Tanda-tanda Itu
Bertanya kepadamu tentang kisah
Yang surut dalam perihnya luka
Seperti malam yang bergetar
Oleh lolongan tua sang pencinta
Entah dimana kenangan manis
Ketika duduk-duduk, kita bercanda
Seolah tanda-tanda itu, adalah
Kekhawatiran untuk tak lagi
Berjumpa.
Di Senja itu
Duhai kekasih, ilhami wajahku
Untukmu senyum terulas hampa
Tanpa warna
Menilai diriku yang runtuh seperti
Daun, kehabisan nyawa hingga kering
Tinggal tulang yang menua dimakan Sisa
Betulkah sayang, kau senandungkan
Lagu kematian
Di senja itu ketika camar tinggalkan
Pesona di ufuk timur yang memerah Padam.
Rindu
Rindu kepadanya adalah tangis
Sang bayi yang terenggut dari
Pangkuan sang ibu
Mencarinya di sisa-sisa waktu
Ketika purnama tak kunjung tiba
Rindu bocah-bocah yang tak lagi riang
Bersorakan untuk caya_nya,
yang Hanya singgah sebentar
Rinduku menjadi asap, karena
Cinta yang membakar, untuk
Segera bercumbu dengan awan
Di semesta hasrat, tersimpan
Tadi dalam pesona…
Tadi dalam pesona burung-burung
Aku berkhayal
Indah nian, aku terbang
Ke ranting-ranting dan
Dahan-dahan yang hampir patah
Menyanyikan siulan abadi
Sahut menyahut, harmoni rasa rindu
Aku bebas, terbang kepuncak-puncak
Tinggi , melayang kebawah
Akhir kesadaran.
Tadi dalam pesona gunung-gunung
Aku bermimpi, merengkuhmu
Hangat
Menghunjam ubun kesadaranku
Untuk tidak berhenti mencintaimu.
Ayat kata-kata
Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan lipatan buku-buku, ocehan burung-burung
Atau dari bibir-bibir yang luka, tanpa senyum
Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan gemericik air, pesona bunga-bunga
Atau dari gunung-gunung yang kerontang,
Tanpa angin
Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan desahan rumput-rumput, beningnya embun
Atau dari langit yang kosong
Tanpa bintang
Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan deburan ombak-ombak,
kilatan buih-buih
Atau dari derap-derap langkah, tanpa arah
Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan gemuruh jiwa-jiwa,Kalbu-kalbu yang tulus Atau dari tetes-tetes airmata
Tanpa sang kekasih
Cinta I
Cinta, seolah kapas yang basah oleh air
Dan hatipun basah oleh rasa aneh itu
Kau tak tahu, kalau aku terlalu mendamba, hadirmu mempesona
Di pelukku
Entah, rasa itu membuatku gila
Tiap desah nafas adalah angka-angka hidup dalam nyawa
dan senyummu
Membuat duniaku seolah tanpa raga
Seperti langit yang kembali muram
Dalam gelapnya temaram, tanpa
Rembulan, mengaca mentari
Seperti senyum hampa sang bidadari
Mimpiku yang kunjung tiba
Mendera hati, keluh kesah
Menampar wajahku sendiri
Seperti kau yang pergi
Tanpa pamit, barangkali
Dari Goethe untuk Imuth,
Pandangnya yang tertunduk
Saat dia melintas
Tertera jauh dia dalam hatiku
Betapa singkat kesempatan itu terikat
Membuat aku sangat terpikat
Bisu
Mimpiku malam ….
Mencarimu nanar dikala siang
Aku tak sanggup
Malam biru kelam memagut
Cinta, hati bisu untukmu
Bukan pesona wangi tubuhmu
Tetapi untukku, jiwamu
Membutakan sukmaku.
Hari ini
Hari ini, mentari menatapku dengan sedih, caya_nya tak lagi lembut
Seperti kemarin
Entah siapa yang tersangkut di hati ini,
begitu dalam
Malam-malamku adalah khayal untuknya
Tidurku pun terlalu malam dibuatnya.
Hingga detik ini, kau slalu basahi fikiran, menjelma rintik-rintik air mata, sesal mengapa ku slalu rindu padamu.
Suatu saat kita berjumpa, rindu bergejolak
menghempas-hempas
Semua kaku terkatup, bibirpun tak sanggup untuk berkata "aku suka kamu"”
Hati ini terlalu sepi hari ini menepi dalam sunyi.
