Minggu, 08 November 2009

Antologi Puisiku

Tanda-tanda Itu


Bertanya kepadamu tentang kisah
Yang surut dalam perihnya luka
Seperti malam yang bergetar
Oleh lolongan tua sang pencinta


Entah dimana kenangan manis
Ketika duduk-duduk, kita bercanda
Seolah tanda-tanda itu, adalah
Kekhawatiran untuk tak lagi
Berjumpa.








Di Senja itu


Duhai kekasih, ilhami wajahku
Untukmu senyum terulas hampa
Tanpa warna


Menilai diriku yang runtuh seperti
Daun, kehabisan nyawa hingga kering
Tinggal tulang yang menua dimakan Sisa


Betulkah sayang, kau senandungkan
Lagu kematian
Di senja itu ketika camar tinggalkan
Pesona di ufuk timur yang memerah Padam.








Rindu


Rindu kepadanya adalah tangis
Sang bayi yang terenggut dari
Pangkuan sang ibu


Mencarinya di sisa-sisa waktu
Ketika purnama tak kunjung tiba
Rindu bocah-bocah yang tak lagi riang
Bersorakan untuk caya_nya,
yang Hanya singgah sebentar


Rinduku menjadi asap, karena
Cinta yang membakar, untuk
Segera bercumbu dengan awan
Di semesta hasrat, tersimpan










Tadi dalam pesona…


Tadi dalam pesona burung-burung
Aku berkhayal
Indah nian, aku terbang
Ke ranting-ranting dan
Dahan-dahan yang hampir patah


Menyanyikan siulan abadi
Sahut menyahut, harmoni rasa rindu
Aku bebas, terbang kepuncak-puncak
Tinggi , melayang kebawah
Akhir kesadaran.


Tadi dalam pesona gunung-gunung
Aku bermimpi, merengkuhmu
Hangat
Menghunjam ubun kesadaranku
Untuk tidak berhenti mencintaimu.






Ayat kata-kata


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan lipatan buku-buku, ocehan burung-burung
Atau dari bibir-bibir yang luka, tanpa senyum


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan gemericik air, pesona bunga-bunga
Atau dari gunung-gunung yang kerontang,
Tanpa angin


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan desahan rumput-rumput, beningnya embun
Atau dari langit yang kosong
Tanpa bintang


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan deburan ombak-ombak,
kilatan buih-buih
Atau dari derap-derap langkah, tanpa arah


Dari tadi aku bermain kata-kata
Dengan gemuruh jiwa-jiwa,Kalbu-kalbu yang tulus Atau dari tetes-tetes airmata
Tanpa sang kekasih




Cinta I


Cinta, seolah kapas yang basah oleh air
Dan hatipun basah oleh rasa aneh itu
Kau tak tahu, kalau aku terlalu mendamba, hadirmu mempesona
Di pelukku


Entah, rasa itu membuatku gila
Tiap desah nafas adalah angka-angka hidup dalam nyawa
dan senyummu
Membuat duniaku seolah tanpa raga


Seperti langit yang kembali muram
Dalam gelapnya temaram, tanpa
Rembulan, mengaca mentari
Seperti senyum hampa sang bidadari


Mimpiku yang kunjung tiba
Mendera hati, keluh kesah
Menampar wajahku sendiri
Seperti kau yang pergi
Tanpa pamit, barangkali




Dari Goethe untuk Imuth,


Pandangnya yang tertunduk
Saat dia melintas
Tertera jauh dia dalam hatiku
Betapa singkat kesempatan itu terikat
Membuat aku sangat terpikat




Bisu


Mimpiku malam ….
Mencarimu nanar dikala siang
Aku tak sanggup
Malam biru kelam memagut


Cinta, hati bisu untukmu
Bukan pesona wangi tubuhmu
Tetapi untukku, jiwamu
Membutakan sukmaku.






Hari ini


Hari ini, mentari menatapku dengan sedih, caya_nya tak lagi lembut
Seperti kemarin


Entah siapa yang tersangkut di hati ini,
begitu dalam
Malam-malamku adalah khayal untuknya
Tidurku pun terlalu malam dibuatnya.


Hingga detik ini, kau slalu basahi fikiran, menjelma rintik-rintik air mata, sesal mengapa ku slalu rindu padamu.


