Senin, 02 November 2009

INTEGRALISASI ILMU DAN AGAMA; ANTARA SYED. M. NAQUIB AL-ATTAS DAN KUNTOWIJOYO

A. PENDAHULUAN
Kuatnya hegemoni Barat terhadap Islam memunculkan tanggapan yang beragam di kalangan Muslim. Salah satunya adalah munculnya gagasan dewesternisasi (islamisasi) ilmu pengetahuan yang diajukan oleh Syed. M. Naquib al-Attas dalam konferensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam pada tahun 1977 di kota Mekkah. Jurang yang semakin melebar antara konsep Islam dan Barat mengenai pengetahuan, semakin diperparah oleh respon simplisistik dari Samuel Huntington yang menggemakan benturan peradaban Barat versus Islam pasca keruntuhan Uni Soviet. Tesis yang diajukan Huntington ini membuat umat Islam terjebak dalam pemahaman yang apologetik dan formalisme agama yang membuat kaum Muslim sulit untuk keluar dari kekakuan dan kebekuan berfikir.
Gagasan islamisasi pengetahuan kemudian muncul sebagai gerakan sistematik dan internasional oleh lembaga pemikiran Islam internasional (International Institute of Islamic Thought) yang digagas oleh Ismail Raji Al-Faruqi di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Akan tetapi Ismail Raji Al-Faruqi dan koleganya Ziauddin Sardar akhirnya terjebak dalam persoalan artifisial, sehingga gerakan ini turut surut setelah wafatnya Al-Faruqi di tangan agen Zionis Yahudi (Mossad).
Gagasan “pengislaman” ilmu pengetahuan muncul di tengah lemahnya umat Islam secara keseluruhan di dalam pencapaian sains dan teknologi, sehingga diformulasikanlah konsep-konsep dan metodologi “yang islami” untuk menjadi landasan konseptual bagi kaum Muslim untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Gagasan islamisasi ilmu muncul dari pemahaman bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di Barat dibangun di atas landasan nilai-nilai sekuler-materialistik dan atheistik, sehingga harus diislamkan. Seperti diketahui bahwa renaisans yang terjadi di Barat merupakan upaya “pemberontakan ilmu” terhadap doktrin gereja yang terlalu mengekang kebebasan berfikir dan berpendapat. Sehingga terjadi disparitas yang sangat tajam antara konsep “ilmu’ dan “agama” di Barat. Hilangnya pengaruh agama di dalam tubuh ilmu pengetahuan, secara tidak langsung membuat perkembangan ilmu pengetahuan bertambah bebas dan liar, yang berimplikasi pada timbulnya anomali dan ambivalensi pada ilmu pengetahuan, seperti disadari dewasa ini.
Gagasan “islamisasi pengetahuan” menuai kritik beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush, Pervez Hoodbhoy dan Kuntowijoyo. Dalam hal ini Kuntowijoyo menawarkan konsep “pengilmuan Islam” yang menurutnya lebih proporsional dari pada konsep “islamisasi ilmu” yang dicetuskan oleh Syed. M. Naquib Al-Attas, sebagaimana dibahas berikut ini.
B. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed. M. Naquib Al-Attas
Menurut sebagian intelektual Islam, proyek islamisasi bukanlah suatu hal yang baru, tetapi pernah terjadi dalam sejarah Islam, di mana para ilmuan Islam di masa lalu secara kreatif-adaptif mengapresiasi warisan pengetahuan Greco-Roman, Syria-Nestorian, dan khazanah Akademi Jundishapur di Persia. Menurut Al-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan modern merupakan “satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas”[1]. Gagasan tersebut dianggap sangat beralasan karena al-Qur’an sejak pertama kali turun sudah melakukan pembebasan secara epistemologis terhadap konsep ilmu. Sebagaimana argumen Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa konsep “islamisasi ilmu” pengetahuan kontemporer secara sistematik adalah hasil dari separuh kedua abad kedua puluh, namun ayat-ayat terawal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dalam surat al-Alaq (96) 1-5 menyiratkan dengan jelas semangat islamisasi pengetahuan[2].
Menurut Al-Attas, ilmu pengetahuan tidak bersifat netral dan bebas nilai[3]. Sehingga ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, idiologi, dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang disebut sebagai Helenisasi ilmu, Kristenisasi ilmu, Islamisasi ilmu pada masa klasik Islam, kemudian Westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat Barat terhadap ilmu. Oleh karena itu proses “islamisasi” oleh Mulyadhi Kartanegara, adalah suatu bentuk “naturalisasi” ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif sains sekuler terhadap kepercayaan agama[4].
Konsep dewesternisasi pengetahuan, oleh Al-Attas didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan yang berkembang di Barat mewariskan banyak anomali, diantaranya pemahaman yang tidak adil dan pandangan etnosentrik yang telah menyebabkan kekacauan global, bukannya perdamaian dan keadilan. Selain itu pengetahuan Barat yang bercorak atheistik, mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Menurutnya pengetahuan Barat, untuk pertama kalinya dalam sejarah telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam: satwa, nabati, dan tambang[5].
Ilmu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Al-Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal yang diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah kemanusiaan[6].
Kelima unsur tersebut di atas, menurut Al-Attas, harus diisolir dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Sedangkan dalam ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus diislamkan juga, khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori[7].
Setelah unsur-unsur pathogen (asing) bagi doktrin Islam tersebut diisolir, Al-Attas kemudian menyarankan agar unsur dan konsep utama Islam yang terdiri dari konsep: manusia, din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah, ‘adl, amal-adab, dan konsep universalitas (kulliyah-jami’ah)[8], diserapkan ke dalam konsep ilmu pengetahuan kontemporer. Kesemua unsur tersebut ditambatkan pada konsep tawhid, shariah, sunnah dan tarikh[9].
Jika proses penyerapan nilai-nilai tersebut sudah dilakukan, maka proses islamisasi ini akan membebaskan manusia dari tradisi magik, mitologik, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekuler kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible, dan materi[10]. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler[11].
Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan tidak semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik. Menurut Mulyadhi, konstruksi ulang epistemologi ini akan meliputi pembahasan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi dan metodologi ilmu[12].
Menurut Adi Setia-salah satu eksponen Al-Attas di ISTAC—bahwa ilmu pengetahuan kontemporer bisa diislamkan dengan cara mentafsirkan kembali fakta-fakta penemuannya menurut pandangan dunia (worldview) Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan dengan menjuruskan kembali program-program penelitian sains dan teknologi serta ilmu humaniora demi memenuhi kepentingan “maqasid shariah”[13]. Karena pada hakekatnya metodologi yang terkandung dalam “maqasid shariah” dapat mengakomodir secara penuh tujuan-tujuan riset ilmiah, sepanjang ilmu dipahami sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak bebas nilai. Bagi Al-Attas, proyek “islamisasi ilmu’ pengetahuan adalah yang bersifat “dharuriat”, karena apabila tidak segera diislamkan, maka anomali yang timbul dari pengetahuan Barat yang sekularistik akan mengancam eksistensi agama, keturunan dan harga diri umat Islam.
C. Respon dan Kritik Terhadap “Islamisasi Pengetahuan”
Konsep islamisasi pengetahuan mengundang respon pro dan kontra. Mereka yang mendukung islamisasi ilmu pengetahuan menganggap bahwa hal ini akan menjadikan ilmu terbimbing oleh nilai-nilai agama. Sebaliknya, mereka yang menolaknya berargumen bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, dan karenanya selalu netral, seperti dalam konsep netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak islamisasi ilmu itu menyodorkan persoalan seperti bagaimana memberi label matematika yang Islam. Adakah perbedaan arkeologi Islam dan arkeologi non-Islam?[14]. Pertanyaan-pertanyaan problematik seperti ini tampaknya menjadi landasan kritik terhadap gagasan “islamisasi pengetahuan”.
Menyikapi hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan, masalahnya hanya dalam menyalahgunakan. Bagi Fazlur Rahman ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “pisau bermata dua” yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya[15].
Pada umumnya para pengkritik islamisasi ilmu berpendapat bahwa sains adalah mengkaji fakta-fakta objektif dan independen dari manusia, budaya dan agama da harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya mengatakan: “hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam, sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi, atau sains Kristen[16]. Mengikuti Abdus Salam, Pervez Hoodbhoy, juga menyatakan bahwa tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia, sebagaimana telah diungkap Sir Syed Ahmed Khan, bahwa tujuan agama lebih pada usaha meningkatkan moralitas ketimbang menjelaskan fakta-fakta sains[17].
Kritik terhadap islamisasi pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush. Ia menyimpulkan bahwa “islamisasi pengetahuan” tidak logis atau tidak mungkin. Alasannya, realitas bukan islami atau bukan pula tidak islami. Oleh sebab itu sains sebagai proposisi yang benar, bukan islami atau bukan pula tidak islami. Karena menurutnya metode metafisis, empiris, atau logis adalah independen dari Islam atau agama apapun, dan metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan[18].
D. Islamisasi Ilmu Versus Pengilmuan Islam: Gagasan Kuntowijoyo
Menurut Kuntowijoyo, “pengilmuan Islam” dapat dibandingkan dengan istilah dekodifikasi Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam yang dimaksud Kunto adalah upaya “demistifikasi Islam”, dan ini adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara dekodifikasi Islam adalah berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks[19]. Seperti gerakan Wahabi dan Salafisme yang saat ini menjamur di Indonesia. Ketiga gerakan ini adalah perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur’an dan Sunnah).
Bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan adalah upaya umat Islam agar tidak begitu saja tanpa reserve mengadopsi metode-metode dari pengetahuan Barat yang telah mempengaruhi kebudayaan Islam; yaitu dengan cara mengembalikan konstruksi pengetahuan kepada poros tawhid. Karenanya gerakan islamisasi pengetahuan berarti membedakan antara ilmu Islam dan ilmu sekuler.
Merespon permasalahan ini, Kuntowijoyo menwarkan methodological objectivism, seraya menolak methodological secularism dengan membawa alternatif ilmu sosial profetik. Tidak bermaksud membedakan antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler, akan tetapi bertujuan merumuskan ilmu sosial yang objektif[20]. Objektifikasi yang dimaksud adalah upaya konkretisasi nilai-nilai normatif yang dihayati secara internal dalam ketegori dan bahasa ilmu, bukan dalam kategori dan bahasa normatif. Atau disebut juga sebagai kongkretisasi keyakinan normatif yang dihayati secara internal, tapi tidak lagi dalam bentuknya yang normatif[21].
Di sinilah letak perbedaan pengilmuan Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan[22].
Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi[23]. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110[24].
Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna[25].
Adapun mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas diantara komunitas keilmuan[26].
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya[27]. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia.
Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.


