Senin, 09 Januari 2012

MENAKAR KUALITAS PENDIDIKAN KITA

A. Pendahuluan. 
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. 
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Selain itu menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektivitas, efisiensi dan standarisasi pengajaran. 
Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:(1) Rendahnya sarana fisik; (2) Rendahnya kualitas guru; (3) Rendahnya kesejahteraan guru; (4) Rendahnya prestasi siswa; (5) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan; (6) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan; (7) Mahalnya biaya pendidikan. 

 B. Tinjauan Historis Kualitas Pendidikan di Indonesia. 
 1. Era Kolonial Pada jaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional. 
Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa. 
Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakan bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Oleh sebab itu di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun sistem pendidikan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa. 
2. Era Orde Lama Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 Junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama. Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi. 
3. Era Orde Baru Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi sebuah loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada sebuah pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. 
Dalam era pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya. Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk KOPERTIS-KOPERTIS sebagai bentuk birokrasi baru. 
4. Era Reformasi Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional. Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI. Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan sebuah ajang pertikaian dan persemaian manusia-manusia yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit, mementingkan diri dan kelompok.
Menurut H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Pertama, kekuatan politik: Pendidikan masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik praktis, yang berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan partai-partai politik, untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan politik ditentukan oleh dua paradigma yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyaman hidup manusia. Paradigma ekonomi lebih mengedepankan pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan-pemenuhan kehidupan materiil dan mengesampingkan kebutuhan non materiil duniawi. Contoh pengembangan dana 20 %. Kedua, kekuatan ekonomi: manusia Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa dampak positif dan negatif. Positifnya yaitu pendidikan menunjang perbaikan hidup dan nilai negatifnya yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas pertimbangan efisiensi, produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing, yaitu pada orientasi profit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan. Demi mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan maka disusunlah beberapa upaya standarisasi. Untuk usaha tersebut maka muncul konsep-konsep seperti : Ujian Nasional. Dalam menyusun RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 – 2009 lebih menekankan pada manajemen dan kepemimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan sebuah proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, keterampilan, penguasaan skill yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi. 

 C. Realitas Objektif Kualitas Pendidikan di Indonesia. 
 Lebih dari tiga dekade Indonesia telah meningkatkan angka partisipasi sekolah dengan baik. Pada tahun 2002, angka partisipasi kasar untuk sekolah dasar melebihi 100 persen, meningkat dari 80 persen di tahun 1970, dan angka partisipasi murni sekolah dasar saat ini mencapai 93 persen. Partisipasi sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama juga menunjukkan peningkatan yang mengesankan. Angka partisipasi murni meningkat dari hanya 18 persen pada tahun 1970 menjadi 80 persen pada tahun 2002. Indonesia juga telah cukup berhasil dalam mengurangi ketimpangan angka partisipasi antara laki-laki dengan perempuan. Angka partisipasi, terutama pada jenjang pendidikan dasar, dapat disejajarkan dengan negara-negara di Asia timur lain yang mempunyai tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Akan tetapi sebagaimana yang jelaskan oleh Prof. Suyata di dalam pidato Dies, bahwa universalisasi pendidikan dasar di berbagai negara diiringi oleh kecenderungan menurunnya mutu dan kualitas pendidikan. 
Kenaikan tingkat partisipasi diiringi oleh menurunnya prestasi ini ditemukan secara konsisten di banyak negara dengan kondisi bahwa distribusi kemampuan di berbagai negara atau kawasan yang sama dan melakukan rekruitmen kelompok bawah. Alasan yang sering diajukan adalah masuknya kelompok anak yang belum siap belajar atau sering tidak mau belajar atau mau belajar untuk menyenangkan orang lain atau orang tua. Selain itu sumber-sumber belajar tidak tersedia di balik bertambahnya jumlah siswa, dan pendirian sekolah sekedar dorongan menyediakan tempat belajar dengan semangat pengabdian. Banyak sekolah didirikan dengan perlengkapan dan peralatan seadanya, termasuk guru-guru dan pengelolaannya. Hal-hal esensial tidak memadai, jam-jam belajar tidak teratur, dan lingkungan keluarga serta masyarakat tempat tinggalnya miskin sumber-sumber belajar dan dukungan belajar (Suyata, 1998: 8). Prof Suyata menambahkan bahwa pengembangan mutu sekolah dan sistem persekolahan tingkat pendidikan dasar nampaknya berbeda dengan pengembangan di tingkat pendidikan menengah. 
Pendidikan dasar dikembangkan dalam konteks kewajiban belajar dengan prioritas pada penyediaan daya tampung agar mampu menyerap semakin banyak anak usia sekolah yang berkualifikasi (eligible). Perluasan populasi sekolah secara agregatif belum sempat diikuti oleh konsolidasi pengalaman menghadapi “siswa baru” di luar klien selama ini. Pemrosesan anak oleh sistem pembelajaran nampaknya sama dari waktu ke waktu dengan dominasi eksposa verbal dan penekanan strategi kognitif analitik, linear, serta kompetitif tanpa menyiapkan mereka membiasakan budaya belajar semacam ini (Suyata, 1998: 9). 
Berkaitan dengan persoalan di atas, dalam hal ini dapat dipetakan beberapa persoalan mendasar yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia yakni antara lain: 
1. Tidak semua anak bersekolah. Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang masih belum bersekolah. Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta. 
2. Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini. Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hampir semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam, sebagaimana figur di bawah ini. 
3. Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk. Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001 terlihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. 
4. Persiapan dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang. Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan semua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas. 
5. Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala. Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum. Rendahnya mutu sisi luar pendidikan di Indonesia sebagaimana yang telah dipetakan di atas diperparah oleh ambruknya kualitas sisi dalam atau dimensi moral pendidikan nasional seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, cinta kebenaran dan kemandirian. Kepedulian dan solidaritas sosial terbatas dan parokial. Kecenderungan materi untuk diri sendiri semakin menggejala, termasuk dalam memilih bidang pendidikan dan pekerjaan (Suyata, 1998: 11-12). Anomali moralitas kebangsaan yang semakin memburuk membuat Kementerian Pendidikan Nasional dengan tergesa-gesa menggagas pentingnya pendidikan karakter . 
 D. Peningkatan Mutu Sekolah Sebagai Sarana Perbaikan Kualitas Pendidikan. 
 Menurut Prof. Suyata, sekolah perlu dimandirikan dengan kekhasan masing-masing, tanpa membuat satu dengan lainnya terpisah, demikian halnya kerja sama dan kompetisi sekolah perlu dipikirkan untuk perbaikan mutu pendidikan. Dalam hal ini sekolah hendaknya dirancang menjadi transformator tanpa mengubah yang kuat dan lebih menjadi lemah dan kurang, melainkan memanfaatkan yang lebih itu untuk memperbesar yang kecil. Proses transformasi yang dimaksud oleh Prof Suyata adalah upaya untuk memadukan perubahan struktural dan usaha inovatif, sehingga keterkaitan antara sekolah dan masyarakat tetap terpelihara dalam menghadapi isu-isu pendidikan dan kemasyarakatan oleh fleksibilitas, kepekaan, dan komitmennya terhadap perkembangan anak. (Suyata, 1998: 13). 
