Rabu, 02 Maret 2011

Reformulasi Konsepsi Teleologis Pendidikan Islam (Kajian Interpretatif Atas Surah An-Nahl, Ayat 97)

A. Pendahuluan.
Segala sesuatu yang eksis di dalam kehidupan, dipastikan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan tersebut kemudian menjadi pemandu atas perjalanan menyusuri ruang dan waktu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan terbagi dalam tujuan yang berorientasi personal atau individu dan tujuan yang berorientasi kemasyarakatan. Tujuan seseorang ditentukan oleh kepercayaannya kepada nilai-nilai dan sistem pemikiran (idiologi) dan teologi tertentu. Begitu pula halnya tujuan yang berorientasi kemasyarakatan, ditentukan oleh sistem sosial, budaya, dan konsensus kebangsaan yang telah disepakati.
Al-Qur’an sebagai kitab kependidikan terbesar sarat akan nilai-nilai yang akan mampu mengarahkan seseorang atau umat Islam untuk mencapai tujuan final yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam sistem keimanan Islam, memiliki dua dimensi: Pertama, berdimensi duniawiyah, dimana seseorang dituntut untuk mengoptimalkan daya kreatifnya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup baik secara individu maupun di masyarakatnya. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an sebagai operasionalisasi fungsi-fungsi kekhalifahannya. Kedua, berdimensi eskatologis (akhirati), yaitu untuk dorongan untuk memiliki sikap bahwa apapun yang diusahakan di dunia, ekuivalen dengan proyeksi kehidupan di akherat kelak, karena ada proses kausal antara kehidupan dunia dengan kehidupan akherat. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an sebagai operasionalisasi fungsi-fungsi kehambaannya.
Oleh karena itu tulisan ini berupaya mengeksplorasi kembali tujuan kependidikan di dalam Islam dengan mengambil surah an-Nahl ayat 97 sebagai sumber inspirasi. Dari hal ini, diupayakan suatu perspektif baru yang dapat memperkaya wacana mengenai tujuan pendidikan di dalam Islam. Karena dalam realitasnya dunia pendidikan Islam masih dalam kondisi terbelakang. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa pendidikan yang berjalan belum mampu meningkatkan kualitas dan martabat kehidupan umat Islam, khususnya dalam menciptakan kesejahteraan hidup dan tegaknya nilai-nilai moral dan etika sosial di masyarakat.

B. Sebaran Konsepsi Teleologis Pendidikan Islam.
Merumuskan tujuan pendidikan menjadi sangat penting karena hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri, yang paling tidak didasarkan pada konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Secara garis besar dalam al-Qur’an tujuan pendidikan diparalelkan dengan tujuan penciptaan manusia. Hal senada juga disampaikan oleh beberapa ahli pendidikan seperti Hasan Langgulung, al-Nahlawi, Ahmad Tafsir dan T.S. Eliot yang menyatakan bahwa tujuan puncak (ultimate goal) pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup umat Islam, karena pendidikan Islam merupakan sarana mencapainya. Dalam hal ini salah satu ayat yang mendasari adalah surah adz-Dzariyat (51): ayat 56:
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Oleh Musthafa al-Kik, sebagaimana dinukil oleh Nizar Ali, maksud ayat tersebut ialah:
Pengabdian kepada Allah (ibadah) ialah jalan hidup yang mencakup seluruh segi kehidupan serta segala apa yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam mengabdikan diri kepada Allah. Dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang ibadah ini, maka tujuan pendidikan dalam Islam adalah mempersiapkan manusia yang mengabdi yaitu yang memiliki sifat-sifat yang diberikan Allah kepada hambaNya.
Rumusan tersebut di atas menyiratkan bahwa motivasi utama di dalam pelaksanaan dan proses pendidikan adalah dalam rangka penghambaan kepada sang Khaliq. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat al-Nahlawi, bahwa pendidikan merupakan wahana realisasi ibadah baik sebagai individu maupun masyarakat, yang berkait erat dengan tugas penciptaan sebagai hamba dan khalifahNya. Sehingga secara fungsional tujuan pendidikan Islam sangat ekuivalen dengan kesadaran dan tanggung jawab untuk melaksanakan dengan sepenuh hati amanah yang dipikul sebagai makhluk yang menghamba secara paripurna (abid) dan pelaksana dalam memakmurkan, menata, membangun dan menjaga bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh pemberi amanah (Allah). Hal tersebut dipertegas oleh Muhammad Quthb, bahwa tujuan utama pendidikan dalam al-Qur’an adalah membentuk dan membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menunaikan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, agar membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.
Penjelasan tentang tujuan pendidikan di atas, merupakan derivasi atas pemaknaan tentang tujuan penciptaan yang terkandung di dalam al-Qur’an yang kemudian diterjemahkan di dalam skema tujuan pendidikan Islam yang bersifat idealistik, atau bersifat umum. Dari tujuan yang bersifat idealistik tersebut para ahli memiliki pandangan yang berbeda dalam menjelaskan konsepsi untuk pengertian yang lebih khusus dan spesifik. Dalam hal ini menurut al-Syaibani, paling tidak tujuan pendidikan itu memeroleh tiga aspek perubahan yaitu tujuan-tujuan individual, sosial, dan tujuan profesional.
Hasan Langgulung menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah upaya mempersiapkan seseorang dalam dimensi keagamaan, akhlak, kemasyarakatan (sosial), pemikiran dan kesenian. Sementara itu menurut al-Ghazali sebagaimana dinukil oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan terbagi menjadi dua arah: kesempurnaan kemanusiaan yang tujuan hidupnya mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan kemanusiaan yang obyeknya kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun Muhammad Athiyah al-Abrasyi merinci tujuan pendidikan itu sebagai berikut:
a. Untuk membantu pembentukan akhlaq yang mulia.
b. Sebagai persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
c. Sebagai persiapan untuk mencari rejeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
d. Menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar untuk tujuan ilmu.
e. Menyiapkan peserta didik dari segi profesional, teknis dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis, dan perusahaan tertentu supaya ia dapat mencari rejeki dalam hidup dan hidup dengan mulia selain memelihara segi kerohanian dan keagamaan.
Sedangkan al-Jamali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:
a. Agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tanggung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia.
b. Agar seseorang mengenal interaksinya dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah sistem kemasyarakatan.
c. Supaya manusia mengenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapa hikmah Allah dalam menciptakan alam semesta dan memungkin-kan manusia untuk menggunakannya.
d. Supaya manusia mengenal Tuhan Pencipta alam semesta dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya.
Dari rumusan tersebut di atas, bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi dalam dua aspek, yang pertama bersifat idealistik, yaitu sebagai upaya fungsional di dalam melaksanakan tugas kehambaan dan kekhalifahan, sehingga saluran pendidikan diarahkan dalam rangka ibadah. Dari sini akan tercapai kesempurnaan kemanusiaan, karenanya keluaran dari sistem pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil dan insan kaffah. Kedua, tujuan pendidikan Islam yang bersifat realistik, yaitu aktualisasi potensi sumber daya manusia dalam bentuk pembentukan karakter dan mental serta profesionalisme di dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Khusus aspek yang kedua ini akan menjadi pembahasan utama dalam sub bahasan berikut.
C. Pemahaman Ayat.
Ayat yang menjadi bahasan utama dalam pengkajian mengenai tujuan pendidikan Islam dalam makalah ini adalah surah an-Nahl ayat 97:
         •    •      
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat tersebut di atas dimulai dengan kata من yang dimaksud adalah laki laki maupun perempuan, sehingga dalam konteks ayat ini tidak ada pembatasan terhadap jenis kelamin tertentu, maka tugas dan tanggung jawab untuk melakukan kebajikan, termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan dipikul oleh semua manusia tanpa memandang jenis kelamin.
Kemudian kata صالح yang bermakna baik, serasi, bermanfaat, dan tidak rusak. Dalam artian bahwa kegiatan aktual yang harus dilakukan oleh setiap orang dan kepada makhluk Tuhan yang lain adalah sesuatu yang bernilai baik dan bajik, sehingga memberi manfaat kepada orang lain, serta menimbulkan harmoni antar individu, keserasian dan mengikis perilaku destruktif. Maka semestinya kegiatan pendidikan semestinya dipahami sebagai kegiatan amal shalih, dimana di dalamnya tidak ada pamrih tertentu dan murni dibangun di atas nilai-nilai keikhlasan baik sebagai pelaksana pendidikan maupun peserta didik. Yang kalau ditarik dalam proses pengajaran, yaitu pendekatan pengajaran yang bersifat humanis dan afektif, misalnya, sebagaimana yang telah digagas oleh John P. Miller melalui bukunya yang berjudul “Humanizing The Class Room; Models of Teaching in Affective Education. Dalam pengertian lain, amal shalih juga dipahami sebagai kegiatan yang menguntungkan bagi diri pribadi dan juga kepada orang lain, atau amal yang produktif. Aspek yang menguntungkan (benefit) pasti akan mendatangkan kesejahteraan (hayatan thayyibah), sehingga semestinya pendidikan memproyeksikan peserta didik agar mampu menjadi pelaku amal produktif tersebut. Karenanya proses pendidikan seharusnya mampu memberi bekal yang cukup bagi peserta didik untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
Sedangkan kata وهو مؤمن merupakan penegasan kepada orang-orang yang telah berbuat kebajikan (amal shalih) dan mempercayai/mengimani eksistensi ketuhanan sebagai sebab dari segala sesuatu. Dalam pengertian tekstual ayat ini merujuk kepada konsep keimanan kepada Allah bagi umat Islam. Adapun kalau ditilik dalam konteks sebagai wisdom yang bersifat universal, aspek ‘iman’ di sini tidak monopoli milik kaum muslim, ‘keberimanan’ bisa saja bermakna pandangan jauh ke depan (vision) yang melatarbelakangi kegiatan kebajikan yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk umat-umat dari kepercayaan di luar Islam.
Selanjutnya kata حياة طيّبة di mana kata طيّبة merupakan jamak dari kata thayyib, yang menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, bermakna “bebasnya segala sesuatu dari segala yang mengeruhkannya”. Dalam artian kehidupan yang nyaman dan sejahtera, sehingga tidak didera oleh rasa takut dan kesedihan. Dalam pengertian lain kata طيّبة juga dikiaskan Raghib al-Isfahani, dengan ungkapan yang berbunyi: ما تستلذة الحواسو وما تستلذة النفس, yang bermakna suatu hal yang menyenangkan bagi panca indera dan menyenangkan pula bagi jiwa. Apabila ditarik dalam konteks tujuan pendidikan, semestinya pendidikan bertujuan untuk mendorong peserta didik untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Dalam pengertian kehidupan yang lebih nyaman dan sejahtera dari sebelumnya, di mana segala sesuatunya menyenangkan baik secara fisik maupun kejiwaan, sehingga tidak ada rasa takut dan kekhawatiran akan kesulitan dalam menjalani hidup. Karena ilmu yang didapatkan dari proses pengajaran telah menambah kemampuan hard skill maupun soft skill dan profesionalitas di bidang yang menjadi fokus keahliannya. Yang harus dicatat bahwa konsep kenyamanan dan kesenangan disini tidak sama dengan konsep kesenangan (pleasure) yang dikembangkan oleh paham filsafat epikureanisme, yang memandang kesenangan secara materialistik.
Istilah حياة طيّبةparalel dengan istilah حلالا طيّبة yang bermakna bahwa pencapaian kehidupan yang nyaman dan sejahtera sudah seharusnya didapatkan dari proses-proses dan sumber-sumber yang bersih dari hal-hal yang meragukan (syubhat) apalagi yang jelas-jelas dilarang (haram). Dalam hal ini pendidikan anti korupsi menjadi sangat relevan untuk memberi pemahaman kepada peserta didik bahwa kesenangan yang didapatkan dari cara-cara yang kotor, tidak akan memberi manfaat apapun bagi jiwa. Selain itu dari fenomena menjamurnya perilaku menyimpang tersebut di negara ini, membuktikan bahwa pendidikan telah gagal, dan telah keluar dari koridor tujuan ideal pendidikan yang menjadikan aspek ibadah sebagai nilai yang elan vital bagi setiap peserta didik.
D. Back To Basic Pendidikan Islam.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa konsepsi teleologis pendidikan Islam yang ada belum menyentuh persoalan yang paling mendasar, yaitu tercapainya kualitas hidup yang lebih baik. Oleh karena itu mengambil inspirasi dari ayat 97 Surah an-Nahl, dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan utama yaitu hayatan thayyibah, atau kehidupan yang baik dengan kualitas fisik maupun non-fisik (ruhaniah). Untuk mencapai hal tersebut seseorang harus melaksanakan dua prinsip penting, yaitu amal shalih dan keberimanan.
Kemudian yang dimaksud dengan back to basic pendidikan, yaitu mengembalikan tujuan pendidikan kepada tujuan eksistensial manusia untuk hidup, dalam artian memberikan bekal dalam bentuk kompetensi untuk menjalani kehidupan. Belajar dari dunia hewan, bahwa semua hewan yang dilahirkan oleh induknya, sejak lahir dilatih daya instingtif-nya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan mendapatkan pelatihan dari induknya agar memiliki kompetensi di dalam bertahan hidup, baik bertahan hidup dari ancaman hewan lain maupun kemampuan berburu atau mencari makanan. Oleh karena itu pendidikan seharusnya mengantarkan peserta didik supaya hidup, atau memiliki kompetensi untuk hidup, yang di dalam bahasa al-Qur’an diistilahkan dengan amal shalih.
Istilah amal di sini juga dimaknai sebagai kegiatan yang kompetitif dan produktif yang mendatangkan imbal balik yang positif baik secara material maupun spiritual. Sementara itu istilah shalih erat kaitan maknanya dengan istilah hasan yang bermakna kebaikan yang fungsional, maka shalih juga bermakna menciptakan kedamaian dan keselamatan. Oleh karena itu amal shalih −sebagaimana termaktub dalam surah al-Ashr dan al-Tiin− adalah suatu kegiatan yang mengantarkan seseorang agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan (husrin) dan posisi akhir derajat manusia yang paling rendah (asfala saafilin).
Tercapainya hayatan thayyibah yang menjadi tujuan pendidikan Islam, dapat dilihat pada tujuh indikator yang juga merupakan tujuh hukum kebaikan yang bersifat universal, yaitu: (1) memiliki tubuh fisik baik, dimana tubuh selalu dalam kondisi sehat, bersih, rapi, bugar, dan kuat; (2) memiliki perangai budiman dan perilaku akhlaq yang tinggi; (3) memiliki perilaku beragama yang baik dan menghargai pluralitas budaya dan keyakinan; (4) bekerja dengan sungguh-sungguh sebagai pemenuhan tanggung jawab kehidupan; (5) memiliki kesadaran tinggi di dalam kehidupan sosial bermasyarakat; (6) memiliki integritas yang tinggi dalam bidang pendidikan dan kreativitas ilmiah; (7) memiliki kesadaran tinggi terhadap pelestarian alam dan lingkungan.
Di atas semua itu, proyeksi keberimanan menjadi core values bagi upaya pencapaian hayatan thayyibah, dimana orientasi keberimanan tidak lagi bersifat individualistik, akan tetapi orientasi vertikal kepada Allah. Yaitu segala sesuatunya dilandaskan pada motivasi utama yaitu mencari keridhaan Allah, sehingga etos kerja, etos sosial, etos budaya, etos ilmiah, senantiasa bernafaskan nilai-nilai keberimanan dan keberislaman. Hal tersebut dapat dilihat dari redaksi ayat yang berbunyi و هو مؤمن bukan و آمن .
E. Problematika Internal dan Konsepsi Diri.
Apabila interpretasi ayat di atas dihadapkan pada konteks kekinian, dengan melihat realitas pendidikan Islam pada saat ini, terlihat ada jurang yang tajam antara tataran konseptual dan realitas sosial, budaya kemasyarakatan umat Islam pada umumnya. Di mana keluaran lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki hard skill dan soft skill yang memadai, di samping karena kurikulum pendidikan yang serba tanggung sehingga membuat keluaran lembaga pendidikan Islam tidak menjadi sosok yang profesional di bidangnya. Akibatnya keluaran pendidikan Islam menjadi penyumbang terbesar tingginya angka pengangguran di Indonesia.
Kondisi tersebut di atas bisa saja bersumber dari faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor internal bisa berasal dari konsep diri yang berpengaruh pada pilihan-pilihan sadar dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Faktor ekternal adalah situasi sosio-kultural maupun politik yang melingkupi sekaligus menentukan perjalanan hidup seseorang. Dalam hal ini perhatian tulisan ini lebih kepada faktor internal yang terjadi.
Dalam skema perkembangan teologi Islam, umat Islam sering menghadapi problematika pemikiran tentang persoalan takdir dan kehendak bebas. Penulis melihat asal muasal tidak adanya sensivitas sebagian umat Islam untuk meningkatkan kualitas kehidupan atau semangat enterpreneurship, karena penafsiran yang keliru atas takdir dan kehendak bebas. Selain itu pembelajaran akidah yang diterima sejak usia SD hanya menyajikan sistem ‘kalam’ yang menjemukan dan tidak mengantarkan peserta didik kepada pandangan yang positif terhadap takdir dan kehendak bebas. Akibatnya yang timbul justru pandangan fatalistik. Di sisi lain juga terjadi mis-konsepsi atas konsep-konsep seperti zuhud, qana’ah, wara’ dan sebagainya.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan memiliki dua aspek, aspek ekternalnya adalah bahwa pendidikan merupakan proses pewarisan budaya, sedangkan aspek internalnya, pendidikan adalah pengembangan potensi. Oleh karena itu pengembangan potensi diri mengalami stagnasi karena mind set dan cara pandang yang salah tentang konsep diri dan kehidupan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Padahal al-Qur’an menurut Murtadha Mutahhari telah mendeskripsikan secara terang bahwa manusia sebagai makhluk terpilih untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifah), serta makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang di dalamnya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi. Selain itu manusia mampu menaklukkan alam serta bebas pula memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan melalui pengetahuan ilmiah yang mereka miliki. Mereka mampu membangun diri dan menentukan masa depan mereka atas dasar kuasa membentuk diri yang ada dalam diri mereka. Semua mazhab moralitas, ajaran agama, dan doktrin pendidikan dimaksudkan untuk membimbing manusia ke arah pembentukan diri semacam itu.
Bersesuaian dengan penjelasan di atas, pandangan diri yang fatalistik umat Islam kebanyakan berasal dari kesalahan pengertian tentang kehendak Allah yang mengandung arti hukum dan keputusan dan dipahami secara deterministik. Padahal menurut Aisyah Abdurrahman (Bintusy-Syathi) pada detail makna terdapat perbedaan yang substansial antara kehendak Allah dan kehendak makhluk, di mana bagi makhluk, kehendak selalu bermakna kesenangan, pilihan bebas dan implementasi. Bintusy-Syathi menambahkan:
bahwa istilah kesenangan (الرغبة) itu merupakan permulaan kehendak الإرادة)) dan ketegasan ( ( العزمadalah salah satu prasyaratnya. Setelah ditelusuri, kata (الرغبة) al-Qur’an sama sekali tidak pernah disandarkan dan dikaitkan untuk Allah SWT. Akar kata رغب dalam al-Qur’an digunakan sebanyak delapan kali, dan semuanya diterapkan untuk makhluk, bukan untuk Khaliq. Demikian pula kata العزم tidak sekalipun disandarkan kepada Allah. Tidak pernah Allah digambarkan sebagai pemilik 'azam. Tetapi kata itu selalu diterapkan untuk hamba-hamba-Nya, baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk masdar, sebanyak sembilan kali dengan makna keteguhan dan implementasi.