E. Analisis
Melihat dua ragam pemikiran mengenai integralisasi ilmu dan agama di atas, penulis melihat bahwa dua pemikir kontemporer tersebut berangkat dari dasar ilmu pengetahuan masing-masing. Adapun Naquib Al-attas yang lapangan ilmu pengetahuannya banyak berkutat pada kajian mistik, tasawuf dan metafisika. Maka konsep islamisasi ilmu yang ia tawarkan sangat berbau metafisik, dan ada kesan bahwa pemikiran Al-Attas lebih banyak berkisar pada persoalan ontologik, dan kurang bisa meyakinkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah pembebasan secara epistemologis dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada wilayah etika dan nilai-nilai (aksiologis).
Sedangkan Kuntowijoyo merupakan pengamat dan ahli dari diskursus ilmu-ilmu sosial dan humaniora (geisteiswissenschaften). Karenanya ia mengaca persoalan integrasi ilmu dan agama dalam kacamata seorang ilmuan sosial dan sejarawan. Sehingga konsep “pengilmuan Islam” adalah upaya rekonstruksi epistemologis, metodologi dan etika. Di mana pemikiran yang ditawarkan tidak mampu menembus aspek-aspek metafisis, sebagaimana Al-Attas.
Al-Attas sangat dipengaruhi oleh perspektif filsafat analitik Wittgenstein dan Russellian yang diimbuhi oleh diskursus tasawuf-metafisik Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri dan Al-Ghazali. Karenanya pemikiran Al-Attas banyak yang merupakan kajian makna bahasa (semantik). Seperti pemikiran yang ia tawarkan bahwa yang pertama kali harus diislamisasi adalah bahasa dan makna. Contohnya istilah “sekuler” yang popular dengan terjemahan bahasa Arab dengan kata ‘ilmaniyyah dan almaniyyah, seharusnya lebih tepat diterjemahkan dengan kata la diniyyah atau dunyawiyyah[28]. Demikian pula dalam bidang pendidikan, menurutnya terminologi yang lebih tepat untuk dipakai adalah konsep ta’dib, daripada konsep term tarbiyah yang selama ini biasa dipakai untuk menjadi sinonim kata education. Konsep “islamisasi ilmu” juga menjadi sangat bias, karena Al-Attas memakai perspektif Ghazalian dalam melihat segala persoalan. Al-Attas juga merupakan tokoh yang getol melakukan penolakan terhadap logika Aristotelian.
Adapun Kuntowijoyo dalam “pengilmuan Islam” yang menawarkan konsep strukturalisme transendental, sangat terinspirasi oleh perspektif strukturalisme Jean Piaget yang menyebutkan tiga ciri struktur, yaitu (1) wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan), dan self regulation (mengatur diri sendiri). Kuntowijoyo juga terinspirasi oleh strukturalisme analitis Michael Lane yang mengemukakan keterkaitan (inter-connectedness) antar unsur kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity), dan dalam peringkat empiris, keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). Kuntowijoyo juga mengadopsi perspektif makna transendensi dari Roger Garaudy, dan konsep etika profetiknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan struktural Antonio Gramsci[29].
F. PENUTUP
Konsep islamisasi pengetahuan telah menjadi suatu yang sangat membingungkan dan sampai pada taraf tertentu tidak popular. Membingungkan karena para pendukungnya memiliki versi dan pemahaman serta cara-cara yang berbeda-beda tentangnya. Tidak populer karena ia berimpilikasi pada relativitas sains yang selama ini dianggap universal. Walaupun asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut Steve Fuller, asumsi itu keliru karena ia lahir dari kebingungan membedakan antara media dan pesan. “pesannya tetap universal, tetapi medianya memerlukan “daya tarik” (appeal) yang lebih personal”[30].
Terlepas dari perdebatan tentang absah tidaknya konsep “islamisasi pengetahuan”, Al-Attas yang belajar dari kegagalan Ismail Raji Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar dalam proyek “islamisasi” dari lembaga IIIT (International Institute of Islamic Thought), mampu mempropagandakan konsep “islamisasi ilmu” melalui proyek prestisius lembaga ISTAC-nya, yang saat ini merupakan laboratorium pemikiran Islam terbesar se-Asia Tenggara. Sehingga pada saat ini wacana islamisasi menjadi jargon utama para intelektual muda Indonesia jebolan ISTAC yang membuat lingkaran studi dan mengadakan workshop mengenai pemikiran Islam di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, sebagai manuver perlawanan terhadap liberalisme pemikiran yang dikembangkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal) Wallahu A’lam Bishawwab.







Kepustakaan
Al-Attas, Syed. M. Naquib Islam dan Sekularisme, Penerbit Pustaka, Bandung 1981.
____________, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Mizan, Bandung, 1984.
Armas, Adnin, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Majalah Islamia. Thn 1. NO.6/Juli-September 2005.
Abidin Bagir, Zainal, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo, disampaikan dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo, di University Center UGM, 26 Mei 2005.
Fahmi, M, Islam Transendental (Menelusuri jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo), Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Majalah Islamia, Thn 1. NO.6/Juli-September 2005.
Hoodbhoy, Pervez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, terj. Sari Meutia, Mizan, Bandung,1996.
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan (Pengantar Epistemologi Islam), Mizan, Bandung, 2003.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Teraju, Jakarta, 2005.
Setia, Adi, Kejahilan disangka Kepakaran, Majalah Islamia, thn 1 NO. 4/ Januari-Maret 2005.
Suprayogo, Imam, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama, dalam Zainal Abidin Bagir et. all. (ed) Integrasi Ilmu dan Agama (Interpretasi dan Aksi), Mizan, Bandung, 2005.
Suharto, Ugi, Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Al-Qaradhawi, Majalah Islamia, Thn 11 NO. 6/Juli-September 2005.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. Mizan, Bandung, 2002.

[1] Sebagaimana dikutip Rosnani Hashim, dalam Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Majalah Islamia, Thn 1. NO.6/Juli-September 2005. hlm. 31
[2] Ibid, hlm. 31.
[3] Syed. M. Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hlm. 196.
[4] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan (Pengantar Epistemologi Islam), (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 132.
[5] S.M.N Al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hlm. 169.
[6] Sebagaimana dikutip Adnin Armas, dalam Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Majalah Islamia. Thn 1. NO.6/Juli-September 2005. hlm. 13.
[7] Lihat Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi…, hlm. 35.
[8] S.M.N Al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hlm. 61.
[9] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi…, hlm 35.
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2002) hlm. 320.

[11] S.M.N Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984) hlm. 51.
[12] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai…,,hlm. 130.
[13] Lihat dalam wawancara dengan Adi Setia, Kejahilan disangka Kepakaran, Majalah Islamia, thn 1 NO. 4/ Januari-Maret 2005.
[14] Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama, dalam Zainal Abidin Bagir et. all. (ed) Integrasi Ilmu dan Agama (Interpretasi dan Aksi), (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 214.
[15] Sebagaimana dikutip Adnin Armas, Westernisasi…, hlm. 15.
[16] Ibid, hlm. 16.
[17] Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, terj. Sari Meutia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 138.
[18] Lihat Adnin Armas, Westernisasi…, hlm. 16.
[19] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 7-8.
[20] Kata objektif ini, bukanlah objektifitas yang dimaksudkan positivisme. Positivisme menyatakan bahwa untuk mencapai obyektifitas seorang ilmuan sosial harus membebaskan diri dari persepsi-persepsi, pra-konsepsi-pra-konsepsi atau nilai-nilai dalam aktifitas ilmiahnya. Lihat M. Fahmi, Islam Transendental (Menelusuri jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo), (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 270.
[21] Ibid, hlm. 271.
[22] Lihat makalah Zainal Abidin Bagir, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo, disampaikan dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo, di University Center UGM, 26 Mei 2005, hlm. 7-8.
[23] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, hlm. 52.57.
[24] “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali Imran (3): 110).
[25] Makalah Zainal Abidin, Pengilmuan Islam…, hlm. 29.
[26] Ibid, hlm. 9.
[27] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, hlm. 57.
[28] Lihat Ugi Suharto, dalam Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Al-Qaradhawi, Majalah Islamia, Thn 11 NO. 6/Juli-September 2005, hlm. 19.
[29] M. Fahmi, Islam Transendental…, hlm. 289-291.
[30] Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai…, hlm. 130.