 Dalam perbaikan mutu sekolah, perlu mengadopsi pendekatan developmental, yakni menekankan pada upaya sekolah untuk mengenali karakteristik awal input dan berdasarkan pengenalan karakteristik itu program-program perlakuan terhadap siswa disusun. Misalnya sedari awal sekolah telah berupaya memetakan karakteristik peserta yang masuk melalui rekam jejak yang dikoleksi melalui orang tua maupun masyarakat. Dari sini sekolah akan menganalisa atau mendiagnosa kemungkinan-kemungkinan treatment yang bisa dilakukan kepada peserta didik. Proses developmental ini memiliki similaritas dengan proses dan pola kerja yang terjadi di sebuah Rumah Sakit, di mana telah ditentukan standar keberhasilan yaitu kesembuhan pasien, dan standar itu tidak pernah berubah walaupun pasien yang datang membawa tingkatan sakit yang berbeda-beda. Sehingga keadaan pasien tidak akan memengaruhi standar, tetapi akan memengaruhi proses treatment, peralatan, waktu, jenis dan dosis pengobatan, serta biaya yang akan dikeluarkan. 
Pengadopsian pola protap dan prosedur operasional dari Rumah Sakit telah dilakukan oleh lembaga persekolahan di New Zealand dan Argentina dalam meminimalkan kenakalan remaja di sekolah dengan mendiseminasikan protap model Rumah Sakit itu melalui menempelkannya di dinding-dinding sekolah sebagai karangka acuan perilaku bagi guru maupun murid. Dengan demikian, dengan pendekatan developmental, sekolah tidak perlu melakukan proses seleksi masuk dan juga tidak perlu menurunkan standar keberhasilannya, sebab yang menentukan adalah ketepatan prosesing siswa untuk mencapai standar keberhasilan. Untuk keperluan pengembangan keunggulan, performan siswa saat masuk sekolah tidaklah menjadi yang paling penting, sebab keunggulan akan dilihat dari kemampuan sekolah memberi dampak bagi perkembangan siswa. (Suyata, 1998: 15). 
Pendekatan ini kontras dengan pendekatan tradisional yang mementingkan kekayaan sumber-sumber belajar, input yang terseleksi ketat dan standar pencapaian akademik tertinggi yang dicapai oleh keluaran sekolah. Sehingga sekolah dengan pendekatan tradisional tersebut dikatakan telah meraih reputasi sebagai berkualitas dan bermutu hanya karena pencapaian yang bersifat kosmetik dan artifisial. Don Adams sebagaimana dikutip oleh Prof Suyata, mengidentifikasi dimensi umum dalam melihat mutu yaitu: 1) reputasi, 2) sumber-sumber dan masukan, 3) proses, 4) isi, keluaran (outputs) dan hasil (outcomes), dan 6) nilai tambah (value added). Biasanya mutu sebagai reputasi menekankan masukan dan keluaran sebagaimana masyarakat umum mengenalinya. 
Mutu sebagai masukan dan sumber-sumber banyak digunakan oleh mereka yang berurusan dengan akreditasi di kalangan profesional dan badan-badan internasional. Mutu sebagai suatu proses menekankan kualitas dinamik suatu program sekolah atau suatu sistem. Mutu sebagai isi sering tidak terpisah dengan mutu sebagai proses, sedangkan mutu sebagai keluaran dan hasil semakin populer di kalangan pengambil kebijakan. Pengukuran dampak memberikan mutu sebagai suatu perubahan. Sekolah bermutu dan sekaligus dapat berdampak dapat dilihat kemampuannya menghadirkan perubahan di dalam diri siswa, baik itu pengetahuan, sikap, atau perilaku tampilnya atau keseluruhannya. (Suyata, 1998: 16-17). 
 Dari dimensi umum di atas, tampak bahwa dalam konteks pendidikan di Indonesia, baik pendidikan umum maupun keagamaan seperti madrasah, masih menekankan pada dimensi reputasi; sumber-sumber dan masukan; dan keluaran dan hasil, sementara masih mengabaikan aspek proses; isi; dan nilai tambah. Fenomena ini juga membuat lembaga persekolahan bermetamorfosa menjadi lembaga yang elitis, karena hanya bisa dinikmati oleh kelompok berpunya (the haves) atau ruler class. Sedangkan kelompok masyarakat subaltern atau ruling class hanya bisa menikmati lembaga persekolahan yang minim sarana, fasilitas, dan SDM dengan kualitas pembelajaran yang buruk. Selain persoalan maraknya lembaga persekolahan yang elitis dan minimnya lembaga persekolahan yang populis dan pro-rakyat, juga budaya yang berkembang di sekolah masih mengadopsi iklim kepemimpinan yang sentralistik, paternalistik atau bahkan feodalistik. Ditambah oleh sikap adigung adigung adiguna Kepala Sekolah dan sikap ewuh pakewuh para guru dan tenaga kependidikan. Padahal salah satu faktor penting yang menentukan mutu dan kualitas lembaga persekolahan adalah iklim kepemimpinan menjauhi pola pemaksaan dan mengadopsi pola membimbing (lead-leadership). 
Selain itu kualitas dan mutu sekolah juga sangat ditentukan oleh pengendalian kualitas manajemen, kualitas kerja, dan kualitas lingkungan sekolah. Prof. Suyata menyatakan bahwa permasalahan buruknya kualitas pendidikan yang terus meningkat hanya bisa diperbaiki dengan menghadirkan mutu lewat penerapan teori kontrol yang diimplementasikan bagi para manajer, guru, dan siswa. Pengalaman penerapan tingkat manajemen tingkat sekolah dengan menekankan sistem ini terbukti memberikan hasil positif bagi proses belajar-mengajar. (Suyata, 1998: 23). 
 E. Langkah-langkah Strategik Perbaikan Mutu dan Kualitas Sekolah. 
 Menurut Prof. Suyata, perbaikan mutu pendidikan di tingkat sekolah atau gugus sekolah memerlukan proses dan tata kerja partisipatif, kolaboratif, interaktif dalam proses transaksional dinamik antar mereka yang memiliki kepentingan dan terkena dampak oleh keputusan dan aksi pendidikan (Suyata, 1998: 23). Dalam hal ini Gestner dan rekan-rekannya merancang tujuh hal strategik untuk pembaharuan mutu sebagai berikut: • Merumuskan tujuan secara jelas dan mengukur kemajuan pencapaiannya. 
• Memilih pimpinan dan memberikan tanggung jawab kepadanya/mereka. 
• Memilih pekerja/tenaga pelaksana yang berbakat/berkemampuan, lakukan investasi di ketenagaan ini, dan sediakan atau berikan reward memadai. 
• Alokasikan dana untuk meningkatkan produktivitas sekolah. 
• Membangun tata hubungan baru antara sekolah, orang tua dan masyarakat. 
• Bujuklah siswa agara belajar. 
• Berikan reward bagi yang berhasil dan punishment bagi yang gagal. Dalam upaya perbaikan sekolah terkandung prinsip-prinsip inti sebagai kerangka acuan perubahan dan perkembangan yang dapat dilakukan secara mandiri oleh sekolah tanpa harus melibatkan unsur-unsur di luar sekolah. Oleh karena itu ada beberapa asumsi-asumsi yang menjadi landasan bagi upaya perbaikan sekolah antara lain: 
• Sekolah telah memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara mandiri. 
