Senin, 24 Januari 2011

Pengilmuan Metodologi Kependidikan Islam

1. Metodologi Mistis Pesantren

Buku yang ditulis oleh Martin Van Bruinessen mengenai pesantren dan tarekat merupakan hasil penjelajahan secara ilmiah atas realitas sejarah pesantren dan tarekat dari masa lampau. Suatu penelusuran yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penting tentang latar belakang pesantren dan kompleksitas perjalanan tarekat di Indonesia. Bruinessen berhasil menemukan alur-alur sejarah keilmuan dan berusaha menemukan interkoneksi antar berbagai aspek tradisi keilmuan tersebut.
Apa yang dikaji oleh Martin adalah suatu masa yang penuh dengan kontroversi sejarah, dan lekat dengan fakta bahwa secara umum rasionalitas kaum Muslim terkubur oleh pekatnya spiritualisme, mistifikasi, dan dekodifikasi. Menurut Martin tradisi pesantren bernafaskan sufistik dan ubudiah. Banyak kiai yang berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan sufistik yang khas. Menziarahi makam para wali dan sejumlah kiai merupakan bagian penting dari acara tahunan. Selain itu kharisma kiai didasarkan pada kekuatan spiritual dan kemampuan memberi berkah karena hubungannya dengan alam gaib. Kuburannya pun dipercayai dapat memberikan berkah. Hal ini dilacak oleh Martin ke abad 16 dan 17 bahwa guru yang mengajarkan Islam di masjid atau istana dan ahli tasawuf serta magi yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam keramat. Kemungkinan pesantren berkembang dari tempat-tempat tersebut, namun ia baru muncul pada periode belakangan.
Dilihat dari asal muasal kemunculannya, dan nuansa keislamannya yang kental dengan ajaran sufistik dan pola pengajarannya yang dimulai dengan bahasa Arab, ada benarnya jika pesantren dianggap kesinambungan dari sistem pendidikan zawiyah dan khanaqah (sistem pendidikan sufi) di Timur Tengah. Bertemalian dengan corak tasawuf pada sistem pesantren, Deliar Noer beranggapan bahwa adanya penghormatan yang tinggi, yang ditunjukkan orang kepada guru (kiai) dan sosok kiai yang mengetahui seluk beluk Islam sekaligus mempraktikkan “ilmu-ilmu” yang pada dasarnya bersifat perdukunan, merupakan indikasi bahwa pesantren sebagai lanjutan tradisi zaman Indonesia-Hindu-atau bahkan lanjutan dari masa Animisme. Setelah Islam masuk ke “pedesaan” dalam pergumulan sejarahnya pesantren banyak menyerap budaya desa yang statis dan sinkretis. Oleh karena itu, institusi pesantren dapat dipandang sebagai wadah tumbuh-berkembangnya “sistem pengetahuan” hasil dari pertemuan unik antara kategori sosial secara vertikal (wong cilik) dengan kategori kultural horisontal. Bila dimaknai dengan menggunakan paradigma periodisasi perkembangan Islam di Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo (zaman mitos, zaman ideologi, dan zaman ide/ilmu) maka tampaknya pesantren masih belum sepenuhnya beranjak dari “zaman mitos” karena kesadaran intelektualnya masih didominasi oleh kepercayaan mistis-religius.
Martin juga berpendapat bahwa ada jalinan yang kuat antara ulama tradisional Indonesia dengan ulama Kurdi yang bermukim di tanah Arab. Dimana sangat menarik minat murid-murid Indonesia belajar kepada guru Kurdi dan kitab-kitab mereka, disertai sikap yang sama terhadap penghayatan keagamaan: kecintaan terhadap mistisisme, spekulasi metafisik serta kepercayaan yang teguh kepada para wali dan keajaiban-keajaiban mereka. Salah satu contohnya adalah popularitas ulama Kurdi di Indonesia, yaitu Ja’far Barjinzi dengan karya maulid dan manaqib-nya yang menggambarkan keajaiban-keajaiban para wali. Manaqib yang dibaca, dipercaya mendatangkan berkah dan keselamatan.
Jalinan yang kuat antara ulama Indonesia dan Kurdi, jelas Martin juga terlihat pada orientasi fiqih sufistik pesantren sebagaimana tampak jelas kesamaan yang mencolok secara umum antara kurikulum pesantren di Indonesia dan madrasah Kurdi. Hal itu terjadi salah satunya karena orang-orang Kurdi dan Indonesia (tradisional) sama-sama bermadzhab Syafi’i.
Perpaduan fiqih-sufistik yang begitu kuat memengaruhi “budaya hidup” dunia pesantren telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata perilaku komunitas pesantren menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formulasi “normatif-mistis”. Salah satu implikasinya, proses belajar-mengajar yang berlangsung di pesantren tampak lebih didominasi oleh model pemikiran deduktif-dogmatis agama daripada pemikiran yang induktif-rasional faktual.
