Selasa, 17 November 2009

Kritik Sanad (sebuah tinjauan singkat)

A. Muqaddimah
Hadis sebagai pedoman par exelence kedua setelah al-Qur’an menjadi bagian yang sangat penting di dalam proyeksi pemahaman keagamaan seorang Muslim. Hadis yang merupakan pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi s.a.w. menjadi rujukan aplikatif-pragmatis seorang Muslim sekaligus menjadi solusi alternatif pemecahan problematika aksiologis dalam kehidupan sehari-hari. Selain al-Qur’an, hadis menjadi stimulus internal untuk mengejawantahkan proyeksi kehidupan Nabi dalam kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya. Integralitas konsepsi Islam dalam kehidupan sehari-hari dapat terbaca dengan jelas melalui ungkapan-ungkapan sadar seorang Muslim terhadap anjuran hadis untuk memulai segala sesuatunya dangan ucapan basmalah. Dari sini kita dapat mengambil sebuah proposisi bahwa hadis selain berperan secara inheren dalam pemahaman Islam, hadis juga turut ambil bagian dalam mentransendensikan kehidupan seorang Muslim.
Tak dapat dipungkiri bahwa hadis bergerak secara efektif dalam proses sejarah, khususnya sejarah Islam. Karena itu terminologi sanad juga terbentuk melalui arketipe-arketipe pemahaman sejarah. Mata rantai periwayatan hadis yang berlangsung dalam sejarah Islam terjadi secara simultan pada tiap-tiap tahapan (thabaqah). Sejak dari periode Nabi ke sahabat, dari thabi’in ke thabiit thabi’in, hingga masa pengkodifikasian (tadwin) oleh para Mukhorrij. Oleh karena itu kritik sanad menjadi sangat penting untuk menjadi upaya preventif dalam menanggulangi distorsi historis dalam periwayatan hadis. Timbulnya kritik sanad bermula dari peristiwa fitnah kubro yang menyisakan beban dan trauma historis yang mendalam bagi ummat Islam hingga kini. Karena peristiwa tersebut menimbulkan dampak dipelbagai bidang pemahaman, baik secara sosiologis, psikologis, politik dan filosofis. Peristiwa ini juga membuat sakralitas sejarah Islam tereduksi menjadi paham sejarah yang lebih membumi[1].
B. Kritik Sanad dan Metode Sejarah
Al-Tsawri (w. 163/779 M) diriwayatkan pernah mengatakan bahwa, “jika perawi berbohong, maka kita mengujinya dengan menerapkan metode sejarah (Lamma ista mala al-ruwat al kidzb, ista’malna lahum al-tarikh)[2]. Dari statement tersebut Al-Tsawri tersebut, maka sangat dimungkinkannya kritik sanad dengan metode sejarah untuk membuktikan adanya hubungan antara para rawi satu dengan yang lain. Sejarah sebagai salah satu disiplin ilmu sosial dengan sifat keterbukaannya dari berbagai macam pendekatan, karenanya Syuhudi Ismail berpendapat bahwa hadis dalam kapasitasnya sebagai fakta sejarah, mestinya juga memiliki sifat keterbukaan, sedikitnya berkenaan dengan penetapan kualitas yang tampaknya telah dianggap mapan, khususnya tentang kaidah yang digunakannya[3].
Bagaimanapun juga hadis merupakan dokumen sejarah, atau biasa disebut sebagai artifak yang mengandung kebenaran masa lalu yang perlu diverifikasi otentisitasnya. Dalam metode sejarah, pada dokumen yang ada ditetapkan dua hal: pertama, apakah dokumen-dokumen itu otentik, atau bagian-bagian mana yang otentik atau hanya beberapa bagian dari padanya yang otentik?. Kedua, seberapa banyak dari pada bagian-bagian yang otentik itu yang bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya[4]. Secara defenitif metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau[5]. Dengan demikian sasaran penelitian yang berorientasi sejarah sama dengan sasaran penelitian hadis, yakni sama-sama berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang otentik dan dapat dipercaya[6].
Dalam metode sejarah, sebelum data digunakan, terlebih dahulu sumbernya harus diteliti. Penelitian terhadap sumber data ada dua macam: (1) kritik eksternal; dan (2) krtitik internal. Tujuan kritik ekstern adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misalnya: apakah dokumen itu otentik atau palsu; siapa pembuatnya; apa atau siapa yang menjadi sumber itu. Untuk kritik intern, tujuannya adalah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: apakah isi sumber itu dapat dipercaya atau tidak; apakah kandungannya dapat diterima sebagai sesuatu yang historis, benar atau tidak, bagaimana bahasa tulisan itu ketika ditulis; dan apa tujuan tulisan itu. Dengan memperbandingkan kedua macam kritik sejarah tersebut, maka kritik sanad merupakan kritik eksternal atau biasa juga disebut dengan istilah al-Naqd al-Kharijiy, atau al-Naqd al-Zhairiy[7].


