Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C Medan; Gus Mus’tashimbillah, Pesantren Raudhotutthalibin Cirebon; Jayanti, Dompet Dhu’afa dan Nati Sajidah dari Komunitas Pecinta Al-Qur’an Jakarta, berkesempatan mengikuti program Pertukaran Tokoh Muslim (Muslim Excange Program) Indonesia-Australia. Program yang diinisiasi oleh Indonesia-Australia Institut. Selama dua pekan kami mengunjungi kota Melbourne, Canberra dan Sydney untuk bersilaturrahim dengan komunitas Muslim Australia.
Latar Historis
Secara historis Islam sudah menjangkau benua Australia sejak abad ke 16, melalui pedagang Muslim Makassar yang berdagang teripang pada orang-orang Aborigin. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kosakata Insya Allah, Subhana Wata’aala pada orang Aborigin. Namun bandul sejarah berkata lain, ketika kolonial Inggris menancapkan kukunya di benua Australia pada abad 18, dan gelombang migrasi dari Eropa (pasca Perang Dunia II), Lebanon, Albania, Yugoslavia, Turki, Vietnam dan negeri-negeri lain yang dilanda perang. Puncaknya ketika mengalami booming mining emas, bijih besi dan batu bara, Australia menjadi surga para migran dari seluruh dunia. Kondisi inilah yang membuat Australia sangat kental dengan suasana multikulturalnya. Wajar jikalau negara ini tidak pernah memperingati hari kemerdekaan, karena selain Aborigin semua adalah pendatang. Dari total jumlah penduduk Australia yang berjumlah 23 juta (setara dengan penduduk Jabodetabek), terdapat 650 ribu penduduk Muslim (2,6%), lebih banyak dari Muslim Amerika yang hanya 1% dari total jumlah penduduk.
Geliat Muslim Melbourne
Setiba di Melbourne, kami langsung bertemu dengan Prof.
Tim Lindsey di Universitas Melbourne untuk mendapatkan penjelasan tentang
kondisi Muslim Australia dan pesatnya kemajuan dunia pendidikan di negara ini.
Beliau menceritakan bahwa Indonesia pernah memuncaki posisi puncak mahasiswa
asing di Australia, namun sekarang sudah digeser oleh RRC. Menyikapi
kecenderungan pemerintah Australia yang melakukan pengetatan terhadap migran
dan manusia perahu, beliau menyatakan “ kalau seandainya mereka menyadari jati
dirinya sebagai pendatang, semestinya itu tidak perlu terjadi.” Dari Melbourne
University, kami bergerak ke Australian Islamic Centre (AIC) di wilayah
Newport, dan kami dibuat terkesima oleh keindahan Arsitektural khas Australia
pada Masjid yang mampu menampung ribuan jamaah itu. Syaikh Muhammad Al-Jibaly,
manajer dari AIC, menjelaskan secara detil filosofi dari bangunan masjid. Hari
pertama kami di Melbourne ditutup dengan silaturrahim dan makan malam bersama
komunitas Muslim kota Melbourne di restoran Thailand. Seperti yang kami lihat,
sangat mudah menemukan restoran dengan label halal di Australia.
Kemajuan pendidikan Muslim di Melbourne juga dapat
terlihat dari kunjungan kami ke sekolah Islam Al-Siraat College. Sekolah ini
dikelola secara moderen dari jenjang Paud hingga Menengah Atas, dan ada kelas
khusus tahfidzul qur’an.Yang menarik, beberapa tenaga pengajarnya dengan penuh
percaya diri memakai cadar,dan memakai jubah, gamis, bersurban untuk guru
laki-lakinya. Sekolah Islam ini juga mempekerjakan karyawan non-Muslim, menggambarkan
suasana khas Australia yang multikultural. Dari sana kami menyambangi
“Benevolence Australia.” Organisasi Muslimah yang punya perhatian khusus untuk
membina Muslimah di Melbourne, khususnya para muallaf. Jessica Swan, manajer
dari lembaga ini menceritakan suka duka muallaf muslimah di Australia.
Melbourne merupakan bagian dari Provinsi Victoria, kami
pun mengunjungi Islamic Council of Victoria (ICV) yang terletak di tengah kota
Melbourne. Presiden ICV, Muhammad Mohideen menjelaskan secara gamblang tentang
kemajuan umat Islam di Victoria. Dari ICV kami bergerak ke wilayah Doncaster
untuk mengunjungi Masjid UMMA (United Muslim Migrant Association). Di
sini kami berjumpa cendekiawan Muslim Australia Dr. Abdul Khaliq Kazi. Beliau
pernah mewakili Muslim Australia dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung
pada tahun 1955. Imam Masjid, Syaikh Gul Saeed Shah bertutur bahwa saat ini
sudah banyak generasi penghafal al-Qur’an (hafidz 30 juz) di Australia,
sehingga di bulan Ramadhan tidak perlu lagi memanggil Imam Tarawih dari luar
negeri. Subhanallah.