PENDIDIKAN MUSLIM DI ABAD PERTENGAHAN

A. MUQADDIMAH

Tak dapat dipungkiri bahwa Islam sebagai sebuah peradaban yang gemilang di masa lalu merupakan jembatan emas terjadinya transformasi ilmu pengetahuan di dunia Barat. Ini membuktikan bahwa Islam dalam proses historisnya tidak mengambil posisi yang berlawanan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Proses kreatif-adaptif dan gairah intelektual muslim yang didasari oleh kesadaran normatif agama dan mampu mengapresiasi muatan ilmu pengetahuan Greco-Hellenistik, Syria-Alexandrian, Zoroastrian dan India, menjadi muatan ilmu yang lebih berkembang.
Fakta imajinatif mengenai keberhasilan intelektual muslim dalam melakukan revitalisasi ilmu pengetahuan semenjak abad kedelapan sampai abad kesebelas dapat terlihat dalam novel monumental Umberto Eco yang berjudul “In The Name of Rose”. Dimana ia menceritakan keberhasilan para intelektual muslim melakukan modifikasi atau adaptasi kumulatif dan kreatif terhadap pengetahuan klasik, yang dikemudian hari menjangkau dunia intelektual Barat pada paruh abad keduabelas dan ketigabelas. Dalam novel tersebut juga diilustrasikan sikap setengah hati intelektual gereja untuk mengapresiasi karya-karya intelektual muslim karena dianggap bertentangan dengan doktrin gereja dan dianggap membawa semangat anti kristus (anti christ). Karenanya kebangkitan dunia intelektual Barat (renaisance) lebih banyak dipelopori oleh para intelektual non gereja, yang berakibat pada terbangunnya dunia intelektual yang sangat sekularistik. Berbeda dengan Islam di abad pertengahan yang mengapresiasi ilmu pengetahuan di dalam frame work keagamaan dan spirit skolastikisme.
Terburuknya peradaban Islam dan kebangkitan dunia intelektual Barat secara tidak langsung membuat spirit skolastikisme muslim yang kreatif-adaptif dan progressif menjadi hilang dan yang tertanam dalam spirit skolastikisme adalah sikap fatalistik, fanatisme yang membabi buta dan ortodoksi, sehingga yang terjadi adalah pandangan yang memandang segala hal yang berbau “Barat” adalah sebuah kekafiran. Maka sangat wajar, dunia intelektual muslim tetap stagnan dan terjebak dalam patologi psikologis yang akut dan rasa percaya diri intelektual yang rendah.
Buku yang ditulis oleh Mehdi Nakosteen ini secara komprehensif disertai oleh kajian dan analisis, sehingga mampu menyajikan gambaran yang sangat jelas tentang peran signifikan peradaban Islam di tengah konstelasi peradaban dunia. Begitu pula halnya dengan karya Michael Stanton yang menjelaskan secara gamblang proyeksi pendidikan tinggi dalam sejarah Muslim. Selain itu diharapkan kedua karya ini dapat memantikkan “kesadaran sejarah” muslim agar percaya diri intelektual muslim dapat terbangun kembali.