Pencapaian kualitas kehidupan hanya bisa didapatkan dengan budaya kerja atau etos kerja yang tinggi. Dalam konteks al-Qur’an budaya kerja disejajarkan dengan terma ‘amal saleh’ yang dimaksud dengan kegiatan produkif yang menghasilkan keuntungan (benefit). al-Qur’an tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi seorang muslim untuk menganggur di sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Fa idza faraghta fanshab (QS Alam Nasyrah [94]: 7). Menurut Quraish Syihab, kata faraghta yang terambil dari kata (faragh) yang berarti “kosong setelah sebelumnya penuh”. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan proses dinamis dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya yang menuntut etos kerja yang tinggi. Kata fanshab antara lain, berarti berat atau letih. Pada mulanya ia berarti “menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap”. Fanshab seakar dengan kata nashib atau “nasib” yang biasa dipahami sebagai “bagian tertentu yang diperoleh dalam kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, serta tidak dapat/sulit dielakkan. Quraish Shihab menambahkan bahwa manusia dituntut untuk melakukan usaha atau dalam bahasa al-Qur’an, sa’i. Usaha tersebut harus bertolak dari Shafa, yang arti harfiahnya kesucian dan berakhir di Marwah. Bila ini terpenuhi usaha akan berakhir dengan kepuasan atau Marwah.
Pencapaian kualitas kehidupan biasanya dibuktikan secara mudah dengan kepemilikan atas materi atau kekayaan. al-Qur’an menggunakan istilah ghina yang terulang dalam berbagai bentuknya sebanyak 73 kali, dan pada umumnya diterjemahkan dengan “kaya”, serta dipahami secara keliru dalam arti “memiliki materi yang banyak”. Karena dalam konsep Islam kemiskinan ruhani lebih berbahaya daripada kemiskinan materi, karena kemiskinan ruhani dapat menghambat manusia mencapai tujuan hidupnya yang hakiki. Walaupun demikian al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berjuang meraih kehidupan duniawi. Salah satu indikatornya adalah seorang Muslim diajari agar berdoa dan berusaha meraih hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-akhirah. Allah Swt melalui al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menjelajahi bumi yang terhampar untuk mencari rezekinya. Selain itu istilah yang digunakan untuk menunjukkan anugerah-Nya, adalah fadhl yang berarti “kelebihan”. Jika demikian itu halnya, maka lanjut Quraish Shihab, pemilahan kekayaan dan kemiskinan pada dua sisi material dan spiritual, bukanlah berarti mengalihkan perjuangan kekayaan hanya semata-mata kekayaan spiritual, tetapi perjuangan tersebut adalah untuk mengingatkan manusia agar tidak larut dalam memperbanyak dan menumpuk harta benda, sebagaimana yang, antara lain diingatkan oleh sural al-Takatsur. Dengan demikian al-Qur’an telah memberikan proporsi dan garis demarkasi yang jelas bagi orang-orang yang ingin meningkatkan kualitas kehidupannya. Konsep hayatan thayyibah menjadi sasaran penting bagi proyeksi pendidikan, maka sudah semestinya pendidikan mengembangkan potensi diri peserta didik, agar di dikemudian hari tercipta kehidupan yang lebih bermartabat dan berkualitas.

F. Penutup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para pakar pendidikan Islam telah mendefinisikan tujuan pendidikan yang sangat berkait erat dengan pandangan hidup umat Islam itu sendiri, yaitu tujuan penciptaan. Sehingga segala sesuatunya dilandaskan kepada konsep penghambaan kepada Allah (ibadah), dan pengambilan peran kependidikan dimaknai sebagai mandat dari Allah, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Dalam hal ini tujuan pendidikan seperti ini berada pada level idealistik.
Dengan mengambil inspirasi dari surah an-Nahl ayat 97, bahwa proyeksi pendidikan semestinya juga bertujuan untuk mengembangkan potensi diri dan aktualisasi potensi sumber daya manusia dalam bentuk pembentukan karakter dan mental serta profesionalisme di dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Sehingga keluaran pendidikan Islam adalah orang-orang yang bersiap untuk melakukan kegiatan amal shalih yang produktif dan memberi kontribusi yang signifikan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik (hayatan thayyibah). Perspektif yang realistik terhadap tujuan pendidikan menjadi sangat penting ditengah pandangan masyarakat yang mengangggap keluaran pendidikan Islam hanya berfungsi sebagai pelengkap penderita simbol-simbol agama. Wallahu A’lam Bisshawwab.
Bibliografi.
al-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Bait wal Madrasah wal-Mujtama’, Dar al-Fikr, Damaskus, 1996.
Ali, Nizar “Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Hadits”, dalam Nizar Ali dan Sumedi. (ed), Antologi Pendidikan Islam, Prodi Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Kalijaga dan Idea Press, Yogyakarta, 2010.
al-Syaibani, Muhammad Oemar al-Thoumy, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahri, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Abdurrahman, Aisyah (Bintusy-Syathi), Manusia: Sensivitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief, LKPSM, Yogyakarta, 1997.
al-Jamaly, Muhammad Fadhil, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya 1986.
Hitami, Munzir, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, Infinite Press, Yogyakarta, 2004.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1995.
Mutahhari, Murtadha, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, terj. Sugeng Rijono dan Farid Gaban, Mizan, Bandung 1989.
Quthb, Muhammad, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Dar al-Syuruq, Beirut, 1983.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2005.
Shihab, Muhammad Quraish, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2000.

METODE ILMU PENGETAHUAN (Hasil Bacaan Atas Tema Methods in Science Ian G Barbour)

Abstraksi
Pembahasan mengenai metode-metode dalam sains menjadi sangat penting disaat terjadi perdebatan panjang dari kalangan ilmuan baik dari kalangan ahli di bidang sains fisik maupun di bidang sains spekulatif. Dimana hal itu kemudian memicu perumusan model-model perumusan teori baik dalam skala deduktif-induktif, maupun dalam skema rasional-empiris, yang kemudian terjadi eskalasi penting dalam apek metodologis mengenai posisi sains atau ilmu pengetahuan merupakan teori yang berdiri sendiri, sebagaimana diyakini oleh penyokong induktivisme dan falsifikasionisme. Yang kemudian mendapat respon dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam sebuah paradigma, atau serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset ilmiah. Dalam hal ini Barbour menyuguhkan suatu paparan yang menarik tentang metode-metode sains, dalam upaya melakukan ‘dialog’ antara sains dan agama, karena studi sains tidak selamanya bersifat obyektif, dan memandang metode-metode dalam kajian non-sains, seperti agama misalnya, ternyata bersifat lebih rasional daripada bersifat dogmatis.
Kata Kunci: Metode, Teori, Sains.