• Perbaikan sekolah mengandung aspek perubahan budaya atau kultur. 
• Terdapat tingkatan kondisi sekolah dan ruang kelas yang harus diperbaiki. 
• Perbaikan sekolah juga memberikan perhatian pada membangun kemampuan besar untuk melakukan perubahan. (Alma Harris, 2002: 18). 
Menurut Alma Harris ada beberapa faktor yang sangat mampu memberi kontribusi terhadap upaya perubahan dan perbaikan di sekolah, yakni: 
• Partisipasi aktif para guru di dalam merencanakan dan pengambilan kebijakan. 
• Komitmen aktif para guru untuk menjadi instrumen penting dalam mengimplementasikan program. 
• Dorongan dan tekanan untuk memastikan program terlaksana dengan baik. 
• Perlunya agensi eksternal melakukan asistensi dan menjadi wahana yang bersifat konsultatif. 
• Pengembangan staf untuk mendukung pelaksanaan perbaikan dan perubahan sekolah, sesuai target yang ingin dicapai. (Alma Harris, 2002: 19). 
Selain itu menurut Alma Harris, ada beberapa karakteristik sekolah yang telah mengupayakan gerakan perubahan dan perbaikan, yaitu: 
• Upaya perbaikan pada aspek ruang kelas menjadi fokus perhatian utama. 
• Memanfaatkan dengan bijaksana instruksi atau strategi pedagogis, atau mereka telah mempersiapkan model-model pembelajaran secara eksplisit. 
• Memperbolehkan untuk melakukan penekanan-penekanan pada proses implementasi, untuk mengetahui sejauhmana kesetiaan dalam melaksanakan program. 
• Mengumpulkan bukti-bukti evaluasi sistematik tentang dampak yang ditimbulkan pada sekolah dan ruang kelas. 
• Memobilisasi perubahan pada tiap level di dalam organisasi sekolah, seperti ruang kelas, departemen, dan tingkatan level para guru. 
• Melakukan perubahan kultural sebagaimana perubahan pada aspek struktural. 
• Melibatkan para guru dalam dialog profesional dan perkembangan. 
• Mempersiapkan agensi eksternal untuk mendukung terlaksananya perbaikan dan perubahan. (Alma Harris, 2002: 29). 
Di sisi lain, pada level kondisi sekolah dan ruang kelas, terdapat elemen-elemen infra-struktural, yang dalam prosesnya akan berdampak langsung pada upaya perubahan dan perbaikan di sekolah, untuk pada level kondisi sekolah yang perlu dilakukan adalah: a). adanya komitmen untuk investasi pengembangan staf sekolah; b). adanya upaya yang bersifat praktis untuk melibatkan staf, para murid, dan komunitas sekolah lainnya untuk berperan dalam penentuan kebijakan dan keputusan; c). adanya pendekatan kepemimpinan yang bersifat transformatif; d). adanya penerapan strategi koordinasi yang efektif; e). adanya perhatian utama pada keuntungan yang potensial dalam proses inkuiri dan refleksi; f). adanya komitmen untuk merencanakan aktivitas yang bersifat kolaboratif. (Alma Harris, 2002: 52). Sedangkan pada level kondisi ruang kelas, yang perlu diciptakan adalah: 1). Menciptakan hubungan yang autentik antara guru dan murid, dalam bentuk hubungan yang terbuka, harmoni dan berkualitas di ruang kelas; 2). Terciptanya batasan-batasan dan aturan-aturan untuk melakukan kontrol terhadap perilaku siswa di ruang kelas; 3). Para guru mempersiapkan perencanaan secara menyeluruh baik pada aspek materi maupun sumber daya yang ada di ruang kelas; 4). Para guru merancang model dan gaya pembelajaran yang dapat diinternalisasikan di ruang kelas, tanpa harus bergantung pada murid, konteks, kurikulum, dan hasil yang diinginkan; 5). Para guru mampu membentuk hubungan yang profesional di dalam maupun di luar kelas, dan di fokuskan pada belajar dan praktek-praktek perbaikan; 6). Para guru mampu melakukan refleksi diri atas proses pembelajaran yang telah di lakukan di ruang kelas. (Alma Harris, 2002: 52-53). 
 F. Penutup. 
 Persoalan perbaikan mutu dan kualitas terus menjadi pekerjaan yang tidak pernah usai selama proses pendidikan dan pengajaran terus berjalan. Apalagi berbagai macam persoalan yang mendera perjalanan negara-bangsa Indonesia, dari hari ke hari semakin kompleks, seolah-olah negara ini sulit untuk melepaskan diri dari carut-marut yang terjadi di segala bidang. Buruknya kualitas pendidikan dan pengajaran akan berkontribusi pada melemahnya sistem budaya dan sistem sosial yang diikuti oleh ambruknya moralitas. Sehingga dalam hal ini upaya perbaikan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia bergantung pada hadirnya integritas moral dan intelektual para pemikir serta praktisi yang berkecimpung di dunia pendidikan. 

 Sumber Bacaan 
Suyata, (1998), Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, Pidato Dies Natalis XXXIV Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta pada 23 Mei 1998 
Harris, Alma, (2003), School Improvement; Whats in it for schools?, London: RouledgeFalmer.

DISKURSUS PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pendahuluan. 

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia . Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). 
Wacana pendidikan karakter telah menjadi isu penting dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini dipicu oleh kesadaran yang bersifat kolektif tentang merosotnya kualitas karakter dan kepribadian subyek didik yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti terlihat dengan tingginya eskalasi kekerasan di antara pelajar baik pada jenjang pendidikan menengah maupun di level perguruan tinggi. 
Belum lagi persoalan rendahnya moralitas subyek didik dengan menjamurnya fenomena budaya narkoba dan seks bebas di kalangan pelajar, termasuk dengan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan dan adanya indikasi meningkatnya sifat sadisme di kalangan subyek didik, terbukti oleh meningkatnya indeks tawuran antar pelajar di tahun 2011. 
Selain itu isu pendidikan karakter juga menjadi salah satu upaya pemerintah melalui Depdikbud untuk mengikis budaya korupsi yang berurat berakar dalam mind set masyarakat Indonesia. Akan tetapi, Mengembangkan pendidikan karakter itu ibarat mencari kucing hitam dalam kamar yang gelap, begitu ujar seorang guru. Memulai tahun ajaran baru, banyak sekolah mempromosikan program pendidikan karakter. Bahkan, tahun ini pun pemerintah juga menggemakan tentang pentingnya pendidikan karakter. 
Namun, semakin banyak dibicarakan, semakin tidak jelas halnya. Akhirnya, seperti kata guru tadi, kita berhadapan dengan kucing hitam dalam kamar yang gelap. Gambaran kucing hitam sebenarnya menunjuk pada berbagai macam tema terbuka yang mesti dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil keputusan sebelum mereka mengembangkan pendidikan karakter. Meskipun pendidikan karakter dirasakan kemendesakannya, baik itu berkaitan dengan pengembangan pembentukan diri individu secara utuh, serta dampak-dampak pembentukan karakter bagi kelangsungan sebuah masyarakat, pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang tidak jelas dengan sendirinya (self-evident). 