B. PEMBAHASAN
Analisis Buku
Secara umum buku yang ditulis oleh Mehdi Nakosteen dan Michael Stanton memiliki nafas yang sama, yaitu untuk menjelaskan kondisi historis pendidikan Muslim abad pertengahan dengan segala kompleksitasnya. Bedanya, Mehdi Nakosteen yang juga seorang Muslim, berupaya menjelaskan dalam perspektifnya sebagai seorang Muslim, dan ingin menunjukkan kepada Barat tentang keterlibatan Islam yang intens dalam kebangkitan dunia intelektual Eropa. Sedangkan Michael Stanton mengelaborasi aspek-aspek historis pendidikan Muslim dalam perspektifnya sebagai orang Barat. Walapun demikian, ia dianggap berhasil menjelaskan kajian historisnya secara gamblang dan obyektif.
Eksplorasi mendalam yang dilakukan oleh Mehdi Nakosteen, merupakan kerja kreatif yang luar biasa, karena ia tidak terbelenggu pada sumber historis yang berasal dari Barat, akan tetapi ia juga menjadikan sumber-sumber klasik Muslim sebagai landasan analisis dan kajiannya. Inilah yang membuat karya Nakosteen memiliki nilai lebih, apabila dibandingkan dengan karya Michael Stanton yang tampaknya menganalisis persoalan pendidikan Muslim abad pertengahan hanya berlandaskan pada referensi Barat semata. Walaupun demikian, karya Nakosteen ini tampaknya tetap memiliki nilai subyektif, karena terkesan mengunggulkan aspek pengaruh Persia dalam perkembangan intelektualitas Islam, khususnya peranan akademi Jundishapur sebagai landasan sentral. Adapun dalam karya Michael Stanton, menurut Azyumardi Azra dalam pengantar buku tersebut, terdapat kesalahpahaman Stanton dalam menilai aspek dan peranan madrasah pada era Nizhamiyah, yang disebut oleh Stanton sebagai “the institution of higher learning”, atau lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas yang berbasiskan nalar[1]. Padahal justru bibit-bibit kemunduran pengetahuan Islam sudah mulai terjadi sejak era Nizhamiyah, karena terlalu kuatnya indoktrinasi paham Sunni, sehingga memasung kebebasan berfikir dan menjadi cikal bakal terjadinya dikotomi ilmu agama dan non-agama. Selain itu Stanton juga dianggap gagal membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga pendidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai bidang sains dalam peradaban Islam[2]. Terlepas dari kritikan yang timbul atas dua karya tersebut, baik Nakosteen maupun Stanton sudah melakukan melahirkan karya yang sangat penting untuk menjelaskan kepada kita betapa keagungan dan peranan kaum Muslim terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Makalah ini akan menjelaskan secara singkat gambaran kemajuan pendidikan Islam di abad tengah (medieval) dengan mengkombinasikan dua karya serius tersebut.
2. Peranan penting Bahasa Arab
Islam mengajarkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang qadim, maka ummat Islam menganggap bahasa Arab sebagai bahasa ilahi, dan belajar bahasa Arab merupakan suatu kewajiban. Pada abad-abad awal, Al-Qur’an tidak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing, dan mereka yang masuk Islam dan ingin mempraktikkan ajarannya didorong untuk belajar membaca Al-Qur’an secara fasih. Selain itu, non-Muslim yang bekerja untuk pemerintahan Islam dengan sendirinya harus menguasai bahasa Arab yang pada masa akhir Umayyah telah menjadi bahasa pemerintahan, diplomasi dan bahasa ilmiah. Keseragaman bahasa pada kekuasaan Islam yang sangat luas, membuat bahasa ini menjadi lingua franca dan menjalankan fungsi pentingnya selama kurang lebih 400 tahun[3].
Sekalipun demikian, penerimaan bahasa Arab sebagai bahasa kesatuan membutuhkan waktu lebih lama; berbagai kelompok tetap bertahan dengan bahasa asli mereka sendiri. Umat Yahudi dan Kristen Timur Tengah, misalnya menerima bahasa Arab sebagai bahasa mereka, tapi menolak Islam sebagai satu agama; tapi orang Persia menjadi penganut agama Islam, sementara tetap menggunakan bahasa Persia, meskipun ilmuan dan administrator asal Persia menggunakan bahasa Arab dalam profesi mereka dan menggunakannya sebagai bahasa tulisan agar dapat dibaca di semua daerah Islam. Selain itu, kebutuhan orang yang baru masuk Islam dan tidak mengetahui bahasa Arab, juga mendorong berkembangnya gramatika bahasa Arab. Pada awalnya hal ini terjadi di Basrah, Mesopotamia, yang merupakan kota penghubung antara Arabia dengan Syria dan Persia[4]. Tidak dapat dipungkiri, bahasa Arab merupakan landasan penting terjadinya transformasi ilmu pengetahuan, dan ketika itu bahasa Arab menjadi bahasa ilmiah kedua setelah bahasa Yunani. Konstruksi pengetahuan ilmiah bergerak dalam dimensi bahasa, dan tanpa peranan bahasa akan sangat mustahil terjadi transformasi pengetahuan. Karenanya bahasa Arab yang diyakini oleh kaum Muslim sebagai bahasa surga, juga menjadi faktor yang sangat vital dalam sejarah.
3. Latar belakang Pendidikan Muslim Klasik
Semenjak ekspansi Islam ke wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi dan Persia, secara tidak langsung kaum muslim turut mewarisi khazanah intelektual yang berkembang baik di Romawi dan Persia. Menurut Mehdi Nakosteen, ada empat faktor yang mendasari penyebaran ilmu pengetahuan Yunani, helenisme dan helenistik :
(a).Terpisahnya institusi gereja Barat dan Timur karena alasan perbedaan doktrinal, sehingga sekte Nestorian dan Monophysite yang dianggap sebagai gerakan bid’ah (heretic) oleh gereja induk (mother church) di Barat yang beraliran Chalchedonian. Setelah bergerak dari pusat-pusat Nicene ortodoks yakni dari Nestoria kepada kekaisaran Persia, Monophysite ke wilayah Persia dan Arab. Sekte-sekte ini turut membawa warisan ilmu Greco-Helenistik, terutama ilmu kedokteran, matematika, astronomi, tehnologi, dan filsafat[5]. Dikemudian hari, warisan ini kembali kepada para cendekiawan Barat melalui tangan-tangan orang muslim.
(b). Penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Agung dan para penerusnya yang menyebarkan pengetahuan Yunani ke Persia dan India, dimana ilmu pengetahuan Yunani mengalami modifikasi oleh pemikiran-pemikiran asli setempat (local genius)
(c). Kemajuan Akademi Jundi-Shapur milik kekaisaran Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah Universitas Alexandria, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu pengetahuan India, Grecian, Syria, Helenistik, Hebrew dan Zoroastrian.
(d). Peran penting para penerjemah Hebrew (Yahudi), karena keterampilan berbahasa mereka, -pada masa awal Islam- mereka menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab[6].
Adapun latar belakang perkembangan muslim yaitu, pertama: latar belakang Syrian Nestorian, dimana tulisan-tulisan klasik ajaran-ajaran para filosof Yunani seperti Galen, Hippocrates, Euclids, dan seluruh ilmu pengetahuan dan mistisisme Neo-Platonisme yang kompleks sampai kepada kaum muslim, sebagian besar melalui guru-guru Nestorian dan Jacobite, para cendekiawan Zoroastrian dari akademi Jundi-Shapur di Khuziztan dan guru-guru pagan dari Harran. Sekolah Nisibis dibuka kembali di bawah kekuasaan orang-orang Nestorian, dan penerjemahan-penerjemahan karya Yunani dilakukan dalam bahasa Syria untuk mendukung teologi dan filsafat Kristen versi Nestorian[7]. Yang kedua: adalah latar belakang Alexandrian, karena berabad-abad sebelum penyerbuan dunia Persia dan Romawi oleh orang-orang muslim, Alexandria telah menjadi pusat Kristen dan ilmu pengetahuan Yunani. Akan tetapi di Alexandria tumbuh subur ilmu okultisme dan mistisisme, sangat sedikit memiliki kreatifitas ilmiah dan kurang berminat terhadap filsafat. Sehingga upaya pengembangan ilmu pengetahuan dipikul oleh cendekiawan Syria di Edessa, Nissibin, dan di Akademi Jundi-Shapur di bawah penguasa Sasanian pada abad keempat, kelima, dan keenam[8].
Keberadaan akademi Jundi-Shapur sangat signifikan dalam proyeksi pengetahuan pada dunia intelektual muslim, karena akademi tersebut tetap merupakan pusat ilmu pengetahuan muslim sejak periode pemerintahan Bani Umayyah (661-749). Dari akademi ini para cendekiawan, pendidik dan ahli kedokteran pergi ke Damaskus yang pada saat itu merupakan ibu kota pemerintahan. Pada peroide ini pula karya-karya Hindu, Persia, Syria, Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tradisi penerjemahan ini kemudian diteruskan oleh dinasti Abbasiyah, sehingga kota Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan mengalami puncak masa keemasan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan[9].
4. Pendidikan Muslim pada tahun 750-1350 M
Orang-orang Muslim berasimilasi dengan kebudayaan klasik dan menyempurnakannya melalui sistem pendidikan. Diantara bidang-bidang yang diasimilasikan itu adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, tehnologi, dan ilmu pengetahuan helenistik, termasuk agama dan kesusastraan Hindu dan Persia. Dengan menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan klasik untuk keperluan praktis, orang-orang muslim telah mengembangkan metode empirik-eksperimental, dimana kemudian metode ini diterapkan secara luas di Eropa[10].
Pada zaman keemasan (750-1350), terjadi puncak toleransi yang luar biasa, dimana paradigma pendidikan dibangun di atas nilai-nilai humanistik, karena dogma agama dan teologi tidak membatasi gairah (coriousity) para intelektual muslim ketika itu. Mereka berusaha menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan, baik itu filologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur atau ilmu pembuatan keramik. Pada masa ini pula seorang negarawan dan administrator ulung yang bernama Nizamul Mulk (wafat 1092; 485 H) adalah penggagas dan yang mempopulerkan madrasah-madrasah. Sekolah-sekolah tersebut dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara dan madrasah-madrasah standar didirikan di semua kota-kota besar Islam, kecuali Spanyol dan Sisilia, yang pada waktu yang bersamaan mengalami puncak pengetahuan di bawah dinasti Umayyah jilid II yang menguasai Spanyol (Andalusia).
Diantara beberapa universitas, universitas terbesar adalah yang didirikan oleh Nizamul Mulk di Baghdad, yakni Universitas Nizamiyah yang terkenal. Dibuka pada tahun 1066-67 (459 H) dan terus berlangsung sebagai pusat ilmu pengetahuan selama beberapa abad[11]. Selain itu paham Sunni memperoleh perhatian dan dukungan yang besar dari Nizamul Mulk. Sebelum masa pemerintahannya, terdapat beberapa lembaga ilmu pengetahuan sejenis seperti Al-Azhar di Kairo, Mesir, pada seperempat abad kesepuluh; Darul Ilmi dan Darul Hikmah, juga di Kairo, pada masa awal dasawarsa abad kesebelas; Baitul Hikmah di Baghdad selama masa pemerintahan al-Ma’mun, dan Baihaqiyyah di Nishapur, Khurasan dan Persia[12]. Akademi Nizamiyyah yang menekankan pada pengajaran teologi dan hukum Islam, seperti diketahui bahwa sufi besar al-Ghazali mengajar di universitas Nizamiyyah, selama dua puluh lima tahun setelah didirikannya Universitas tersebut.
Tidak hanya itu, pada masa ini pendidikan dasar hampir terdapat di seluruh kawasan Islam. Para khalifah Abbasiyah adalah pendukung pendidikan dan pelajaran baca-tulis. Dimulai sejak Harun al-Rasyid, mereka berpandangan bahwa setiap anak-anak muslim wajib memiliki kesempatan untuk belajar dasar-dasar membaca, menulis, berhitung, geografi, sejarah, dan sebagainya. Sekolah dasar yang didirikan disetiap masjid (Kuttab), mengakomodir seluruh siswa baik yang kaya maupun yang miskin, sehingga sulit untuk menemukan orang muslim yang tidak dapat membaca dan menulis[13]. Kekuatan sistem pendidikan muslim pada masa ini terletak dalam bidang-bidang berikut: menghasilkan cendekiawan-cendekiawan besar hampir di segala bidang, mengembangkan program bebas buta huruf dalam skala universal, ketika buta huruf menghantui Eropa. Menyebarkan roman-roman dari kebudayaan klasik ke Barat, penghormatan yang tinggi terhadap guru dan buku, terutama dalam pendidikan yang lebih tinggi. Guru, kuliah, diskusi adalah pusat urat syaraf dari sistem pendidikannya[14].
5. Perkembangan Pendidikan Tinggi
Menurut Michael Stanton, pendidikan tinggi dalam sejarah terbagi menjadi dua, yaitu lembaga formal dan lembaga informal. Adapun lembaga formal yaitu, mesjid, lembaga wakaf, madrasah dengan kurikulum yang sistematis. Pembelajaran yang terjadi di mesjid-mesjid atau biasa disebut kuttab, dilakukan dalam bentuk halaqah, yang terbagi dalam dua jenis: halaqah yang mengkaji ilmu-ilmu agama secara umum pada tingkat tinggi; dan halaqah yang secara khusus diperuntukkan bagi kajian fiqih dalam salah satu mazhab yang empat[15]. Berbagai halaqah dalam satu masjid menawarkan pelajaran dalam beragam disiplin, mencakup hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf dan sastra Arab. Disiplin-disiplin yang dianggap bukan ilmu agama tidak termasuk dalam kegiatan pengajaran syaikh halaqah di mesjid: semua buku filsafat Yunani, sains, dan disiplin-disiplin sekular lainnya tidak diajarkan di dalam mesjid[16].