Hujan
Hari-hari adalah puisi untukmu
Tik-tok jam dinding kamarku
Menjadi bahasa waktu, ketika
Aku terlalu merindu
Tutz-tutz, irama four "elise
Membawa senyap kamarku
Dalam dahagaku padanya
Seperti angin yang rindu pada hujan.
Terkenang-kenang, berlinang
Airmata menggenang, didada
Sesak mengumpal membatu kesedihan.
Lagi-lagi tentangmu.
Seperti sedih selimuti malam
Panjang-panjang, memanjang
Tiada kantuk menyerang, hilang
Cinta II
Hati itu hancur karena cinta, sebelah mata memandang
Persepsi indah, hilang terbang. Engkau milik orang lain, sayang.
Sedih, hati tak sanggup melepasmu, tenggelam dalam citra pesonamu.
Luluh aku, saat menatapmu terakhir kali
Seperti mati suri
Barangkali.
Cinta III
Ini yang pertama kali
Aku jatuh hati
Ku hanya ingin satu kali
Seperti ini, sampai mati
Untukmu saja, bukan perempuan yang mana.
Cinta sejati dan suci itu seperti apa?
Aku tulus, sampai putih hati ini.
Seperti mencintaimu,barangkali
Hening
Hening, membaca sunyi
Nyala, sekam terbawa benci sekaligus
rindu padamu.
Aku, hampir lupa pada nukilan cerita sedih
Kepada langit yang mendung
Menahan tangis
Aku, hancur berdebu-debu
Tinggal angin, yang basah
Dalam pesonanya merekah
Nyala, sekam terbawa benci sekaligus
rindu padamu.
Hening, membaca sunyi
Untukmu.
Luka
Cinta yang kutulis dalam kata-kata
tak bermakna
Laksana senyummu yang menyimpan
berjuta rahasia
Langkahmu, yang berkelebat dalam angin, yang membisikkan
Dalamnya luka yang kau
Tinggalkan.
Detik-detik
Dalam penggalan waktu
Hingga malam ini
Slalu untukmu, angin yang membisik,
menyapa malamku yang muram.
Huruf-huruf yang kaku, membaca
Detik-detik yang kian ringkih
Duhai pelangi, wahai awan
Jangan biarkan dia pergi
Aku terlalu untuknya
Puing-puing cerita
Sekali waktu, angin membisik
Mengugah kesadaran, menyatu
Dalam pesonanya yang lekat
Liat tubuhku yang hancur
Semua seperti puing-puing cerita
yang berpenggalan
Dalam sedihnya malam
Entah, aku seperti apa hari ini, tanpa
sang kekasih
Merahnya mawarmu, singkapkan senyum lembutmu, terpana.mabuk aku seperti
anai-anai yang terbakar dalam caya_Nya.
Akhirnya malam harus menjelma senyum
sang biduan
Yang hangatkan jiwaku
Malam ini.
Tertipu
Sekarang aku, hampa, hampir menangis
Bukan menyesali pertemuan yang tiba-tiba
Atau menertawakan langkahku yang sia-sia
Kemarin, adalah terang nyala jiwaku
Bukan, aku tidak gampang menangis
Sekedar menyesali perpisahan yang tak terduga
Karena tertipu, atau tersipu malu
Oh, perasaanku yang tak tahu malu.
Perempuan
Dalam sedihnya aku tak sanggup
Dalam senyumnya, tersirat makna
Perempuan-perempuan gentayangan
Di hatiku/dimataku, kau jadi hantu
Perempuan yang kurindu, hilang sekejap
Cinta tulus, untuk apa
Selamat Tinggal
Gemuruh Jiwa, hancur
Bohong! Cerita tentangmu
Lunglai aku, dalam kesedihan
Ranting emas ini, telah patah
Sembunyi kau, dalam kata-kata palsu
Tutupi bangkai di hatimu
Menggapaimu dalam mimpi-mimpi kering
Ucapkan untukku, selamat tinggal.
Ayat Allah
Aku mengingat_Mu dengan suka cita
Dalam rintik-rintik, dan detik-detik
Hening, syahdu penuh seluruh
Hilang, dalam benderang pesona_Mu.