Selain itu klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan politis, sosial, budaya, agama, psikologi, pendidikan, dan psikis. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan kebaikan dan kesejahteraan individu dan masyarakat mau tidak mau mesti melibatkan banyak pihak. Perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan konflik satu sama lain dalam rangka pengembangan pendidikan karakter. 
 Dalam konteks pendidikan Islam, pengolahan konsep tentang pendidikan karakter banyak dikaitkan dengan proyeksi pengajaran aqidah dan akhlak, karena tujuan yang ingin dicapai dalam isu pendidikan karakter sepenarian dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran aqidah dan akhlak selama ini. Selain itu dalam kacamata pendidikan Islam proses pelaksanaan pendidikan karakter sejalan dengan misi utama Nabi Muhammad s.a.w. yakni dalam rangka menyempurnakan akhlak, etika, karakter umat manusia. Oleh karena itu desain pendidikan karakter yang dirancang paling tidak di ekstraksi dari nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an, hadis, dan sejarah Islam. 
Dalam hal ini keberhasilan pendidikan karakter tergantung kepada peran strategis pendidik yang mampu memerankan diri sebagai contoh par exelence atau sebagai uswah hasanah (role model). Sebagaimana yang telah diperankan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Dalam aspek materi dan kurikulum, sejatinya pendidikan Islam memiliki turats yang sangat kaya untuk menjadi sumber desain kurikulum pendidikan karakter. 

 B. Diskursus Pendidikan Karakter. 

 1. Pengertian Pendidikan Karakter. 
Ditinjau dari sudut etimologi, kata “karakter” atau dalam bahasa Inggris disebut “character” berasal dari kata Yunani “charassein”, dalam Webster’s New World Dictionary of the American Language, “karakter” diartikan sebagai “pola perilaku moral individu.” Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai upaya membentuk pola perilaku moral individu yang baik lewat proses berkesinambungan yang berarti “mengukir.” Oleh karena itu pendidikan karakter yang paling utama sejatinya diberikan kepada seorang anak, sejak usia dini, dalam institusi pendidikan yang paling kecil namun berperan paling penting, yaitu keluarga. Dalam lingkup keluarga, seorang anak akan dibentuk karakter atau pola perilaku moralnya oleh orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu. 
Selain keluarga, ada institusi pendidikan lain yang bisa dilibatkan oleh orang tua untuk menanamkan karakter yang baik dalam diri anak-anak mereka. Institusi pendidikan yang dimaksud adalah sekolah. Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah mulai dari jenjang pendidikan awal hingga jenjang pendidikan tinggi berkewajiban untuk membentuk karakter setiap peserta didiknya. Hal ini dikarenakan sekolah merupakan partner orang tua dalam mendidik anak-anaknya. 
Pendidikan karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak” . Oleh karena itu karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). 
Karakter berasal dari bahasa Yunani “charassein”, yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sehingga seseorang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan perilaku negatif lainnya dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah dan standar moral yang berlaku di masyarakat disebut dengan berkarakter mulia. 
Oleh karena itu pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membekali pengetahuan tentang kebaikan, menanamkan kecintaan terhadap kebaikan serta membentuk kebiasaan baik sesuai dengan nilai, norma, budaya, dan agama yang di anut. Menurut Doni Koesoema, karakter adalah kepribadian yang menjadi ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan (acquired) dan jiwa bawaan seseorang sejak lahir (iborn) . Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik . 
Sedangkan Soemarsono Soedarsono menyatakan karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar yang menjadi bagian kepribadian seseorang. Karakter juga merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan, pengalaman, dan pengaruh lingkungan yang menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku. Karakter seseorang tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi dibentuk dan ditumbuhkembangkan melalui pendidikan . Sementara itu karakter menurut 
Hermawan Kertawijaya, adalah ciri khas yang mengakar pada kepribadian individu dan menjadi mesin yang mendorong individu tersebut untuk bertindak, bersikap, bertutur, dan merespons sesuatu. Orang yang memiliki karakter yang kuat, akan memiliki momentum untuk mencapai tujuan . Bahkan dikatakan, “bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas karakter bangsa (manusia) itu sendiri” . 
Adapun Suyanto berpendapat bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat . 
 2. Konsep Pendidikan Karakter. 
 Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. 
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis . 
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor: 1) temperamen dasar (dominan, intim, stabil, cermat); 2) keyakinan (apa yang dipercayai, paradigma); 3) pendidikan (apa yang diketahui, wawasan kita); 4) motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup); 5) perjalanan (apa yang telah dialami, masa lalu kita, pola asuh dan lingungan) . 
Menurut Foerster (dalam Doni Koesoema) , ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama; keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua; koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga; otonomi. di mana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat; keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. 
Karakter mulia berarti individu mampu menghayati dan memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, intuitif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat atau efisien, menghargai waktu, pengabdian atau dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku). 
 Selain itu yang paling substansial dalam diri seorang individu yang berkarakter adalah senantiasa berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama manusia, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi (perasaaannya) . 
Pada dasarnya, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun kriteria yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. 
Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur, yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak pada karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. 
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaannya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. 
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas tahun 2010, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: oleh hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intelectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetik development), dan olah rasa dan karsa (affective and kreativity development). 
 3. Fokus Pendidikan Karakter. 
 Menurut Doni Koesoema , ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi diskursus pendidikan karakter. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang ketiga pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character development) . 
Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dan lainnya, agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu. 
Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu. 
Sejalan dengan itu Menurut Ahmad Tafsir, karakter atau akhlak diajarkan melalui metode internalisasi. Teknik pendidikannya ialah peneladanan, pembiasaan, penegakan peraturan, dan pemotivasian . Dalam hal ini Furqon Hidayatullah menyatakan pendidikan karakter dapat dilakukan secara intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Intrakurikuler terintegrasi ke dalam mata pelajaran, sedangkan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam pelajaran. Adapun pendekatan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui keteladanan, penanaman kedisiplinan, pembiasaan, penciptaan suasana kondusif dan integrasi-internalisasi . 
 4. Pilar Pendidikan Karakter. 
Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menawarkan beberapa alternatif pengembangan keutamaan untuk membentuk karakter individu menjadi pribadi berkeutamaan. Pilihan prioritas keutamaan itu didasarkan pada tiga matra pendidikan karakter yang menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh, yaitu matra individual, matra sosial, dan matra moral. 12 Pilar Keutamaan menurut Doni Koesoema A adalah sebagai berikut: 
a. Penghargaan terhadap tubuh 
Penghargaan terhadap tubuh merupakan keutamaan fundamental yang perlu dikembangkan dalam diri setiap orang. Penghargaan terhadap tubuh termasuk di dalamnya kesediaan dan kemampuan individu menjaga dan merawat kesehatan jasmani tiap individu. Kesehatan jasmani merupakan salah satu bagian penting bagi pembentukan keutamaan. 
Pendidikan karakter mesti memprioritaskan tentang bagaimana individu dapat menjaga tubuhnya satu sama lain, tidak merusaknya, melainkan membuat keberadaan tubuh tumbuh sehat sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kodratnya. Penghargaan terhadap tubuh merupakan ekspresi diri individu untuk menjadi perawat dan pelindung satu sama lain. Individu mesti menumbuhkan dalam dirinya sendiri keinginan untuk merawat tubuh diri dan orang lain, termasuk pertumbuhan psikologis dan emosionalnya. 
b. Transendental 
Pengembangan keutamaan transendental, baik itu yang sifatnya religius, keagamaan, maupun yang sublim, seperti kepekaan seni, apresiasi karya-karya manusia yang membangkitkan refleksi serta kemampuan untuk memahami kebesaran yang Iahi merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter. 