Suatu saat kita berjumpa, rindu bergejolak
menghempas-hempas
Semua kaku terkatup, bibirpun tak sanggup untuk berkata "aku suka kamu"”


Hati ini terlalu sepi hari ini menepi dalam sunyi.






Hujan


Hari-hari adalah puisi untukmu
Tik-tok jam dinding kamarku
Menjadi bahasa waktu, ketika
Aku terlalu merindu


Tutz-tutz, irama four "elise
Membawa senyap kamarku
Dalam dahagaku padanya
Seperti angin yang rindu pada hujan.


Terkenang-kenang, berlinang
Airmata menggenang, didada
Sesak mengumpal membatu kesedihan.


Lagi-lagi tentangmu.
Seperti sedih selimuti malam
Panjang-panjang, memanjang
Tiada kantuk menyerang, hilang






Cinta II


Hati itu hancur karena cinta, sebelah mata memandang


Persepsi indah, hilang terbang. Engkau milik orang lain, sayang.


Sedih, hati tak sanggup melepasmu, tenggelam dalam citra pesonamu.


Luluh aku, saat menatapmu terakhir kali
Seperti mati suri
Barangkali.






Cinta III


Ini yang pertama kali
Aku jatuh hati
Ku hanya ingin satu kali
Seperti ini, sampai mati


Untukmu saja, bukan perempuan yang mana.
Cinta sejati dan suci itu seperti apa?
Aku tulus, sampai putih hati ini.
Seperti mencintaimu,barangkali






Hening


Hening, membaca sunyi
Nyala, sekam terbawa benci sekaligus
rindu padamu.


Aku, hampir lupa pada nukilan cerita sedih
Kepada langit yang mendung
Menahan tangis


Aku, hancur berdebu-debu
Tinggal angin, yang basah
Dalam pesonanya merekah


Nyala, sekam terbawa benci sekaligus
rindu padamu.
Hening, membaca sunyi
Untukmu.






Luka


Cinta yang kutulis dalam kata-kata
tak bermakna


Laksana senyummu yang menyimpan
berjuta rahasia


Langkahmu, yang berkelebat dalam angin, yang membisikkan
Dalamnya luka yang kau
Tinggalkan.




Detik-detik


Dalam penggalan waktu
Hingga malam ini
Slalu untukmu, angin yang membisik,
menyapa malamku yang muram.
Huruf-huruf yang kaku, membaca
Detik-detik yang kian ringkih
Duhai pelangi, wahai awan
Jangan biarkan dia pergi
Aku terlalu untuknya




Puing-puing cerita


Sekali waktu, angin membisik
Mengugah kesadaran, menyatu
Dalam pesonanya yang lekat
Liat tubuhku yang hancur


Semua seperti puing-puing cerita
yang berpenggalan
Dalam sedihnya malam
Entah, aku seperti apa hari ini, tanpa
sang kekasih


Merahnya mawarmu, singkapkan senyum lembutmu, terpana.mabuk aku seperti
anai-anai yang terbakar dalam caya_Nya.


Akhirnya malam harus menjelma senyum
sang biduan
Yang hangatkan jiwaku
Malam ini.




Tertipu


Sekarang aku, hampa, hampir menangis
Bukan menyesali pertemuan yang tiba-tiba
Atau menertawakan langkahku yang sia-sia
Kemarin, adalah terang nyala jiwaku


Bukan, aku tidak gampang menangis
Sekedar menyesali perpisahan yang tak terduga
Karena tertipu, atau tersipu malu
Oh, perasaanku yang tak tahu malu.




Perempuan


Dalam sedihnya aku tak sanggup
Dalam senyumnya, tersirat makna
Perempuan-perempuan gentayangan
Di hatiku/dimataku, kau jadi hantu


Perempuan yang kurindu, hilang sekejap
Cinta tulus, untuk apa






Selamat Tinggal


Gemuruh Jiwa, hancur
Bohong! Cerita tentangmu
Lunglai aku, dalam kesedihan
Ranting emas ini, telah patah


Sembunyi kau, dalam kata-kata palsu
Tutupi bangkai di hatimu
Menggapaimu dalam mimpi-mimpi kering
Ucapkan untukku, selamat tinggal.