Rizal
Sisi hidup terbaca ringkas
Sedih, lapar untukmu puas
Cinta bergelayutan, digagang telfon
Di kursi sang penjual lotek
Sayang, hidup pergi tanpa arah
Walau peluh keringat membaca jalan
Dari sagan ke kampus, bolak-balik
Serapah! Aku sudah semester empat
Sinyal belum nyala merah, katanya,Tuhan
Aku sungguh-sungguh untukmu.
Pasrah
Malam tadi aku terjerembab
Beribu pasang mata
Memaksa aku untuk pergi
Dan aku merelakannya
Tiba suatu saat yang dinanti
Tak kunjung datang
Katanya, terlambat dua belas jam
Bersama ribuan orang sesak
Aku menunggu, tak kunjung tiba
Sudah!, hari ini bukan untukku
Bukan untukmu, tetapi
Hari untuk Tuhan
Aku pasrah!
Muthy...
Penat aku membayangkanmu
Thy, aku gelisah dalam
Wajah-wajah asing
Aku merindukanmu
Pupus
Di laut itu Talisayan
Kubenamkan kenangan
Indahnya cinta tak berbalas
Disekujur hatiku terluka
Senyummu terakhir
Terpana rasa rindu menahun
Pesonamu tak lagi menyala
Dan, biarkan diriku untuk yang lain
Untuk apa mengejar masa lalu
Yang mati
Walau tampak indah
Bagai mimpi
Biarkan kenangan cinta itu
Tersapu ombak
Pupus bersama ombak
Di laut itu, Talisayan.
Salam
Tertitip salam, entah rindu
Atau benci apa!
Bunga-bunga mekar di taman
Kembali di hati katanya
Bayang-bayangmu di pelupuk
indah dimata
nyanyi-nyanyi indah
tarian pesonamu
membakar
tertitip salam, entah rindu
atau benci apa!
Terima kasih.
Biar
Senyap, kaku, membisu
Langit tak berkata apa-apa
Selain pesan hujan rintik
Dan detik-detik
Sisa nyawa, di ubun-ubun
Mengulas sisa senyum
Untukku bukan?
Ah, biar
Pergi untukku, kawan
Kekasih bukan apa-apa
Yah! sekedar belajar
Untuk melupakannya.
Mimpi Buruk
Keringat basahi tubuh
Bercucuran,bersorak
Dengan nafas yang tinggal satu-satu
Alunan keras musik, mengajakku
Menghentakkan kepalaku
Di angin
Yang tak mengerti kalau
aku sedang sedih
semalam aku berjumpa dengannya
dengan seulas senyum hampa
aku bangkit dari mimpi buruk
kembali tentang Imuth
yang kurindu.
Jam-jam yang lalu
Dalam jam-jam yang lalu
Aku bertanya kepada angin
Kemana ? kedamaian yang tercipta
Dalam hembusannya yang padu
Kemarin dalam desahan udara
Aku bernyanyi, kepada hening
Iringan dawai membuatku mabuk
Dalam selaksa cinta tak terperi
Kau, yang melintas dalam makna
Kelam, memagut suci kerinduan
Tanpa terasa hangat airmata
Membakar cinta kita dalam seribu pelukan
Tanpa Dosa
Tiba-tiba jantung ini berdegup kencang
Melihatnya melintas tanpa dosa
Mengaca kesombongan di cermin matanya
Walaupun jiwa ini tetap mendesis, duhai permata hatiku
Aku juga memimpikannya semalam
Melihatnya berdua dengan seseorang
Tidak mimpi atau kenyataan
Dia tetap tak punya perhatian.