A. Pendahuluan.
Istilah ‘metode’ diderivasi dari bahasa Yunani ‘methodos’ (‘jalan menuju’); sehingga secara etimologis, pengertian umumnya adalah jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu, sistem prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang dimaksud. Dalam sains ‘metode’ selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan yang ditentukan. Oleh sebab itu, dalam sains-sains spekulatif metode mengindikasikan jalan menuju proposisi-proposisi mengenai yang ada atau harus ada; sementara dalam sains-sains normatif mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan atau pembuatan sesuatu.
Dalam hal ini ada satu ungkapan yang sangat mengesankan dari Mahmud Yunus, alumni pertama Universitas Darul Ulum dari Indonesia, dalam bukunya al-Tarbiyah wa al-Ta’lim bahwa “al-Thariqat ahammu min al-maddah”. Metode atau metodologi itu sering lebih penting daripada materi atau bahan. Dari sini jelaslah bahwa metode yang baik akan selalu sangat penting. Tanpa metode semacam itu, sebagaimana biasanya, hasil-hasil yang baik sulit untuk bisa dicapai, paling tidak tanpa kerja keras yang tidak dibutuhkan. Menurut pernyataan Descartes, bahwa “memiliki pikiran yang jelas saja tidaklah cukup; poin yang penting adalah mengaplikasikannya secara jelas”, yakni, secara metodologis. Sehingga kemudian muncul berbagai macam metode misalnya seperti metode kritis yang digagas sejak era Socrates, metode intuitif yang diperkenalkan oleh Bergson, metode dialektis oleh Hegel dan juga Marx, metode fenomenologi oleh Husserl, metode analisis bahasa oleh Wittgenstein dan masih banyak lagi yang lainnya.
Khusus dalam sains, penggunaan metode yang benar merupakan unsur yang paling penting untuk memastikan bahwa kesimpulan dihubungkan dengan titik pijak dan fondasinya secara benar. Oleh karena itu menurut Henry Van Laer, ada beberapa ketentuan umum yang harus di amati dalam setiap metode saintifik, yaitu: (a) titik pijak harus jelas, benar dan pasti, (b) problemnya harus dibuat sesederhana mungkin, (c) koherensi harus dipertahankan, (d) Hipotesa yang dibangun secara mapan sangat berguna. Sementara itu Jujun Suriasumantri, mendeskripsikan metode saintifik dengan melihat kegunaan logika dan matematika dalam proses deduktif untuk menurunkan ramalan atau hipotesis dari pengetahuan keilmuan. Kemudian hipotesis diuji dengan konsekuensi deduktif dari hipotesis tersebut dan selanjutnya diuji kembali secara empiris dengan metode keilmuan tertentu, termasuk dengan statistika. Hal tersebut dilakukan karena dunia keilmuan adalah gabungan antara dunia empirik dan dunia rasional. Dunia rasional adalah koheren, logis, dan sistematis, dengan logika deduktif sebagai sendi pengikatnya. Di pihak lain dunia empiris yang obyektif dan berorientasi fakta apa adanya, dimana kesimpulan umum yang ditarik dari dunia empiris secara induktif merupakan batu ujian kenyataan dalam menerima atau menolak kebenaran.
Dalam hal ini Ian G. Barbour, merupakan sosok ilmuan yang menyandang dua gelar doktor pada bidang Fisika dan Teologi, menyuguhkan suatu paparan yang menarik tentang metode-metode sains, dalam upaya melakukan ‘dialog’ antara sains dan agama, karena studi sains tidak selamanya bersifat obyektif, dan memandang metode-metode dalam agama ternyata bersifat lebih rasional daripada bersifat dogmatis. Untuk hal tersebut, Barbour membaginya dalam tiga tema besar yaitu: (1) membahas Pengalaman dan Penafsiran dalam Ilmu Pengetahuan, (2) Komunitas Ilmiah dan Bahasanya, dan (3) Hubungan Konsep Ilmiah dengan Realitas. Sebagaimana akan dijelaskan berikut.
B. Pengalaman dan Penafsiran Dalam Ilmu Pengetahuan.
1. Interaksi Eksperimen dan Teori
Menurut Barbour meskipun data ilmu pengetahuan tidak pernah menjadi “fakta dasar” mereka selalu didasarkan pada data dunia umum. Dalam beberapa kasus data ilmu pengetahuan mungkin diperoleh oleh observasi dan deskripsi, dan dalam kasus lain dari eksperimen terkontrol dan pengukuran kuantitatif yang teliti. Data tersebut “bisa dibuktikan secara publik”, bukan karena “siapapun” bisa membuktikannya, karena data tersebut menggambarkan pengalaman umum komunitas ilmiah pada waktu tertentu. Karenanya selalu ada komponen interpretif yang muncul. Maka, lanjut Barbour, garis demarkasi antara “observasi” dan “teori” tidaklah tajam karena perbedaannya lebih bersifat pragmatis dan berubah dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tujuan penyelidikan langsung yang berbeda.
Selain itu mengenai hukum yang terkandung dalam interaksi eksperimen dan teori bisa dalam bentuk korelasi antara dua konsep atau lebih yang terkait erat dengan yang dapat diamati. Ini bisa diletakkan dalam bentuk grafik, persamaan, atau ungkapan verbal hubungan timbal balik di antara konsep, dan mereka mempunyai tingkat generalitas dan abstraksi yang beraneka ragam. Hukum di sini menurut Barbour, juga bisa mengindikasikan hubungan yang dapat dikatakan kausal dan bisa juga tidak. Banyak hukum mengungkapkan variasi yang terjadi bersamaan atau ketergantungan fungsional yang tidak disertai implikasi yang merubah satu variabel adalah ‘sebab’ perubahan pada variabel lainnya. Oleh karena itu dari penyatuan dan generalisasi skema konseptual yang berasal dari hukum tersebut, maka lahirlah yang disebut teori. Dibandingkan dengan hukum, teori adalah perluasan dari observasi langsung dan lebih komprehensif, menghubungkan lingkup fenomena lebih besar dengan generalitas yang lebih tinggi.
2. Perumusan Teori
Kemudian bagaimana teori dirumuskan?, Ian G. Barbour merumuskannya melalui tiga model saluran penalaran, yaitu deduksi, induksi dan imajinasi kreatif. Deduktif merupakan proses pengambilan kesimpulan untuk mencapai kebenaran melalui pemikiran dari perkara umum menuju ke khusus. Aplikasi deduktif diatur oleh dua prinsip, yang disebut ‘dictum de omni’ dan ‘dictum de nullo’. ‘Dictum de omni’ menyatakan bahwa apapun yang diaffirmasi di dalam keseluruhan logis maka diaffirmasi di dalam setiap bagian dari keseluruhan ini. Walaupun demikian, prinsip deduktif tidak luput dari kelemahan. Dengan premis mayor yang dianggap sudah menjadi pengetahuan yang pasti dan benar, maka konsekuensinya adalah bahwa silogisme ketegoriknya tidak menawarkan pengetahuan baru. Bahkan John Stuart Mill (1806-1873) menegaskan bahwa setiap deduksi adalah pseudo-deduksi, karena menurutnya gagasan-gagasan universal dan penilaian-penilaian universal adalah mustahil.
Apabila ditarik dalam konteks pemikiran keislaman, tampaknya pola deduktif mendominasi perumusan teori-teori keislaman, hal tersebut terlihat pada kecenderungan, text-book oriented atau ulama-oriented, dimana merupakan akibat dari terlalu mudahnya melakukan generalisasi yang merupakan kesimpulan mentah dari grand-concept yang abstrak dan umum, serta kurangnya melakukan pengamatan di lapangan secara empirik-faktual. Akibatnya mudah terjadi truth-claim yang berujung pada timbulnya friksi dan kekerasan.
Adapun induksi, adalah proses dimana premis dari argumennya diyakini dapat membantu mencapai kesimpulan umum, namun tidak memastikannya. Prinsip ini digunakan untuk menggambarkan beberapa bentuk hubungan yang didasarkan pada tanda, misalnya satu atau beberapa bagian dari pengamatan dan pengalaman, atau merumuskan hukum atas dasar observasi terbatas dari pola gejala yang berulang-ulang.
Menurut Aristoteles, induksi merupakan satu-satunya cara dimana manusia bisa memeroleh wawasan intelektual. Induksi merupakan jalan yang menghantarkan dari tingkat inderawi dan individual menuju tingkat universal. Dalam suatu pengertian, induksi lebih natural bagi manusia ketimbang deduksi, walaupun deduksi memberikan pengetahuan yang lebih sempurna karena ia mulai dari yang universal, yang memiliki tingkat inteligibilitas yang lebih tinggi. Sementara itu, Charles Sanders Peirce mempertanyakan proses induktif, menurutnya dalam kerangka logic of discovery, kita mengkonstruksi hipotesis baru dari reruntuhan hipotesis yang telah gagal, dan menguji norma-norma yang mengarahkan kita dalam menetapkan hipotesis mana yang layak diujikan. Dalam hal ini Peirce menawarkan model perumusan abduktif, yang melibatkan tiga macam penyimpulan sekaligus, yaitu hipotesis, deduksi, dan induksi.
Menurut Ian G. Barbour, selain prinsip deduksi dan induksi, ada yang disebut dengan proses imajinasi kreatif. Dimana banyak ide kreatif telah terjadi tanpa diduga dalam kilasan intuitif, sebagaimana peristiwa ketika Archimedes berteriak “Eureka” dalam bak mandinya, dan Newton yang terinpirasi dengan jatuhnya sebuah apel untuk teori gravitasi dan revolusi Bulan. Barbour menambahkan bahwa dalam perumusan teori, imajinasi kreatif melampaui proses penalaran yang sangat logis.
Di dalam konteks pemikiran Islam, perumusan teori di atas dapat dipertimbangkan untuk menjadi suatu komposisi pemikiran terpadu untuk mengembangkan tradisi berfikir analitis-kritis atau reflektif, yang tampaknya ekuivalen dengan tradisi ijtihad dalam Islam. sebagaimana ditegaskan oleh Abdurrahman Assegaf, bahwa tradisi ijtihad menuntun seorang muslim untuk bersikap akademik dan terbuka untuk menerima perbedaan pendapat (qaabil li an-niqasy). Berfikir akademik juga menuntun seseorang agar bersikap fleksibel dan toleran terhadap hasil pemikiran orang lain secara kontekstual. Sebagaimana terlihat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum kelas professional ulama muncul, terdapat fluiditas pemikiran dan budaya toleransi yang tinggi.
3. Kriteria untuk Mengevaluasi Teori
Dalam hal mengevaluasi sebuah teori, Barbour menetapkan tiga kriteria yaitu: (a) hubugan dengan data yang dapat dihasilkan kembali dalam komunitas ilmiah. Kesesuaian empiris adalah sifat krusial teori yang dapat diterima, dimana teori adalah sebuah “tiket penyimpulan”, sebuah teknik untuk menyimpulkan hubungan yang dapat diamati dan diuji. (b) mengacu pada hubungan di antara konsep teoritis. Konsistensi dan koherensi secara berurutan berarti tidak adanya kontradiksi logis dan adanya hubungan bertingkat di antara konsep di dalam struktur internal teori tertentu, atau dengan konsep teori lain yang dianggap valid. (c) berhadapan dengan kekomprehensifan sebuah teori. Dalam hal ini termasuk generalitas awalnya, atau kemampuan untuk menunjukkan kesatuan pokok dalam fenomena yang kelihatan berbeda.
Sebagian besar teori, menurut Barbour, dapat dikatakan sebagai sebuah teori apabila teori tersebut memiliki kesesuaian yang lebih baik dengan data yang diketahui dan lebih koheren dan komprehensif daripada teori alternatif yang ada pada saat itu. Sementara itu, lain halnya dengan Karl R. Popper, yang menurutnya, suatu teori dikatakan ilmiah, jika ia dapat difalsifikasi atau dibuktikan kesalahannya, bukan dibuktikan kebenarannya dengan observasi dan eksperimen, karena observasi dan eksperimen tidak dapat membenarkan suatu teori. Begitupula halnya teori-teori ilmiah, menurut Popper, bukan hasil olahan dari observasi, tetapi temuan-temuan, dugaan-dugaan yang dikemukakan dengan berani sebagai percobaan untuk dieliminasi jika mereka berlawanan dengan observasi.
Di sisi lain, menurut Imre Lakatos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah adalah rangkaian teori-teori, dan bukannya teori tunggal yang berdiri sendiri. Rangkaian teori-teori itu antara satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan suatu kontinuitas yang menyatukan teori-teori tersebut menjadi program-program riset. Oleh Lakatos, dalam metode riset ilmiah ada dua aturan metodologis, yaitu metode yang memberitahukan cara atau jalan yang harus dihindari (heuristik negatif) dan metode mana yang harus dijalankan (heuristik positif).
C. Komunitas Ilmiah dan Bahasanya.
1. Komunitas Ilmiah dan Paradigmanya
Menurut Barbour, eksistensi komunitas ilmiah selalu esensial untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana keberadaan The Royal Society dan French Academy yang merupakan faktor penting dalam kelahiran ilmu pengetahuan. Komunitas ilmiah, seperti beberapa kelompok dalam masyarakat, memiliki seperangkat sikap yang dipengaruhi tetapi tidak identik dengan seperangkat sikap budaya umumnya. T.S. Kuhn juga menjelaskan bahwa komunitas ilmiah punya otoritas dalam mendukung asumsi tertentu dengan paradigmanya. Paradigma adalah “contoh standar” karya ilmiah yang diterima oleh sekelompok ilmuan tertentu pada waktu tertentu. Selain itu tidak ada otoritas yang lebih tinggi selain komunitas ilmiah untuk mengambil keputusan di antara paradigma tersebut.
Tesis T.S. Kuhn tersebut kemudian mendapat kritik dari Barbour, dimana ia menjelaskan bahwa Kuhn telah melebih-lebihkan karakter acak perubahan paradigma. Kenyataannya sebuah paradigma bisa berfungsi mengarahkan tradisi penelitian dengan cara yang menyatu; tetapi ketika menggambarkan paradigma, kita harus berusaha membedakan berbagai macam komponennya, karena mereka dievaluasi dengan berbagai cara. Di samping itu paradigma secara tidak langsung mentransmisikan beberapa praduga tentang alam yang sangat umum. Barbour menambahkan bahwa meskipun Kuhn secara absah menyerang pandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat kumulatif, tetapi dia gagal mengindikasikan bahwa bahkan dalam sebuah “revolusi” banyak karakteristik tradisi sebelumnya yang dipertahankan setelah terjadinya perubahan. Dalam artian bahwa ketika sebagian besar data telah diperoleh, akan ada banyak asumsi dan metode yang berlaku ditinggalkan. Karena itu ada kontinuitas, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang relatif matang, dan ada kemajuan, meskipun jarang yang ada dalam satu garis lurus.
2. Karakter Simbolis Bahasa Ilmiah
Salah satu unsur terpenting dalam konstruksi sains adalah adalah apa yang disebut abstraksi. Menurut Van Laer, isi yang dikandung oleh konsep abstraksi mencerminkan realitas hanya dalam suatu cara yang tidak komplit, yaitu sejauh isi kognitif tidak hanya berisi partikularia-partikularia individual kongkrit yang jika partikularia-partikularia individual kongkrit ini tidak ada maka benda itu pun tidak ada.
Setiap komunitas ilmiah menurut Barbour mempunyai bahasa simbolis tertentu yang digunakan untuk menafsirkan beberapa aspek pengalamannya. Suatu jenis konsep yang digunakan dan pola pemikiran yang diwujudkan dengan bahasa yang ditentukan berdasarkan asumsi dan minat komunitas ilmiah tersebut. Oleh karena itu bahasa setiap komunitas penyelidikan adalah abstraktif dan selektif dan menggantikan pengalaman kompleks dengan konsep simbolis dan sketsa diagramatis aspek-aspek yang menarik tersebut.
Menurut Barbour, pada abad sebelumnya, karakter simbolis bahasa ilmiah ini diabaikan; ilmu pengetahuan diasumsikan memberikan sebuah deskripsi literal tentang sebuah dunia obyektif. Konsepnya adalah pemikiran yang sama sebagai sebuah replika yang tepat dan utuh tentang alam sebagaimana adanya, yang mana pandangan tersebut disebut Barbour sebagai “realisme naif’. Sedangkan saat ini konsep-konsep yang dianggap sebagai simbol hanya menghadapi aspek-aspek fenomena tertentu untuk mencapai tujuan khusus dan terbatas. Kontribusi pikiran manusia pada penemuan, dan peran imajinasi dan kreativitas dalam perumusan teori baru, diakui secara luas. Konsep tidak diberikan sudah jadi oleh alam; konsep adalah adalah istilah dalam sistem simbol manusia.
3. Penggunaan Analogi dan Model
Secara umum prinsip analogi menurut Van Laer adalah fenomena-fenomena yang mirip (analog) memiliki kausa-kausa, sifat-sifat atau akibat-akibat yang sama. Prinsip analogi mengekspresikan kebenaran yang tidak terbantahkan apabila: (a) aplikasinya terbatas pada fenomena-fenomena deterministik, yaitu fenomena-fenomena yang karena sifat dasar alamiahnya bisa bekerja hanya dalam satu cara; (b) kemiripan dimaksud menunjuk tidak hanya pada kualitas-kualitas atau hubungan-hubungan aksidental, tetapi benar-benar esensial. Sehingga probabilitas konklusi akan diproporsikan secara langsung pada keluasan dan kepastian kemiripan yang diobservasi.
Sementara itu Barbour mendefinisikan model sebagai sebuah analogi sistematik yang dipostulatkan di antara sebuah fenomena yang hukum-hukumnya telah diketahui dan ada di bawah penyelidikan. Karenanya tidak diragukan lagi telah menjadi sumber teori ilmiah yang produktif. Misalnya teori gelombang cahaya sebagian besar dikembangkan melalui analogi dengan sifat gelombang suara. Akan tetapi yang harus dicatat, tegas Barbour, bahwa analogi hanyalah kesamaan beberapa beberapa karakter dan bukan semua karakter, sedangkan model hanya menyatakan kemungkinan hipotesis yang harus diuji secara eksperimental, dan teori adalah gambaran simbolis dan selektif.
D. Hubungan Konsep Ilmiah dengan Realitas.
1. Teori Sebagai Rangkuman Data (Positivisme)
Auguste Comte sebagai pelopor paham positivisme menegaskan bahwa sains bukanlah pengetahuan tentang kausa, tetapi semata-mata deskripsi tentang regularitas di dalam alam, tentang “bagaimana” kejadian-kejadian di dunia. Oleh karena itu teori-teori eksplanatori disingkirkan tanpa harapan untuk diingat; hanya teori-teori deskriptif atau teori-teori yang mengklasifikasi sajalah yang mampu menemukan rahmat.
Ada dua varian utama positivisme. Menurut fenomentalis, objek fisik itu adalah konstruksi logis di luar data indrawi. Mill mengajukannya dengan mengatakan bahwa objek-objek adalah “kemungkinan permanen dari sensasi”. Semua pembicaraan tentang objek, menurut kaum fenomentalis, bisa direduksi ke dalam pembicaraan tentang data indrawi. Sementara, menurut versi fisikalis, bahwa data memerlukan penerjemahan semua pernyataan konseptual menjadi “bahasa sesuatu” yakni, pernyataan tentang peristiwa dalam dunia publik atau hasil eksperimen langsung. Dalam kata lain semua konsep harus didefinisikan secara operasional dan diukur dengan prosedur laboratorium yang bisa diidentifikasi.
Kaum positivisme berasumsi bahwa apa yang ada dan berguna saja yang secara prinsip bisa diverivikasi. Pertanyaan tentang nilai suatu teori atau makna suatu ‘penjelasan’ tidaklah berarti, karena tidak ada jawaban yang bisa diverifikasi bisa diberikan. Dalam hal ini Barbour menyatakan, bahwa sebuah teori diambil sebagai sebuah penjelasan fenomena secara tepat karena teori menggunakan ide dengan tingkat logika yang berbeda dan mempunyai kekomprehensifan dan generalitas yang lebih besar daripada fenomena itu sendiri. Karena itu, ia menganggap bahwa positivisme telah gagal dalam menggambarkan peran krusial konsep dan teori dalam sejarah ilmu pengetahuan seperti bentuk empirisisme awal.
2. Teori Sebagai Alat yang Bermanfaat (Instrumentalisme)
Paham instrumentalisme menganggap bahwa pengalaman adalah lingkungan yang merangsang individual untuk memodifikasi lingkungan. Sehingga pengalaman adalah proses interaktif suatu organisme, termasuk manusia, dengan lingkungannya. Selain itu pengetahuan dan pikiran, dipahami hanya berfungsi sebagai alat semata untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Barbour menjelaskan, bahwa instrumentalis memberikan peranan yang lebih besar pada penciptaan skema konseptual imajinatif orang yang memahami daripada kelompok positivis. Karena bagi paham instrumentalis teori berfungsi sebagai alat penyelidikan. Teori diyakini sebagai (a) alat penghitungan untuk memberikan prediksi yang akurat, (b) mengorganisasi panduan untuk mengarahkan eksperimen lebih lanjut, dan (c) alat praktis untuk mencapai kontrol teknis. Mereka dinilai berdasarkan manfaatnya untuk mencapai tujuan-tujuan ini, bukan berdasarkan kebenaran atau kesalahannya.
Pandangan instrumentalis mendapat kritik pada enam hal. Pertama, pandangan ini dinyatakan tidak memiliki basis metafisika yang memadai, karena kajian spekulatif terhadap hakikat realitas hanya akan membuang-buang waktu semata. Kedua, instrumentalis memandang mind hanya alat yang secara biologis membantu manusia untuk survive. Ketiga, kebenaran adalah buatan manusia dan tidak memiliki eksistensi yang independen, sehingga tidak dapat diterima begitu saja. Keempat, jika teori adalah sekadar untuk memenuhi keinginan, bagaimana mungkin teori bisa memenuhi objektifitas dalam penelitian. Kelima, instrumentalisme lebih menekankan pada tujuan-tujuan pragmatis, bukan pada tujuan esensial yang seharusnya dicari.
Walaupun demikian, dalam konteks kajian keislaman. teori intrumentalisme dapat dimanfaatkan sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena pengalaman keagamaan. Fenomena shalat, misalnya dapat dipahami dari sudut pandang ini. Dimana shalat merupakan instrumen penting dalam konfigurasi keimanan umat Islam. Selain itu shalat sebenarnya adalah salah satu upaya manusia melakukan penyesuaian, harmonisasi, atau penyelarasan terhadap alam sekitar yang dipandang problematis demi memenuhi kebutuhan dan tujuannya, yakni kedamaian di muka bumi. Ketika timbul kekerasan dalam beragama, maka shalat bisa menjadi variabel penting dalam penelitian ilmiah.
3. Teori Sebagai Struktur Mental (Idealisme)
Bagi kaum idealis, khususnya kaum Kantian (pengikut Immanuel Kant), sebagaimana dijelaskan oleh Van Laer, bahwa pengetahuan manusia merupakan suatu proses subyektif dimana indera dan intelek, pada saat stimulus-stimulus inderawi ekternal memproduksi obyek pengetahuan itu sendiri yang dengan demikian berarti pada umumnya menentukan isi yang diketahui. Berkat ‘bentuk-bentuk pikiran’ alamiah, kita terpaksa harus menata fenomena-fenomena menurut kategori-ketegori tertentu, semisal unitas dan pluralitas, substansi dan aksidensi, kausalitas dan lain-lain. Realitas fenomena-fenomena itu bukanlah ukuran pemikiran kita, tetapi intelek itu sendiri yang menjadi ukuran. Tatanan yang kita kira memahami dan mengetahui, bukanlah tatanan benda-benda di dalam dirinya sendiri, tetapi tatanan yang, berkat struktur alami pikiran kita, kita masukkan ke dalam produk-produk kita dalam mengetahui. Bagi pandangan ini teori tiada lain hanyalah suatu penataan fenomena-fenomena di dalam diri kita secara subyektif sejalan dengan hukum-hukum pikiran alamiah; suatu teori eksplanatori adalah suatu teori yang menunjukkan bahwa data-data pengalaman bisa ditata menurut kategori kausalitas.
Menyikapi hal ini, Bertrand Russel berasumsi bahwa kaum idealis salah paham terhadap apa yang dimaksud dengan sesuatu yang ada dalam pikiran. Ia mengatakan jika kita memikirkan seseorang, ada perasaan yang kita miliki bahwa orang itu “dalam pikiran”. Tentu saja, mereka harus berada dalam pikiran kita, dalam pengertian tertentu, kita memikirkan mereka. Tetapi jelaslah, itu tidak bermaksud bahwa orang yang sebenarnya (actual person) berjalan mengitari kepala kita. Dengan cara yang sama, ketika kita merasakan sebuah objek, kita butuh ide yang pasti di kepala kita. Tetapi tidaklah penting maksudnya adalah bentuk, tekstur, warnanya sendiri sebenarnya ada di kepala kita. Adalah kebenaran yang tidak bisa disangkal lagi untuk mengatakan bahwa untuk mengetahui sebuah objek kita perlu memiliki ide mental tentang objek itu. Tetapi tidak berarti bahwa objek tidak lain dari ide ini. Oleh karena itu pandangan idealisme dianggap sebagai kesadaran intuitif dan tidak masuk akal.
4. Teori Sebagai Gambaran Dunia (Realisme)
Realisme adalah pandangan berdasarkan anggapan umum (common-sense view), yang mengasumsikan bahwa objek-objek ada secara bebas dari persepsi kita tentang objek-objek tersebut. Menurut kaum realis, ada dunia dari benda-benda nyata, memiliki bentangan nyata, sifat-sifat nyata dan aktivitas-aktivitas nyata. Lebih lanjut, kaum realis menerima bahwa pengalaman inderawi mampu memberikan gambar yang bisa dipercaya tentang dunia, sehingga bagi setiap impresi (kesan) inderawi spesifik ada realitas saintifik tertentu yang sejajar di luar dunia kita. Tetapi pengetahuan inderawi ini secara formal tidak sama dengan realitas, tetapi hanya analog dengannya.
Ketika diterapkan dalam teori, tampak jelas bahwa teori-teori saintifik harus secara tepat didasarkan pada pengalaman memberikan gambaran yang bisa dipercaya tentang dunia. Paham ini meyakini bahwa ada hubungan faktual antara fenomena-fenomena dalam hubungan timbal-balik dan interdependensinya, dan, dalam kasus-kasus yang tepat, eksistensi tendensi atau arah tertentu di dalam pengembangan benda-benda nyata.
Barbour menjelaskan bahwa berbeda dengan positivis, realis menegaskan bahwa kenyataan tidak dapat diamati. Berbeda dengan instrumentalis, realis menegaskan bahwa konsep valid adalah benar serta bermanfaat. Berbeda dengan idealis, realis menyatakan bahwa konsep menggambarkan struktur kejadian di dunia.
Menurut Whitehead, −salah seorang filsuf realis modern penemu “filsafat proses”− sebagaimana dijelaskan oleh Barbour, berpandangan bahwa materi mentah pengalaman telah memiliki kesatuan, yang dimengerti secara integral dengan seluruh kemampuan; dan pengalaman ini meliputi pengetahuan tentang interaksi bersama dengan lingkungan. Hanya dengan analisis kita dapat mengabstraksi “data indera” dari totalitas yang kita pahami. Kita memberikan reaksi dan respon, bukan mengisolasi keadaan mental. Kesadaran primitif kita adalah tentang kehidupan di dunia, bukan tentang membentuk kehidupan. Whitehead, jelas Barbour, berbicara tentang “sebuah kesadaran diri kita sendiri, sebagai kesadaran dari hubungan akrab, interkoneksitas, dan partisipasi dalam proses pencapaian di luar diri kita sendiri.
Dalam menyimpulkan pandangan realisme Whitehead, Barbour menjelaskan, bahwa Whitehead memberikan penekanan pentingnya objek pengetahuan, bukan subjek pengetahuan, tetapi peran subjek sama sekali tidak dihilangkan, karena (a) realitas tidak terdiri dari sesuatu, tetapi peritiwa yang terjadi dalam jaringan hubungan yang meliputi orang yang mengetahui dan objek yang diketahui; (b) pengetahuan bukan berasal dari subjek atau objek saja, tetapi dari sebuah situasi interaksi bersama, dan (c) bahasa ilmiah adalah simbolis, berasal dari abstraksi selektif subjek dari situasi total.
E. Catatan Akhir.
Pada akhirnya proses kegiatan keilmuan adalah “proses” yang tidak pernah usai, dan perumusan “metode” dalam perkembangan sains selalu mengikuti perkembangan zaman dan kemanusiaan. Dimana secara mendasar seorang akademisi atau ilmuan, memulainya dengan merumuskan masalah, pengajuan hipotesis dan pengujian terhadap kebenaran dengan landasan teoritis dan metodologi tertentu.
Dalam hal ini Ian G. Barbour berupaya mendedahkan secara gamblang tentang metode-metode sains dalam kerangka berfikir komprehensif yang dimulai dari pembahasan mengenai problematika pengalaman dan penafsiran dalam ilmu pengetahuan dengan menganalisis pola interaksi eksperimen dan teori, bagaimana pola merumuskan sebuah teori, serta kriteria-kriteria di dalam melakukan evaluasi terhadap teori. Selanjutnya Barbour menjelaskan tentang peranan interaksi komunitas ilmiah dan bahasanya, termasuk peranan paradigmanya. Di samping itu bagaimana sesungguhnya karakter simbolis bahasa ilmiah, berikut pola penggunaan analogi dan model. Pada bagian akhir, Barbour menjelaskan pola relasi antara konsep ilmiah dengan realitas, dengan menelaah pandangan paham positivisme, instrumentalisme, idealisme, dan realisme.
Dari hal tersebut disimpulkan, pertama, bahwa ilmuan mempunyai kebiasaan menjadikan karya-karya ilmiah dengan asumsi-asumsi realisme, sehingga pada umumnya karya ilmiah tersebut dikatakan semata-mata suatu ‘penemuan’ saintifik, bukan penciptaan. Dalam artian hakikat keilmuan hanya diletakkan pada basis pemahaman saintifik belaka, tidak dalam pengertian sebagai sebuah karya kreatif dari sebuah daya cipta yang merupakan anugerah terbesar dari hakekat tertinggi dari seluruh penciptaan (Tuhan). Inilah yang disebut Barbour dengan sebutan realisme naif yang memandang teori sampai kepada kita dalam kondisi sudah jadi oleh alam. Oleh karena itu timbul pandangan realisme kritis yang menegaskan peran susunan mental dan aktivitas imajinatif dalam perumusan teori, dan menegaskan bahwa beberapa gagasan yang sesuai dengan observasi lebih baik daripada gagasan lain yang hanya disebabkan oleh peristiwa yang mempunyai pola obyektif.
Kedua, bahwa para ilmuan baik dari kalangan positivis, dan idealis yang berdebat tentang pemahaman terhadap alam dengan kriteria empiris dan rasional yang mereka ajukan, dimana positivis telah gagal menyatakan bahwa semua data sesungguhnya bermuatan teori, dan bahwa hanya jaringan teori dan eksperimen yang dapat diuji bersama-sama. Sementara kelompok idealis di lain pihak telah gagal menekankan dasar empiris ilmu pengetahuan modern yang sudah pasti berbeda dengan “prinsip pembuktian –diri” ilmu pengetahuan abad pertengahan dan “bentuk pemikiran yang disangka benar”dari neo-kantianisme. Sehingga penekanan yang berlebihan pada kriteria empiris atau rasional justru semakin mengaburkan karakter aktivitas ilmiah.
Ketiga, bahwa aktivitas ilmiah adalah sebuah fenomena banyak aspek yang melibatkan eksperimen dan teori yang tidak hanya diambil untuk menciptakan ilmu pengetahuan. Usaha ilmiah membutuhkan proses logis dan sebuah imajinasi kreatif yang melampaui logika dan bersifat intuitif. Di samping itu teori dievaluasi berdasarkan kesepakatan empiris, koherensi rasional, dan kekomprehensifan. Sementara aktivitas individual dan originalitas adalah signifikan tetapi terjadi dalam tradisi komunitas ilmiah dan di bawah pengaruh paradigmanya. Bahasa ilmiah mengacu pada dunia secara simbolis dan parsial, dimana kadang-kadang menggunakan analogi dan model dalam ruang lingkup terbatas.
Keempat, Teori yang dihasilkan bersifat relatif (nisbi), karena sangat mungkin dimasa depan diperbaiki, dimodifikasi, atau dalam kasus yang jarang, digulingkan dalam sebuah “revolusi” besar. Namun teori ilmiah mempunyai sebuah keterandalan, dan komunitas ilmiah akhirnya mencapai konsensus. Selain itu, meskipun beberapa aspek pengetahuan ilmiah berubah, banyak aspek yang dipertahankan dan berkontribusi pada sebuah kemajuan kumulatif menyeluruh yang berbeda dari kemajuan disiplin ilmu lainnya. Wallahu A’lamu Bishawwab.