Setiap individu dianugerahi kepekaan akan sesuatu yang lembut, halus, yang bekerja secara rohani mendampingi manusia, kepekaan akan sesuatu yang adikodrati. Kepekaan akan yang suci, yang transenden, yang baik, yang indah, baik itu dalam diri manusia maupun di alam, merupakan salah satu sarana untuk membentuk individu menjadi pribadi berkeutamaan. 
c. Keunggulan akademik 
Keunggulan akademik adalah tujuan dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik berbeda dengan sekedar lulus ujian. Keunggulan akademik mencakup di dalamnya, cinta akan ilmu, kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani terus menerus melakukan evaluasi dan kritik diri, terampil mengomunikasikan gagasan, pemikiran, melalui bahasa yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik, mengembangkan rasa kepenasaranan intelektual yang menjadi kunci serta pintu pembuka bagi hadirnya ilmu pengetahuan. Dari kecintaan akan ilmu inilah akan tumbuh inovasi, kreasi dan pembaharuan dalam bidang keilmuan. 
d. Penguasaan diri 
Penguasaan diri merupakan kemampuan individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau menundukkan seluruh dorongan emosi itu pada tujuan yang benar selaras dengan panduan akal budi. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kesediaan mengolah emosi dan perasaan, mau menempatkan kecondongan rasa perasaan sesuai dengan konteks dan tujuan yang tepat sebagaimana akal budi membimbingnya. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kemampuan individu dalam menempatkan diri, bertindak dan berkata-kata secara bijak dalam ruang dan waktu yang tertentu. 
e. Keberanian 
Keberanian merupakan keutamaan yang memungkinkan individu mampu melakukan sesuatu dan merealisasikan apa yang dicita-citakannya. Keberanian termasuk di dalamnya kesediaan untuk berkorban demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, kerja keras, karena individu tersebut memiliki cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam hidupnya. Keberanian merupakan dorongan yang memungkinkan individu mewujudnyatakan dan merealisasikan impiannya. 
f. Cinta kebenaran 
Cinta akan kebenaran merupakan dasar pembentukan karakter yang baik, bukan sekedar sebagai seorang pembelajar, melainkan juga sebagai manusia. Manusia merindukan kebenaran dan dengan akal budinya manusia berusaha mencari, menemukan dan melaksanakan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Prinsip berpegang teguh pada kebenaran mesti diterapkan bagi praksis individu maupun dalam kehidupan bersama. Cinta akan kebenaran yang sejati memungkinkan seseorang itu berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebenaran yang diyakininya. Sebab, keteguhan nilai-nilai akan kebenaran inilah yang menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter. 
g. Terampil 
Memiliki berbagai macam kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan, bagi bagi perkembangan individu maupun dalam kerangka pengembangan profesional menjadi syarat utama pengembangan pendidikan karakter yang utuh. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti merupakan dasar bagi keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya ini seorang individu mampu mengubah dunia. 
h. Demokratis 
Masyarakat global hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk saling membutuhkan, bahu membahu satu sama lain. Masyarakat tidak dapat hidup secara tertutup sebab keterhubungan satu sama lain itu merupakan kondisi faktual manusia. Karena itu, setiap individu mesti belajar bagaimana hidup bersama, mengatur tatanan kehidupan secara bersama, sehingga inspirasi dan aspirasi individu dapat tercapai. Demokrasi mengandaikan bahwa individu memiliki otonomi dalam kebersamaan untuk mengatur kehidupannya sehingga individu dapat bertumbuh sehat dalam kebersamaan. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan semangat kebangsaan. 
i. Menghargai perbedaan 
Perbedaan adalah kodrat manusia. Menghargai perbedaan merupakan sikap fundamental yang mesti ditumbuhkan dalam diri individu. Terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menghargai perbedaan mesti ditumbuhkan dalam diri tiap individu, karena negara kita ini berdiri karena para pendiri bangsa ini menghargai perbedaan, dan dalam perbedaan itu mereka ingin mempersatukan kekuatan dan tenaga dalam membangun bangsa. 
j. Tanggung jawab 
Tanggung jawab merupakan unsur penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini memiliki tiga dimensi, yaitu tanggung jawab kepada (relasi antara individu dengan orang lain), tanggung jawab bagi (hubungan individu dengan dirinya sendiri), serta tanggung jawab terhadap (hubungan individu terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat). 
k. Keadilan 
Bersikap adil, serta mau memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter. Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk antisosial. Untuk itulah diperlukan komitmen bersama agar masing-masing individu dihargai. Dalam konteks hidup bersama, keadilan menjadi jiwa bagi sebuah tatanan masyarakat yang sehat, manusiawi dan bermartabat. Tanpa keadilan, banyak hak-hak orang lain dilanggar. 
l. Integritas moral 
Integritas moral merupakan sasaran utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter. Integritas moral inilah yang menjadikan masing-masing individu dalam masyarakat yang plural mampu bekerja sama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil dan bermartabat bagi manusia, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan yang bernilai dan berharga apapun keadaan dan kondisinya. Kehadiran individu yang memiliki integritas moral menjadi dasar bagi konstruksi sebuah tatanan masyarakat beradab. 
Integritas moral muncul jika individu mampu mengambil keputusan melalui proses pertimbangan rasional yang benar, dan melaksanakannya dalam tindakan secara bijak, sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Integritas moral termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk membuat kebijakan praktis yang bermakna bagi hidupnya sendiri dan orang lain. 
 5. Tiga Basis Desain Pendidikan Karakter. 
 Menurut Doni Koesoema , pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah non-instruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. 
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. 
Menurut Doni, pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif. 
 6. Pendidikan Karakter Multidimensi. 
 Amin Abdullah berpendapat bahwa sifat pendidikan karakter adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, ad hoc, apalagi atomistik. Menurutnya pendidikan karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. 
Pendidikan agama, begitu juga pendidikan kewarganegaraan pada level manapun tidak dapat berbuat banyak jika ia berdiri sendiri (self sufficiency), karena jika tidak dikaitkan dengan budaya, sosial, hukum dan politik misalnya, maka pendidikan agama hanya akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkin mudah dihapal, tapi seringkali tidak dapat dipraktikkan dan diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks . 
Pendidikan karakter sangat diperlukan oleh bangsa manapun karena dengan pendidikan karakter yang berhasil akan membuat warga masyarakat dan warga negara menjadi “baik” tanpa prasyarat apapun. Menjadikan warga negara yang “baik” tanpa embel-embel syarat agama, sosial, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum. 
Pendidikan Karakter seperti ini sejalan dengan cita-cita kemandirian manusia (moral otonomy) dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan Karakter yang sukses akan sama dengan tujuan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik dalam ranah multikultural, multietnis, multibahasa, multi religi di era globalisasi seperti saat sekarang ini . 