Lembaga formal yang kedua adalah lembaga wakaf. Institusi ini didirikan secara resmi oleh pemerintah untuk menampung dana kaum Muslim secara keseluruhan untuk kepentingan umum. Lembaga wakaf ini mendanai operasional mesjid-akademi, jajaran staf mencakup mudarris, syaikh, dan muadzdzin. Prioritas kedua adalah jabatan yang lebih rendah seperti mu’id dan mufid. Prioritas ketiga adalah beasiswa dan pelayanan bagi mahasiswa[17]. Lembaga formal yang ketiga adalah madrasah. Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa kemajuan madrasah pada puncaknya terjadi pada era Nizhamul Mulk. Sejak pembangunannya pada 1067 sampai 1234, Nizhamiyah tetap menjadi lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Baghdad. Pada waktu ini khalifah al-Mustanshir mendirikan lembaga pendidikan tinggi yang terdiri dari beberapa bangunan yang mencakup empat madrasah yang masing-masing mewakili satu mazhab sunni yang empat. Dengan dibangunnya al-Mustanshiriyah, satu transisi penting terjadi dalam lembaga pendidikan tinggi Islam: lembaga-lembaga kecil dengan hanya seorang syaikh, di beberapa kota, dapat berkembang menjadi lembaga pendidikan tinggi yang kompleks[18].
Mengenai lembaga pendidikan tinggi yang informal, yaitu lingkaran studi yang juga berbentuk halaqah, toko buku, observatorium, klinik dan rumah sakit. Lingkaran studi berlangsung di rumah-rumah yang tentu hanya menampung mahasiswa yang terbatas. Dari Ibnu Sina, kita mendapatkan gambaran tentang bagaimana dia menyelenggarakan halaqah-nya mulai saat fajar, dan berdiskusi serta membaca dalam halaqah itu, hingga pertengahan waktu subuh. Begitupula Al-Ghazali juga mendirikan lingkaran para ilmuan di rumahnya yang memperoleh perhatiannya secara pribadi. Di sini jelas bahwa reputasi seorang syaikh sangat menentukan kemampuannya untuk menarik para murid dan popularitas intelektual dari lingkarannya sendiri[19]. Lembaga informal kedua adalah toko buku, di mana selama kejayaan Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di Timur Tengah dan peran pentingnya menyebar ke seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Iberia. Sebelum pengrusakan oleh pasukan Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku; dan kota Shiraz, Mosul, Basrah, Kairo, Kordova, Fez, Tunis dan banyak kota-kota lain mendukung berlipatgandanya jumlah toko buku. Para saudagar buku tidak hanya membeli dan menjual buku untuk para pelanggannya, mereka juga memberikan pelayanan bagi industri perbukuan. Selain itu pemilik toko buku biasa juga berfungsi sebagai tuan rumah yang memfasilitasi sebuah diskusi, dan kadang-kadang menjadi pemimpin lingkaran studi. Ia dapat mengundang para cendekia yang ada di masyarakat untuk mengarahkan diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan[20].
Lembaga informal pendidikan tinggi lainnya adalah observatori, klinik, dan rumah sakit. Observatorium biasanya didirikan oleh penguasa muslim untuk menunjukkan prestise kekuasaannya dihadapan penguasa yang lain, sehingga kebanyakan observatori adalah proyek kerajaan yang bukan bagian dari kebanyakan madrasah yang didirikan. Khalifah al-Ma’mun mendirikan laboratorium perbintangan pada tahun 828, dan mengangkat seorang ahli matematika yang brilian, al-Khawarizmi, untuk mengarahkan studi dan penelitian. Pada sekitar tahun 1023, Adud al-daulah di Hamadhan membangun laboratorium sejenis untuk Ibnu Sina. Juga, para penguasa Bani Saljuq di Baghdad membangun observatori besar bagi 'Umar al-Khayyam dan kolega-koleganya. Barangkali observatorium paling terkenal dalam sejarah Islam adalah yang berdiri di kota Maraghah, Persia, pada tahun 1261, di mana seorang multi disipliner besar, Nashiruddin at-Thusi menjadi peneliti utamanya. Ironisnya, observatorium ini didirikan atas kehendak Timur Lank, yang merupakan keturunan Jengish Khan, sang penghancur kota Baghdad.
Sedangkan klinik dan rumah sakit, yang juga berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tinggi sebagaimana observatorium dan perpustakaan, karena rumah sakit tidak hanya menampung orang sakit, akan tetapi juga menjadi tempat bagi para pelajar Muslim yang ingin mendalami ilmu kedokteran. Pada waktu itu, sekitar 860 dokter diizinkan untuk membuka praktek; pada tahun 1160, Baghdad memiliki 60 lembaga kesehatan. Begitu juga di Kairo terdapat lima rumah sakit; begitupula di Damaskus, Kordova dan Seville, merupakan kota-kota yang memiliki rumah-rumah sakit besar. Melalui kerja sama yang baik pemerintah dan yayasan wakaf, rumah-rumah sakit tersebut menyediakan pelayanan kesehatan yang bebas biaya. Karena pendidikan kedokteran juga dilakukan di rumah sakit tersebut, maka tidak heran seorang dokter yang mengajar atau berpraktik di rumah sakit tersebut biasa kerumuni oleh para mahasiswanya. Dalam tradisi pendidikan di Timur Tengah, pengetahuan seorang dokter tidak terbatas pada kajian kedokteran an sich. Sebagai seorang multi disipliner, orang yang berusaha untuk mendapat izin sebagai dokter, biasanya terlibat juga dalam studi filsafat, sains dan ilmu agama[21].
6. Perpustakaan sebagai Indikator Kemajuan Pendidikan Muslim
Keberadaan perpustakaan menjadi tolak ukur yang paling gampang untuk mengetahui sejauh mana sebuah peradaban mengapresiasi ilmu pengetahuan. Menurut Nakosteen, ada tiga jenis perpustakaan pada abad-abad permulaan Islam, yaitu: umum, semi umum, dan perpustakaan pribadi. Perpustakaan umum biasanya berhubungan dengan sekolah, universitas atau masjid.. Perpustakaan semi umum, selain terbuka untuk sebagian masyarakat, di sisi lain juga terbuka untuk satu kelompok yang terpilih. Perpustakaan pribadi, dimiliki oleh para cendekiawan atau para penguasa untuk kepentingan pribadi. Tiga jenis perpustakaan tersebut terdapat di seluruh penjuru dunia Islam. Untuk perpustakaan umum, contohnya ialah Baitul-Hikmah yang didirikan oleh al-Ma’mun; perpustakaan Haidari di Najaf, perpustakaan Ibnu Sawwar di Basrah, Sabur Darul Ilmi di Baghdad, Darul Ilmi milik asy-Syarif ar-Radi, perpustakaan Masjid dari az-Zaid, Darul Ilmi (Darul Hikmah), perpustakaan Kairo dan sejumlah perpustakaan-perpustakaan sekolah terkenal. Sedangkan perpustakaan semi pribadi adalah, al-Nasirudinullah, al-Mu’tashimbillah, dan perpustakaan khalifah-khalifah Fathimiyyah. Adapun perpustakaan pribadi yang terdeteksi adalah perpustakaan yang dimiliki oleh al-Fath Ibnu Khaqan (wafat 861; 247 H), Hunain Ibnu Ishaq (wafat 877; 264 H), Ibnul Khasysyab (wafat 1171; 567 H), al-Muwaffaq Ibnu Matram (wafat 1191; 646 H), Jamaluddin al-Quifri (wafat 1248; 646 H), Ufra’im Ibnul Zaffan (wafat 1106; 500 H) dan Quaduddin al-Isfahani[22].
Perpustakaan yang terkenal dari khalifah al-Hakim di Kairo, terletak di sekolah tinggi dan didirikan pada tahun 1004, memiliki koleksi buku-buku yang banyak dengan satu perkiraan yang fantastis, yakni 1.600.000 volume. Perpustakaan ini dibuka untuk umum sebagai pusat ilmu pengetahuan dan penelitian (riset)[23]. Khalifah Fatimiyyah, al-Aziz (975-996) juga mendirikan perpustakaan Baitul Hikmah yang berisi 100.000 volume, dan 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak. Sedangkan di Spanyol, terdapat lebih dari tujuh puluh perpustakaan muslim, satu diantaranya adalah perpustakaan al-Hakam II (wafat 976) yang berisi sekitar 600.000 volume dan membutuhkan 24 volume katalogus untuk judul dan deskripsi[24]. Tentunya makalah sederhana ini tidak akan mampu menampung pembahasan untuk mendeskripsikan kemajuan Islam dalam bidang perpustakaan, karena sangat banyaknya perpustakaan yang berdiri ketika itu. Ini membuktikan semangat yang luar biasa dalam pencapaian pengetahuan, disaat belum adanya mesin cetak, yang baru ditemukan beberapa abad kemudian oleh Guttenberg. Keruntuhan kekuasaan muslim oleh serbuan bangsa Mongol, pasukan Salib, dan tentara Kristen di Spanyol, membuat sebagian khazanah pengetahuan ini musnah, dan sebagian diantaranya menjadi landasan kemajuan pengetahuan di Barat.
7. Proses Kreatif-adaptif Intelektual Muslim
Penting untuk dicatat bahwa apa yang dilakukan oleh para intelektual muslim adalah proses “kreatif-adaptif”, bukan “kreatif-adoptif”, dimana warisan pengetahuan klasik yang terima oleh para intelektual muslim dicerna secara hati-hati di dalam spirit skolastikisme Islam. Sehingga aspek-aspek yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dieliminir sedemikian rupa. Pencerahan ilmu pengetahuan telah diprakarsai pada abad kedelapan dan mendapat momentumnya pada abad kesembilan, telah berkembang secara luas dalam subject matter dan distribusi geografis serta secara intensif dalam term penelitian dan kreatifitas, selama paruh akhir abad kesepuluh. Sesungguhnya dekade terakhir abad kesepuluh dan keseluruhan abad kesebelas dapat dianggap sebagai abad keemasan ilmu pengetahuan dan kreatifitas muslim. Abad Islami ini ditegaskan hampir secara eksklusif seluruhnya kreatif dalam bidang-bidang pengetahuan dasar, terutama fisika, astronomi, dan matematika; dan semua karya-karya meliputi banyak hal penting dalam filsafat, teologi, agama, sejarah, dan hukum; semua perkembangan-perkembangan penting dalam bidang kedokteran dan disiplin-disiplin ilmu yang sempurna, tidak terkecuali dalam seni, kesusastraan dan musik[25].
Secara singkat dapat dikatakan bahwa tahapan proses kreatif-adaptif berlangsung secara gradual, yaitu abad kesembilan dan kesepuluh, khususnya tahun 750 dan 900 telah mengantarkan ilmu pengetahuan klasik ke dalam dunia pendidikan dan pemurnian (refinement) dalam wadah kebudayaan dan sekolah-sekolah Islam. Pada masa ini adalah pengorganisasian awal, konsolidasi dan asimilasi dari elemen-elemen klasik tersebut. Abad kesepuluh dan kesebelas –abad keemasan ilmu pengetahuan Islam- adalah abad interpretasi atau proses hermeneutik dari pemikiran-pemikiran klasik, kritisisme, dan adaptasi-adaptasi darinya serta beberapa adaptasi yang luas dari pemikiran Persia, Hindu dan pengetahuan Helenistik seperti: matematika, astronomi, trigonometri, tehnologi, kedokteran dan disiplin-disiplin sejenis lainnya. Abad keduabelas dan ketigabelas merupakan abad-abad penerjemahan oleh sekolah-sekolah Hebrew dan Kristen Latin melalui penerjemahan yang berkesinambungan dan sistematik[26]. Pada masa inilah genderang keruntuhan muslim dalam bidang ilmu pengetahuan mulai ditabuh. Keruntuhan kreatifitas dan ilmu pengetahuan muslim, bertepatan dengan fase-fase awal kebangkitan intelektual Eropa, yang telah secara luas dirangsang oleh perkenalan dengan ilmu pengetahuan, filsafat, seni muslim, kepada masyarakat dan institusi-intitusi pendidikan Eropa.
8. Kebangkitan Dunia Intelektual Eropa
Ibarat gayung bersambut, nestapa keruntuhan peradaban Islam di Baghdad dan Andalusia, diikuti sikap fatalistik dan kemunduran gairah intelektual dikalangan muslim. Hal ini tidak disia-siakan oleh para intelektual Barat untuk menyerap secara total warisan peradaban Islam yang sudah membangun dasar-dasar pengetahuan ilmiah-eksperimental, begitu pula halnya pengembangan logika berfikir induktif. Pencerahan di dunia Latin-Kristen secara khusus di stimulasi oleh dunia intelektual muslim. Berdirinya universitas-universitas Eropa pertama kali bertepatan dengan sangat derasnya arus penerjemahan, adaptasi-adaptasi dan ulasan-ulasan dari karya muslim di bidang ilmu pengetahuan, tehnologi, filsafat dan teologi. Tidak heran kemudian pada akhir abad keduabelas, telah berdiri lima universitas di Eropa, yaitu: universitas Salermo (khusus kedokteran) dan Bologna (khusus hukum), keduanya di Italia; universitas Paris dan Montpellier di Perancis; dan Oxford di Inggris. Terbesar diantaranya adalah universitas Paris dimana Oxford adalah salah satu cabang yang pada gilirannya “melahirkan” Cambridge pada tahun 1209. Universitas lainnya yang berkembang pada abad ketigabelas adalah Padua (1222); Naples (1224); Orleans, Angiers, dan universitas Salamanca di Spanyol[27].
Dalam universitas-universitas tersebut, ilmu pengetahuan telah didasarkan sepenuhnya pada tulisan dari para penulis muslim. Sebagaimana diketahui, ilmu pengetahuan aristotelian tetap merupakan inti dari kurikulum universitas Paris hingga abad keenambelas. Roger Bacon dan Albertus Magnus telah menikmati kuliah ilmu pengetahuan muslim dan merasa berhutang budi pada al-Hazm dan Jabir. Tidak sampai abad keenambelas dan datangnya Copernicus dalam ilmu astronomi -yang hanya meneruskan penemuan Nashiruddin at-Thusi-, Paracelsus dalam ilmu kedokteran, dan Vesalius dalam bidang anatomi dan para intelektual Barat lainnya yang menikmati dan mengapresiasi warisan pengetahuan muslim. Betapa kuatnya nilai pengetahuan muslim di Eropa, sehingga kurikulum kedokteran di Vienna dan Frankfurt tetap tergantung kepada karya Rhazes (Razi) dan Avicenna (Ibnu Sina), bahkan farmakologi muslim tetap dihargai di Eropa hingga abad kesembilanbelas[28].
Intelektual muslim telah berguna dengan sendirinya di sekolah-sekolah latin selama kurang lebih lima ratus tahun, dan apa yang telah diberikannya kepada dunia pendidikan Eropa adalah baik, jika hanya membangkitkan Eropa dari satu milenium intelektual yang terhenti sama sekali (dark ages). Islam telah memberi Barat yang terbaik apa yang telah dipelajarinya dari kebudayaan klasik, dan apa yang telah ditambahkan oleh kejeniusan kreatif yang dimilikinya. Hasilnya adalah kemajuan yang fantastis dalam pengetahuan dan tehnologi di dunia Barat dalam empat abad terakhir.