Bibliografi
Assegaf, Abdurrahman, “Reorientasi Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Hadharah Al-‘Ilm, dalam Nizar Ali dan Sumedi. (ed), Antologi Pendidikan Islam, Prodi Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Kalijaga dan Idea Press, Yogyakarta, 2010.
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berfikir, LESFI, Yogyakarta, 2008.
Baggini, Julian, Lima Tema Utama Filsafat, terj. Nur Zain Hae, Teraju, Bandung, 2004.
Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Descartes, Rene, Discourse On Method Meditations, Translated by John Veitch dalam The Rationalist, A Dolphin Book, New York, 1960.
Madjid , Nurcholish, “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, Jauhar Vol. 1 Nomor 1 (Desember 2000),
Popper, Karl R. , “Philosophy of Science”, dalam C.A. Mace (ed.), British Philosophy in the Mid-Century, Allen and Unwin, London, 1957.
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, George Allen & Unwin Ltd, London, 1996
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001.
Van Laer, Henry, Filsafat Sains, terj. Yudian W. Asmin dan Torang Rambe, LPMI, Yogyakarta, 1995.
Zubaedi, dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains Thomas Kuhn, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta, 2007.

Integrasi Sains dan Agama dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam

A. Pendahuluan.
Membicarakan persoalan sains dan agama, kita akan sampai pada pembahasan mengenai interaksi sains dan agama pada level simbolik sekaligus maknawi. Secara geneologis kita bisa melihat kompleksitas interaksi agama dan sains pada perdebatan antara dimensi keimanan yang dipahami secara tekstual dan paham ilmu yang meminggirkan doktrin agama karena kerap dianggap tidak sesuai dengan dalil-dalil akal sehat. Padahal ilmu dan agama lahir dari rahim yang sama yaitu wilayah “pengalaman” kemanusiaan. Pengalaman yang dimaksud bisa bersifat hushuli maupun hudhuri.
Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan oleh anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu-terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif.
Ada juga yang memandang bahwa sains dan agama berdiri pada posisinya masing-masing, karena bidang ilmu mengandalkan data yang didukung secara empiris untuk memastikan apa yang "nyata" dan apa yang tidak, agama sebaliknya siap menerima yang gaib dan tidak pasti hanya didasarkan pada variabel berwujud dari "iman" dan kepercayaan. Bahwa agama dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan.
Di sisi lain, banyak filsuf ilmu pengetahuan berpikir sebaliknya. Thomas S. Kuhn menegaskan ilmu yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, yang mirip dengan perspektif sekuler pada agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa itu hanyalah sebuah komitmen untuk universalitas yang melindungi terhadap subyektivitas dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan detasemen pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi metode ilmiah. Polanyi lebih lanjut menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat pribadi dan karenanya ilmuwan harus melakukan sangat pribadi jika tidak perlu berperan subjektif ketika melakukan sains. Polanyi menambahkan bahwa ilmuwan sering hanya mengikuti intuisi dari "keindahan simetri, intelektual, dan 'kesepakatan empiris’. Bagi Polanyi, perlu diadakan ilmu yang membutuhkan komitmen moral yang sama dengan yang ditemukan dalam agama. Hal yang sama juga ditegaskan oleh dua fisikawan, Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling, keduanya mengklaim bahwa "metode sains dan agama memiliki banyak kesamaan". Schilling menegaskan bahwa kedua bidang-sains dan agama-memiliki "tiga struktur-pengalaman, interpretasi teoritis, dan aplikasi praktis". Coulson menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, seperti agama, " adalah uang muka bagi imajinasi kreatif" dan bukan "hanya mengumpulkan fakta," sementara menyatakan agama mau tidak mau harus "melibatkan refleksi kritis pada pengalaman yang tidak berbeda dengan yang terjadi di ilmu pengetahuan.". Bahasa agama dan bahasa ilmiah juga menunjukkan paralelitas.
Menyikapi hal tersebut, Ian G. Barbour yang merupakan seorang fisikawan-cum-agamawan, mengusulkan empat potensi model tentang hubungan sains-agama. Yaitu, Konflik, Independensi, Dialog dan Integrasi.. Sementara bagi Barbour, tampaknya perlu melakukan advokasi tentang Integrasi, dengan asumsi bahwa kedua disiplin ilmu dan agama bisa saling mendapatkan manfaat dari pendekatan-pendekatan tertentu.
Persoalan yang muncul sekarang adalah bagaimana melakukan integrasi antara sains dan agama, dan integrasi seperti apa yang dapat dilakukan?. Dalam wacana sains dan agama, integrasi dalam pengertian generiknya adalah usaha untuk memadukan sains dan agama. J. Sudarminta, SJ, misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” (istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah). Fenomena ini hampir mirip dengan istilah Bucailisme, yang merupakan sikap defensif-apologetik sebagian intelektual Muslim.
Dengan demikian, upaya untuk menghubungan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”, dan tak jelas lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru (untuk sains dan/atau agama), yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan.
Dalam kasus paradigma epistemologi Islam, integrasi antara agama dan sains adalah sesuatu yang mungkin adanya, karena didasarkan pada gagasan Keesaan (tauhid). Dalam hal ini, ilmu pengetahuan, studi tentang alam, dianggap terkait dengan konsep Tauhid (Keesaan Tuhan), seperti juga semua cabang pengetahuan lainnya. Dalam Islam, alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari pandangan holistik Islam pada Tuhan, kemanusiaan, dan dunia. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan dan alam adalah berkesinambungan dengan agama dan Tuhan. Hubungan ini menyiratkan aspek yang suci untuk mengejar pengetahuan ilmiah oleh umat Islam, karena alam itu sendiri dilihat dalam Al Qur'an sebagai kumpulan tanda-tanda menunjuk kepada Tuhan. Secara normatif, sejak awal diwahyukannya, al-Qur’an, melalui surah al-Alaq 1-5, sudah tergambar bahwa konstruksi pengetahuan dalam Islam dibangun di atas nilai-nilai tauhid. Dari ayat-ayat yang pertama turun tersebut terlihat bahwa ada perintah untuk “membaca” yang merupakan proses pencapaian ilmu pengetahuan dengan rambu-rambu “atas nama Tuhan”. Sehingga proses pencapaian ilmu pengetahuan semestinya ekuivalen dengan proses makrifat kepada Tuhan.

B. Tipologi Integrasi: dari Sains Tradisional, Teologi Alam (Theology of Nature), hingga Kisah Baru Sains (New Story of Science).
1. Sains Tradisional.
Gagasan tentang integrasi sains dan agama di dalam konteks peradaban Islam diidentikkan oleh S.H. Nasr dengan terminologi sains tradisional, untuk membedakan secara umum dengan sains era modern yang positivistik dan reduksionistik. Sains dalam konteks peradaban Islam dipandang sebagai sebuah tradisi ilmiah dan intelektual yang senantiasa berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut. Para ilmuan Muslim, dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka ragam sains, telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Menurut Osman Bakar sains tradisional hidup dalam hampir setiap peradaban pra-modern. Namun disebabkan sifat dasarnya sendiri, sains ini mengandung kesulitan tertentu bagi pikiran ilmiah modern. Ini karena sains tersebut mensyaratkan pengakuan atas wahyu ilahi dan intuisi intelektual sebagai dua sumber fundamental yang nyata bagi pengetahuan obyektif. Ia juga mensyaratkan penerimaan tingkat eksistensi yang lain dari eksistensi fisik dan realitas hirarkis alam semesta. Syarat-syarat ini bertentangan dengan banyak asumsi dasar sains modern.
Walaupun demikian, pandangan tentang kemajemukan metode dalam sains tradisional mendapat mendapatkan pengakuan umum di kalangan sejarahwan dan filosof sains kontemporer. Sebagian mereka telah memperluasnya hingga bahkan menerima Kitab Suci sebagai komponen yang tak dapat dipisahkan dari pluralitas metodologi. Sebagaimana yang diungkap oleh Paul Feyerabend dalam bukunya Against Method, bahwa dalam masyarakat dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi agama masa abad tengah. Ilmu pengetahuan mempunyai kuasa mutlak. Kendati dalam masyarakat seseorang boleh memilih agama atau tidak, tetapi ia tetap mau tak mau harus memilih ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan tidak menjalankan fungsinya untuk membebaskan manusia, tetapi justru memperbudaknya. Demikian pula, sejumlah ilmuan profesional, terutama fisikawan, dari R. Oppenheimer dan E. Schrodinger hingga Fritjof Capra, telah berpaling pada doktrin-doktrin Timur dengan harapan menemukan solusi dari beberapa dilema dan masalah yang ditemui di ujung perbatasan fisika modern. Akan tetapi tokoh-tokoh tersebut tidak bermaksud untuk menyelaraskan sains modern dengan status epistemologis yang sama seperti yang diberikan oleh sains-sains tradisional. Jika sains modern melakukan hal yang persis seperti itu, menurut S.H. Nasr, hal itu berarti telah terjadi proses transformasi spiritual atau kelahiran kembali manusia modern.
Di dalam sains tradisional, aspek kosmologi mampu untuk menjadi “alat integrasi konseptual” karena tujuannya adalah “untuk mengadakan sebuah sains yang memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu dan hubungan tingkat-tingkat hirarki kosmik satu sama lain dan akhirnya dengan Prinsip Tertinggi. Dengan demikian ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman ke dalam keterpaduan.
2. Teologi Alam (Theologi of Nature).
Sementara itu Ian G. Barbour merumuskan konsepsi integrasi agama dan sains, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu (Natural Theology), atau dari sisi agama (Teology of Nature). Alternatifnya adalah berupaya menyatukan keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan, misalnya Process Philosophy. Maka Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung usaha penyatuan melalui Theology of Nature yang digabungkan dengan penggunaan Process Philosophy secara berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah dukungannya terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah pandangannya justru lebih berat pada dialog atau perbincangan.
Integrasi teologis yang digagas oleh Barbour, yaitu teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologisnya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada apa yang disampaikan oleh isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.
Paling tidak ada lima isu penting yang diajukan Barbour di dalam menyimpulkan tentang pentingnya Teologi Alam, yaitu: Pertama, kedudukan alam di dalam Teologi, yakni bahwa kendati teologi harus berawal dari wahyu sejarah dan pengalaman personal, teologi juga harus meliputi sebuah teologi alam yang tidak mengecilkan atau mengabaikan tatanan kosmis alam semesta. Hal itu untuk membantah pandangan neo-ortodoksi, bahwa alam tetaplah tahap yang tidak terselamatkan dalam drama penyelamatan manusia. Juga pandangan eksistensialisme, bahwa dunia adalah lingkungan impersonal untuk eksistensi personal manusia. Begitupula pandangan analisis lingusitik yang menyatakan bahwa alam tidak punya kesamaan fungsi dengan wacana tentang Tuhan. Kedua, Perangai alam sebagai proses yang dinamis, yakni pandangan bahwa alam memiliki kelenturan juga struktur, kebaruan, dan keterbukaan, juga keteraturan. Dalam hal ini Barbour mengikuti pendapat Neo-Thomisme, Pollard, dan Whitehead, sebagai bantahan atas pandangan Gereja yang statis terhadap dunia dengan segala ciptaan dalam bentuknya sekarang. Juga pandangan konsepsi fisika awal tentang alam yang bersifat deterministis dan mekanis. Begitupula pandangan eksistensialis, seperti oleh Bultmann, yang menganggap dunia sebagai ini sebagai suatu tatanan mekanis yang kaku, sebuah sistem hukum kausalitas yang yang benar-benar tertutup, termasuk tertutup bagi intervensi Tuhan di dalamnya. Ketiga, bahwa adanya Kekuasaan Tertinggi Tuhan di Alam, yakni Penciptaan berkelanjutan. Keempat, yakni peranan penting metafisika, dalam hal ini, Barbour mengajukan Filsafat Proses dalam teologinya. Kelima, yaitu adanya tindakan Tuhan di alam, dimana Tuhan sebagai pengaruh berdaya cipta.
3. Kisah Baru Sains (New Story of Sains).
Pandangan ini digagas oleh Robert M. Augros dan George N. Stanciu lewat bukunya The New Story of Science (1985). Story di sini diartikan sebagai cara pandang baru terhadap dunia kosmis oleh sebuah peradaban, yaitu suatu kerangka untuk memahami dan mengevaluasi alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Menurut pandangan ini, berturut-turut selama abad ke 17, 18 dan 19 berlangsung suatu perkembangan bertahap dalam bidang fisika dan kosmologi yang semakin materialistik dan reduksionis dalam cara pandang terhadap alam semesta. Hal tersebut mengakibatkan runtuhnya secara gradual kepercayaan religius dan nilai-nilai rohani yang dimiliki manusia. Konsep-konsep pikiran dan fenomena mental tidak begitu diacuhkan lagi, bahkan ditolak keberadaannya. Kurun waktu tersebut, kemudian disebut dengan Old Story (Kisah Lama).
Akan tetapi pada abad ke-20 ini berlangsung suatu Kisah Baru (New Story), dengan adanya sebuah revolusi di bidang fisika dan kosmologi yang begitu dramatis, sejak tahun 1903. Mula-mula dalam dunia fisika yang dipelopori oleh Einstein, Bohr, dan Heisenberg; kemudian dalam bidang neurosains dengan pakar-pakar seperti Sherrington, Eccles, Sperry, dan Penfield; terus berlanjut dalam disiplin ilmu psikologi dengan Frankl, Maslow dan May; dan akhirnya dalam kosmologi yang tampak dengan teori dentuman besar (Big Bang). Dengan demikian muncullah sebuah konsep yang dikenal sebagai The Anthropic Principle yang memperjuangkan tema-tema besar yang sinonim dengan tema-tema besar agama, yakni tentang “tujuan dalam hidup ini”, eksistensi Ketuhanan, pandangan estetik dalam hidup, faktor-faktor ruhaniah, serta martabat kemanusiaan.
Kalau dalam Kisah Lama sains, seperti pandangan yang dimiliki Galilei dan Descartes, bahwa dunia adalah dunia objektif yang sudah dilucuti dari segala kualitas indera dan pikiran, atau sebaliknya dunia subjektif semata seperti yang diungkapkan oleh Berkeley, Hume, Kant atau Sartre, maka dalam pemahaman baru dari Kisah Baru dunia telah dikembalikan pada peranan pada peranan yang sentral dari manusia. Dalam Kisah Baru, diajukan tiga dimensi penting dalam pandangannya terhadap dunia, yakni; mengenai keluasannya (vastness), sifat menggabungkan (unity), dan kecerahan (light). Tradisi baru ini berupaya menjauhkan diri dari segala bentuk materialisme dan saintisme. Salah satu trend yang menggejala dalam Kisah Baru sains adalah berkembangnya sains dengan visi holistik. Sains dengan visi holistik inilah yang menciptakan dan memperkaya pertanyaan filosofis –yang sebenarnya klasik namun dengan nuansa-nuansa yang baru− antara lain, mengenai keberadaan Tuhan, penciptaan dan finalitas.
Visi holistik dari Kisah Baru sains menemukan momentumnya dengan penelitian mutakhir tentang kaitan agama dengan sains, seperti halnya studi tentang korelasi antara religiusitas dan kecerdasan (sering IQ, tetapi juga faktor lainnya). Sebuah studi baru pada serotonin reseptor dan religiusitas menunjukkan hubungan antara kepadatan rendah reseptor serotonin dan pengalaman keagamaan yang intens. Yang juga menarik populer adalah studi tentang doa dan obat-obatan, khususnya apakah ada hubungan kausal atau korelasi antara doa spiritual dan peningkatan kesehatan. Survei oleh Gallup, National Opinion Research Centre dan Organisasi Pew menyimpulkan bahwa komitmen spiritual orang dua kali lebih mungkin untuk melaporkan telah "sangat bahagia" daripada orang-orang yang tidak memiliki komitmen agama. Selain itu, analisis lebih dari 200 studi sosial tentang "kereligiusan tinggi memprediksi agak menurunkan resiko depresi dan penyalahgunaan narkoba dan upaya bunuh diri, dan laporan dari kepuasan dengan kehidupan dan rasa kesejahteraan". Juga lebih dari 498 penelitian yang diterbitkan di jurnal-jurnal yang menyimpulkan bahwa sebagian besar penelitian ini menunjukkan korelasi positif antara komitmen agama dan tingkat yang lebih tinggi dalam merasakan kesejahteraan dan harga diri, dan tingkat yang lebih rendah dari hipertensi, depresi dan kenakalan klinis. Survei lainnya juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara iman dan altruisme. Studi yang dilakukan oleh Keith Ward menunjukkan bahwa agama secara keseluruhan adalah kontributor positif untuk kesehatan mental. Michael Argyle dan lain mengklaim bahwa ada sedikit atau tidak ada bukti bahwa agama pernah menyebabkan gangguan mental.