Ayat Allah


Aku mengingat_Mu dengan suka cita
Dalam rintik-rintik, dan detik-detik
Hening, syahdu penuh seluruh
Hilang, dalam benderang pesona_Mu.




Rizal


Sisi hidup terbaca ringkas
Sedih, lapar untukmu puas
Cinta bergelayutan, digagang telfon
Di kursi sang penjual lotek


Sayang, hidup pergi tanpa arah
Walau peluh keringat membaca jalan
Dari sagan ke kampus, bolak-balik
Serapah! Aku sudah semester empat


Sinyal belum nyala merah, katanya,Tuhan
Aku sungguh-sungguh untukmu.




Pasrah


Malam tadi aku terjerembab
Beribu pasang mata
Memaksa aku untuk pergi
Dan aku merelakannya


Tiba suatu saat yang dinanti
Tak kunjung datang
Katanya, terlambat dua belas jam
Bersama ribuan orang sesak
Aku menunggu, tak kunjung tiba


Sudah!, hari ini bukan untukku
Bukan untukmu, tetapi
Hari untuk Tuhan
Aku pasrah!




Muthy...


Penat aku membayangkanmu
Thy, aku gelisah dalam
Wajah-wajah asing
Aku merindukanmu




Pupus


Di laut itu Talisayan
Kubenamkan kenangan
Indahnya cinta tak berbalas
Disekujur hatiku terluka


Senyummu terakhir
Terpana rasa rindu menahun
Pesonamu tak lagi menyala
Dan, biarkan diriku untuk yang lain


Untuk apa mengejar masa lalu
Yang mati
Walau tampak indah
Bagai mimpi


Biarkan kenangan cinta itu
Tersapu ombak
Pupus bersama ombak
Di laut itu, Talisayan.




Salam


Tertitip salam, entah rindu
Atau benci apa!
Bunga-bunga mekar di taman
Kembali di hati katanya
Bayang-bayangmu di pelupuk
indah dimata


nyanyi-nyanyi indah
tarian pesonamu
membakar
tertitip salam, entah rindu
atau benci apa!


Terima kasih.






Biar


Senyap, kaku, membisu
Langit tak berkata apa-apa
Selain pesan hujan rintik
Dan detik-detik


Sisa nyawa, di ubun-ubun
Mengulas sisa senyum
Untukku bukan?
Ah, biar


Pergi untukku, kawan
Kekasih bukan apa-apa
Yah! sekedar belajar
Untuk melupakannya.




Mimpi Buruk


Keringat basahi tubuh
Bercucuran,bersorak
Dengan nafas yang tinggal satu-satu


Alunan keras musik, mengajakku
Menghentakkan kepalaku
Di angin
Yang tak mengerti kalau
aku sedang sedih


semalam aku berjumpa dengannya
dengan seulas senyum hampa
aku bangkit dari mimpi buruk
kembali tentang Imuth
yang kurindu.




Jam-jam yang lalu


Dalam jam-jam yang lalu
Aku bertanya kepada angin
Kemana ? kedamaian yang tercipta
Dalam hembusannya yang padu


Kemarin dalam desahan udara
Aku bernyanyi, kepada hening
Iringan dawai membuatku mabuk
Dalam selaksa cinta tak terperi


Kau, yang melintas dalam makna
Kelam, memagut suci kerinduan
Tanpa terasa hangat airmata
Membakar cinta kita dalam seribu pelukan




Tanpa Dosa


Tiba-tiba jantung ini berdegup kencang
Melihatnya melintas tanpa dosa
Mengaca kesombongan di cermin matanya
Walaupun jiwa ini tetap mendesis, duhai permata hatiku


Aku juga memimpikannya semalam
Melihatnya berdua dengan seseorang
Tidak mimpi atau kenyataan
Dia tetap tak punya perhatian.