Hidup
Nyala jiwa seperti api
Yang dingin dalam petala jiwa
Atau kebisuan dari bibir yang kaku
Seperti aku yang hilang, senyap
Malamnya rembulan dan
Pepohonan yang riang, bintang
gemintang, memacu deru udara
yang malam, aku bermimpi
bukan, sebenarnya aku tak sanggup
menanggung derita gembira, arti hidup
yang panjang nan luas, sebatas
pandang cintaku kepadaNya
Atau
Atau kehadiranku di dunia
Yang penuh atau keniscayaan
Atau kesedihanku tentang
Hilangnya, atau sang kekasih
Atau kemarahanku pada
Atau kebencian dalam kearifan
Atau perbincangan yang tak habis-habis
Atau diskusi yang sudah sobek
Atau penantianku pada atau kegelisahan
Tentang atau yang tak kunjung atau, tiba
Disuatu Pagi
Disuatu pagi, secerah penantianku
Pada mentari yang belum juga tersenyum
Hujan semalam, diam, kaku, terpaku
Tentang masa depan, tentang kekasih
Yang sudah pergi, hilang
Kemarin sepucuk kata maaf untukku
Entah untuk apa tujuan, kata maaf
Harus segera dikembalikan, untuk
Satu kepentingan. Persahabatan
Kasih sayang
Belum juga reda hujan dihatiku
Oleh kegembiraan, kasih sayang Tuhan yang berdatangan, tak menentu arah, tak terduga
Sebuah kata tak beraturan, dalam
Puisi tentang pagi yang sejuk
Hingga rongga dadaku bergetar
Menyalakan api rindu yang telah lama padam
Dalam penantianku pada sang waktu, saat yang tepat untuk sebuah pertemuan
Dibawah tenda waktu yang sudah usang
Menyaksikan orang-orang asing berlarian
Mengejar mimpi karena takut mati
Karena berhati-hati untuk menikmati hidup lebih lama lagi
Ketika Pagi
Merobek patahan senja, ketika pagi
Batapa menyakitkan, tubuh tertanda luka
Sepi mengurat nadi, mencabik ketenangan hati
Kutingkap wajah hitam arang, menjelma
Pesonamu, jadi bara dalam sekam
Untuk apa menangis, mata tak boleh berpura
Membohongi nurani, jiwa nelangsa
Seperti putih, tak pernah benci hitam seperti kertas hitam diatas putih, merona temaram
Sembunyikan senyum yang tak pernah disunggingkan
Biarkan kelam, hancurkan jiwaku sampai remuk redam.
Seperti buih, barangkali
Palung
Penaku menggurat sedih
Jadi palung
Hitam
Dalam
Merengkuh
Pekat
Penat
Senyap
Tusuk
Segala
Diam
Tetap
Berderap
Seperti
Mimpi
Menjilat
Lidahku
Terbakar
Asa
Yang tak pernah padam
Hanya padamu
Benci!
For Ish
Senyapkan berjuta kalimat, selinap, dekat
Biarkan berseri dunia itu, maya
Entah cinta, persahabatan, atau
diskusi harian
jiwa bergejolak dalam gemuruhnya yang hampir lindap
semua bekas,jejak kata bukan sebenarnya jiwa
sepenggal waktu dariNya, tidak pernah tersia-sia
menangkal batas, dalam atau lebar luasnya sebuah kata cinta
Hujan di bulan Januari
Dingin, suatu sore hujan menari-nari
Menghanyutkan sisa-sisa kemarau yang meradang
Menjelma gelembung-gelembung udara, mengalir
Ketepi-tepi penantianku padamu
Sekilas gejolak, yang lewat
Adalah irama syahdu diatap-atap rumah
Riang gemuruhnya tak berpaling, dalam
Sekedup jiwaku, aku menunggu
Hujan di bulan januari, adalah
Hujan di sore hari, ketika engkau pergi
Dan takkan pernah kembali
Hujan terlalu lebat dihatiku
Dan aku pun menangis
Seperti langit
Badai
Masih tersisa harapan
Nyala kecil pelita hati yang belum juga padam
Menutup luka lama dengan air mata
Mengubur kenangan indah dengan nisannya yang pualam
Badai terlalu kencang hari ini
Kaki goyah, berserakan entah kemana
Tapi kami masih punya hati yang lembut
Untuk teguh berpegangan pada dahanNya yang kokoh
Seperti air bah memang kesedihan itu
Menghanyutkan segalanya, tanpa tersisa
Tapi masih bersinar juga mentari, juga kicau burung
Pertanda kehidupan baru, nyalanya yang hidup
Sang Malam
Asap, pengap membakar daunnya yang berguguran
Habis sudah musim semi, tinggal sedih
Jiwaku kembali membumbung tinggi
Senyum lembutnya masih tersisa
Tempatku mengadu, Tuhanku
Aku dalam kulitMu, berjuta pori-pori
Yang tak mungkin terbaca, dalam
Huruf-huruf yang berkilauan, tanpa henti
Kala senja menderap langkah, mentari mundur malu-malu, mempersilahkan
sang malam
berbaring di peraduannya, memimpikan
apa-apa yang akan terjadi esok hari
Lupa
Lupa pada sang waktu
Seperti air tinggalkan
Bebatuan di pegunungan
Menuju lautan, dahaga terpuaskan
Lupa padamu
Seperti malam yang mencekam
Tinggalkan senyap, sepi, sendiri
Menuju esok yang kujelang, sendirian
Kulupakan kesedihan hari ini
Untuk tertawa esok hari, demi kau!