C. KHATIMAH
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam sebagai institusi agama, juga pernah membangun peradaban yang khas dan berperan sebagai katalisator pengembangan ilmu pengetahuan. Proses kreatif-adaptif para intelektual muslim dengan kejeniusan luar biasa mengolah proyeksi pengetahuan klasik Syria Nestorian, Greco Roman, Alexandrian dan khazanah pengetahuan dari akademi Jundi-Shapur, menjadi bangunan pengetahuan baru dengan metode penelitian (riset) yang lebih saintifik. Pencapaian intelektual muslim dalam dunia pengetahuan merupakan jembatan emas bagi munculnya kebangkitan intelektual di Eropa. Hanya satu hutang yang tetap tak terbayar, pemikiran Barat demikian banyak diperkaya oleh kerja keras kreatif selama lima ratus tahun ilmu pengetahuan muslim, telah sangat terlambat –atau boleh jadi enggan- untuk mengakui hutang ini dan terlambat pula untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada pemberinya tersebut. Karya yang di tulis oleh Mehdi Nakosteen dan Charles Michael Stanton ini adalah suatu langkah dalam tujuan tersebut.
Keruntuhan peradaban Islam dalam labirin sejarah, menyisakan beban psikologis kepada sebagian ummat Islam, hilangnya gairah intelektual dan keterbelakangan pengetahuan menimbulkan krisis percaya diri intelektual. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah pribadi schizoprenik, atau mengidap penyakit autisme intelektual, maka tidak heran sikap apologetik masih terus ada pada sebagian intelektual muslim. Karya ini setidak-tidaknya dapat menstimulasi kepercayaan diri intelektual kita dan memantikkan kembali kesadaran historis, agar terjadi upaya sungguh-sungguh untuk berperan aktif dalam kancah pengetahuan global. Upaya kembali untuk melihat sejarah keemasan Islam bukan untuk “menangisi pemandian yang telah runtuh” tetapi untuk memunculkan sikap optimistik terhadap sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo (Alm), “melihat ke belakang dengan hati nurani, dan dengan kedua mata memandang jauh ke depan. Wallahu A’lamu Bishawwab