Hidup


Nyala jiwa seperti api
Yang dingin dalam petala jiwa
Atau kebisuan dari bibir yang kaku
Seperti aku yang hilang, senyap


Malamnya rembulan dan
Pepohonan yang riang, bintang
gemintang, memacu deru udara
yang malam, aku bermimpi


bukan, sebenarnya aku tak sanggup
menanggung derita gembira, arti hidup
yang panjang nan luas, sebatas
pandang cintaku kepadaNya






Atau


Atau kehadiranku di dunia
Yang penuh atau keniscayaan
Atau kesedihanku tentang
Hilangnya, atau sang kekasih
Atau kemarahanku pada
Atau kebencian dalam kearifan
Atau perbincangan yang tak habis-habis
Atau diskusi yang sudah sobek
Atau penantianku pada atau kegelisahan
Tentang atau yang tak kunjung atau, tiba






Disuatu Pagi


Disuatu pagi, secerah penantianku
Pada mentari yang belum juga tersenyum
Hujan semalam, diam, kaku, terpaku
Tentang masa depan, tentang kekasih
Yang sudah pergi, hilang


Kemarin sepucuk kata maaf untukku
Entah untuk apa tujuan, kata maaf
Harus segera dikembalikan, untuk
Satu kepentingan. Persahabatan
Kasih sayang


Belum juga reda hujan dihatiku
Oleh kegembiraan, kasih sayang Tuhan yang berdatangan, tak menentu arah, tak terduga


Sebuah kata tak beraturan, dalam
Puisi tentang pagi yang sejuk
Hingga rongga dadaku bergetar
Menyalakan api rindu yang telah lama padam
Dalam penantianku pada sang waktu, saat yang tepat untuk sebuah pertemuan


Dibawah tenda waktu yang sudah usang
Menyaksikan orang-orang asing berlarian
Mengejar mimpi karena takut mati
Karena berhati-hati untuk menikmati hidup lebih lama lagi
Ketika Pagi


Merobek patahan senja, ketika pagi
Batapa menyakitkan, tubuh tertanda luka
Sepi mengurat nadi, mencabik ketenangan hati


Kutingkap wajah hitam arang, menjelma
Pesonamu, jadi bara dalam sekam
Untuk apa menangis, mata tak boleh berpura
Membohongi nurani, jiwa nelangsa


Seperti putih, tak pernah benci hitam seperti kertas hitam diatas putih, merona temaram
Sembunyikan senyum yang tak pernah disunggingkan
Biarkan kelam, hancurkan jiwaku sampai remuk redam.


Seperti buih, barangkali






Palung


Penaku menggurat sedih
Jadi palung
Hitam
Dalam
Merengkuh
Pekat
Penat
Senyap
Tusuk
Segala
Diam
Tetap
Berderap
Seperti
Mimpi
Menjilat
Lidahku
Terbakar
Asa
Yang tak pernah padam
Hanya padamu
Benci!






For Ish


Senyapkan berjuta kalimat, selinap, dekat
Biarkan berseri dunia itu, maya
Entah cinta, persahabatan, atau
diskusi harian
jiwa bergejolak dalam gemuruhnya yang hampir lindap


semua bekas,jejak kata bukan sebenarnya jiwa
sepenggal waktu dariNya, tidak pernah tersia-sia
menangkal batas, dalam atau lebar luasnya sebuah kata cinta






Hujan di bulan Januari


Dingin, suatu sore hujan menari-nari
Menghanyutkan sisa-sisa kemarau yang meradang
Menjelma gelembung-gelembung udara, mengalir
Ketepi-tepi penantianku padamu


Sekilas gejolak, yang lewat
Adalah irama syahdu diatap-atap rumah
Riang gemuruhnya tak berpaling, dalam
Sekedup jiwaku, aku menunggu


Hujan di bulan januari, adalah
Hujan di sore hari, ketika engkau pergi
Dan takkan pernah kembali
Hujan terlalu lebat dihatiku


Dan aku pun menangis
Seperti langit




Badai


Masih tersisa harapan
Nyala kecil pelita hati yang belum juga padam
Menutup luka lama dengan air mata
Mengubur kenangan indah dengan nisannya yang pualam


Badai terlalu kencang hari ini
Kaki goyah, berserakan entah kemana
Tapi kami masih punya hati yang lembut
Untuk teguh berpegangan pada dahanNya yang kokoh


Seperti air bah memang kesedihan itu
Menghanyutkan segalanya, tanpa tersisa
Tapi masih bersinar juga mentari, juga kicau burung
Pertanda kehidupan baru, nyalanya yang hidup