C. Integrasi Sains dan Agama dalam Konteks Pendidikan Islam.
Menurut al-Kailani, jika dicermati kajian-kajian pendidikan Islam yang ada maka sebagian besar di antaranya tampak masih bercorak diskriptif, normatif, dan adoptif serta dalam bayang-bayang “Barat sentris” atau sebaliknya, “Salaf sentris”. Tradisi salaf yang berusia seribu tahun yang mengalami kemacetan di abad-abad akhir, sesungguhnya memiliki khazanah intelektual yang kaya dan sangat canggih, dan keluaran dari sistem pendidikan Islam adalah sosok-sosok yang orisinal, tokoh-tokoh yang sangat sintetis dan kreatif dalam peradaban Islam. Dari fakta historis tersebut terdapat asumsi dasar bahwa pendidikan Islam memiliki pengalaman khusus mengenai kesatuan organik antara sains dan agama. Karena sains pra-modern seperti Cina, India, dan peradaban Islam memiliki perbedaan mendasar dengan sains modern, misalnya dalam hal tujuan, metodologi, sumber-sumber inspirasi, dan asumsi-asumsi filosofis mereka tentang manusia, pengetahuan, dan realitas alam semesta.
Perbedaan mendasar inilah yang menimbulkan kerumitan tersendiri, karena pendidikan baru dalam Islam yang dicangkok dari organisme hidup yang lain di Barat, yang mempunyai latar belakang budaya dan struktur internal serta konsistensinya sendiri. Walaupun pendidikan Islam masa lalu mempunyai pengalaman melakukan proses adapsi terhadap filsafat dan sains Yunani dengan terma-termanya sendiri. Tetapi pendidikan Islam menghadapi sains-sains Barat modern pada posisi yang tak menguntungkan –secara psikologis maupun intelektual− karena dominasi politik, agresi ekonomi dan hegemoni intelektual Barat.
Akibatnya, pendidikan baru yang membawa semangat sains modern yang memiliki pandangan yang minus terhadap agama tidak terintegrasi dengan baik pada sistem pendidikan Islam. Pada titik inilah kemudian terjadi dikotomisasi antara bidang agama dan sains modern di dunia pendidikan Islam. Hal ini pada akhirnya menimbulkan kerugian di antara keduanya karena tidak adanya integrasi timbal balik, sehingga pendidikan Islam mengalami berbagai krisis, diantaranya krisis konseptual, kelembagaan metodologi atau pedagogik, dan krisis orientasi. Pendek kata, pendidikan Islam memang tengah mengalami degradasi fungsional yang dinilai jauh lebih akut dibandingkan dengan hal serupa yang dialami oleh sistem pendidikan umum yang tidak secara lugas memasukkan dimensi keagamaan (baca: keislaman).
Realitas objektif tentang terjadinya anomali dan degradasi di dunia pendidikan Islam juga dikarenakan lembaga pendidikan Islam yang menghasilkan tenaga pengajar profesional mengalami krisis, sebagaimana yang dikesankan oleh Amin Abdullah, bahwa proses transformasi pendidikan di Fakultas Tarbiyah menjadi demikian normatif untuk tidak mengatakan dogmatik. Kalau ditelusuri ke dalamnya, bahwa fakultas ini belum melandasi epistemologi penyelenggaraannya dengan dasar yang kritis dan mencerahkan.
Kaitannya dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan Islam saat ini adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin Sains dalam Islam (Inter-discipline Sciences in Islam). Paradigma integratif ini sudah waktunya dikembangkan dalam abad modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban baru yang akan menggeser peradaban saat ini yang menurut hemat penulis sudah diambang kebangkrutan dilihat dari berbagai indikator fisik dan non-fisik. Dengan sistem pendidikan yang baru dimana kurikulum yang diajarkan merupakan penyatuan utuh antara nilai wahyu dan sains. Maka diharapkan para alumni lembaga pendidikan Islam mampu menjabarkan kaedah-kaedah sains dan agama dalam bentuk cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holistik) di masyarakat sehingga dimasa depan terciptalah tatanan masyarakat yang lebih baik.
Dengan demikian, pendidikan Islam di masa mendatang harus memberi prioritas pada materi pembelajaran yang akan membantu untuk menghasilkan ilmuan-ilmuan, teknolog-teknolog, dan insinyur-insinyur, serta kelompok profesional lain, yang peran dan kontribusinya sangat penting bagi kemajuan ekonomi. Tetapi hal juga berarti sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar berkepentingan untuk menghasilkan sejenis ilmuan, teknolog, atau insinyur, yang berbicara agama secara kualitatif, tidak berbeda dari mereka yang dihasilkan oleh kebanyakan pendidikan umum. Tetapi, ia harus berkepentingan untuk mendidik ilmuan-ilmuan, insinyur-insinyur, serta teknolog-teknolog “jenis baru” yang terinternalisasi di dalam dirinya kebijakan dan pengetahuan, iman spiritual dan pikiran rasional, kreativitas dan wawasan moral, kekuatan inovatif dan kebaikan etis, serta sensivitas ekologis berkembang sepenuhnya secara harmonis tanpa meruntuhkan kemungkinan bagi mereka untuk mencapai keunggulan dan kegemilangan dalam bidang dan spesialisasi masing-masing.
Dari kerangka dasar semacam itu, pendidikan Islam kemudian didudukkan dalam sistem klasifikasi keilmuan teoantroposentris-integralistik, yaitu sistem klasifikasi yang memadukan secara integral antara transmitted knowledges dan acquired knowledges melalui penggunaan pendekatan dan metodologi keilmuan interdisipliner (integrasi dan interkoneksi). Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang eksklusif dan terkucilkan (isolated entities), tetapi justru menjadi disiplin ilmu yang responsif terhadap berbagai permasalahan yang aktual (current issues).

D. Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.
Hubungan antara pendidikan Islam yang ada, baik dalam ranah hadharat an-nash, hadharat al-ilm, maupun hadharat al-falsafah, perlu dilihat dari perpektif dialog atau bahkan integrasi. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh Amin Abdullah, harus memiliki kaitan erat dengan dimensi praksis-sosial karena senantiasa memiliki dampak sosial dan dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial sehingga ia tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoretis-konseptual seperti yang dipahami selama ini. Selain itu pendidikan semestinya digunakan untuk mengenalkan peserta didik pada tradisi, budaya, sosial dan kondisi budaya, yang dalam waktu yang sama telah direduksi oleh sains modern, teknologi dan industrialisasi. Sehingga pendidikan sekarang harus diarahkan pada kekuatan positif untuk membangun kultur budaya baru dan mengeliminasi patologi sosial. George S. Counts menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki visi dan prospek untuk perubahan sosial secara radikal dan mengimplementasikan proyek tersebut.
Dengan adanya paradigma integratif dalam konteks keilmuan antara transmitted knowledges dan acquired knowledges diharapkan tercipta atmosfir akademik yang holistik dan tidak parsial. Sehingga sekat-sekat spesialisasi bidang pengetahuan tertentu tidak mengakibatkan terbentuknya wawasan miopik-narsistik, dan jangkauan pengetahuan juga tidak membatasi diri pada fakta atau pengenalan finalitas yang bersifat imanen, yang segala sesuatunya hanya dilihat pada makna “pragmatisnya”. Akan tetapi juga keberadaan makna atau finalitas ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, yakni sesuatu yang berada diluar (beyond) sains yang merupakan signifikansi dan arah sesuatu dalam pengertian “teleologisnya”.
Dengan demikian, paradigma integratif, akan mampu menjembatani kesenjangan yang tajam antara pendidikan umum dan pendidikan agama, karena madrasah sebagai salah satu bentuk pembaruan sistem pendidikan Islam (pesantren) di kurun modern masih saja menghadapi problematika institusional-keilmuan dan metodologis. Akibatnya, institusi ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan problem dualisme dikotomis keilmuan, problem fungsional “cagar budaya”, dan dominasi metodologi justifikatif-indoktrinatif dalam kegiatan akademik. Selain itu paradigma pendidikan Islam yang integratif, akan melahirkan sikap inklusif, sehingga tidak merespon perkembangan hanya dengan cara-cara reaksioner, apalagi menjadikannya dirinya sebagai the living ground of radicalism.
Implikasi dalam hal kurikulum, bisa dalam bentuk penyusunan silabus di sekitar dua isu fundamental, yakni (1) epistemologi, dan (2) etika. Topik-topik yang termasuk ke dalam epistemologi terutama berbicara tentang status epistemologis sains-sains terapan dan rekayasa, hubungan konseptualnya dengan prinsip-prinsip tauhid (yaitu, pengetahuan metafisika dan kosmologi) yang mengatur dunia fisik (natural), dengan metodologi ilmiah dan pemikiran kreatif (termasuk inspirasi matematika) dan dengan implikasi-implikasi epistemologis aspek-aspek tertentu dari kreativitas manusia dalam sains terapan dan rekayasa kontemporer, khususnya dalam rekayasa genetika. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kurikulum yang ada, akan mengantarkan peserta didik agar memiliki hasrat dan kemampuan untuk melakukan penelitian (riset) pada bidang-bidang sains untuk kemudian menemukan “titik sambungnya” dengan realitas objektif yang terjadi pada wilayah keagamaan.
Sedangkan implikasi di dalam proses belajar mengajar, dimana salah satu gagasan menarik dari Ian G. Barbour, mengenai peranan penting imajinasi kreatif sebagai metode alternatif selain metode deduktif dan induktif, karena dalam perumusan teori, imajinasi kreatif melampaui proses penalaran yang sangat logis. Yakni sudah banyak fenomena yang muncul tentang peranan guru-guru tertentu dengan kekuatan imajinasi kreatif yang dimilikinya mampu menciptakan metode-metode tertentu agar siswanya bisa menyerap pelajaran secara cepat dan lengkap. Demikian pula peranan seorang guru di dalam menciptakan desain pembelajaran yang aplikatif, misalnya dengan mengubah tata ruang dan penambahan tampilan (display) ruang kelas sehingga mampu menstimulasi gairah belajar peserta didik. Kesemuanya itu membutuhkan daya kreatifitas seorang guru agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif.
Sementara itu implikasinya dalam aspek pendidikan sosial keagamaan, dengan paradigma integratif, para peserta didik akan diajak untuk berfikir holistik dan tidak parsial dalam menghayati majemuknya keyakinan dan keberagamaan. Misalnya, dengan melakukan kunjungan secara rutin ke tempat ibadah dari agama yang berbeda, dan mendapatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip etik yang dimiliki oleh semua agama. Dengan itu juga siswa diberikan pemahaman, bahwa ada satu hal yang menyatukan semua agama dalam suatu ikatan yang disebut dengan “pengalaman keesaan” yang mana setiap agama punya tafsir berbeda sesuai dengan perspektif kitab suci masing-masing. Selain itu diajarkan bahwa perdamaian di dunia dapat dicapai dengan pengalaman Keesaan oleh setiap individu.
Dalam proses ini pendidikan memainkan peranan yang menentukan dalam proses integrasi ilmu dan agama, suatu proses yang akan mengapresiasi hasil-hasil teoritis pengetahuan dan pengalaman praktis abadi-sifat ilahi yang digali dari pengalaman pribadi masing-masing. Dari sini dengan sendirinya tumbuh imajinasi kreatif untuk menghayati pola keyakinan yang bersifat majemuk, sehingga tumbuh kesadaran kreatif untuk menghormati orang lain yang mempunyai keyakinan dan agama yang berbeda.
Dalam bentuk lain, bisa dengan mengajak siswa untuk mencari simbol-simbol harmonisasi yang terbentang di alam raya, untuk kemudian diinterpretasikan menjadi model-model integrasi antara sains dan agama. Misalnya, dalam studi holtikultura, untuk integrasi ilmu dan agama dengan model bunga matahari. Contohnya siswa dilatih untuk mengembangkan imajinasi kreatifnya dengan menjelaskan bunga matahari, dimana siswa menjelaskan kelopaknya yang mewakili berbagai budaya, mitologi, ilmu pengetahuan, pendekatan spiritual, dan filosofi, dan semua berpusat di kepala bunga. Kemudian bahwa bunga tumbuh atas dasar pengalaman manusia dan kelopak merupakan model dan sistem pemikiran yang dibangun dari pengalaman manusia dan siswa diajak untuk memahami pengalaman itu. Dari situ akan tumbuh pemikiran tentang asumsi dasar bahwa sains dan agama bisa dan harus bekerja sama untuk menghasilkan pemahaman yang lebih kaya dari dunia kita. Kita mengajari siswa untuk belajar mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama pada kegiatan lapangan bahkan sambil bermain. Dengan ini, memungkinkan untuk tumbuh dalam pemahaman siswa, bahwa ilmu pengetahuan dan agama akan tumbuh bersama, untuk beradaptasi dengan satu sama lain. Lebih dari itu, proses ini akan memahamkan siswa bahwa setiap model integrasi ilmu dan agama harus mencerminkan realitas, bukan ikatan-ikatan teoretis.

E. Catatan Penutup.
Dengan demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan dikotomisasi antara agama dan sains. Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis, holistik, serta jauh dari sistem oposisi biner yang diagungkan para penganut positivistik. Dan pendidikan merupakan salah satu medium terbaik untuk tujuan tersebut, karena kunci ke arah masa depan yang lebih baik adalah pendidikan, dimana tujuan utama pendidikan adalah untuk memampukan “budaya pengetahuan integral” berakar kuat di masyarakat Muslim kontemporer, sehingga kemajuan di bidang sains dan teknologi menjadi lebih mudah untuk dicapai. (Wallahu A’lamu Bishawwab)