Pandang pertama
Aduhai cantik dikau hari ini
Senyum, kerlingan mata,
gerakTubuhmu beserta aromanya
Menghanyutkanku dalam cinta
Ketika kita bersatu pandang
Ada getaran aneh, bergelora
Di dadaku, dan aku pun tak tahu
Apa kau merasakan yang sama
Wahai pemilik kecantikan
Sunggingkan sebuah senyum
Untukku agar ku terlelap
Dan segera memimpikanmu
Sujud
Di keheningan itu
Aku bercanda dengan ombak-ombak
Yang menghempas dihatiku
Tidak ada sedih dan airmata
Karena aku terlalu gembira
Oleh gemuruh yang di ciptakanNya
Kususuri sebuah pantai
Entah dihati siapa aku berlabuh
Tidak pada gemerisik rerumputan
Dan juga bukan pada gerimis yang
membelah hutan
Engkau disana menjadi bayang-bayang
diantara deburan ombak dan gemerisik rerumputan
aku terlelap dalam buaian alam
membuatku bermimpi tentangMu
dalam sebuah pertemuan suci
sekilas aku takjub, tak mampu bergerak
menjadikanku sulit untuk bangkit
dari sujudku yang panjang
For Muthy
Thy, andai aku bisa menatap matamu, maka aku akan tahu, betapa beningnya hatimu, kasih
Mengapa kau sembunyikan senyummu yang manis itu, dibalik keanggunan pesonamu, kasih
Aduhai dikau maha cipta terindah, membawaku rohku terbang bersama anganku tentangmu, kasih
Keteguhan jiwamu, membakar hasratku untuk takjub kepadamu, kasih
Thy, cahaya hati, semerbak bunga lily
di taman hati.
Kuingin menatap wajahmu untuk yang kesekian kali, agar puisi ini lebih panjang lagi.
Kidung kematian
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Tinggalkan semua manisnya kenangan,
Kepersembahkan untukmu, puisi berbunga
Yang aromanya mengingatkanku akan aroma tubuhmu, sayang
Kelopak-kelopaknya, mengingatkanku
Akan jiwamu yang indah bermekaran
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Hatiku terkubur bersama jasadmu, sayang
Kepersembahkan untukmu kidung kematian
Di pusaramu aku bersimpuh, dan kukubur hatiku bersama pilu
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Seribu Wajah
Hari berlalu dengan langkah sendu
Menerjang hari penuh rasa malu
Bercampur aduk, dalam desah nafas memburu
Melepas tangis ke angkasa biru
Penaku tertatih di perjamuan itu
Gelak tawa membahana
Diantara gelas piring beradu
Mabuk aku di perjamuan itu
Bergetar aku dalam logika dan mantra-mantra
Marasuk lembut, mewangi dupa kencana
Hasratku menjulang tinggi, penuh birahi, membuncah
Berkubang dalam aroma lumpur dan nanah
Mencuri hati sang perawan di matanya
Menghirup wangi gaunnya yang merah
Mencari permata dari tiap helai rambutnya
Dukaku melintas dalam seribu wajah
Demam
Aku demam berhari-hari
Dingin, menggigil, seolah dunia bergerak sendiri
Hentakan ritmis yang mengetuk-ngetuk kepalaku
Seperti musik kemarahan Tuhan kepadaku
Aku sudah kelewat batas
Terperangkap nafsu yang tak pernah puas
Terpesona pada segala lekuk dan bentuk
Dia begitu indah, tetapi juga terkutuk
Aku demam karena bentuk-bentuk
tak beraturan yang mempermanis dunia
aku ingin sembuh, wahai pencipta makna dari segala bentuk
akan kutelan segala makna, agar aku tidak lagi mabuk pada lekuk dan bentuk
kemana harus kucari makna itu?