Hari terakhir di Melbourne kami berkesempatan mengikuti
konferensi tingkat tinggi (summit) tentang Zakat yang diselenggarakan
oleh National Zakat Foundation (NZF). Salah satu lembaga zakat di Australia
yang berfokus untuk menyelamatkan akidah Islam pengungsi atau migran Muslim
yang hijrah ke Australia. Sebagaimana dituturkan oleh Asif Mulla, Manajer
Operasional NZF, bahwa mereka berjuang membantu para migran Muslim yang menjadi
sasaran empuk Kristenisasi dari lembaga sosial bentukan gereja yaitu Salvation
Army. Sebagaimana yang kami saksikan di Katedral ST Patrick, Gereja
terbesar dan tertua di Melbourne, terdapat spanduk besar yang bertuliskan “welcome
refugees” (selamat datang pengungsi). Suatu hal yang ironis, karena dari
hasil sensus kepercayaan agama, tercatat 30 % penduduk Australia mengaku tidak
beragama (atheis atau agnostik), yang menandakan bahwa gereja sudah mulai
ditinggalkan oleh jemaatnya, lalu gereja sangat bersemangat untuk mengajak
imigran Muslim meninggalkan agamanya.
Rasanya tidak lengkap kalau ke Melbourne kalau tidak
berkunjung ke Islamic Museum of Australia. Museum Islam yang dibangun secara
swadaya oleh dermawan Muslim Australia untuk mengenalkan Islam yang rahmatan
lil aalamiin kepada masyarakat Australia. Selama di Melbourne kami juga
bersilaturrahim dengan komunitas-komunitas Muslim setiap harinya dalam jamuan
makan malam. Termasuk bersilaturrahim dengan komunitas Indonesia yang tergabung
dalam IMCV (Indonesian Muslim Council of Victoria) yang dipimpin oleh
bapak Teguh, dalam jamuan makan malam di rumah Pak Ade Ish, Muslim Indonesia
yang bekerja sebagai ahli IT sekaligus menjadi Mursyid Tarekat Naqhshabandiyah.
Geliat Muslim Canberra
Setiba di Canberra yang merupakan Ibu kota Negara Australia, kami langsung bersilaturrahim dengan komunitas Muslim Indonesia yang tergabung dalam Australia-Indonesia Muslim Foundation of The Act (AIMF-ACT) yang dipimpin oleh bapak Marpudin Aziz. Dari pertemuan yang diselingi jamuan makan siang di pinggir danau Yaralumla ini, kami mendengarkan cerita, pengalaman dan geliat dakwah Islamiah di kota Canberra. Bahkan untuk komunitas Indonesia akan mengundang Ust. Abdul Shomad (UAS) dalam waktu dekat. Selanjutnya kami menyambangi Canberra Islamic Centre (CIC) untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang geliat Muslim di Canberra. Yang menarik dari CIC yang sedang berjuang membangun area Islamic Centre dan Masjidnya yang megah ini, terdapat sebuah perpustakaan Islam dengan koleksi yang cukup banyak, dan menjadi tujuan bagi para pelajar Muslim, atau bahkan non Muslim untuk mendapatkan referensi keislaman. Di hari kedua, setelah berkunjung ke gedung parlemen, perpustakaan nasional dan museum Aborigin, kami menghadiri jamuan makan malam bersama organisasi pemuda Muslim Australia “Muslim Collective” yang sudah eksis dua tahun terakhir dan memiliki cabang di seluruh provinsi Australia. Lalu kami juga menyempatkan diri untuk sholat berjamaah di Masjid tertua di Canberra, Masjid Yaralumla.
Geliat Muslim Sydney
Geliat Muslim juga terasa
di saat kami tiba di Sydney. Penjelasan tentang kondisi Muslim Australia yang
hidup dengan aman, damai, dan mampu berkompetisi secara profesional di dunia
kerja, kami dapatkan langsung dari Grand Mufti Australia, Dr. Ibrahim Shalih di
kantornya yang juga merupakan markas dari Perkumpulan Imam Nasional Australia (Australian
National Imam Council). Untuk mengetahui kontribusi umat Islam dalam dunia
pendidikan tinggi di Sydney, kami juga menyambangi Islamic Sciences and
Research Academy (ISRA), sebuah lembaga kajian Islam di bawah Charles Sturt
University yang menyelenggarakan program S1 hingga S3 dalam bidang Sejarah,
Sains Islam, Dirasah Islamiyah dan studi peradaban Islam.
Sebagaimana yang dilakukan oleh pelancong Muslim di kota
Sydney, kami pun mendatangi dua spot penting, yaitu Masjid Auburn Gallipoli
yang dibangun oleh komunitas Muslim Turki. Wajar kalau desain arsitektur,
ornamen interior dan eksteriornya dibuat seindah dan semirip mungkin dengan
Masjid Sultan Ahmed (blue mosque) di Istanbul. Spot yang kedua adalah
berkunjung ke Lakemba, area komunitas Muslim di Sydney. Ketika sampai, kami
seolah sedang berada di sebuah negeri Muslim, karena disana-sini yang terlihat
lalu-lalang adalah Muslim Australia yang tetap menjaga identitas keislamannya
dalam balutan busana Muslim dan saling mengucapkan salam. Lakemba juga menjadi
pusat perdagangan buku-buku Islam, busana muslim, dan makanan halal. Sudah bisa
dipastikan bahwa restoran yang berjejer juga menyuguhkan makanan halal lagi
nikmat. Tetapi kali ini kami menjatuhkan pilihan pada “Warung Ita,” restoran
Padang terkenal di area Lakemba. Akhirnya kerinduan kami akan makanan khas yang
pas di lidah Indonesia kami terbayar sudah.
Bertepatan dengan waktu shalat Jum’at, kami pun bergabung
dengan ribuan umat Muslim dari pelbagai etnis dan bangsa, untuk sholat Jum’at
di Masjid besar Ali bin Abi Thalib, dan mendengarkan khutbah yang berapi-api
dari khatib tentang pentingnya perjuangan pembebasan Baitul Maqdis.