C. Urgensi Kritik Sanad
Sejak peristiwa Fitnah Kubro, dimana khalifah Utsman Bin Affan menjadi korban dalam pemberontakan para petani (ahlul Qura’) yang berasal dari wilayah bulan sabit yang subur (fertile crescent). Maka terjadi proliferasi aliran politik dan sekte dalam tubuh ummat Islam. Dengan demikian bermunculan hadis-hadis amatiran untuk melegitimasi masing-masing kelompok tersebut. Sehingga proses transmisi hadis (sanad) secara eksternal itupun mulai berlaku untuk memverifikasi otentisitas hadis-hadis yang dikeluarkan oleh para perawi. Karenanya tepat sekali ucapan Abdullah bin Al-Mubarak (w.181 H.): “sistem sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam, bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu sisi keistimewaan umat Islam, dimana sistem itu tidak dimiliki umat-umat lain[8]. Karenanya seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi s.a.w. sudah mengalami nasib tragis seperti ajaran Nabi sebelumnya yang mengalami banyak distorsi. Maka disinilah letak nilai utama dan urgensi sanad dalam Islam.
Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadis yang membentuk sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung kepada Nabi s.a.w. atau tidak. Dapat diketahui pula apakah masing-masing rawi itu legitimate atau tidak. Sehingga dapat diketahui nilai dan kualitas hadis yang diriwayatkan itu dapat dinilai sebagai hadis sahih (otentik), hasan (baik), atau dhaif (lemah) bahkan maudhu’(palsu)[9].
Kritik sanad semakin menempati posisi penting karena dalam sejarah: (a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadis tertulis; (b) sesudah zaman Nabi telah berkembang pemalsuan hadis; dan (c) penghimpunan (tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis[10]. Dengan demikian ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis untuk melakukan kritik sanad, yaitu:
(1) Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan ummat Islam, akan tetapi dalam sejarah ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat Islam yang menolak otoritas hadis. Mereka dikenal dengan sebutan Inkar al-Sunnah. Sejak periode al-Syafi’iy (w. 204 H/820 M), paham ini telah timbul, sehingga Imam Syafi’iy menulis bantahan terhadap argumen-argumen mereka dan membuktikan keabsahan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Tindakan preventif al-Syafi’iy ini membuat ia digelari sebagai “pembela hadis” (nashir al-hadis)[11]. Karenanya kritik terhadap sanad hadis adalah upaya mengangkat derajat hadis sebagai sumber kebenaran ajaran Islam secara proporsional dari keterpurukan pemahaman kelompok inkar al-sunnah terhadap hadis.
(2) Tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi.
Periwayatan hadis pada era Nabi hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir, dan periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad. Karena itu: (a) tersampaikannya hadis tidak selalu dihadapan sahabat Nabi yang pandai menulis; (b) fokus perhatian Nabi sendiri, sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya, lagipula perhatian para sahabat lebih tertuju pada pemeliharaan al-Qur’an; (c) para sahabat yang menjadi sekretaris Nabi hanya menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi dan (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain dengan peralatan yang serba sederhana, sehingga periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis[12].
(3) Munculnya Pemalsuan Hadis.
Berdasarkan bukti yang ada, pemalsuan hadis baru berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, walaupun tidak mustahil terjadi sebelum itu, karena sejatinya pertentangan politik antara sesama umat Islam sudah terjadi ketika nabi baru saja wafat. Melalui data dan sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang non-Muslim yang bertujuan merusak Islam dari dalam. Adapun orang Islam membuat hadis palsu untuk membela kepentingan politik, teologi, mazhab fiqih, memikat hati orang lain, menjadikan orang lain lebih zahid, untuk mengamalkan suatu ibadah tertentu, untuk menjilat penguasa, untuk mendapat harta, dan kepentingan ashabiyah suku tertentu[13].
(4) Proses Penghimpunan (tadwin) Hadis.
Sesudah era Umar bin Khattab, tidak ada khalifah yang memberi kebijakan untuk menghimpun hadis Nabi, terkecuali khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz’ (w.101 H/720 M). Namun demikian tidaklah berarti bahwa masa sebelum Umar bin Abdul Aziz tidak ada pencatatan hadis, akan tetapi pencatatan itu masih bersifat pribadi-pribadi. Lagi pula baik kalangan sahabat dan al-thabi’in tetap berteguh diri pada penghafalan, bahkan sebagian dari mereka mencela penulisan hadis[14].
Keempat faktor di atas inilah yang mendorong ulama untuk mengadakan peneleitian sanad hadis. Hal ini dilakukan oleh para ulama hadis karena sanad adalah bagian yang menentukan dari pengetahuan hadis, dan dalam praktiknya sanad hadis selalu menjadi perhatian khusus para ulama.
D. Parameter Kesahihan Sanad Hadis
Dalam disertasinya, H.M. Syuhudi Ismail membagi tolak ukur kesahihan sanad hadis dalam dua terminologi, yaitu kaedah mayor, dan kaedah minor:
1. Kaedah Mayor.