 Menurut Amin Abdullah banyak faktor yang menjadikan pendidikan karakter tidak atau kurang berhasil di lingkungan sekolah dan lebih-lebih di masyarakat luas di tanah air. Perangkat undang-undang dan aturan-aturan yang ada sudah lebih dari cukup namun pengawasan pelaksanaannya sangat lemah, tapi yang sering dilupakan adalah bahwasanya pendidikan karakter memang diawali dengan pengetahuan (teori). Pengetahuan (teori) tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya. Kemudian dari pengetahuan itu diharapkan dapat membentuk sikap atau akhlak yang mulia. 
Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang diketahui itu. Menurutnya di sinilah terjadi kekeliruan dan ketidaktepatan dalam menentukan paradigma pembelajaran pendidikan karakter di tanah air, yang semestinya diperlukan adalah mengamalkan berubah menjadi yang dipentingkan adalah mengetahui atau menghapal, tanpa kemampuan untuk melakukan dan mempraktekkannya di lapangan . 
 7. Dampak Pendidikan Karakter. 
 Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri - St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. 
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik . Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. 
 Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. 
Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis. Sebagaimana yang disinyalir oleh Thomas Lickona bahwa Bila pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan sebagaimana mestinya, setiap peserta didik bukan hanya berkembang dalam hal perilaku moral atau karakternya saja tetapi berdampak juga pada perkembangan akademisnya. Pernyataan ini didasari pada dua alasan. Pertama, jika program pendidikan karakter di sekolah mengembangkan kualitas hubungan antara guru dan anak didik, serta hubungan antara anak didik dengan orang lain, maka secara tidak langsung akan tercipta lingkungan yang baik untuk mengajar dan belajar. Kedua, pendidikan karakter juga mengajarkan kepada siswa tentang kemampuan dan kebiasaan bekerja keras serta selalu berupaya untuk melakukan yang terbaik dalam proses belajar mereka .  

C. Anasir-Anasir Strategis Pendidikan Karakter (Sebuah Analisis). 

 1. Peran Strategis Pendidik Sebagai Role Model (Uswah Hasanah). 
 Dalam proses pendidikan karakter, posisi guru menempati posisi yang sangat sentral, karena melalui peran guru proses transformasi nilai-nilai karakter dapat dilakukan. Dengan demikian semestinya dalam proyeksi pendidikan karakter yang digagas oleh Kemendikbud, para guru harus melewati proses pelatihan dan pengayaan pemahaman tentang pendidikan karakter itu sendiri sebelum tampil untuk memposisikan diri sebagai pendidik. Dalam hal ini kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kemampuan untuk mengajar dengan maksimal yang dibarengi oleh kompetensi kepribadian sebagai pendidik untuk mengantarkan peserta didik memiliki karakter yang lebih baik. 
 Realitas yang terjadi di dunia pendidikan pada masa sekarang adalah terjadinya krisis keteladanan di kalangan peserta didik, di mana guru tidak mampu memosisikan diri sebagai significant person dan role model (uswah hasanah), terlebih lagi tidak mampu mengambil peran dan tanggung jawab sebagai orang tua ketika di sekolah. Akibatnya para siswa mengadopsi atau mengambil tokoh-tokoh di luar dunia pendidikan, seperti para penyanyi, bintang film, dan tokoh-tokoh non- agama sebagai panutan dalam berprilaku. Maka wajar kemudian para siswa sangat mudah terjerumus ke dalam perilaku dan karakter menyimpang dari norma-norma agama, sosial, dan budaya. Di saat orang tua dan guru tidak mampu untuk memerankan diri sebagai figur panutan dalam melakukan proses transformasi karakter dan kepribadian, lalu para anak didik yang mendapatkan figur panutan yang salah, maka yang terjadi adalah split personality pada anak didik yang kemudian berujung pada terjadinya proses alienasi (keterasingan psikologis) pada mereka. 
Bisa jadi fenomena sadisme, budaya beringas, dekadensi moral yang terjadi di kalangan anak didik justru dipicu oleh ketidakmampuan orang tua dan guru untuk mentransformasikan nilai-nilai karakter kepada anak didik. Dengan demikian apabila pendidikan karakter menjadi arus utama dalam pendidikan nasional, maka yang semestinya dilakukan terlebih dahulu adalah mempersiapkan tenaga pengajar yang profesional dan telah teruji secara kualitatif memiliki kepribadian dan karakter yang baik, agar nantinya bisa menjadi figur panutan para siswa atau anak didik. 
 2. Perlunya Revolusi Pengajaran. 
Selain peran strategis guru dalam proses pendidikan karakter, maka juga perlu dilakukan revolusi dalam pengajaran. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Amin Abdullah, bahwa model pembelajaran pendidikan karakter atau akhlak yang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alih pengetahuan moral, agama atau karakter’ (transfer of knowledge tentang moral, agama atau karakter). 
Dengan paradigma pembelajaran seperti ini, maka yang ditekankan oleh pendidik adalah penguasaan materi sesuai SAP yang tersedia dan daya serap anak didik atau memorisasi/hafalan lebih dipentingkan. Praktik ini tergambar dengan jelas dalam model soal ujian atau test yang dibuat oleh guru atau dosen. Akibat langsung yang tidak dirasakan selama bertahun-tahun adalah bahwa pendidikan karakter atau moral dan akhlak terlalu berorientasi pada intelektualisme etis. 
Padahal model paradigma pembelajaran pendidikan karakter (humanities) semestinya tidaklah seperti pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis intelektual . Di sisi lain bahwa model dan paradigma pembelajaran sains dan matematika (natural sciences) berbeda dari model dan paradigma pembelajaran humanities. Yang diperlukan dalam pembelajaran humanities, dalam hal ini pendidikan karakter, adalah kemampuan guru, dosen, pendidik, pemimpin untuk “menyentuh dan menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi anak didik. Keutuhan pribadi manusia meliputi perasaan, rasio, imajinasi, kreativitas dan memori. Dengan begitu, paradigma pendidikan karakter seharusnya lebih tajam diarahkan pada kehendak dan motivasi, dan bukannya intelektualitas. 
Oleh karena itu, yang perlu dikenal terlebih dahulu oleh para pendidik adalah struktur kepribadian manusia. Sedangkan motivasi atau kehendak sangat terkait dengan hati nurani. Maka pendidikan karakter adalah pendidikan hati nurani . 
 3. Model Evaluasi Karakter. 
 Adapun persoalan yang paling membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter adalah persoalan tentang evaluasi, yaitu tentang cara dan tujuan evaluasi. Pendidikan karakter sering kali dianggap sebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilai dan dievaluasi. Misalnya dengan membuat mata pelajaran tentang pendidikan karakter, dan dengan demikian menilai pengetahuan siswa tentangnya melalui tes tertulis akan lebih mudah dibandingkan menilai perilaku siswa. Ada persoalan serius berkaitan dengan cara-cara penilaian dalam pendidikan karakter. 
 Masalah evaluasi sering dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakah evaluasi mesti dikaitkan dengan kenaikan kelas, atau kelulusan, seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah, di mana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap, bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa? Faktanya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini sering kali hanya sekedar menjadi macam kertas, dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya masih bisa diabaikan. 