Rujukan Utama

Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam), Terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah, Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, PT. Logos Publishing House, Jakarta, 1994.
[1] Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994), hlm. vi.

[2] Ibid, hlm. viii.

[3] Ibid, hlm. 10.
[4] Ibid, hlm. 12.

[5] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam), Terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 20.
[6] Ibid, hlm. 20.

[7] Ibid, hlm. 21.

[8] Ibid, hlm. 22.

[9] Ibid, hlm. 29.

[10] Ibid, hlm. 50.
[11] Ibid, hlm. 51.

[12] Ibid, hlm. 53.

[13] Ibid, hlm. 59.

[14] Ibid, hlm. 86.

[15] Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, hlm. 35.

[16] Ibid, hlm. 36.
[17] Ibid, hlm. 43-44.

[18] Ibid, hlm. 50-51.

[19] Ibid, hlm. 156.
[20] Ibid, hlm. 162-163.
[21] Ibid, hlm. 172-174

[22] Nakosteen, Kontribusi Islam, hlm. 89.

[23] Ibid, hlm. 91.

[24] Ibid, hlm. 96.

[25] Ibid, hlm. 227.

[26] Ibid. hlm. 249.
[27] Ibid. hlm. 269.

[28] Ibid, hlm. 277.

HAKEKAT PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Muqaddimah
Manusia secara alamiah dan gradual tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai wafat, mengalami proses pertumbuhan tahap demi tahap. Demikian pula proses kejadian alam semesta ini, diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat. Alam sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos dilingkupi semesta hukum kausal yang bersifat tetap (tsawabit) dan aksiomatik yang disebut dengan “sunnatullah”.
Sejak al-Qur’an pertama kali diturunkan sudah menyerukan pesan universal untuk membaca (iqra). Karena itu esensi yang sesungguhnya dari pendidikan adalah upaya mengajak dan membimbing seseorang (peserta didik) untuk memulai mengaktifkan instrumen panca inderanya (khawas al-khamsah), rasionalitasnya, dan daya intuitifnya (qalb) untuk “membaca” seluruh fenomena keberadaan yang ditebarkan oleh Tuhan pada alam semesta (afaq) dan fenomena ketuhanan yang tersembunyi pada relung hati dan kedirian (anfus) manusia. Seruan al-Qur’an ini menjadi wahana pembebasan manusia dari penjara epistemologis yang sedang memasung kesadaran berfikir manusia ketika itu yang sedang terjebak dalam penyembahan berhala (idolatry), baik berhala dalam arti fisik maupun berhala dalam arti pemikiran yang membuat nilai-nilai tauhid yang sudah diajarkan oleh para Nabi terdahulu menjadi kabur oleh kesesatan berfikir (fallacies). Seruan al-Qur’an itu juga membebaskan manusia dari belenggu feodalisme intelektual, dimana ketika itu kemampuan membaca, mencerap, dan mencecap ilmu pengetahuan hanya milik segelintir kaum elit (ruler class) atau agamawan dan birokrasi penguasa.
Oleh karena itu salah satu tugas pendidikan adalah membangkitkan kesadaran manusia secara keseluruhan pada kesadaran diri bahwa pada hakekatnya manusia adalah mikrokosmos dari semesta keperadaan (makrokosmos) yang pada puncaknya akan mengajak pada kesadaran ilahiah (keimanan) yang bersesuaian pada diktum idiologis yang terkandung pada ayat al-Qur’an yang pertama kali turun (Iqra Bismirabbikalladzi Khalaq).



Konsep Dasar Pendidikan
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan hal berkenaan dengan istilah Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Dari sini dapat diketahui bahwa pendidikan adalah upaya pendewasaan melalui pengajaran dan latihan. Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu pada pengajaran dan latihan semata. Lain halnya Rechey dalam bukunya Planning for Teaching, an Introduction, menyatakan bahwa pendidikan adalah berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi, pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas dari pada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah aktivitas sosial essensial yang memungkinkan fungsi pendidikan mengalami proses spesialisasi dan melembaga dalam masyarakat yang kompleks, modern, walaupun tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah.
Istilah education dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin educere yang berarti memasukkan sesuatu, barangkali bermaksud memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Istilah education dapat juga bermakna dari kumpulan semua proses yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan, sikap-sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif di dalam masyarakat tempat dia hidup. Selain itu dapat juga bermakna sebuah proses sosial tatkala seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya pada lingkungan sosial), sehingga mereka dapat memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan individual secara optimal. Jika pengertian secara semantik (kebahasaan) dari kata pendidikan (education) diperhatikan secara seksama, nampak bahwa kata-kata tersebut lebih menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut menunjukkan adanya program, sistem, dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan dan pengajaran.
C. Pengertian Pendidikan Secara Umum
Secara terminologis, para ahli pendidikan mendefinisikan kata pendidikan dari berbagai tinjauan. Ada yang melihat dari kepentingan dan fungsi yang diembannya, dari proses ataupun dilihat dari aspek yang terkandung di dalam pendidikan.
Hasan Langgulung melihat arti pendidikan dari sisi fungsi pendidikan, yaitu: pertama, dari segi pandangan masyarakat, dimana pendidikan merupakan upaya pewarisan kebudayaan yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi muda agar kehidupan masyarakat tetap berkelanjutan. Kedua dari segi kepentingan individu, pendidikan diartikan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang tersembunyi dan dimiliki manusia.
Sedangkan definisi pendidikan yang disandarkan pada makna dan aspek serta ruang lingkupnya , dapat dilihat pada apa yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian utama. Dalam Sistem Pendidikan Nasional, istilah pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Adapun pendidikan yang dimaknai sebagai proses bertahap dan berkelanjutan secara gradual, dapat dilihat pada yang dikemukakan oleh M Arifin yang mengatakan bahwa pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmaniah yang berlangsung secara bertahap. Beberapa ahli pendidikan Barat yang juga memberikan arti pendidikan sebagai proses antara lain yang dikemukakan oleh Mortimer J. Adler, bahwa pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan baik.
Pendidikan sebagai proses juga dikemukakan oleh Herman H. Horne, bahwa pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos. Lain halnya tokoh pendidikan Katolik William Mc Gucken, SJ., yang mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu perkembangan dan kelengkapan dari kemampuan-kemampuan manusia baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individual atau sosial dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang bersatu dengan Penciptanya sebagai tujuan akhir.

D. Pengertian Pendidikan dalam Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut, term yang populer digunakan dalam praktik pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Kendati demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial setiap term tersebut memiliki perbedaan baik secara tekstual maupun kontekstual.
Istilah at-tarbiyah tidak digunakan dalam leksikologi al-Qur’an, tetapi yang senada dengannya adalah ar-rabb, rabbayani, murabbi, ribbiyun, dan rabbani. Pengertian dasar dari kata-kata tersebut bermakna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang terkandung dalam term al-tarbiyah terdiri dari empat unsur pendekatan, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. (3) mengarahkan fitrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Selanjutnya istilah ta’lim berasal dari kata ‘allama yang menurut Rasyid Ridha berarti proses transmisi ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa ada batasan dan ketentuan tertentu. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalam Qs. al-Baqarah ayat 31; “Dan Dia mengajarkan kepada Adam, nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama-nama benda itu jika memang kamu orang-orang yang benar”. Sedangkan Muhammad Naquib al-Attas memberikan makna ta’lim itu sebagai proses pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Dalam pandangannya, apabila term ta’lim ini dipersamakan dengan term tarbiyah, maka ta’lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu, sehingga lebih universal dari pada term at-tarbiyah, sebab tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksternal semata.
Sedangkan istilah at-ta’dib, disandarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “addabani rabbi faahsana ta’dibi” yang berarti “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. Konsep ta’dib secara luas dipromosikan Naquib al-Attas sebagai sebutan yang lebih tepat dalam pendidikan Islam, karena menurut Al-Attas, pendidikan adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”, yang apabila dijabarkan secara luas bermakna sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperadaan.
Terlepas dari makna ketiga term di atas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi pengertian pendidikan Islam. Di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:
al-Syaibany; mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.
Muhammad Fadhil al-Jamaly; mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.
Muhammad Iqbal; mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses yang bersifat dinamis dan kreatif untuk memupuk dan memberikan kesempatan gerak kepada semangat kreatif yang bersemayam dalam diri peserta didik serta mempersenjatainya dengan kemauan dan kemampuan untuk menguasai seni dan ilmu pengetahuan yang baru, kecerdasan dan kekuatan.
M. Arifin; mengatakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Ahmad Tafsir; mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar peserta didik berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari berbagai macam formulasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.