Appendiks: Sebuah Rekonstruksi Testimonial.
A. Lesson Learned Mata Kuliah Agama, Sains, Budaya dan Kontribusinya Terhadap Rencana Riset (Disertasi).
Ada dua hal yang di dapatkan dari proses perkuliahan ini, yaitu peranan penting, (1) Imajinasi Kreatif dan (2) Pengalaman dan Penafsiran. Persoalan imajinasi kreatif disini tidak sekedar proses “eurekaisme” dan dimensi kreatif-intuitif yang direduksi menjadi masalah kejeniusan manusia dan dirumuskan dalam term-term kategori biologis semata, akan tetapi suatu proses “objektifikasi”. Dalam kaitannya dengan rencana riset, penulis akan mencoba menggunakan metode Imajinasi Kreatif untuk mengelaborasi secara imajiner proses historis di sekitar kehidupan Umat Islam periode Makkah berdasarkan literatur sejarah yang ada untuk menggali proses “pendidikan keberimanan” para sahabat awal yang memiliki immunitas keimanan yang luar biasa di tengah kuatnya tekanan ideologi materialisme pada saat itu. Hal tersebut dilakukan untuk ditemukan implikasinya bagi proses “pendidikan keberimanan” pada masa sekarang sebagai jawaban atas fenomena dekadensi moral di dunia pendidikan. Sementara itu proses historis tersebut di atas, merupakan realitas objektif pengalaman kemanusiaan di dalam beragama, dan penafsiran yang ada merupakan tafsiran para sejarahwan yang perlu kembali direkostruksi ke dalam “tafsir baru” agar memiliki implikasi secara objektif terhadap proses pendidikan. Sesuai dengan visi baru pendidikan Islam, yaitu bahwa pendidikan Islam tidak sekadar teaching about Islam, akan tetapi juga teaching about being Muslim. Dari sini akan lahir subyek didik yang memiliki pandangan inklusif dan menghargai keragaman kepercayaan dan pluralitas budaya.
B. Proses Perubahan Pra-kuliah, Ketika kuliah, dan Post perkuliahan.
Sebelum kuliah penulis merasakan adanya “keraguan” terhadap proses dialog atau bahkan integrasi antara agama dan sains, karena perbedaan mendasar secara diametral pada watak, esensi dan metodologinya. Akan tetapi keraguan itu mulai terjawab setelah mendapatkan penjelasan dari tiga dosen pengampu mata kuliah tentang kemungkinan dan pentingnya melakukan dialog atau bahkan integrasi antara sains dan agama. Sehingga pasca perkuliahan penulis merasakan telah terjadi proses shifting paradigm di dalam diri penulis untuk kemudian menjadi proses reflektif di dalam melakukan pengembangan “paradigma baru” tersebut ke dalam tataran keilmuan keislaman. Proses ini sangat penting sebagai bekal upaya melakukan pembaharuan di dunia pendidikan Islam pada masa-masa mendatang.
C. Proses Rekonstruksi Diri.
Dengan paradigma dialog atau integrasi, dengan sendirinya perlu dilakukan upaya rekonstruksi teori dan metodologi yang selama ini dianggap pakem oleh penulis. Karena itu perlu dilakukan elaborasi secara mendalam terhadap teori dan metodologi dalam upaya dialog dan integrasi antara sains dan agama, agar ditemukan langkah-langkah operasional untuk mewujudkan visi besar tersebut ke dalam dunia pendidikan Islam. Hal itu berkait erat dengan profesi penulis sebagai pendidik baik di madrasah maupun perguruan tinggi. Sehingga penulis bisa menjadi agen-agen penting di dalam mengejawantahkan visi dialog atau integrasi di dunia pendidikan, baik pada tataran teoretis-metodologis, maupun pada kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, karena penulis juga terlibat di dalam kegiatan sosial-keagamaan, proses yang sama juga penulis lakukan di dalam memahamkan masyarakat luas tentang pentingnya paradigma dialog atau integrasi antara sains dan agama.
Salah satu implikasi dari proses rekonstruksi diri, adalah munculnya pemahaman bahwa sains adalah pengembangan dan proses analitik terhadap pengalaman rasional-empirik dunia, dan agama adalah pengembangan sintetis dan sadar terhadap suatu pengalaman dunia yang bersifat hushuli maupun hudhuri. Dalam konteks dialog dan integrasi, penulis memposisikan diri sebagai pengamat untuk mengamati dan menjadi sadar tentang model ilmiah dunia yang diciptakan oleh pikiran ilmiah, selain mengamati eksperimen yang membuktikan atau menyangkal model yang ada. Dalam konteks agama, pengamat mengamati dan menjadi sadar tentang dogma agama, aturan dan keyakinan yang bersifat majemuk, termasuk mengamati pengalaman batin, pengalaman ketuhanan, dan kesucian. Karena itu juga pengamat akan berperan sebagai integrator dari ilmu pengetahuan dan agama sebagai dasar bagi perdamaian dan harmonisasi atas perbedaan agama, ras, dan bangsa-bangsa, dan keseimbangan kehidupan bersama antara manusia dan alam. (Wallahu A’lamu Bishawwab)
Bibliografi.
Abdullah, M. Amin, ”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”, dalam M. Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta, 2004.
______________________,“Pendidikan dan Upaya Mencerdaskan Bangsa: Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia dari dakwah ke Akademik, dalam Kusmana, JM. Muslimin, (ed)., Paradigma Baru Pendidikan, IISEP dan Dirjen Pendis Departemen Agama RI, Jakarta, 2008.
______________________,“New Horizon of Islamic Studies Through Socio-Cultural Hermeneutics”, Al-Jami’ah, vol. 41, no.1, 2003.
______________________,“Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan Agama”, Makalah disampaikan dalam Forum Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 21 Februari 2000.
Azra, Azyumardi, “Praktek Pendidikan Islam , dalam Kusmana, J M. Muslimin, (ed)., Paradigma Baru Pendidikan, IISEP dan Dirjen Pendis Departemen Agama RI, Jakarta, 2008.
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, LKiS, Yogyakarta, 2008.
Barbour, Ian G., "Science and Religion Today". dalam Ian G. Barbour (ed.). Science and Religion: New Perspectives on the Dialogue (1st ed.), Evanston and London: Harper & Row: New York, 1968
_____________, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung, 2002.
_____________, Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Baqir, Zainal Abidin et. al, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan: Bandung, 2005.
Bakar, Osman Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo, Pustaka Hidayah, Bandung 1994.
Capra, Fritjof, The Tao of Physics, Boulder: Shambala, 1975.
___________, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture, Bantan edition, 1983.
Habgood, John, Religion and Science, Mills & Brown, 1964,
Iqbal, Muzaffar, Science & Islam, Greenwood Press, 2007.
Irsan al-Kailani, Majid, Falsafat at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Maktabah al-Hadi, Makkah, 1988.
Izutsu, Toshihiko God and Man in the Koran, Weltansckauung. Tokyo, 1964.
Leahy, Louis, Jika Sains Mencari Makna, Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Nasr, S.H., “The Cosmos and the Natural Order”, dalam Islamic Spirituality: Foundation, ed. S.H. Nasr, jilid 19 dari World Spirituality: An Encyclopedic History of the Religious Quest, Routledge and Kegan Paul, London, 1987.
Ozmon, Howard A., dan Craver, Samuel E., Philosophical Foundations of Education, Prentice-Hall, Inc, New Jersey, 1995.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas;Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 2000.
Schrodinger. E., My View of the World, Cambridge, 1964.
Soetomo, Greg, Sains dan Problem Ketuhanan, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Zubair, Achmad Charris, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Lesfi, Yogyakarta, 2002.
Referensi Internet.
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Relationship_between_religion_and_science&rurl=translate.google.co.id&usg=ALkJrhgRQgrgPmibDb6r1XT2Hg95GvvyQ#cite_note-86, akses pada tanggal 15/02/2011, pukul 17.00 WIB.

Pendidikan Berbasiskan Makrifat (Telaah Kitab Misykat al-Anwar Al-Ghazali dan Tahdzib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih)

A. PENDAHULUAN.
Sejak awal diwahyukannya al-Qur’an melalui surah al-Alaq 1-5, sudah tergambar bahwa konstruksi pengetahuan dalam Islam dibangun di atas nilai-nilai tauhid. Dari ayat-ayat yang pertama turun tersebut terlihat bahwa ada perintah untuk “membaca” yang merupakan proses pencapaian ilmu pengetahuan dengan rambu-rambu “atas nama Tuhan”. Sehingga proses pencapaian ilmu harus ekuivalen dengan proses makrifat. Paling tidak ada tiga aspek di dalam kelima ayat tersebut, yaitu makrifat terhadap Tuhan (Rabb), makrifat terhadap manusia (al-insan) dan makrifat terhadap alam semesta (alam). Karena Tuhan sebagai wujud absolut merupakan realitas tertinggi dan fundamental, maka salah satu target atau tujuan pendidikan Islam dengan sendirinya harus diarahkan pada upaya dan metode pengenalan dan pengakuan yang benar mengenai Tuhan.
Oleh karena itu proses pendidikan sebaiknya dilandaskan pada paradigma ketiga aspek tersebut, yaitu sejak dini harus ditanamkan pemahaman tentang ketuhanan (makrifat ar-Rabb), sebagai bekal bagi peran manusia sebagai pelaku budaya (makrifat al-insan) dan pencipta budaya (makrifat al-Alam). Hal ini menjadi penting karena secara umum telah dibedakan secara diametral antara al-ilm’ dan ma’rifat, dimana al-ilm’ dipahami semata-mata ilmu pengetahuan yang diperoleh dari proses rasio-empirik, dan ma’rifat yang pahami secara khusus sebagai pengetahuan mengenai Tuhan yang dicapai melalui gnosis atau illuminasi spiritual.
Bagaimanapun, sekurang-kurangnya ada satu hadits Qudsi terkenal yang di dalamnya Tuhan mengatakan, “Aku adalah harta terpendam (kuntu kanzan makhfiyyan), dan Aku suka untuk diketahui (melalui makrifat), maka Aku ciptakan makhluq agar Aku diketahui (fa-ahbabtu’ an u’rafa fa-khalaqtu al-khalqa li-u’rafa). Sehingga adalah kurang tepat jika makrifat dianggap sebagai kebalikan dari al-Ilm’, sebab para sufi tingkat tinggi sendiri tidak membuat pembedaan yang dualistis antara keduanya: ‘ilm adalah umum dan dan spesifik (mujmal dan mufashshal), sedangkan makrifat hanyalah spesifik (mufashshal), tetapi bukan berarti makrifat yang lebih superior.
Tulisan ini berupaya menggali kembali khazanah tentang keterkaitan antara pendidikan sebagai wahana pencarian ilmu pengetahuan dengan makrifat. Dalam hal ini karya al-Ghazali merupakan karya yang berisi wawasan filosofis mengenai upaya memahami hakikat ketuhanan (makrifat al-Rabb). Kitab Misykât al-Anwâr adalah salah satu karya terakhir al- Ghazâlî yang oleh para ahli dinilai sebagai kitab yang sangat istimewa. Di dalam kitab ini, ditemukan pandangan-pandangan esoterik dan filosofis al-Ghazâlî yang radikal. Abû al-‘Ilâ' 'Afîfî misalnya, menyimpulkan bahwa kitab Misykât menggambarkan posisi atau sikap final al-Ghazâlî dalam masalah-masalah sufistik yang mendasari pandangan akhirnya mengenai tasawuf. Sementara itu karya Ibnu Miskawaih dimunculkan dalam rangka sebagai kelanjutan dari proses makrifat terhadap Tuhan, yaitu peranan akhlaq sebagai basis moral penting dalam proyeksi pendidikan Islam, kaitannya dengan peran manusia sebagai pelaku budaya (makrifat al-Insan) dan pencipta budaya (makrifat al-Alam).

B. INFORMASI DATA.
1. Metafisika Cahaya: Pandangan al-Ghazali
Tema “Cahaya” dipahami sebagai Realitas Utama, dalam diskursus ajaran tasawuf, merupakan salah satu tema sentral dalam beberapa karya para sufi. “Cahaya” dalam banyak hal menjadi konsep favorit terminologi spiritual (tasawuf) yang biasanya dilambangkan secara metafor (majâzî) dengan pengetahuan. Ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa “Tuhan adalah cahaya langit dan bumi” (an-Nur: 24, ayat 35) yang kemudian dimensi kosmogonis dan kosmologisnya diperkuat oleh Rasul saw dengan sabdanya, “Yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah Cahaya”, telah menjadi rujukan yang absah dan mencerminkan peranan utamanya dalam tradisi keagamaan dan keilmuan Islam.
Misi utama kerasulan juga demikian, yaitu untuk membimbing manusia menuju cahaya kebenaran, bahkan al-Qur’an berkali-kali menjelaskan bahwa Tuhan menuntun manusia dari kegelapan menuju cahaya, min azh-zhulumât ilâ an-nûr. Sehingga dalam pendidikan Islam, misi utama kerasulan tersebut juga semestinya juga menjadi misi pendidikan Islam, secara metaforis, azh-zhulumât dimaknai sebagai kebodohan dan an-nûr, dimaknai sebagai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini proses transformasi dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan (cahaya), dan saluran utamanya adalah pendidikan (tarbiyah).
Al-Ghazali memulai pembahasannya dalam kitab Misykat al-Anwar dengan terlebih dahulu menjelaskan pengertian “cahaya”. Menurut al-Ghazali cahaya memiliki makna yang berbeda. Perbedaan makna ini tergantung kepada siapa yang mempersepsinya dalam hal ini al-Ghazali membagi manusia sebagai subyek yang memahami dan mempersepsi cahaya menjadi tiga golongan, yaitu kaum awwam (awam), khawashsh, dan kaum khawashsh al khawashsh.
Menurut al-Ghazali, cahaya bagi kaum awwam, menunjukkan pada sesuatu yang nampak, dan penampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Adakalanya sesuatu itu nampak tidak terhalangi oleh selainnya, dan adakalanya tersembunyi. Dengan demikian ia nampak (zhahir) dan tersembunyi (bathin) secara nisbi.
Penampakan ini bagi kaum awam bersandar sepenuhnya pada panca indera, dan yang paling kuat dan paling penting dalam hal ini adalah indera penglihatan. Selanjutnya al-Ghazâlî mengklasifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan indera penglihatan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda yang gelap.
b. Yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak menampakkan yang lainnya, seperti benda-benda yang bersinar, misalnya bintang- bintang dan bara api yang tidak menyala.
c. Yang tampak dengan sendirinya dan juga menampakkan benda benda lainnya, misalnya matahari, bulan, api yang menyala dan pelita.
Yang disebut terakhir inilah yang oleh al-Ghazâlî disebut cahaya dalam persepsi kaum awam. Dengan demikian, cahaya bagi kaum awam adalah sesuatu yang tampak oleh indera penglihatan (mata) sebagai sesuatu yang bersinar dan dapat menampakkan benda lainnya. Dalam hal ini, hal-hal yang dapat diindera oleh mata sebagai sesuatu yang bercahaya adalah hal-hal yang bersifat material, seperti matahari, bulan, api, pelita, dan lain sebagainya, yang dalam tasawuf merupakan salah satu bagian Realitas yang berderajat paling rendah. Dilihat dari struktur hierarkis pengetahuan, persepsi kaum awam mengenai cahaya yang didasarkan pada analisis data indriawi dengan pengamatan terhadap alam fisik ini berada pada tingkatan yang paling rendah. Tingkatan pemahaman ini disebut juga dengan tingkatan ilmiah, di mana alam fisik dipahami melalui indera dan pengamatan ilmiah.
Jika esensi cahaya bagi kaum awam adalah sesuatu yang tampak oleh indera penglihatan (mata) atau sesuatu yang dapat diindera oleh mata, bagi kaum khawâshsh lebih melihat kepada daya yang bisa menyerap cahaya. Menurut al-Ghazâlî, cahaya bagi mereka adalah “ruh” yang memiliki daya lihat. Oleh karena itu, bagi kaum khawâshsh, cahaya lebih utama dinisbahkan kepada ‘ruh yang melihat’ (ar-rûh al-bashîrah), sebagai suatu unsur yang harus ada dalam pencerapan (makrifat).
Dengan demikian, kaum khawâshsh dalam mempersepsi cahaya lebih menukik jauh ke dalam diri manusia. Menurut mereka, cahaya adalah “mata” yang memiliki sifat kesempurnaan, yang adakalanya disebut dengan istilah ‘aql, ruh, atau nafs. Di mata kaum khawâshsh, mata lahiriah yang disebut cahaya dalam persepsi kaum awam adalah kegelapan, dan ia merupakan satu di antara mata-mata (spion) bagi akal untuk mengawasi khazanah yang paling rendah dan melaporkannya kepada akal hingga akal dapat menetapkan keputusannya dengan tepat. Akal mampu memancarkan cahaya. Akal bukan hanya membuat kita mampu mempersepsi obyek-obyek lain, tetapi akal juga akan mampu melampaui ruang dan waktu, karena ia berasal dari realitas yang sama dengan alam ruh, yang tidak semata- mata merujuk kepada daya analitis dari otak kita.
Menurut al-Ghazâlî, kata “ruh” dan kata “hati” mempunyai makna yang sama, dan bahwa mustahil memahami keduanya melalui upaya intelektual. Secara epistemologis menurut al-Ghazali, bahwa akal manusia adalah sebuah substansi spiritual yang sumber atau prinsipnya adalah akal ilahi atau logos, yang juga merupakan prinsip dari alam makrokosmik.
Kaum sufi tampaknya sepakat bahwa mustahil mencapai makrifat tentang esensi ruh melalui akal diskursif. Akal tidak sanggup memahami cahaya-cahaya abstrak (al-Anwâr al-mujarrad). Cahaya-cahaya bisa dipahami melalui penyingkapan spiritual, atau melalui rahmat Allah. Dan ini hanya mungkin dilakukan manakala seorang menutup pintu, bukan hanya pada indera-indera eksternal, serta membebaskan hati dari segenap belenggu badani dengan tekad kuat untuk berusaha memahami berbagai hal spiritual yang abstrak. Hanya dengan cara ini sajalah esensi ruh terungkap oleh kaum sufi dan hanya dengan cara ini pula mereka memperoleh makrifat.
Dengan demikian, sejauh ini terlihat bahwa meski belum sampai kepada penjelasan makna cahaya sebagaimana yang dipahami oleh kaum khawâshsh al khawâshsh, istilah “cahaya” yang dielaborasi oleh al-Ghazâlî dalam paparan di atas tidak digunakan dalam pengertian epistemologis sepenuhnya, tetapi dimaksudkan untuk mencakup makna yang lebih luas di mana cahaya fisik hanyalah salah satu penjelmaannya. Dengan demikian, cahaya tidak hanya bersifat material, tetapi juga non material. Uraian-uraian al-Ghazâlî lebih lanjut memperlihatkan bahwa cahaya diterapkan baik pada realitas tertinggi (Tuhan) maupun makhluq. Berdasarkan pemahaman dan penafsiran tersebut, al-Ghazâlî tampaknya telah mempertimbangkan dan mempersiapkan dengan cermat untuk melangkah ke pembahasan makna cahaya yang lebih hakiki (cahaya sebagaimana yang dipahami kaum khawâshsh al-khawâshsh).
Sampai di sini al-Ghazâlî kemudian mengalihkan pembicaraan kepada antitesa dari cahaya itu, yaitu kegelapan. Menurut al-Ghazâlî, tidak ada kegelapan sepekat kegelapan ‘adam (non-eksistensi). Menurutnya,‘adam adalah kegelapan. Sebab sesuatu dinamakan gelap karena ia tidak tampak bagi penglihatan, tidak menjadi maujud bagi penglihatan, meski ia sebenarnya "ada" dalam dirinya. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak ada, baik untuk sesuatu yang lain maupun untuk dirinya sendiri, sepatutnya itulah yang dimaksud dengan kegelapan, yang menjadi lawan dari keberadaan yaitu cahaya. Di titik inilah ia dekat kepada doktrin wahdat al-wujûd. Yaitu doktrinnya yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang ada dalam wujud kecuali Allah, karena wujud segala sesuatu selain Dia adalah pinjaman atau berasal dari Dia; wujud pinjaman apa pun berada pada hukum atau sifat apa yang tiada (fî hukm al-ma’dûm). Karena itu, alam pada hakikatnya tidak mempunyai wujud. Pendapat Al-Ghazâlî tersebut tidak berbeda dengan apa yang kemudian dikemukakan oleh Ibn 'Arabî ketika menggambarkan hubungan antara Tuhan dan alam yang digambarkan dengan hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah "milik" alam. Karena itu Ibn 'Arabî mengatakan bahwa wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.
Bagi para sufi, cahaya dan kegelapan adalah pengalaman- pengalaman metaforis. Ketika Yang Mutlak tampak dalam kesadaran seorang sufi, Dia tampak sebagai kesatuan yang tak-terkotori, seperti cahaya. Semua keragaman dan kemajemukan lenyap dalam kegelapan. Dengan demikian, ketika cahaya memperlihatkan penampakan penuhnya, segala sesuatu lenyap. Cahaya menyebabkan kegelapan. Tetapi, karena semuanya kehilangan individualitasnya dan lenyap dari kesadaran, secara paradoksikal, seluruh alam berubah menjadi samudera cahaya. Keluar dari kedalaman cahaya ini semua yang hilang dalam kegelapan mulai dilahirkan kembali dalam individualitas mereka masing-masing; tetapi, pada tahap ini mereka adalah kegelapan yang jauh sama sekali dari cahaya murni keperiadaan.
Selanjutnya, al-Ghazâlî menyatakan bahwa Wujud (eksistensi) adalah cahaya. Eksistensi ini sendiri terbagi dua yakni, yang memiliki eksistensi pada dirinya sendiri dan yang memiliki eksisitensi dari sesuatu selainnya. Eksistensi yang terakhir ini adalah barang pinjaman yang tidak bernilai dengan sendirinya. Karena bila eksistensinya dilihat dari sudut dirinya sendiri, sesungguhnya ia adalah ketiadaan yang murni. Eksistensinya hanyalah nisbi belaka, bukan wujud yang sebenarnya. Dengan demikian, al-Ghazâlî menyimpulkan bahwa eksistensi yang hakiki adalah Allah SWT, sebagaimana cahaya yang hakiki adalah Allah SWT.
Pesan spiritual yang dapat ditangkap dari pemaparan al- Ghazâlî di atas adalah bahwa Tuhan bagaimanapun adalah satu-satunya yang eksis. Jika kita menempatkan eksistensi kita dekat pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya. Kita sesungguhnya tidak memiliki eksistensi. Kita hanya menerima pancaran cahaya eksistensi-Nya, yang pada akhirnya juga akan kembali pada Sumbernya. Oleh sebab itu, jika manusia ingin menemukan eksistensi dirinya yang sesungguhnya, dia harus mencarinya di dalam non-eksistensi dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, jika manusia ingin mendekati Tuhan, ia harus menjauhkan diri dari penjara keberadaan.