Apakah di bawah telapak kakiMu
Duhai Tuhanku
Cinta IV
Setiap kali aku melihatmu, setiap itu pula aku semakin cinta kepadamu
Kata mentari pada bumi kala pagi
Kata rembulan pada malam ketika senja menjelang
Kata embun pada rumput dan dedaunan ketika pagi
Kata sepasang merpati yang tak pernah pindah kelain hati, kataku padamu dalam tiap desahan nafasku.
Tentang Embun-embun
Yang sudah usang biarkan terbuang
Senyap nyalamu, penatkan jiwa-jiwa ini, hilang
Semua sudah patah dalam remahan cerita
Tentang mimpi dan senyuman sang dewi malam
Juga keresahan, semburat angan-angan
Menyingkap tirainya yang besi, berbatu
Menggapai lembut tanganmu, tentang embun-embun yang memuai di atas lentik matamu.
Senarai
Daun-daun berguguran
Diatas jalan setapak itu
Pecah jejaknya, berkubang, berlubang
Nyanyinya yang renta
Adalah tangis kematian, sebuah lolongan panjang
Sudah! Kita hancur-kita luluh
Dan biarkan senarai panjangNya
Mendekap kita dengan khidmat
Tuhanku, aku sudah cukup
Sebuah Judul yang salah
Percuma kuceritakan semua
Menetakkan peristiwa pada judul sang salah
Kisah kita, bukan lagi nyanyian indah burung-burung
Bukan lagi pesona secawan anggur
Kita hanyut dalam dangkal, sungai perasaan
Mampukah kita hadir dalam jiwa-jiwa yang tulus
Merengkuh peluh, cium, genggam tanganmu
Dan kita pun bersanding, berjalan ke dalam pekat
Menumpah tangis pada cawan masing-masing
Sayangku, sekali lagi jangan pergi
Kaliurang
Sebuah penggalan dari negeri khayangan
Indah nian bukan kepalang
Anak-anak merapi menebar pesonanya
dalam sejuk pepohonan rindang tinggi menjulang
melesat di awan-awan
kaliurang, adalah bahasa keindahan ciptaan Tuhan
Merapi menjadi mahakarya kebesaranNya
Kawan-kawan, Tuhan masih sayang kita
Merapi masih diam untuk menyimpan
Lahar amarahNya
Sampai kita tak pernah lagi menyebut-nyebut
NamaNya.
Untuk
Kucoba merengkuh waktu ditanganku
Untuk mendayung kesempatan
Untuk menggamit tangan lembutmu
Untuk mencoba membangun jembatan kesempatan untuk sempat menyayangimu
Aduhai nasib, aduhai nasib
Darah ini telah mengalir di sungai jiwamu
Dan biarkan kuncupnya mekar sejenak
Untuk memandang paras indahmu
Sampai terbenam
Sampai tenggelam
Sampai hilang
Sampai aku hanyut dalam waktu
Yang tak bisa rengkuh ditanganku.
Tuhan, aku ingin pulang
Tuhan, aku ingin pulang
Untuk bersimpuh di lantai rumahMu
Untuk mencuci kotor bajuku
Untuk menggamit lembut tanganMu
Untuk menatap indah parasMu
Sampai aku luluh
Dalam cinta yang suci
KepadaMu
Perih
Perih, menahan rindu
Padamu, tangis semalam
Adalah, gerimis di penghujung musim
Duhai, amarah membongkar nafsu dunia
Kemarau, mempercepat kepak elang
Diriku, yang mati sore tadi
Pulang, hari sudah malam
Di Sabtu itu
Di sabtu itu, kucari pesonamu dalam tumpukan buku-buku perpus
Setengah mati, aku terkejut, kau menjelma di sisiku tersenyum
Kusapa dirimu, seolah buku-buku bak taman bunga bermekaran
Padahal waktu itu, hati ini telah redup, menepi dalam sunyi
Sambil berpura-pura lupa padamu, walau aku terlalu merindu
Menunggu
Detik-detik yang luruh dihadapanku
Menyisakan penggalan cerita yang kian usang
Sudah kupadamkan bara di jiwaku
Untuk menunggumu sampai tengah malam
Kupinta angin untuk menyanyikan lagu
Sampai detik-detik itu menari-nari
Melupakan kegelisahan, amarah dan cinta
Dan kudekap selalu jam dinding waktuMu