Dengan karakteristik tradisi keilmuan pesantren semacam itu, cukup beralasan sekiranya ia digolongkan ke dalam tradisi normatif. Menurut Kuntowijoyo, tradisi keilmuan normatif memiliki dua kemungkinan, yaitu deklaratif dan apologetis. Tradisi keilmuan normatif ini juga dapat dicermati melalui corak “reproduktif” dalam paradigma keilmuan pesantren. Corak ini ditunjukkan oleh konseptualisasi ilmu sebagai sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui jalur pengalihan, pewarisan, transmisi, dan bukan sebagai sesuatu yang bisa diciptakan (created) sehingga ide “pelestarian budaya” sungguh terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Hal ini dapat dilihat dari dekodifikasi keilmuan dalam kitab kuning sebagai penjabaran dan pelestarian dari kandungan teks-teks standar (kitab-kitab babon) yang telah menimbulkan proses involusi perkembangan ilmu keagamaan, yaitu menjadi ilmu yang semakin renik.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik preposisi bahwa sistem kepesantrenan yang telah dibahas oleh Martin di dalam bukunya membenarkan pendapat A. Mukti Ali yang menyatakan bahwa setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan ilmu agama Islam (kependidikan Islam) di Indonesia kurang begitu lebih berkembang, yakni: pertama, arus bawah mistik yang memberikan corak kehidupan beragama di Indonesia lebih mementingkan “amaliah” daripada “pemikiran”, dan kedua, pemikiran-pemikiran ulama Indonesia tentang Islam lebih banyak ditekankan pada bidang fiqh dengan pendekatan normatif. Statemen A. Mukti Ali tersebut masih dapat dirasakan hingga saat ini, bahkan derasnya arus neo-salafi (wahabisme Hambali) dari Timur Tengah terhadap dunia kepesantrenan di Indonesia akhir-akhir ini, dimana pesantren justru menjadi wadah berseminya paham Islam yang ultra-konservatif.
2. Idiologisasi Pesantren, Madrasah dan Sekolah.
Buku yang ditulis oleh Karel A. Steenbrink merupakan hasil penelusuran secara ilmiah tentang pergulatan, perjalanan dan transformasi kependidikan Islam di Indonesia dalam kurun moderen. Dalam tinjauan sejak zaman penjajahan hingga era kemerdekaan, Steenbrink mengungkap fakta historis tentang upaya kaum Muslim Indonesia untuk menegaskan eksistensi kependidikan Islam di tengah hegemoni pendidikan penjajah Belanda.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedatangan penjajah kolonial tidak hanya untuk misi ekonomi dan aneksasi (gold dan glory), akan tetapi juga membawa misi zending Kristen (gospel). Hal ini terlihat dari sikap intoleran J.A. Van Der Chijs, inspektur pendidikan pribumi pertama pada tahun 1865 yang menolak untuk mengakomodir pendidikan Islam. Pada saat yang sama di Minahasa dan Maluku terdapat sejumlah sekolah yang berbasiskan misi zending dan mendapat sokongan dana dari pemerintah kolonial. Arogansi penjajah kolonial juga tampak pada tahun 1888, dimana menteri kolonial menolak untuk mensubsidi sekolah-sekolah Islam, karena dianggap pemborosan anggaran dan tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan pemerintah kolonial. Tidak cukup sampai disitu, pemerintah kolonial juga memproduksi regulasi yang membatasi atau justru mematikan sekolah-sekolah partikelir termasuk madrasah dengan mengeluarkan peraturan yang disebut Wilde Schoolen Ordonantie pada tahun 1933. Sebelum ini, pemerintah kolonial juga telah mengeluarkan peraturan yang dikenal dengan “Ordonansi Guru” (1905 dan 1925) yang menyebutkan bahwa izin tertulis untuk mengajar harus diberlakukan kepada kaum Muslim, dan bahwa metode pengawasan pemerintah juga harus dibuat. Ordonansi itu secara khusus dimaksudkan untuk membatasi gerakan guru-guru agama Islam, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam. Akibatnya, pendidikan Islam terpinggirkan dari arus modernisasi, yang dimana isi atau muatan pendidikan Islam berorientasi pada praktik-praktik ritual keagamaan dan kurang memerhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, pendidikan Islam mengalami berbagai kelemahan manajemen.
Fakta tersebut di atas adalah sebagian kecil dari fenomena diskriminasi penjajah kolonial yang telah terungkap. Pada dasarnya, hal yang sama juga terjadi pada negeri-negeri Muslim yang lainnya. Karena telah terjadi gerakan ekspansi secara global oleh Barat setelah khilafah Turki Usmani mengalami kemunduran. Hal itulah yang membangkitkan tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani, M. Abduh, Rasyid Ridha dan yang lainnya, untuk memicu gerakan pembaharuan, bahkan pencerahan (Renaissance). Gerakan pembaharuan atau pencerahan yang muncul dibalut oleh kesadaran ideologis keislaman yang kuat, hal tersebut diekspresikan dengan gerakan Pan Islamisme yang diserukan oleh al-Afghani.