Pendapat ulama hadis mengenai kaedah kesahihan sanad hadis belum ada yang eksplisit (sharih) sampai abad III H. Pada umumnya para ulama mutaqaddimun ini berpendapat bahwa kesahihan sanad hadis ialah: (a) tidak boleh menerima hadis terkecuali dari orang yang siqat; (b) orang yang meriwayatkan hadis tersebut seorang ahli ibadah, dan memiliki ahlaq yang mulia; (c) harus memiliki pengetahuan tentang hadis; (d) bukan seorang pendusta, pendosa yang pernah ditolak kesaksiannya[15]. Dalam perkembangannya standarisasi kesahihan hadis juga ditetapkan oleh Imam Syafi’I, Bukhari, Muslim, dan Imam Nawawi. Di samping itu secara eksternal ada yang berpendapat bahwa sanad yang paling sahih adalah rantai sanad yang menyertakan Al-Zuhri dari Salim dari ayahnya. Ada pula yang menyertakan mata rantai dari Ibnu Sirin dari Abidah dari Ali. Pada pendapat lain menyebutkan mata rantai al-Amasy dari Ibrahim dari Al-Qamah dari Ibnu Mas’ud. Ada pula yang meyakini mata rantai sanad Al-Zuhri dari Ali bin Al-Husain dari ayahnya Ali. Ada juga rantai sanad Malik bin Umar. Dalam kaitan ini pula ada yang mengatakan bahwa sanad yang paling sahih adalah rantai sanad yang di dalamnya menyertakan al-Syafi’I dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar[16]. Pada intinya, kaedah mayor ini dapat disimpulkan menjadi: Sanad yang bersambung (muttashil), periwayat bersifat adil, dhabith, dalam hadits tidak ada kejanggalan (syudzudz) dan tidak terdapat cacat (illat)[17].
2. Kaedah Minor.
A. Unsur kaedah mayor yang pertama, sanad bersambung mengandung kaedah minor: Muttashil, Marfu, Mahfuz, dan bukan Muallal.
B. Unsur kaedah mayor periwayat bersifat Adil mengandung kaedah minor: Islam, Mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara Muru’ah.
C. Unsur kaedah mayor, periwayat bersifat dhabith, mengandung kaedah minor: hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihapalnya kepada orang lain,terhindar dari Syudzuz dan terhindar dari Illat[18].
D. Berbagai Varian Penilaian Terhadap Rawi.
Jumhur ulama-ulama hadis dan fiqih bersepakat bahwa seorang rawi yang periwayatannya acceptable adalah rawi yang adil dalam artian integritas pribadi diukur dari ajaran Islam, dan bersifat dhabith, atau memiliki kualitas intelektual yang mumpuni. Menurut Imam Al-Nawawi, kredibilitas seorang rawi bisa dipastikan dengan adanya pengakuan terhadap kekredibilitasannya dari dua orang yang adil atau juga bisa melalui istifadlah (melihat reputasi kekredibilitasannya)[19]. Sebagian besar ulama hadis bersepakat bahwa seluruh sahabat Nabi, tanpa terkecuali dijustifikasi bersifat adil, akan tetapi argumen ini ternyata sangat debatable karena setelah diteliti, ternyata argumen ini menyalahi fakta historis, dan generalisasi tentang sifat adil para sahabat ini ditumbangkan oleh fakta bahwa ada juga satu dua orang sahabat yang tidak bersifat adil[20].
Penilaian terhadap kualitas perawi pun berbeda-beda, dikarenakan oleh:
(1) Sikap ulama hadis yang tidak sama, ada yang bersifat ketat (mutasyaddid), longgar (mutasahil), dan pertengahan antara sifat ketat dan longgar (mutawassith).
(2) Tingkat pengenalan dan pengetahuan ulama hadis terhadap biografi periwayat, tidak selalu sama.
(3) Pembagian peringkat kualitas periwayat yang dianut oleh masing-masing ulama, tidak selalu sama.
Sekiranya apa yang termaktub dalam pembahasan di atas adalah titik kelemahan dalam periwayatan hadis, akan tetapi kelemahan itu tidak mengusik substansi akurasi unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadis. Kelemahan itu hanya berkaitan dengan cara penerapan kaedah sanad hadis. Ini membuktikan bahwa semakin kritis periwayat dinilai oleh peneliti, maka akan semakin tampak derajat akurasi unsur-unsur kesahihan sanad yang berkenaan dengan kualitas periwayat[21].
D. Khatimah
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sanad secara tidak langsung telah menjadi penyangga otoritas hadis sebagai sumber par exelence kedua setelah al-Qur’an. Yang menjadi masalah adalah upaya kontekstualisasi terhadap teks hadis. Apabila kita merujuk pada metode sejarah yang memproses fakta, data, artifak, dan dokumen sejarah melalui tahapan heuristik (pengumpulan),verifikasi, interpretasi dan historiografi (penulisan ulang). Maka hadis setelah dikumpulkan (tadwin) dan diverifikasi (kritik matan dan sanad), juga harus melalui proses interpretasi untuk kemudian dilakukan penulisan ulang (historiografi) agar memberikan wawasan yang segar terhadap pemahaman masyarakat muslim mengenai hadis. Secara esensial tidak ada dikotomi antara penafsiran al-Qur’an dan interpretasi (syarah) terhadap hadis seperti yang dianut oleh faham inkar al-Sunnah. Karena Nabi s.a.w. sebagai penyambung lidah Tuhan (hermeneut), bisa dikatakan memiliki kualitas transendental, dimana dikatakan oleh al-Qur’an “min huwa illa wahyu yuuha”, sehingga bisa ditarik sebuah proposisi bahwa’idea’ dari hadis itu juga tetap berasal dari Tuhan.
Dalam konteks kekinian, penulis melihat bahwa pemahaman terhadap hadis mengalami dekadensi yang luar biasa. Fenomena radikalisme dan fundamentalisme yang saat ini menjamur dikalangan Muslim menjadi fakta yang telanjang mengenai misinterpretasi terhadap teks hadis. Hal ini terjadi karena paradigma tekstual-formal yang ditanamkan oleh sebagian asatidz yang berfaham wahabi dan mengklaim sebagai penganut manhaj salafusshalih, sehingga tertutup lah peluang kontekstualisasi terhadap hadis, yang terjadi justru adalah monopoli kebenaran. Tidak jarang pemahaman yang rigid terhadap teks hadis ini malah menimbulkan friksi diantara sesama Muslim, karena berpegang pada statement hadis yang berbunyi “kullu min bidh’atin dalaalah”, karenanya tuduhan sebagai ahlul bidh’ah bagi orang lain dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Wallahu Ta’ala A’lam