E. Khatimah
Dari paparan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena pada hakekatnya selama kehidupan manusia masih berlangsung di muka bumi ini, maka proses yang dinamakan pendidikan itu masih terus berjalan mengikuti perjalanan hidup manusia. Sebagaimana dikatakan oleh M. Iqbal bahwa “pendidikan adalah perjalanan yang benar dalam menggali berbagai kemungkinan yang tidak terbatas”.
Dalam Islam proyeksi pendidikan sangat value laden (sarat nilai), sehingga secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis pendidikan dalam Islam selalu dalam kerangka keimanan dan tauhid kepada Allah. Walaupun para pakar pendidikan masih bersilang pendapat tentang manakah yang lebih proporsional dari term al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib, untuk dipakai sebagai anutan universal pada konsep pendidikan Islam.
Seperti yang sudah disinggung pada muqaddimah, bahwa fondasi utama dari pendidikan dalam Islam adalah al-Qur’an itu sendiri. Karena sejak lima ayat yang pertama kali diturunkan yaitu surah al-Alaq ayat 1-5, ayat-ayat tersebut secara eksplisit sudah menyentuh aspek pendidikan, yaitu iqra’, ‘allama dan al-qalam, yang artinya: bacalah, mengajarkan, dan pena atau instrumen untuk menulis. Ketiga hal inilah yang menjadi tonggak terbangunnya peradaban-peradaban besar manusia di dunia, termasuk peradaban Islam. Maka wajar kemudian Yudian Wahyudi dalam kuliahnya mengatakan bahwa ketiga hal inilah mukjizat terbesar al-Qur’an yang masih terasa hingga kini, bahkan Salih Abdullah Salih sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab kependidikan terbesar yang pernah ada. Wallahu Ta’ala A’lam . (Penulis adalah aktivis Syabab Hidayatullah Balikpapan dan mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Pendidikan Tauhid

Tauhid merupakan inti dan fondamen dari ajaran Islam. Konsepsi monotheisme yang bersumber pada ajaran (millah) Nabi Ibrahim yang mengalami banyak distorsi dan reduksi dari ajaran Kristen dan Yahudi, membuat kehadiran Islam sebagai agama terakhir menempati posisi yang sangat sentral untuk memurnikan konsep monotheisme. Pendidikan tauhid sudah terkandung secara jelas pada ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi pada malam 17 Ramadhan 610 M. Peristiwa tersebut meninggalkan seribu satu misteri buat kita, diantaranya muncul pertanyaan kenapa harus surah Al-Alaq 1-5 yang harus diturunkan pertama kali? Kenapa bukan surah al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Tentu banyak spekulasi mengenai hal tersebut, dan diantaranya sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ringkas berikut.
Nabi SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Kita semua tahu bahwa Nabi adalah seorang yang ummi dalam arti tidak mampu baca-tulis secara material. Akan tetapi Allah mendidik Rasul dalam universitas kehidupan, yang sangat sedikit orang dapat lulus dari universitas ini. Allah bahkan sudah mendidik Rasul sejak dilahirkan, di mana beliau sudah menjadi yatim, yang beberapa tahun kemudian disusul oleh kemangkatan ibunya. Ini adalah semester pertama pendidikan Allah kepada Nabi, yaitu untuk menumbuhkan kemandirian eksistensial transenden dengan proses peyatiman. Pada semester kedua, Allah melatih kemampuan manajerial, organisasi dan kepemimpinan Nabi pada proses menggembalakan ternak pamannya Abu Thalib. Menginjak semester ketiga, Allah mendidik semangat interpreneurship pada Rasul melalui proses memperdagangkan barang dagangan Siti Khadijah. Pada semester keempat, Allah melatih kepekaan emosional, sikap bertanggung jawab, dan latihan kepemimpinan pertama, melalui proses pernikahannya dengan Siti Khadijah yang nota bene adalah seorang janda berusia 40 tahun. Pada semester kelima atau semester terakhir, dalam diri Rasul muncul ketidakpuasan dan sikap kritis terhadap fenomena kejahiliahan yang terjadi di kota Makkah ketika itu. Sehingga muncul kegelisahan intelektual dalam diri Rasul, yang mengantarkan beliau pada proses kontemplatif di gua Hira. Proses perenungan itu memakan waktu berbulan-bulan, dan Rasul mengerahkan segenap daya fikir dan spiritualnya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah di gua Hira ini adalah upaya keras yang melebihi upaya keras para sarjana untuk mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi sekalipun!. Upaya Rasul ini membuahkan hasil, dan beliau lulus magna cum laude dari pendidikan Allah dengan anugerah gelar kenabian dan kerasulan, dengan ijazah Al-Qur’an, yang pertama kali diwakili oleh surah Al-Alaq 1-5.
Menurut penulis, sangat beralasan kalau Allah menurunkan surah Al-Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama, karena kelima ayat ini sangat sarat akan nilai-nilai fundamental dan filosofis, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Kelima ayat tersebut menyentuh tiga aspek utama dari kehidupan, yaitu Tuhan, manusia dan alam, di mana ketika aspek ini juga menjadi jiwa zaman dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia. Yaitu, pada era Yunani kuno pola berfikir manusia yang polytheistik dan kosmosentris (berpusat pada alam). Pada abad pertengahan, khususnya setelah perkembangan ajaran Yahudi dan Kristen, pola berfikir manusia sangat theosentris (berpusat pada Tuhan). Kedatangan Islam semakin membuat pola berfikir theosentris mengalami masa puncaknya, yang dari Islam diwakili oleh Imam al-Ghazali (Ihya Ulumuddin), dan diikuti oleh teolog Kristen, yaitu Thomas Aquinas (Summa Theologia). Sejak era renaisans, subyek berfikir manusia terpusat pada manusia (anthroposentris), dan hal tersebut masih terus berlangsung hingga kini di Barat. Sedangkan surah Al-Alaq 1-5, konsep yang mengejawantah adalah konsep Ma’rifatu al-Rabb, Ma’rifatu al-Insan dan Ma’rifatu al-Alam. Ketiga konsep inilah inti pendidikan tauhid surah Al-Alaq 1-5.
Pada ayat 1-3, “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia”. Secara ontologis ayat-ayat ini akan membantah argumen terkenal Rene Descartes “cogito ergo sum” (berfikir maka aku ada), atau barangkali menjadi solusi konflik berkepanjangan antara kubu rasionalis dan empirisis. Karena konsep “bacalah” (iqra) tidak hanya menjadi landasan proyeksi pengetahuan dalam Islam. Akan tetapi juga menjadi proyeksi filosofis, di mana dalam proses “membaca” tersebut, instrumen rasional dan indriawi (empirik) bekerja secara integral. Dan memang dalam doktrin Islam tidak ada dikotomi antara yang rasional dan yang empirik. Term rasional, empirik dan intuitif biasa disentuh oleh al-Qur’an dengan term “sam’a wal abshara wal af’idah” atau dalam term-term lainnya, yang sedari awal tidak ada dikotomi konseptual di dalamnya. Sedangkan pada ayat 4-5, “Yang mengajar manusia dengan pena (kalam), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, terdapat isyarat epistemologis pada ayat ke empat, yaitu pada term “kalam” yang bermakna sumber pengetahuan universal absolut. Penjelasan mengenai “kalam” kembali di pertegas oleh Allah pada surah kedua yang turun, yaitu surah Al-Qalam, di mana Allah membantah tuduhan orang-orang kafir Quraisy, bahwa Nabi adalah seorang yang gila, karena Nabi sudah mengetahui epistemologi wahyu Allah. Pada ayat kelima terdapat isyarat aksiologis, bahwa kebenaran wahyu Allah harus diajarkan dan disebarkan, karena kedatangan Islam sebagai rahmat Allah bagi seluruh seru sekalian alam (Rahmatan lil Alamin).
Dalam sirah nabawiyah diceritakan bahwa setelah wahyu pertama turun, terdapat masa yang relatif lama, hingga turun wahyu yang kedua. Bahkan sampai-sampai Rasul hampir menjatuhkan dirinya ke dalam jurang, karena keputusasaannya. Ini adalah pertanda bahwa lima ayat pertama tersebut menjadi landasan penting dari tauhid, dan butuh eksplorasi pemikiran secara mendalam, sehingga lahir kesadaran eksistensial sebagai hamba Tuhan, dan kesadaran tersebut diproklamasikan dengan dua kalimat syahadat. Barangkali tema-tema substansial yang terkandung dalam lima ayat tersebut yang menjadi landasan konseptual pengakaderan Rasul terhadap para “Assabiqunal Awwalun” di rumah al-Arqam bin Arqam. Sehingga membuat sahabat-sahabat utama seperti Bilal Bin Rabbah, Ammar Bin Yasir, Mush’ab Bin Umair dan lain-lain, memiliki keteguhan tauhid yang luar biasa, walaupun disiksa secara kejam. Tidak dapat dipungkiri, bahwa surah Al-Alaq 1-5 juga turut menjadi landasan gerakan perjuangan dakwah Islam, maka dari itu apa salahnya kita mencoba “Ittiba” atas konsep pendidikan tauhid yang dilakukan Rasulullah kepada para sahabat-sahabatnya. Karena pendidikan tauhid menjadi sangat urgen untuk menjadi topik sentral dalam pendidikan Islam, mengingat sangat derasnya arus globalisasi yang membawa nilai-nilai negatif, dan menggerus sendi-sendi akidah generasi Muslim masa kini. Selain itu, saat ini dalam dunia pemikiran Islam, khususnya di Indonesia, pendidikan tauhid terlalu dipenuhi (overloaded) oleh unsur-unsur idiologis-sektarian. Baik antara NU versus Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin (PKS), Salafi, MMI dan lain-lain. Sehingga membuat pengajaran tauhid semakin kontraproduktif, karena tidak menyentuh aspek yang substansial, seperti yang terkandung dalam lima ayat pertama surah Al-Alaq. Barangkali tulisan ringkas ini terkesan simplisistik dalam upaya mengelaborasi lima ayat pertama surah Al-Alaq, yang juga disebut oleh DR. Hidayat Nataatmaja dari IPB Bandung sebagai landasan “aqidah berfikir”. Akan tetapi hal ini dapat dipertimbangkan sebagai tawaran lebih lanjut untuk dikembangkan ke dalam konstruk pemikiran yang lebih sistematis. (Wa Allahu A’lamu bi Al-Shawwab)

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...