Sang Malam


Asap, pengap membakar daunnya yang berguguran
Habis sudah musim semi, tinggal sedih
Jiwaku kembali membumbung tinggi
Senyum lembutnya masih tersisa


Tempatku mengadu, Tuhanku
Aku dalam kulitMu, berjuta pori-pori
Yang tak mungkin terbaca, dalam
Huruf-huruf yang berkilauan, tanpa henti


Kala senja menderap langkah, mentari mundur malu-malu, mempersilahkan
sang malam
berbaring di peraduannya, memimpikan
apa-apa yang akan terjadi esok hari






Lupa


Lupa pada sang waktu
Seperti air tinggalkan
Bebatuan di pegunungan
Menuju lautan, dahaga terpuaskan


Lupa padamu
Seperti malam yang mencekam
Tinggalkan senyap, sepi, sendiri
Menuju esok yang kujelang, sendirian


Kulupakan kesedihan hari ini
Untuk tertawa esok hari, demi kau!




Pandang pertama


Aduhai cantik dikau hari ini
Senyum, kerlingan mata,
gerakTubuhmu beserta aromanya
Menghanyutkanku dalam cinta
Ketika kita bersatu pandang
Ada getaran aneh, bergelora
Di dadaku, dan aku pun tak tahu
Apa kau merasakan yang sama
Wahai pemilik kecantikan
Sunggingkan sebuah senyum
Untukku agar ku terlelap
Dan segera memimpikanmu




Sujud


Di keheningan itu
Aku bercanda dengan ombak-ombak
Yang menghempas dihatiku
Tidak ada sedih dan airmata
Karena aku terlalu gembira
Oleh gemuruh yang di ciptakanNya


Kususuri sebuah pantai
Entah dihati siapa aku berlabuh
Tidak pada gemerisik rerumputan
Dan juga bukan pada gerimis yang
membelah hutan


Engkau disana menjadi bayang-bayang
diantara deburan ombak dan gemerisik rerumputan


aku terlelap dalam buaian alam
membuatku bermimpi tentangMu
dalam sebuah pertemuan suci
sekilas aku takjub, tak mampu bergerak
menjadikanku sulit untuk bangkit
dari sujudku yang panjang




For Muthy


Thy, andai aku bisa menatap matamu, maka aku akan tahu, betapa beningnya hatimu, kasih
Mengapa kau sembunyikan senyummu yang manis itu, dibalik keanggunan pesonamu, kasih
Aduhai dikau maha cipta terindah, membawaku rohku terbang bersama anganku tentangmu, kasih
Keteguhan jiwamu, membakar hasratku untuk takjub kepadamu, kasih
Thy, cahaya hati, semerbak bunga lily
di taman hati.
Kuingin menatap wajahmu untuk yang kesekian kali, agar puisi ini lebih panjang lagi.




Kidung kematian


Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Tinggalkan semua manisnya kenangan,
Kepersembahkan untukmu, puisi berbunga
Yang aromanya mengingatkanku akan aroma tubuhmu, sayang
Kelopak-kelopaknya, mengingatkanku
Akan jiwamu yang indah bermekaran
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang
Hatiku terkubur bersama jasadmu, sayang
Kepersembahkan untukmu kidung kematian
Di pusaramu aku bersimpuh, dan kukubur hatiku bersama pilu
Aku menangis ketika engkau pergi, sayang






Seribu Wajah


Hari berlalu dengan langkah sendu
Menerjang hari penuh rasa malu
Bercampur aduk, dalam desah nafas memburu
Melepas tangis ke angkasa biru


Penaku tertatih di perjamuan itu
Gelak tawa membahana
Diantara gelas piring beradu
Mabuk aku di perjamuan itu


Bergetar aku dalam logika dan mantra-mantra
Marasuk lembut, mewangi dupa kencana
Hasratku menjulang tinggi, penuh birahi, membuncah
Berkubang dalam aroma lumpur dan nanah


Mencuri hati sang perawan di matanya
Menghirup wangi gaunnya yang merah
Mencari permata dari tiap helai rambutnya
Dukaku melintas dalam seribu wajah






Demam


Aku demam berhari-hari
Dingin, menggigil, seolah dunia bergerak sendiri
Hentakan ritmis yang mengetuk-ngetuk kepalaku
Seperti musik kemarahan Tuhan kepadaku