 Oleh karena itu dalam proses evaluasinya, pendidikan karakter tidak saja berdiri sendiri dalam sebuah mata pelajaran, akan tetapi penanaman nilai-nilai karakter dapat menjadi hidden curriculum dalam mata pelajaran tertentu yang basisnya adalah humanities. Selain itu proses penanaman nilai-nilai karakter dan sekaligus proses evaluasinya, juga tidak bisa hanya dimonopoli oleh pihak sekolah, akan tetapi melibatkan peran yang sifatnya sinergis antara orang tua di rumah, dan guru di sekolah. Dalam hal ini guru juga harus menjalin relasi yang baik dengan orang tua peserta didik. 
Hal ini penting agar guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memantau kekonsistenan perkembangan karakter peserta didik baik di sekolah maupun di rumah. Bisa terjadi suatu situasi di mana seorang peserta didik berkarakter baik di sekolah tetapi ketika siswa berada di rumah hal sebaliknyalah yang terjadi. Seorang siswa bisa menjadi anak yang sangat patuh terhadap guru di sekolah, tetapi menjadi anak yang sangat memberontak terhadap orang tua di rumah. Untuk mencegah hal tersebut, guru dan orang tua harus saling bertukar informasi tentang perkembangan karakter anak didik. Kuesioner adalah cara sederhana yang dapat digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi dari orang tua tentang perkembangan karakter anak didiknya di rumah. Kuesioner tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan sederhana berkaitan dengan karakter yang dipelajari anak di sekolah dan orang tua bertugas untuk memberikan jawaban dalam kaitan pelaksanaan karakter tersebut oleh anak di rumah. Informasi dari orang tua yang didapat oleh guru dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan karakter anak didik yang bersangkutan. 
Di samping orang tua, guru juga dapat meminta setiap peserta didiknya untuk menilai perkembangan karakter temannya satu sama lain. Dengan menggabungkan informasi dari orang tua, siswa, maupun dari guru sendiri maka penilaian perkembangan karakter yang diberikan oleh guru kepada setiap peserta didiknya akan lebih obyektif. 
 4. Peran Strategis Aspek Akhlak Islami Sebagai Basis Pendidikan Karakter. 
 Dalam konteks pendidikan Islam, sejatinya persoalan karakter, perilaku, budi pekerti menjadi unsur penting dalam dimensi akhlak, di mana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari trilogi ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Sehingga sebenarnya persoalan perbaikan karakter menjadi tugas dan tanggung jawab dunia pendidikan agama, dalam konteks umat Islam, adalah pendidikan Islam. 
 Menurut Abudin Nata, para tokoh pendidikan Islam klasik seperti Ibnu Miskawaih, al-Qabisi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku subyek didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan manusia . 
Dalam perspektif Islam, budi pekerti sering diterjemahkan akhlak yang meliputi tabiat, perangai, kebiasaan. Imam al-Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu di dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak dipikirkan lagi . Akhlak atau “moralitas Islami” merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, di mana secara etimologis akhlak adalah ilmu yang menentukan batasan antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin, Ahmad Amin menjelaskan bahwa akhlak menegaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat . 
Adapun Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moral sence) . Dengan demikian dimensi akhlak memiliki karakteristik dasar yang bisa dijadikan basis dan resources penting dalam proyeksi pendidikan karakter, di mana Abdurrahman Assegaf menjelaskan di antara karakteristik dasar akhlak antara lain: pertama, akhlak mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk; kedua, akhlak menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah Swt; ketiga, akhlak bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat; dan keempat, akhlak mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia . 
 Tujuan dari pendidikan akhlak juga sepenarian dengan tujuan pendidikan karakter, sebagaimana ditegaskan oleh Ramayulis, bahwa tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas dan jujur. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah) . 
Dalam hal ini keutamaan yang dimaksud juga adalah karakter positif yang harus dimiliki oleh seseorang, sebagai modal utama di dalam interaksi sosial dan budaya kepada orang lain. Pada prinsipnya pembinaan akhlak (moral) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum di lembaga manapun harus bersifat mendasar dan menyeluruh , sebagaimana halnya pendidikan karakter. Dengan demikian pendidikan akhlak dan pendidikan karakter adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. 
Nurcholis Madjid misalnya, kemudian merinci nilai-nilai akhlak yang bisa ditanamkan kepada anak didik, antara lain:, silaturrahmi (shilat al-rahmi), persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al-musawwah), adil (adl), baik sangka (husn-u’zh-zhann), rendah hati (tawadlu), tepat janji (al-wafa’), lapang dada (insyirah), dapat dipercaya (al-amanah), perwira (qawamiyah), dermawan (al-munfiqun) . Nilai-nilai akhlak ini adalah sebagian kecil dari luasnya persoalan moralitas Islami yang terkandung di dalam khazanah keislaman dan bisa dijadikan sebagai basis pendidikan karakter. 
 Dalam konteks pendidikan Islam, akhlak juga bersifat transendental, di mana berakhlak dengan akhlak Tuhan adalah proses yang harus dilalui oleh siapa pun bila ia ingin menjadi Manusia Sempurna. Sebagaimana tergambar dalam pernyataan-pernyataan seperti dalam teks-teks Sufi, yakni ungkapan “berakhlak dengan akhlak Allah” dianggap berasal dari hadis Nabi saw, yang kerap kali dinyatakan dengan perkataan, “takhalluq bi akhlaqi-Llah” (“Berakhlaklah dengan akhlak Allah”). Ungkapan-ungkapan lain yang searti dengan ungkapan “al-takhalluq bi akhlaqi-Llah” (“berakhlak dengan akhlak Allah”) adalah “al-takhalluq bi asma’i-Llah” (“berakhlak dengan nama-nama Allah”), “al-tasyabbuh bi akhlaqi-Llah” (“memperoleh keserupaan dengan akhlak Allah”), “al-tasyabbuh bi al-Ilah” (“memperoleh keserupaan dengan Tuhan”), “al-tasyabbuh bi al-hadlrah al-Ilahiyyah” (“memperoleh keserupaan dengan kehadiran ilahi”). “Berakhlak dengan akhlak Allah” tidak berarti meniru secara aktif nama-nama dan sifat-sifat Allah karena tugas itu di luar kemampuan manusia, dan lagi pula meniru secara aktif nama-nama dan sifat-sifat Allah sama dengan menyaingi Allah, yang menimbulkan keangkuhan dan kesombongan luar biasa. “Berakhlak dengan akhlak Allah” berarti menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-sifat Allah, yang telah ada pada kita meskipun dalam bentuk potensial. 
Sesuai dengan doktrin wahdat al-wujud, “berakhlak dengan akhlak Allah” berarti pula menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah karena kita dan segala sesuatu selain Allah tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti kiasan (majazi); satu-satunya wujud, atau lebih tepatnya wujud hakiki, adalah Allah. “Berakhlak dengan akhlak Allah” mengukuhkan pandangan bahwa “tidak sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah, nama-nama-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya.” Ketika manusia menafikan wujudnya, ia kembali kepada sifat aslinya, yaitu “ketiadaan” (‘adam), tetapi pada waktu yang sama ia berada dalam keadaan yang disebut “ketenteraman abadi” (rahat al-abad). 