2. Hierarki Epistemologi Makrifat Menurut Al-Ghazali.
Al-Ghazâlî juga memahami adanya hierarki epistemologis daya ruhani dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Pertama,daya inderawi (ar-rûh al-hisas), yaitu daya yang menerima sesuatu yang dikirim oleh pancaindera. Daya ini adalah asal dan awal daya makhluk hidup. Dengan daya ini semua makhluk hidup menjadi hidup. Ia sudah ada walaupun dalam diri seorang bayi yang masih menyusu. Kedua, daya khayali, imajinasi (ar-rûh al-khayâlî), yaitu daya yang merekam keterangan yang dikirim oleh panca indera, menyimpannya rapat-rapat untuk kemudian disampaikan kepada daya aqli (intelegensi) di atasnya, pada saat dibutuhkan. Ketiga, daya aqli, (akal, intelegensi), yaitu daya yang dapat mencerap makna-makna di luar indera dan khayal. Daya ini adalah subtansi manusiawi yang hanya khusus ada padanya, tidak ada pada hewan atau pun anak-anak kecil. Jangkauan pencerapannya adalah pengetahuan dharuri (aksiomatis) dan universal.
Keempat, Daya Pemikiran, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabungan-penggabungan dan darinya ia mengambil kesimpulan- kesimpulan. Selanjutnya bila telah memperoleh dua hasil kesimpulan, misalnya, ia akan menggabungkan keduanya sekali lagi, agar beroleh kesimpulan-kesimpulan baru pula. Dengan demikian, pengetahuannya makin lama makin bertambah terus-menerus secara tak terhingga (tanpa batas). Kelima, Daya Suci Kenabian, yaitu yang hanya khusus bagi para nabi dan sebagian para wali. Dengan daya ini, selubung kegaiban dan hukum-hukum akhirat serta sejumlah pengetahuan tentang kerajaan lelangit dan bumi bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbânî (ketuhanan) menjadi tersingkap, yang kesemuanya tak mampu dijangkau oleh daya akal dan pemikiran.
Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa perbandingan antara kelima daya yang telah disebutkan di atas dengan misykât, kaca, pelita, pohon, dan minyak, bisa menjadi pembicaraan yang sangat panjang. Karena itu, al-Ghazâlî di dalam kitab ini hanya menyingkat dan mencukupkan diri dengan mengingatkan metode permisalannya. Pertama, daya inderawi. Kata al-Ghazâlî, bila anda perhatikan kekhasan atau karakteristik dayanya, anda akan mendapatkan cahaya-cahayanya keluar dari berbagai celah, seperti mata, telinga, lubang hidung dan sebagainya. Karena itu, perumpamaan yang paling tepat dan cocok dengan daya spiritual di alam syahâdah ini adalah ceruk atau misykât.
Kedua, tentang daya akliah (yang berkaitan dengan akal atau inteligensi). Akal memberi pengetahuan akan Gagasan Ilahiah. Kata al-Ghazâlî, perumpamaan daya akliah dengan mishbâh (lampu) ini menjadi jelas, karena ia bisa menyebarkan cahayanya yang terang ke seluruh dunia, sehingga tidak heran jika para nabi disebut sebagai “pelita bercahaya” (sirâj munîr).
Ketiga, daya khayali (imajinatif). Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa daya ini memiliki tiga karakteristik (sifat khas):
a. Ia berasal dari materi dunia rendah (alam dunia) yang pekat. Sebab sesuatu yang dikhayalkan memiliki kadar, bentuk dan arah terbatas dan tertentu, dengan kedekatan dan kejauhan yang nisbi ditinjau dari pandangan si penghayal. Sedangkan di antara ciri sesuatu yang pekat yang dilukiskan dengan sifat-sifat benda adalah ketertutupannya dari cahaya-cahaya intelegensi murni yang tidak mungkin dilukiskan dengan arah, kadar, dekat, dan jauh.
b. Khayal yang pekat ini bila dijernihkan, dihaluskan, didisiplinkan dan dikendalikan, akan mendekati batas makna-makna yang dapat dicerap oleh akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya dari akal.
c. Khayal pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk mengendalikan pengetahuan akal agar tidak goyah, tidak terombang-ambing dan tidak bercerai-berai sehingga tak terkendali. Hal ini mengingat bahwa fungsi imajinasi adalah menghimpun misal-misal imajinatif untuk kepentingan pengetahuan ‘aqlî.
Ketiga ciri khas ini, kata al-Ghazâlî tidak bisa dijumpai pada benda apapun di alam kasat mata, dalam kaitannya dengan “cahaya yang melihat”, kecuali pada “kaca”. Kaca tadinya berasal dari substansi (jauhar) yang pekat, tetapi setelah dijernihkan dan dibeningkan, ia berubah menjadi tembus pandang, transparan terhadap cahaya pelita, bahkan ia mampu merambatkan cahaya tersebut dengan cara yang baik. Selain itu, ia juga menjaga cahaya pelita dari terpaan angin. Karena sifatnya yang demikian, kata al-Ghazâlî, maka zujâjah (kaca) adalah sebaik-baik misal untuk daya khayali.
Keempat tentang daya pemikiran (daya reflektif). Nalar berarti memulai dari satu proposisi, lalu bercabang menjadi dua, dan dua menjadi empat. Demikian seterusnya, sampai nalar menjadi sangat banyak akibat proses pengembangan logis ini. Kesimpulan ini dapat berlanjut, sesuai dengan jumlahnya. Kata al-Ghazâlî, lambang yang cocok adalah pohon. Jika dipikirkan lebih lanjut, bahwa buah dari nalar diskursif adalah bahan untuk menggandakan, mendirikan, dan menetapkan segala pengetahuan, tentu tak akan dilambangkan dengan sembarang pohon semacam jeruk, apel, atau nanas. Kata al- Ghazâlî, pohon yang melambangkan nalar haruslah pohon zaitun, karena intisari buah zaitun adalah minyaknya, yang merupakan bahan pelita dan memiliki keunikan, tidak seperti minyak lain, yang meningkatkan terang pelita. Jika orang menyifati pohon berbuah istimewa ini berkah, tentulah pohon yang buahnya tak terbatas juga bisa disebut berkah. Akhirnya, karena konsekuensi proposisi akal murni itu tidak berkaitan dengan arah atau jarak, maka ia disebut dengan tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya).
Kelima, tentang daya suci kenabian yang dinisbahkan kepada para nabi dan kepada para wali jika daya tersebut sedang dalam puncak kebenderangan dan kejernihan. Daya pemikiran terbagi kepada dua jenis:
a. Yang memerlukan pengajaran, pengaktifan dan sokongan kekuatan dari luar dirinya agar tetap dapat kesinambungan pengetahuan.
b. Yang amat sangat jernih sehingga ia seakan-akan mengaktifkan dirinya sendiri tanpa sokongan dari luar.
Menerapkan pertimbangan ini, kata al-Ghazâlî, terlihat betapa sangat tepat dan pantas bila fakultas alamiah yang terang dan kuat ini digambarkan dengan ungkapan, “nyaris bercahaya (menyala) minyaknya walaupun tak tersentuh api”, karena ada di antara para ahli makrifat yang cahayanya bersinar begitu terang sehingga hampir-hampir tak bergantung pada apa yang dipasok oleh para nabi, sementara ada nabi-nabi yang cahayanya hampir-hampir tak bergantung pada apa yang dipasok oleh malaikat. Perlambangan ini sangat tepat untuk melambangkan jenis ini.
Selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan bahwa, oleh karena cahaya-cahaya ini berurutan di atas sebagian yang lain, maka cahaya indera yang datang paling awal adalah fondasi dan persiapan untuk imajinasi (karena imajinasi hanya mungkin ada dalam perpaduan dengan indera); cahaya akal dan nalar diskursif datang setelahnya. Semua itu menjelaskan mengapa kaca menjadi tempat bagi keberadaan pelita dan lubangnya tempat bagi kaca. Maksudnya, pelita berada di dalam kaca dan kaca di dalam lubang. Akhirnya, eksistensi, sebagai urutan cahaya yang bertahap, menjelaskan kata-kata cahaya di atas cahaya.
Dari paparan mengenai penafsiran al-Ghazâlî terhadap permisalan-permisalan dalam ayat cahaya di atas terlihat bahwa al-Ghazâlî berangkat dari istilah-istilah yang dipakai oleh para filosof dalam hal daya-daya (ruh-ruh) dalam diri manusia lalu kemudian memadankannya dengan istilah-istilah permisalan dalam ayat cahaya tersebut setelah terlebih dahulu menganalisis ciri-ciri utama yang melekat pada setiap permisalan tadi.
Namun yang terpenting dari penafsiran al-Ghazâlî tersebut adalah bahwa al-Ghazâlî telah menjelaskan kepada kita maksud ayat “Allah membimbing dengan cahaya-Nya, siapa yang dikehendaki,” bukan hanya berupa agama, sebagaimana yang sering dipikirkan, tetapi juga meliputi semua daya-daya jiwa yang dimiliki manusia seperti indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah membimbing manusia melalui indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Karena itu, kalau kita ingin mendapat bimbingan dari Allah, kita harus menggunakan daya-daya tersebut sebaik-baiknya.

3. Konsep Manusia dan Akhlaq: Pandangan Ibnu Miskawaih.
Sejalan dengan pandangan al-Ghazali, Ibn Miskawaih di dalam kitabnya juga menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga daya, yaitu ; (a) daya bernafsu (al-nafs al-bahîmiyah) sebagai daya yang terendah, (b) daya berani (al-nafs al-sabu‘iyyah) sebagai daya pertengahan dan (c) daya berpikir (al-nafs al-nâthiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda. Sesuai dengan pemahaman di atas, unsur rohani yang berupa al-nafs al- bahîmiyah dan al-nafs al-sabu‘iyyah berasal dari unsur materi, sedangkan al-nafs al-nâthiqah berasal dari ruh Tuhan. Justru karena itu Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa kedua al-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan al-nafs al-nâthiqah tidak akan mengalami kehancuran. Menurut Ibn Miskawaih hubungan jiwa al-bahîmiyyah/al-syahwiyyah (bernafsu) dan jiwa al-ghadlabiyah/al-sabû‘iyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling memengaruhi. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh terpengaruh terhadap kuat atau lemahnya dan sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut, begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu kedua macam jiwa ini dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna jika tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Jadi Ibn Miskawaih memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasad dan rohani yang satu dan lainnya saling memengaruhi dan berhubungan.
Pemikiran mengenai akhlak menjadi tema sentral dalam karya Ibn Miskawaih. Termasuk salah satu yang memengaruhi konsepnya dalam pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya adalah doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmonis, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi ia tampak lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ektrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa jiwa manusia memiliki tiga daya, yaitu; jiwa al-bahîmiyyah, jiwa al-ghadlabiyyah, dan jiwa al-nâthiqah. Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahîmiyyah adalah menjaga kesucian diri (al-‘iffah) dari mengikuti hawa nafsu diikuti oleh sifat pemurah (al-sakhâ’). Sedangkan posisi tengah jiwa al-ghadlabiyyah adalah al-hilm (sopan santun), diikuti oleh sifat al- syajâ‘ah (keberanian). Posisi tengah jiwa al-nâthiqah adalah sifat al-‘ilm diikuti oleh al-hikmah (kebijaksanaan). Adapun gabungan dari posisi tengah semua tersebut adalah keadilan/keseimbangan (al-‘adâlah). Keempat keutamaan akhlak tersebut (al-‘iffah, al-hilm, al-‘ilm dan al-‘adâlah) merupakan pokok, sedangkan keutamaan lainnya seperti al-sakhâ’ (pemurah), al-syajâ‘a (keberanian), al-hikmah (kebijaksanaan) adalah cabang. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu sangat banyak. Bahkan sulit dihitung jumlahnya. Menurut Ibn Miskawaih setiap keutamaan mempunyai dua sisi ekstrim, yang tengah adalah terpuji dan yang ektrim adalah tercela. Ibn Miskawaih dalam menguraikan sikap tengah dalam akhlak ini tidak mengemukakan satu ayat pun dari al-Qur’ân atau dari hadîts Nabi.


4. Pendidikan Akhlaq Menurut Ibnu Miskawaih.
Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak adalah kondisi jiwa yang mampu mendorong secara spontan (tanpa dipikirkan dan direnungkan terlebih dahulu untuk melahirkan sebuah perbuatan. Baik perbuatan yang bermuatan positif maupun negatif. Selanjutnya Ibn Miskawaih mengatakan bahwa sebagian akhlak itu ada yang dibawa secara alami (natural) dan sebagian yang lain ada yang diperoleh dengan membiasakan diri dan latihan. Seolah-olah Ibn Miskawaih ingin menegaskan, bahwa akhlak manusia itu dapat dibina melalui pembinaan akhlak. Menurut Miskawaih, bahwa akhlak itu dapat diperoleh dengan belajar, pembinaan (al-ta’dîb) dan nasehat terus menerus (al-mawâ‘izh) sehingga menjadi sifat bentukan (malakah,habit), manusia secara alami ditetapkan dapat menerima akhlak yang baik melalui pendidikan dan nasehat, baik dalam waktu cepat maupun dalam waktu lambat. Dan tidak boleh membiarkan anak muda dan anak-anak tanpa strategi dan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Karena hal ini adalah sesuatu yang tidak pantas terjadi (sangat tercela).
Adapun tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik Sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh sa‘âdah (kebahagiaan sejati/kebahagiaan sempurna).
Untuk mencapai tujuan pendidikan akhlak yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlak sesuai dengan konsepnya tentang manusia; (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, (3) hal-hal yang wajib bagi hubungan sesama manusia. Menurut Ibn Miskawaih ketiga pokok materi tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar ia kelompokkan kepada dua: (1) ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-‘ulûm al-fikriyah) dan (2) ilmu yang berkaitan dengan indera (al-‘ulûm al-hissiyah).
Ibn Miskawaih tidak merinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, kecuali hanya menyebutkan antara lain; shalat, puasa, dan sa’i. Kemungkinan ibadah-ibadah ini erat hubungannya dengan tubuh manusia pada satu sisi dan juga berhubungan dengan pikiran dan rohani manusia pada sisi yang lain.
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib bagi keperluan jiwa seperti; pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kekuasaan-Nya, serta motivasi untuk senang terhadap ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain di kota-kota seperti; (a) materi dalam hubungan dagang (al-mu‘âmalât, business relation), kontrak sementara petani bagi hasil (al-muzâra‘ah, temporary share-cropping contract), (b) kewanitaan (al-manâkih, women), menunaikan amanat, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.
Materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai contoh Ibn Miskawaih menyebut ilmu nahwu (tata bahasa) adalah sangat penting dalam membantu manusia untuk lurus berbicara. Materi yang ada dalam ilmu mantik (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Adapun materi yang terdapat dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisâb) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepada kepalsuan. Demikian juga Ibn Miskawaih menjelaskan materi sejarah dan puisi akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam syariah sangat ditekankan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya syariah dapat meluruskan akhlak anak-anak terbiasa berbuat yang di ridhai oleh Allah, jiwa mereka siap menerima hikmah dan memperoleh kebahagiaan (al-sa‘âdah).
Peranan orang tua dalam pertumbuhan awal anaknya sangatlah diperlukan dan hubungan antara orang tua dan anaknya hendaklah didasari hubungan cinta kasih (al-mahabbah) yang harmonis. Namun menurut Ibn Miskawaih cinta seseorang kepada gurunya hendaklah melebihi dari cintanya kepada orang tua dan ia meletakkan cinta murid dengan guru berada di antara cinta terhadap Allah dan cinta terhadap orang tua. Alasan yang dikemukakan oleh Ibn Miskawaih adalah karena guru lebih berperan besar dalam mendidik kejiwaan murid dan termasuk penentu masa depan mereka dalam mencapai kebahagiaan sejati.
Di samping itu guru berfungsi sebagai orang tua rohani (wâlid rûhânî), orang yang dimuliakan (rabb basyarî), pemilik manusia, dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi (ihsân ilâhî), karena ia mendidik murid kepada keutamaan sempurna mengisinya dengan ilmu yang tinggi dan membawa mereka kepada kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula. Pandangan mengenai posisi guru yang menempati kedudukan sentral pada murid juga diajukan oleh Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina, dan al-Zarnuji.
Menurut Ibn Miskawaih, bahwa manusia dalam menerima akhlak sama. Oleh karena itu pendidik jangan berputus asa dan merasa tak mampu, akan tetapi hendaklah secara terus menerus dalam usahanya. Ada di antara mereka yang lamban dan enggan, ada yang mudah dan patuh, keras dan sulit dalam menerima perubahan akhlak.
Oleh karena itu terdapat beberapa langkah yang dikemukakan Ibn Miskawaih dalam memperoleh akhlak yang mulia, antara lain dengan belajar, pendidikan dan kebiasaan (al-‘âdah), nasehat dan petunjuk (al-mawâizh) dan peringatan (al-tahdzîr) dan latihan (al-tadarrub). Ibn Miskawaih selanjutnya menjelaskan untuk memperoleh akhlak yang mulia, perlu ditempuh langkah-langkah antara lain sebagai berikut : Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan sopan santun yang sebenarnya sesuai dengan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwâniyah dan al-ghadlabiyyah. Karena kedua jiwa tersebut erat hubungannya dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain tidak makan dan tidak minum yang membawa kepada kerusakan tubuh atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang ada unsur berat di dalamnya seperti mengerjakan shalat yang lama atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang di dalamnya ada unsur melelahkan. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin darinya. Dengan cara ini seseorang tidak hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena bercermin dari perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Walhasil setiap siang dan malam ia akan selalu mengintrospeksi semua perbuatannya. Karena itu perbuatan buruk yang telah dilakukannya, harus dihapus dengan perbuatan yang baik agar dengan cepat semua perbuatannya menjadi baik dan terhindar dari keburukan.