Aku sudah kelewat batas
Terperangkap nafsu yang tak pernah puas
Terpesona pada segala lekuk dan bentuk
Dia begitu indah, tetapi juga terkutuk


Aku demam karena bentuk-bentuk
tak beraturan yang mempermanis dunia
aku ingin sembuh, wahai pencipta makna dari segala bentuk
akan kutelan segala makna, agar aku tidak lagi mabuk pada lekuk dan bentuk
kemana harus kucari makna itu?
Apakah di bawah telapak kakiMu
Duhai Tuhanku






Cinta IV


Setiap kali aku melihatmu, setiap itu pula aku semakin cinta kepadamu
Kata mentari pada bumi kala pagi
Kata rembulan pada malam ketika senja menjelang
Kata embun pada rumput dan dedaunan ketika pagi
Kata sepasang merpati yang tak pernah pindah kelain hati, kataku padamu dalam tiap desahan nafasku.




Tentang Embun-embun


Yang sudah usang biarkan terbuang
Senyap nyalamu, penatkan jiwa-jiwa ini, hilang
Semua sudah patah dalam remahan cerita
Tentang mimpi dan senyuman sang dewi malam


Juga keresahan, semburat angan-angan
Menyingkap tirainya yang besi, berbatu
Menggapai lembut tanganmu, tentang embun-embun yang memuai di atas lentik matamu.




Senarai


Daun-daun berguguran
Diatas jalan setapak itu
Pecah jejaknya, berkubang, berlubang


Nyanyinya yang renta
Adalah tangis kematian, sebuah lolongan panjang
Sudah! Kita hancur-kita luluh
Dan biarkan senarai panjangNya
Mendekap kita dengan khidmat


Tuhanku, aku sudah cukup




Sebuah Judul yang salah


Percuma kuceritakan semua
Menetakkan peristiwa pada judul sang salah
Kisah kita, bukan lagi nyanyian indah burung-burung
Bukan lagi pesona secawan anggur


Kita hanyut dalam dangkal, sungai perasaan
Mampukah kita hadir dalam jiwa-jiwa yang tulus
Merengkuh peluh, cium, genggam tanganmu
Dan kita pun bersanding, berjalan ke dalam pekat


Menumpah tangis pada cawan masing-masing
Sayangku, sekali lagi jangan pergi




Kaliurang


Sebuah penggalan dari negeri khayangan
Indah nian bukan kepalang
Anak-anak merapi menebar pesonanya
dalam sejuk pepohonan rindang tinggi menjulang
melesat di awan-awan


kaliurang, adalah bahasa keindahan ciptaan Tuhan
Merapi menjadi mahakarya kebesaranNya
Kawan-kawan, Tuhan masih sayang kita
Merapi masih diam untuk menyimpan
Lahar amarahNya
Sampai kita tak pernah lagi menyebut-nyebut
NamaNya.




Untuk


Kucoba merengkuh waktu ditanganku
Untuk mendayung kesempatan
Untuk menggamit tangan lembutmu
Untuk mencoba membangun jembatan kesempatan untuk sempat menyayangimu
Aduhai nasib, aduhai nasib
Darah ini telah mengalir di sungai jiwamu
Dan biarkan kuncupnya mekar sejenak
Untuk memandang paras indahmu
Sampai terbenam
Sampai tenggelam
Sampai hilang
Sampai aku hanyut dalam waktu
Yang tak bisa rengkuh ditanganku.




Tuhan, aku ingin pulang


Tuhan, aku ingin pulang
Untuk bersimpuh di lantai rumahMu
Untuk mencuci kotor bajuku
Untuk menggamit lembut tanganMu
Untuk menatap indah parasMu
Sampai aku luluh
Dalam cinta yang suci
KepadaMu






Perih


Perih, menahan rindu
Padamu, tangis semalam
Adalah, gerimis di penghujung musim
Duhai, amarah membongkar nafsu dunia
Kemarau, mempercepat kepak elang
Diriku, yang mati sore tadi
Pulang, hari sudah malam




Di Sabtu itu


Di sabtu itu, kucari pesonamu dalam tumpukan buku-buku perpus
Setengah mati, aku terkejut, kau menjelma di sisiku tersenyum
Kusapa dirimu, seolah buku-buku bak taman bunga bermekaran
Padahal waktu itu, hati ini telah redup, menepi dalam sunyi
Sambil berpura-pura lupa padamu, walau aku terlalu merindu




