstelasi pemikiran filsafat secara global. Selain itu para filsuf Muslim telah berhasil menjadi komentator-komentator yang handal pada pemikiran Yunani dan berupaya menemukan titik temu antara filsafat dan doktrin agama Islam, walaupun tetap dengan memakai baju “Neo-Platonik”. Akan tetapi ketulusan ilmiah para filsuf kemudian disalahpahami oleh Al-Ghazali, dan membuat serangan yang mematikan melalui buku Tahafut. Akibatnya ummat Islam tetap tertidur pulas pada mimpi dogmatik selama berabad-abad. Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah kaum Muslim sudah terjaga dari tidurnya atau tidak, karena kita masih mendapati kelompok-kelompok Muslim yang menganggap filsafat sebagai sosok hantu yang sangat menakutkan. Wallahu A’lamu Bishawwab.





Kepustakaan

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut Al-Falasifah, terj. Akhmad Maimun, Islamika, Jogjakarta, 2003.
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam (Antara Al-Ghazali dan Kant), terj. Hamzah, Mizan, Bandung, 2002.
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
M. Higgins, Kathleen dan C. Solomon, Robert, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu, Bentang, Jogjakarta, 2002.
Rahman,Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh Versus Hermeneutika, Pesantren Nawasea Press, Yogyakarta, 2006.
Yazdi, Mehdi Hairi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, terj. Ahsin Muhammad, Mizan, Bandung, 2003.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...