Daftar Pustaka
Al-Nawawi, Imam, Dasar-dasar Ilmu hadis, Terj. Syarif Made Hasyah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.
Jurnal Al-Hikmah No. 14. Vol. VI, 1995.
Ismail, H.M. Syuhudi, Prof ,Dr, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 2001
Ilyas, Yunahar, Lc, et.al, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, LPPI, Yogyakarta, 1996
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosutanto, UI Press, Jakarta, 1998.
Yaqub,Ali Mustafa, Prof, Dr, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.


[1] Para sarjana Muslim pada umumnya berpandangan bahwa kepedulian terhadap isnad berawal sesudah terbunuhnya khalifah ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan. Ada perselisihan pendapat dikalangan orientalis mengenai permulaan isnad pada tahun 126 H. Robson menempatkannya pada tahun-tahun pertengahan abad pertama hijrah, horovitz pada sepertiga terakhir abad pertama hijrah; Sezgin menempatkannya pada masa al-Zuhri (w.125 H); Goldziher mengatakan bahwa isnad muncul sesudah wafatnya Nabi. Kesimpulan-kesimpulan mereka tampaknya didasarkan pada laporan-laporan awa’il atau pada perkataan Ibnu Sirin. Studi- studi paling akhir mengenai masalah tersebut adalah seperti yang dilakukan Juynboll dan Van Ess. Van Ess—dengan berpijak pada laporan tertentu—berpandangan bahwa isnad dimulai setelah terbunuhnya Utsman. (Jurnal Al-Hikmah No. 14, Vol. VI/Thn 1995..hlm. 20)

[2] Jurnal Al-hikmah No. 14. Vol. VI/Thn. 1995. hlm. 20

[3] HM. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 14
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosutanto, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 18.

[5] Ibid, hlm. 32.

[6] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, hlm. 15.

[7] Ibid, hlm. 16.
[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 4.

[9] Ibid, hlm. 98.
[10] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan…, hlm. 85.

[11] Ibid, hlm. 86.
[12] Ibid, hlm.102.

[13] Ibid, hlm. 107-108
[14] Ibid, hlm. 111.

[15] Ibid, hlm. 120.
[16] Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, terj. Syarif Made Hasyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 3-4.

[17] Yunahar Ilyas Lc. et.al, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI, 1996), hlm. 7.

[18] Ibid, hlm. 8.
[19] Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis, hlm. 39.

[20] H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan…., hlm. 226.

[21] Ibid, hlm.227.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...