C. ANALISIS.
Pendidikan Berkarakter Berbasiskan Makrifat
Wacana pendidikan yang berbasiskan karakter (akhlaq) mencuat akhir-akhir ini, sebagai respon atas proses pendidikan di Indonesia yang belum mampu menjadi katalisator perubahan sosial dan budaya ke arah yang lebih baik. Karena fenomena degradasi moral dikalangan peserta didik dan hilangnya integritas moral secara umum di kalangan elit masyarakat Indonesia. Salah satu yang kemudian yang dilirik sebagai pendidikan alternatif oleh Kementerian Pendidikan Nasional adalah pola pendidikan kepesantrenan. Pola kepesantrenan diasumsikan telah menjadi contoh par exellence bagi keluaran peserta didik yang berkarakter dan berakhlaq mulia.
Seperti diketahui, pada umumnya pendidikan kepesantrenan tidak hanya menekankan pada proses diseminasi ilmu-ilmu agama kepada para santri, akan tetapi juga aktualisasi amal ibadah agama secara ketat, tentunya setelah mendapatkan pemahaman yang mumpuni tentang makrifat. Karenanya kajian tasawuf baik yang bersifat sunnah-amaliah maupun bersifat filosofis menjadi kajian penting di dunia kepesantrenan, khususnya pesantren salafiah yang masih menjadikan kitab-kitab klasik sebagai bahan kajian. Dalam hal ini pemikiran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Ghazali menempati posisi yang sangat penting.
Kaitannya dengan informasi data mengenai pandangan filosofis al-Ghazali di dalam kitab Misykat, dapat ditarik beberapa pandangan al-Ghazali dalam upaya mendudukkan persoalan pendidikan dalam konteks makrifat. Pertama dalam metafisika “cahaya” yang dielaborasi secara mendalam oleh al-Ghazali, bahwa “cahaya” juga dipahami sebagai “ilmu pengetahuan”, bukan sekedar konstruksi ilmu yang merupakan hasil dari proses deduktif atau induktif dan perdebatan objektivitas dan subjektivitas. Sehingga ilmu tidak dinilai secara bebas tanpa ada nilai-nilai yang memengaruhinya. Yang apabila ditarik di dalam konteks epistemologis dan dalam kaca mata makrifat, realitas dipahami secara transenden melalui pesan-pesan wahyu dan pengalaman spiritual. Sementara kalau dibandingkan dengan pandangan Barat terhadap realitas, sekurang-kurangnya Barat mempunyai tiga aliran yang dominan; (a) realisme, yang memandang secara obyektif; (b) anti-realisme yang melihat realitas secara subyektif; dan (c) realisme kritis yang melihat realitas dengan subyektif dan obyektif. Menurut penulis, aliran terakhir ini mirip dengan Islam. Hanya saja, subyektifitas orang Islam sudah terisi oleh wahyu, sedang subyektivitas Barat hampa wahyu.
Kedua, bahwa al-Ghazali membagi tipologi kemampuan manusia dalam mempersepsi dan memahami “cahaya”, yaitu kaum awwam (awam), khawashsh, dan kaum khawashsh al khawashsh. Dalam artian bahwa ada lapisan pemahaman manusia di dalam menyerap “ilmu pengetahuan” baik yang bersifat hushuli maupun hudhuri. Pada umumnya pendidikan diproyeksikan agar mengantarkan peserta didik dari pemahaman yang awwam kepada pemahaman khawshsh, dan berhenti disitu saja, sehingga tidak sampai pada puncak pemahaman khawashsh al khawashsh. Hal itu terjadi karena pendidikan tidak dibangun di atas basis makrifat. Padahal pendidikan tidak sekedar berfungsi untuk melakukan pembebasan (liberasi) manusia dari kebodohan (azh-zhulumât) dan humanisasi, tetapi juga upaya transendensi. Hal yang terakhir ini tidak dapat dilakukan, sepanjang makrifat tidak menjadi basis bagi proyeksi pendidikan, karena transendensi dan makrifatisasi bergerak pada medium yang sama. Menurut Naquib al-Attas, proses pembebasan (liberasi) pada mulanya bergantung pada ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya selalu dibangun atas dan dibimbing oleh suatu bentuk ilmu pengetahuan khusus, yaitu, makrifat (ilmu pengenalan).
Ketiga, bahwa al-Ghazali berpandangan bahwa sejatinya manusia pada posisi ‘adam (non-eksistensi), sebagai lawan dari pada cahaya sejati yaitu Tuhan. Dalam artian bahwa manusia pada dasarnya berada pada kondisi kebodohan (azh-zhulumât), sehingga diperlukan suatu bimbingan dan tuntunan untuk mengeluarkannya dari posisi “kegelapan” tersebut. Bimbingan dan tuntunan tersebut itulah yang oleh penulis sebut dengan pendidikan yang berbasiskan pada makrifat. Karena posisi dzat manusia adalah bersifat theomorfis, yaitu dengan pendidikan, manusia mengupayakan diri untuk lepas dari kutub kegelapan yang merupakan wilayah dominasi iblis, syaithan dan hawa nafsu menuju kutub cahaya yang dilimpahi oleh kekuatan dan hikmah ketuhanan.
Keempat, al-Ghazali menjadikan surah an-Nur: 24, ayat 35 dari al-Qur’an sebagai sumber inspirasi untuk menetapkan hierarki epistemologi makrifat dalam memperoleh dan mencapai ilmu pengetahuan (cahaya). Dari sini terlihat jelas perbedaan secara mendasar paradigma pendidikan Islam yang berbasiskan makrifat dengan paradigma pendidikan yang berkembang di dunia Barat. al-Ghazali menetapkan lima instrumen ruhani dalam mencapai ilmu, yaitu daya inderawi (ar-rûh al-hisas), daya khayali, imajinasi (ar-rûh al-khayâlî), daya aqli, (akal, intelegensi), daya Pemikiran, dan daya Suci Kenabian. Bagi al-Ghazali empirisisme adalah level paling rendah dalam proyeksi ilmu pengetahuan, dan rasionalitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daya Suci Kenabian. Dari sini juga terlihat jelas tidak ada dikotomisasi antara realitas empirik dengan rasionalisme sebagaimana yang terjadi pada filsafat Barat.
Kaitannya dengan informasi data melalui kitab Tahdzib al-Akhlaq dari Ibnu Miskawaih, nilai terpenting yang dapat diambil adalah tentang pentingnya menumbuhkan karakter akhlaq pada diri peserta didik, sebagai aspek mendasar dari teleologi pendidikan Islam. Bedanya dengan al-Ghazali, Ibnu Miskawaih sama sekali tidak mendasarkan pandangannya pada ayat dan hadis dalam mengelaborasi persoalan akhlaq, dia banyak pandangannya pada prinsip etik yang berkembang pada dunia filsafat.
Pada awal pembahasannya mengenai akhlaq, Ibnu Miskawaih sebelumnya menjelaskan tentang potensi-potensi yang bersifat ruhaniah dalam pembentukan akhlaq seseorang. Yaitu ; (a) daya bernafsu (al-nafs al-bahîmiyah) sebagai daya yang terendah, (b) daya berani (al-nafs al-sabu‘iyyah) sebagai daya pertengahan dan (c) daya berpikir (al-nafs al-nâthiqah) sebagai daya tertinggi. Daya yang disebut terakhir ini memiliki peran sentral, dalam artian posisi rasionalitas menempati posisi penting. Akan tetapi rasionalitas yang dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih memiliki pendekatan berbeda dengan rasionalisme Barat. Deskripsi rasionalitas Ibnu Miskawaih lebih bersifat ruhaniah dan tidak bersifat mental.
Akhlaq yang dimaksud oleh Ibnu Miskawaih adalah kecenderungan untuk memilih sikap pertengahan, dimana jiwa al-nâthiqah adalah sifat al-‘ilm diikuti oleh al-hikmah (kebijaksanaan). Adapun gabungan dari posisi tengah semua tersebut adalah keadilan/keseimbangan (al-‘adâlah). Akhlaq juga merupakan potensi hereditas dan bisa juga hasil yang diperoleh dengan belajar, pembinaan (al-ta’dîb) dan nasehat terus menerus (al-mawâ‘izh) sehingga menjadi sifat bentukan (malakah,habit), manusia secara alami ditetapkan dapat menerima akhlak yang baik melalui pendidikan.
Oleh karena itu pendidikan (tarbiyah) secara teleologis memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kerasulan yaitu untuk menyempurnakan keutamaan akhlaq, karena dekadensi akhlaq (moral-ethic) adalah pertanda terjerumusnya kemanusiaan pada kondisi kebodohan (azh-zhulumât). Sehingga pendidikan yang dimaksud di sini adalah yang berbasiskan makrifat, yang dalam praktiknya menurut Ibnu Miskawaih, guru memposisikan diri sebagai orang tua rohani (wâlid rûhânî), orang yang dimuliakan (rabb basyarî), pemilik manusia, dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi (ihsân ilâhî). Dalam hal ini posisi guru tidak jauh beda dengan posisi seorang mursyid dalam pendidikan makrifat dalam zawiyah dan khanaqah-khanaqah, atau lembaga pendidikan sufi.
Pendidikan berbasiskan makrifat merupakan solusi atas pola pendidikan yang terkooptasi oleh paradigma habis bagi positif-materialistik, karena cacat teologis, epistemologis, dan aksiologis dari modernitas, dimana dinamika ruh (fitrah) diletakkan dalam posisi sub-ordinat. Menurut Inayat Khan, kesalahan utama sistem pendidikan modern adalah bahwa sistem ini hanya mensyaratkan orang untuk memenuhi apa yang diinginkan dalam hidup, bagaimana agar seseorang bisa memenuhinya dengan melakukan berbagai cara, benar atau salah, dan seringkali tidak memikirkan kerugian atau rasa sakit yang ditimbulkan pada orang lain. Ia juga berpendapat bahwa proyeksi pendidikan harus mempertimbangkan lima sudut pandang yang berbeda: fisik, mental, moral, sosial dan spiritual. Jika satu sisi berkembang dan sisi lainnya tidak, secara alami peserta didik akan menunjukkan beberapa kekurangan dalam perkembangannya.
Salah satu nilai penting pendidikan berbasiskan makrifat adalah untuk mengolah aspek penghayatan transendental dalam pendidikan yang selama ini diragukan dan bahkan ditolak oleh kalangan penganut paham positivisme. Penolakan itu terjadi karena penghayatan tersebut sangat mempribadi, penuh misteri, dan kadang tidak terpahami. Selama ini obyek kajian pendidikan terpenjara pada potensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Pandangan model Barat ini pada satu sisi mengabaikan apek penghayatan transendental yang merupakan inti dari doktrin Islam yang penting, yaitu konsep Ihsan. Menurut Noeng Muhadjir, meskipun aspek sufistik (baca; makrifat) tidak dapat direplikasi penghayatan substantifnya, namun dapat dikenal dan dihayati prosesnya.
Salah satu kedekatan metodologis antara makrifat dan paradigma pendidikan secara umum, adalah sama-sama bergerak pada wilayah pengalaman dan penafsiran. Keterlibatan aspek makrifat dalam proses pendidikan berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai ilahiah (keimanan) sebagai pengalaman dasar (basic experience). Sebagaimana ditegaskan oleh Dewey, bahwa pendidikan bukan semata-mata proses, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri yang bersifat reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi pengalaman menuju suatu tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Suatu pengalaman bersifat salah didik apabila pengalaman itu menghalangi atau mencacatkan perkembangan selanjutnya. Sebagai umat Islam, tentunya penanaman nilai-nilai ilahiah sebagai pengalaman dasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena kurangnya aspek mendasar tersebut tidak hanya menghalangi, akan juga tetapi juga akan mencacatkan proses perkembangan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu aspek makrifat yang menjadi wahana pengalaman dasar seorang pribadi muslim menjadi bersifat edukatif, karena dapat membantu perkembangan pengalaman berikutnya.
Secara preskriptif, peran makrifat dalam proses pendidikan anak merupakan tema sentral pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan terpenting. Sebagaimana ditegaskan oleh Iqbal bahwa individualitas (khudi) merupakan suatu kesatuan yang nyata, mantap dan tandas, karenanya tujuan akhir pendidikan adalah untuk memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, dan khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia . Pendapat tentang pentingnya pengembangan individualitas juga diikuti oleh Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa penekanan terhadap individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan dan maksud yang sebenarnya (dari kehidupan ini); sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu . Karenanya menurut Al-Attas, pendidikan adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”, atau yang disebut dengan ta’dib, yang apabila dijabarkan secara luas bermakna sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperadaan .

D. CATATAN AKHIR.
Ilmu yang dicapai melalui proses pendidikan berbasiskan makrifat juga disebut sebagai ilmu sejati yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai sains yang mencari pengetahuan tentang esensi segala hal yang berkenaan dengan asal muasal Ilahiahnya. Ini merupakan pengetahuan tentang noumena, yang menghubungkan fenomena dengan asal muasal sejatinya yang merupakan sumber semua eksistensi. Oleh karena pendidikan berbasiskan makrifat menjadi sangat penting dalam menumbuhkan kesadaran ilahiah peserta didik, bersamaan ketika mereka mencerap pengetahuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pendidikan berbasiskan makrifat, tidak sekadar mengajarkan praktik amaliah, tetapi memberikan pemahaman secara filosofis tentang struktur realitas. Misalnya pandangan spesifik kaum sufi mengenai hierarki struktur realitas, dimana kaum sufi mendasarkan gagasan mereka pada keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an, menformulasikan doktrin “lima keberadaan ilahiah” (al-hadharat al-ilahiyyat al-khams) untuk mengambarkan hierarki seluruh realitas. Yakni di atas realitas materiil, halus (subtil) dan spiritual (malakuti), ada tingkat realitas atau “keberadaan” selanjutnya yang lebih tinggi dalam hal ini, adalah alam sifat-sifat ilahiah (asma sifatiyah), artinya, sifat-sifat Tuhan, misalnya sifat-sifat yang merujuk padaNya sebagai pencipta dan pemberi wahyu. Pada tingkatan selanjutnya ada yang disebut dengan lahut yang dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau wujud. Yaitu prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos, dan karena itu merupakan Yang Absolut terhadap seluruh ciptaan. “keberadaan” selanjutnya atau yang tertinggi adalah Esensi Ilahi (al-dzat). “Derajat” yang diistilahkan oleh kaum sufi sebagai hahut ini adalah yang tertinggi dan tak terbatas, Wujud Tak Tergapai yang merupakan prinsip “tak dapat disifati” dan “tak dapat ditentukan”, dan oleh karena itu Absolut Murni.
Konsepsi cahaya di dalam penjelasan al-Ghazali mengenai makrifat kepada Tuhan, menemukan signifikansinya dengan realitas sains modern, dimana dalam fisika modern, logika gagal memberi jawaban ketika tiba dalam persoalan sifat dasar cahaya. Sifat cahaya yang tak-terputus dan terputus sekaligus, maksudnya, memiliki sifat sebagai gelombang dan materi, sungguh merupakan suatu paradoks dalam fisika modern. Fenomena ini telah menggiring sejumlah ahli fisika untuk menoleh kepada mistisisme Timur untuk mencari penjelasan yang berarti terhadap persoalan itu. Maka dari itu, pendidikan berbasiskan makrifat bisa menjadi alternatif model pendidikan baru, karena proses pendidikan yang ada pada akhirnya akan mengantarkan peserta didik pada penemuan sebuah tingkat realitas baru. Yakni fenomena alamiah tentang tatanan supralogis dan suprarasional, yang membutuhkan pendekatan tertentu atau jenis metodologi tertentu, kaitannya dalam hal ini adalah makrifat.
Akhir kata, dari sisi pendekatan tafsir, istilah makrifat di dalam al-Qur’an, dimana salah satu istilah yang dipakai adalah Li Ta’arafu, yaitu Allah SWT berperan sebagai Ilmun Adzim, atau sebagai pemilik ilmu pengetahuan yang memposisikan ilmu sebagai cahaya untuk menyinari manusia. Sehingga makrifat juga bermakna “upaya untuk mengetahui dengan mengambil dari yang Maha Tahu”. Dalam pengertian lain makrifat di dalam al-Qur’an juga bermakna “upaya mengenali untuk mengambil ilmu pengetahuan dari Allah SWT”. Wallahu A’lamu Bishawwab.

BIBLIOGRAFI.

Abdul Munir Mulkhan, Kecerdasan Makrifat: Jalan Pembebasan Manusia dari Mekanisme Konflik, Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam, Disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 31 Maret 2004,
Abdurrahmân Badawî, Miskawaih, dalam M. M, Sharif (ed) A History of Moslem Philosophy, 1963, Otto Harrassowitz,Weisbaden.
Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî, “Tasdîr ‘Amm,” dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî, Misykât al- Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî, 1964 ad-Dâr al- Qawmîyah, Kairo.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1983, Bulan Bintang, Jakarta
Ibn Miskawaih, Al-Fauz al-Asghâr, 1325 H, Matba‘ah al-Sa‘âdah, Kairo.
Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâq wa Tathhîr al-A‘râq, diedit oleh Hasan Tamim, tt,Mansyûrât Dâr Maktabah Al-Hayâh, Cetakan II, Beirut.
Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâq, diedit oleh Ibn Khatîb, 1398 H, Al-Mathba‘ah al-Mishriyah wa Maktabuhâ, Cetakan I, Kairo.
Inayat Khan, Education: from Before Birth to Maturity, 1989, Hunter House Inc., USA.
Laleh Bakhtiar, Sufi: Expressions of the Mystic Quest, 1976, Avon Books, New York
Mir Valiuddin, Contemplative Disciplines in Sufism, 1980, East-West Publications (UK) Ltd., London
Noeng Muhadjir, Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial, ed. V, 2000, Rake Sarasin, Yogyakarta.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, 1994, terj. Yuliani Liputo, Pustaka Hidayah, Bandung.
Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, 1984, terj. Haidar Baqir, Mizan, Bandung.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, 2002 terj. Hamid Fahmy dkk, Mizan, Bandung.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...