Menunggu


Detik-detik yang luruh dihadapanku
Menyisakan penggalan cerita yang kian usang
Sudah kupadamkan bara di jiwaku
Untuk menunggumu sampai tengah malam


Kupinta angin untuk menyanyikan lagu
Sampai detik-detik itu menari-nari
Melupakan kegelisahan, amarah dan cinta
Dan kudekap selalu jam dinding waktuMu
Sampai aku lupa,
Bahwa Engkau telah lama menungguku




Thank you so much


Tanganku yang kerontang
Tengadah, mengais-ngais harap
Di pintuMu, di pintumu
Terima kasih, telah membukakan pintu rizkiMu, juga pintu hatimu yang indah
Untukku


Uluran tanganmu, seolah lengan panjangNya,
Mengelus ubun-ubunku yang kering, dan meminyakinya dengan kasih sayang
Ntuk’ mengibaskan kegelisahan, kepapaan,
Sampai aku bersorak-sorak kegirangan
Untuk mensyukuri jalan hidupku yang lempang
kulepas nafas sepuas-puasnya,
mensyukuri hilangnya gumpalan kesedihan
Yang tadinya menyekat dada


Terima kasih yang tiada berbilang
Atas semua bantuan dan perhatian
Kebaikanmu akan tertera jauh
Di lubuk hati yang terdalam
Takkan pernah hilang
Sampai ajal menjelang
Tanganku yang tak lagi kerontang
Tengadah, menghatur sembah terima kasih
Di pintuMu, di pintumu
Terima kasih telah membukakan pintu rizkuMu Juga pintu hatimu yang indah
Untukku.




Diam


Aku terpaku dalam diam tak berujung
Menyelami hakekat gelap jiwaku
Sampai aku hilang dalam waktu
Merengkuh kesadaran hingga terbuang


Kau yang sudah pergi, tersenyum dalam bening matanya yang menghitam
Patah arang menunggumu hingga bertulang
Dalam diam tak berujung….






Sahabat


Malam itu,jiwaku gelisah untuk menyambung pertalian jiwa yang telah lama putus. Entah, angin apa yang merasukku sehingga aku memacu derapku ke internet.
Malam itu, aku mengharu biru dalam gembira tak terkata, setelah membaca emailmu. Persahabatan abadi yang kunanti, menyapa malamku bagai mimpi.
Sahabat, orang bijak pernah berkata bahwa mencari sahabat sejati lebih sulit dari mencari kekasih sejati. Dalam persahabatan, tidak ada benci dan dendam, yang ada hanyalah saling memberi, tanpa pamrih, untuk satu ketulusan, satu kesetiaan. Sekalipun kita belum pernah mengaca wajah, tetapi dalam kata-kata, kita seolah bercanda di sebuah taman hati, persahabatan.
Sahabat, bulan ramadhan ini menjadi penuh kesan, diantaranya karena terbinanya kembali persahabatan yang lama terpendam. Kalbuku, kembali menyala dalam indahnya pertemuan. Berat rasa rindu untuk bertemu, untuk membincangkan betapa besar arti sebuah persahabatan. Berat rasa rindu untuk bertemu, untuk saling menatap dan membagi kegelisahan masing-masing.
Sahabat, dalam persahabatan ada cinta kasih, dalam cinta kasih ada tanggung jawab dan ketulusan. Persahabatan adalah keikhlasan untuk menjiwai masing-masing dan hal itu akan melahirkan kesadaran untuk menerima apa-adanya tanpa tendensi apapun.