 5. Peran Strategis Local Wisdom Sebagai Basis Budaya Berkarakter. 
 Disadari atau tidak, sungguh amat banyak nilai-nilai tradisional yang hidup dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai muatan pendidikan karakter. Nilai-nilai tradisi ini telah menjadi kearifan lokal yang walaupun berbeda-beda di antara suku-suku bangsa namun memiliki kesamaan yang sangat signifikan. Manakala nilai-nilai tradisional ini hendak disinkronkan dengan pendidikan karakter niscaya sangat sejalan dengan nilai inti dan tujuan pendidikan karakter. 
 Di samping nilai dan norma yang bersumber dari agama, di tengah masyarakat kita dalam suku-suku bangsa Indonesia juga ada dan masih hidup nilai-nilai dan norma sosial yang bersumber dari adat. Biasanya kearifan lokal yang bersumber dari adat ini berbentuk pepatah-petitih yang mengajarkan kebaikan seperti ajakan untuk menambah pengetahuan, dorongan untuk kerja keras, nasihat dalam mengumpulkan kekayaan, unggah-ungguh berbahasa, cara menghormati orang lain, hingga ajaran melestarikan alam sekitar. Secara turun-temurun kearifan lokal yang bersumber dari adat istiadat itu, dan bersanding dengan kearifan lokal yang bersumber dari ajaran agama, masih terus diwariskan dan sesungguhnya masih hidup di tengah masyarakat kita. Karena itu, ketika pendidikan karakter didengungkan ulang maka sejatinya kearifan lokal itu dapat digunakan untuk memperkuat pendidikan karakter. Sebaliknya pendidikan karakter ini merevitalisasi kearifan lokal untuk dimanfaatkan dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Salah satu di antara faktor keberhasilan pendidikan karakter di negara-negara maju adalah seperti Jepang, Korea, Cina, dan lainnya, adalah karena keberhasilan dunia pendidikan di negara tersebut menggali khasanah budaya lokal yang dimiliki sebagai fondasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Hal ini juga membuktikan bahwa derasnya arus budaya asing, khususnya dari Barat, tidak mampu menggerus nilai-nilai budaya lokal yang telah dijadikan fondasi dalam berprilaku. 
 Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, dunia pesantren adalah basis budaya berkarakter, dan merupakan salah satu langgam local wisdom yang dapat dijadikan wahana pengembangan pendidikan karakter. Dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Pola Pendidikan Pesantren di Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010, diperoleh kesimpulan bahwa terbukti secara empiris pendidikan di pesantren mampu mengembangkan siswa dari berbagai aspek, meliputi kemampuan intelektual dan pembentukan watak religiusitas, kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan, kebebasan, nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan, kepatuhan pada ajaran agama, peraturan dan kedisiplinan. Keberhasilan pendidikan di pesantren dalam membentuk karakter dicapai karena dalam pendidikan pesantren menggunakan sistem boarding school, adanya wibawa dan keteladanan Kiai sebagai pemimpin pondok dan suasana pembelajaran pondok yang kondusif untuk pengembangan karakter subyek didik. Berdasarkan hasil seminar tersebut, direkomendasikan perlunya pendidikan karakter yang Islami melalui pola pendidikan pesantren baik di sekolah, keluarga, dan masyarakat . 
Oleh karena itu proses pendidikan karakter di Indonesia tidak akan pernah berhasil tanpa adanya budaya berkarakter, yakni dengan merevitalisasi kembali kearifan budaya lokal yang ada. Karena fenomena yang tampak di permukaan adalah bahwa nilai-nilai kearifan lokal dianggap sebagai nilai-nilai usang yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian, sehingga hampir dilupakan karena derasnya arus budaya asing yang menyerbu melalui media informasi. 
 D. Penutup. 
 Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah bagian penting dari proses pendidikan secara umum, karena pendidikan tidak sekedar bertujuan untuk mencerdaskan subyek didik dalam aspek intelektual semata. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah agar subyek didik memiliki kepribadian, perilaku, kebiasaan, dan akhlak yang baik. Sebagaimana pernyataan yang di tegaskan oleh Aristoteles beberapa abad sebelum Masehi, bahwa “mendidik akal tanpa mendidik hati, sama dengan tidak adanya pendidikan sama sekali” (educating the mind without educating the heart, there’s no education at all). Terlepas dari berbagai macam konsep yang berkembang dalam diskursus pendidikan karakter, terdapat unsur-unsur penting dalam pendidikan karakter, yakni perlunya strategi tertentu untuk mempersiapkan guru dan wali murid sebagai role model (uswah hasanah), karena salah satu penyebab rusaknya karakter subyek didik di masa sekarang adalah adanya krisis keteladanan. Di samping itu perlunya dilakukan revolusi dalam pengajaran dan merancang model evaluasi yang tepat bagi proses pendidikan karakter. Selain itu, dalam konteks pendidikan Islam, pendidikan karakter sepenarian dan memiliki similaritas konsep dengan konsepsi pendidikan akhlak, karenanya dimensi akhlak dapat dijadikan sebagai basis penting dalam proses pendidikan karakter. Atas semua itu, pendidikan karakter tidak akan berjalan tanpa adanya budaya berkarakter, dalam hal ini merevitalisasi kembali local wisdom sebagai basis pendidikan karakter di Indonesia. Wallahu A’lam Bishawwab. 

SUMBER BACAAN 
 Abdullah, M. Amin, Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan Hati Nurani, makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. 
 Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), 1989, Bulan Bintang, Jakarta. 
 Assegaf, Abd.Rahman, Filsafat Pendidikan Islam, 2011, Rajawali Press, Jakarta. 
 Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, 1994, Ruhama, Jakarta. Hidayatullah, Furqon, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, 2010, Tuma Pustaka dan UNS, Surakarta. Indrayati, “Pengembangan Karakter Anak Sejak Usia Dini Berbasis Aktifitas Keseharian Di Dalam Keluarga” Makalah Pada Pembekalan Calon Voluntair Parenting Education BPKB DIY Tahun 2011. Kertawijaya, Hermawan, Grow with Character : The Modal Marketing, 2010, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 
 Koesoema, Doni, Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 2007, Grasindo, Jakarta. 
_____________, 12 Pilar Pendidikan Karakter, http://www.pendidikankarakter.org/12%20Pilar.html, diunduh tanggal 20 Desember 2011, 08.00 WIB.
 _____________, Kucing Hitam Pendidikan Karakter, Kompas, 19 Juli, 2010.
 ______________, Tiga Basis Pendidikan Karakter, http://www.pendidikankarakter.org/articles 003.html, diunduh tanggal 20 Desember 2011, 08.00 WIB. Madjid, 
Nurcholish, Masyarakat Religius, 1997, Paramadina, Jakarta. 
 Majid, Abdul dan Andayani, Dian, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, 2011, Remaja Rosdakarya, 2011, Bandung. 
 Muslich, Musnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, 2011, Bumi Aksara, Jakarta. 
 Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 2003, Raja Grafindo Persada, 2003. Jakarta. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 2002, Kalam Mulia, Jakarta. 
 Ringkasan Eksekutif Seminar Nasional Pendidikan, 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Ruswandi, Uus, “Metode Pembinaan Akhlak Remaja” dalam A. Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor. Tedi Priyatna, 2004, Mimbar Pustaka, Bandung. Soedarsono, Soemarsono “Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Arti dan Peran Penting Karakter Hasrat Untuk Berubah, Harian Umum Pelita, edisi 20 Juli 2009. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan, 2010, Kencana, Jakarta.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...