Sampai aku lupa,
Bahwa Engkau telah lama menungguku
Thank you so much
Tanganku yang kerontang
Tengadah, mengais-ngais harap
Di pintuMu, di pintumu
Terima kasih, telah membukakan pintu rizkiMu, juga pintu hatimu yang indah
Untukku
Uluran tanganmu, seolah lengan panjangNya,
Mengelus ubun-ubunku yang kering, dan meminyakinya dengan kasih sayang
Ntuk’ mengibaskan kegelisahan, kepapaan,
Sampai aku bersorak-sorak kegirangan
Untuk mensyukuri jalan hidupku yang lempang
kulepas nafas sepuas-puasnya,
mensyukuri hilangnya gumpalan kesedihan
Yang tadinya menyekat dada
Terima kasih yang tiada berbilang
Atas semua bantuan dan perhatian
Kebaikanmu akan tertera jauh
Di lubuk hati yang terdalam
Takkan pernah hilang
Sampai ajal menjelang
Tanganku yang tak lagi kerontang
Tengadah, menghatur sembah terima kasih
Di pintuMu, di pintumu
Terima kasih telah membukakan pintu rizkuMu Juga pintu hatimu yang indah
Untukku.
Diam
Aku terpaku dalam diam tak berujung
Menyelami hakekat gelap jiwaku
Sampai aku hilang dalam waktu
Merengkuh kesadaran hingga terbuang
Kau yang sudah pergi, tersenyum dalam bening matanya yang menghitam
Patah arang menunggumu hingga bertulang
Dalam diam tak berujung….
Sahabat
Malam itu,jiwaku gelisah untuk menyambung pertalian jiwa yang telah lama putus. Entah, angin apa yang merasukku sehingga aku memacu derapku ke internet.
Malam itu, aku mengharu biru dalam gembira tak terkata, setelah membaca emailmu. Persahabatan abadi yang kunanti, menyapa malamku bagai mimpi.
Sahabat, orang bijak pernah berkata bahwa mencari sahabat sejati lebih sulit dari mencari kekasih sejati. Dalam persahabatan, tidak ada benci dan dendam, yang ada hanyalah saling memberi, tanpa pamrih, untuk satu ketulusan, satu kesetiaan. Sekalipun kita belum pernah mengaca wajah, tetapi dalam kata-kata, kita seolah bercanda di sebuah taman hati, persahabatan.
Sahabat, bulan ramadhan ini menjadi penuh kesan, diantaranya karena terbinanya kembali persahabatan yang lama terpendam. Kalbuku, kembali menyala dalam indahnya pertemuan. Berat rasa rindu untuk bertemu, untuk membincangkan betapa besar arti sebuah persahabatan. Berat rasa rindu untuk bertemu, untuk saling menatap dan membagi kegelisahan masing-masing.
Sahabat, dalam persahabatan ada cinta kasih, dalam cinta kasih ada tanggung jawab dan ketulusan. Persahabatan adalah keikhlasan untuk menjiwai masing-masing dan hal itu akan melahirkan kesadaran untuk menerima apa-adanya tanpa tendensi apapun.
Sore di sebuah Masjid
Sahabatku, ditengah syahdunya alam si sekitar masjid, sore itu aku sedang terpekur merenungi hari-hari terakhir di bulan suci. Ada saja geliat dan pesona yang lekat, membuat jiwaku terbang ke angkasa, untuk meraih harapan yang hampir padam. Terkadang harus bersedih untuk menyesali, kalau tahun ini tidak sanggup mengecup punggung tangan ayah-bunda, untuk mengurai permohonan maaf. Walaupun hingga hari ini, darah dan jiwa bergetar oleh rasa rindu yang dalam, aku tetap tak sanggup untuk menahan derai air mata, disaat semua orang berbahagia di hari lebaran
Sahabatku, barangkali hanya engkau yang bisa membaca airmata yang menetes dari segumpal hatiku yang tulus, aku rindu kampung halaman.aku yang terbakar oleh cita-cita yang tinggi, membuatku tak pernah takut untuk menghadapi resiko perpisahan dan kesendirian.