Sore di sebuah Masjid


Sahabatku, ditengah syahdunya alam si sekitar masjid, sore itu aku sedang terpekur merenungi hari-hari terakhir di bulan suci. Ada saja geliat dan pesona yang lekat, membuat jiwaku terbang ke angkasa, untuk meraih harapan yang hampir padam. Terkadang harus bersedih untuk menyesali, kalau tahun ini tidak sanggup mengecup punggung tangan ayah-bunda, untuk mengurai permohonan maaf. Walaupun hingga hari ini, darah dan jiwa bergetar oleh rasa rindu yang dalam, aku tetap tak sanggup untuk menahan derai air mata, disaat semua orang berbahagia di hari lebaran
Sahabatku, barangkali hanya engkau yang bisa membaca airmata yang menetes dari segumpal hatiku yang tulus, aku rindu kampung halaman.aku yang terbakar oleh cita-cita yang tinggi, membuatku tak pernah takut untuk menghadapi resiko perpisahan dan kesendirian.
Sahabatku, aku harus lebih bersabar untuk menanggung betapa berat kehilangan kasih sayang dan perhatian ayah-bunda. Tetapi aku bukan apa-apa, dibanding ratusan bahkan ribuan anak-anak yang tak lagi berayah-beribu. Anak-anak yang dahaga kasih sayang ketika melihat kawannya yang berbaju baru bergelayutan di dalam genggaman ayah-bundanya.
Sahabatku, hanya engkau yang membaca kegelisahan di balik tulisan ini, karena itu persahabatan kita menjadi terlalu berarti dan penuh makna kalau kita bisa menjadi pelipur lara dan mendoakan satu sama lain. Satu permohonan yang ingin kuhaturkan, yaitu, jangan pernah bosan untuk tetap setia dalam persahabatan ini, karena persahabatan ini terlalu berarti.




Pada tengah Malam


Malam semakin risik, tenggelam dalam pelukan bumi, aku masih terkapar dalam khayalku tentang masa depan, tentang sahabat di negeri jiran, tentang ibuku yang mungkin juga belum tertidur, karena kenangan hari-hari yang berlalu dengan cepat.
Malam ini aku baru saja mengembara di dalam cerita-cerita Tagore yang mengesankan, membawaku pada khayalan asing, dimana aku berjumpa denganmu, dan menyapamu ‘duhai sahabat apa kabarmu hari ini’.
Malam semakin mendekapku dengan erat , seolah-olah membuat bumi berhenti berputar, bahkan nyanyian burung terasa samar tak terdengar, hanyut dalam dada sang malam, aku bahkan belum sempat bertanya padanya, ‘ apakah sahabatku di negeri sana sudah tertidur’.
Andaikan malam belum membuatnya tertidur, aku ingin membaitkan barisan puisi ini untuk mengabadikan sebuah persahabatan dalam sebuah pertemuan, karena disaat kita berjumpa, tentu senyuman kita bahkan tidak bisa dilukiskan oleh ini puisi ini sekalipun.
Masih tentang malam-malam panjang yang menghitam tanpa bintang, membawa keresahanku dalam gelap, pekat, memikat jiwaku yang semakin penat oleh cerita-cerita suram hidupku, hanya senyum lembutmu yang bisa mencairkan semuanya, dalam kebahagiaan tanpa akhir.
Sahabatku, doakan aku malam ini, semoga kita berjumpa dalam mimpi, untuk saling menceritakan betapa besar makna sebuah persahabatan
Malam telah menyelimutiku dengan hangat, selamat tidur sahabat,




Sahabat II


Ada saja himpitan yang membelenggu hidup ini, seperti kesedihan orang-orang miskin papa yang menulis luka, atau kesedihan orang-orang kaya yang jiwanya hampa penuh sampah dunia. Adapun kegembiraan orang-orang yang hidup bersama Tuhan dalam tiap desahan nafasnya, atau senyum orang-orang yang menahan dunianya untuk Tuhannya
Entah kita berada pada garis yang mana, kita masih menikmati kesombongan logika dan kehendak nafsu untuk sepuas-puasnya, padahal manusia adalah mahlug yang tak pernah puas. Pernahkah kita cukup puas untuk menikmati persahabatan dengan Tuhan. Tuhan adalah sahabat sekaligus kekasih kita, karena dalam pelukan lembutNya, kita merasa nyaman untuk melupakan himpitan hidup kita. Biarkan Tuhan tersenyum, disaat kita menyapanya dengan lembut dikala pagi dan sore hari, dikala duduk, baring dan berdiri. Tetapi kadang kita masih sering lupa dan kembali ke jalan yang salah. Oh Tuhan ku, oh Allahku, maafkan aku sebagaimana engkau memaafkan sahabat dan kekasihmu yang lain

1 komentar:

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...