Sahabatku, aku harus lebih bersabar untuk menanggung betapa berat kehilangan kasih sayang dan perhatian ayah-bunda. Tetapi aku bukan apa-apa, dibanding ratusan bahkan ribuan anak-anak yang tak lagi berayah-beribu. Anak-anak yang dahaga kasih sayang ketika melihat kawannya yang berbaju baru bergelayutan di dalam genggaman ayah-bundanya.
Sahabatku, hanya engkau yang membaca kegelisahan di balik tulisan ini, karena itu persahabatan kita menjadi terlalu berarti dan penuh makna kalau kita bisa menjadi pelipur lara dan mendoakan satu sama lain. Satu permohonan yang ingin kuhaturkan, yaitu, jangan pernah bosan untuk tetap setia dalam persahabatan ini, karena persahabatan ini terlalu berarti.
Pada tengah Malam
Malam semakin risik, tenggelam dalam pelukan bumi, aku masih terkapar dalam khayalku tentang masa depan, tentang sahabat di negeri jiran, tentang ibuku yang mungkin juga belum tertidur, karena kenangan hari-hari yang berlalu dengan cepat.
Malam ini aku baru saja mengembara di dalam cerita-cerita Tagore yang mengesankan, membawaku pada khayalan asing, dimana aku berjumpa denganmu, dan menyapamu ‘duhai sahabat apa kabarmu hari ini’.
Malam semakin mendekapku dengan erat , seolah-olah membuat bumi berhenti berputar, bahkan nyanyian burung terasa samar tak terdengar, hanyut dalam dada sang malam, aku bahkan belum sempat bertanya padanya, ‘ apakah sahabatku di negeri sana sudah tertidur’.
Andaikan malam belum membuatnya tertidur, aku ingin membaitkan barisan puisi ini untuk mengabadikan sebuah persahabatan dalam sebuah pertemuan, karena disaat kita berjumpa, tentu senyuman kita bahkan tidak bisa dilukiskan oleh ini puisi ini sekalipun.
Masih tentang malam-malam panjang yang menghitam tanpa bintang, membawa keresahanku dalam gelap, pekat, memikat jiwaku yang semakin penat oleh cerita-cerita suram hidupku, hanya senyum lembutmu yang bisa mencairkan semuanya, dalam kebahagiaan tanpa akhir.
Sahabatku, doakan aku malam ini, semoga kita berjumpa dalam mimpi, untuk saling menceritakan betapa besar makna sebuah persahabatan
Malam telah menyelimutiku dengan hangat, selamat tidur sahabat,
Sahabat II
Ada saja himpitan yang membelenggu hidup ini, seperti kesedihan orang-orang miskin papa yang menulis luka, atau kesedihan orang-orang kaya yang jiwanya hampa penuh sampah dunia. Adapun kegembiraan orang-orang yang hidup bersama Tuhan dalam tiap desahan nafasnya, atau senyum orang-orang yang menahan dunianya untuk Tuhannya
Entah kita berada pada garis yang mana, kita masih menikmati kesombongan logika dan kehendak nafsu untuk sepuas-puasnya, padahal manusia adalah mahlug yang tak pernah puas. Pernahkah kita cukup puas untuk menikmati persahabatan dengan Tuhan. Tuhan adalah sahabat sekaligus kekasih kita, karena dalam pelukan lembutNya, kita merasa nyaman untuk melupakan himpitan hidup kita. Biarkan Tuhan tersenyum, disaat kita menyapanya dengan lembut dikala pagi dan sore hari, dikala duduk, baring dan berdiri. Tetapi kadang kita masih sering lupa dan kembali ke jalan yang salah. Oh Tuhan ku, oh Allahku, maafkan aku sebagaimana engkau memaafkan sahabat dan kekasihmu yang lain
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
GELIAT MUSLIM AUSTRALIA
Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...
-
A. PENDAHULUAN Kuatnya hegemoni Barat terhadap Islam memunculkan tanggapan yang beragam di kalangan Muslim. Salah satunya adalah munculny...
-
Sinopsis Fenomena keberagamaan yang eksklusif dan pemahaman serba teks merupakan fenomena laten dalam semua agama dan model kepercayaan lai...
-
Tanda-tanda Itu Bertanya kepadamu tentang kisah Yang surut dalam perihnya luka Seperti malam yang bergetar Oleh lolongan tua sang penci...
Great!
BalasHapus