Semangat ideologis keislaman tersebut tereplikasi dengan baik di kalangan Muslim Indonesia. Akibatnya, memicu keterlibatan kaum Muslim secara langsung dalam melawan kaum penjajah Barat sehingga membuat persepsi sebagian besar penduduk Nusantara tentang agama Islam cenderung menjadi sangat politis, yaitu dalam fungsinya sebagai ideologi politik. Persepsi idiologi politik kaum Muslim Indonesia diejawantahkan salah satunya dengan mendirikan institusi-intitusi pendidikan tandingan dari institusi pendidikan kolonial. Misalnya, seperti sekolah Adabiah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Minangkabau, organisasi Muslim Arab (Jami’at Khair dan al-Khairat), Jong Islamieten Bond, Persatuan Islam dan Muhammadiyah. Lembaga-lembaga tersebut mewakili gerakan salafiyah modernis. Disisi lain juga berdiri gerakan yang bersifat sosial-kultural sambil tetap mengapresiasi tradisi ulama-ulama terdahulu (tradisional), yaitu seperti gerakan Persatuan Islam Majalengka, Jami’atul Washliyah, Perti dan Nahdhatul Ulama , atau yang sering dikategorikan sebagai kelompok salafiyah tradisional. Dikemudian hari keterbelahan persepsi antara kelompok modernis dan tradisional mengeras menjadi paham idiologi yang sektarian yang tidak hanya terjadi pada level politik, sosial dan budaya, akan tetapi juga pada aras kependidikan Islam. Fenomena tersebut menjadi problematika internal kaum Muslim hingga saat ini.
Selain itu institusi pendidikan Muslim yang berdiri tidak sekadar untuk menegaskan idiologi keislaman semata terhadap lembaga pendidikan penjajah, akan tetapi juga untuk merespon institusi pendidikan yang berbasiskan ideologi nasionalis sekuler seperti Taman Siswa. Seperti yang dijelaskan Steenbrink bahwa semenjak dahulu kelompok abangan (cikal bakal kaum nasionalis), sering mengajukan protes terhadap bermacam-macam pendapat para santri, tentang gaya Arab dalam ibadah, tekanan untuk studi kitab-kitab Arab oleh para santri, dan keengganan para santri untuk menyesuaikan diri pada kehidupan dan adat Jawa. Hal itu juga diilustrasikan Steenbrink, dimana pada kampanye pemilu tahun 1970, Hadisubeno, waktu itu ketua PNI yang menjadi saingan besar dari partai Islam NU, membuat heboh ketika ia membuat istilah “bukan antek Arab” .
Konflik idiologi ini juga yang menjadi akar permasalahan terjadinya dikotomi di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Sirozi bahwa Terjadinya dikotomi antara pendidikan sekuler dan Islam sudah terjadi sejak zaman kolonial membuat pemerintahan Sukarno-Hatta kesulitan merumuskan ciri sistem pendidikan nasional. Perdebatan sengit yang terjadi antara tokoh nasionalis dan agama mengenai ciri sistem pendidikan nasional, memaksa pemerintahan Orde Lama untuk mempertimbangkan suatu model alternatif sebagai kompromi .
Idiologisasi pesantren, madrasah dan sekolah-sekolah Islam pada puncaknya terjadi pada zaman orde baru. Upaya yang dilakukan pemerintah orde baru melalui manipulasi dan kamuflase sejarah masa lalu dan lewat materi-materi pembelajaran di sekolah-sekolah, pensakralan ajaran pancasila yang melebihi batas-batas kesakralan agama, dimana pancasila dimistifikasi dan diidiologisasi secara doktriner ke ubun-ubun kesadaran anak-anak bangsa. Represifitas pemerintahan Suharto dan mistifikasi ajaran pancasila membuat konsep pancasila kehilangan pamor, karena atas nama demokrasi pancasila pemerintahan Orde Baru menjelma menjadi rezim yang otoriter dan despotik. Hal tersebut membuat pesantren, madrasah dan sekolah mengalami idiologisasi dengan sendirinya, sebagai bentuk perlawanan terhadap idiologisasi pancasila yang dilakukan lewat upaya brain washing melalui penataran-penataran P4 yang dilakukan secara massif kepada seluruh lapisan masyarakat. Sehingga dengan jelas kita melihat ada dua sikap kaum muslim ketika itu, yang pertama adalah melawan sehingga diberangus karena dituduh subversif, yang kedua adalah berpura-pura menerima sebagai bentuk perlindungan diri.
3. Gagasan Pengilmuan Metodologi Kependidikan Islam.
Buku yang dieditori oleh Kusmana dan JM. Muslimin yang bertajuk Paradigma Baru Pendidikan, merupakan sekumpulan gagasan reflektif dari para pakar pendidikan Muslim Indonesia kontemporer, untuk membangun kerangka baru yang bersifat paradigmatik bagi pendidikan Islam dalam menyikapi perkembangan zaman. Buku ini merupakan kajian reflektif atas upaya IAIN/UIN sebagai representasi institusi pendidikan Islam Indonesia untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam. Salah satunya dengan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan di Barat, diantaranya dengan universitas Mc. Gill di Kanada yang telah berlangsung dalam 50 tahun terakhir.
Bagi penulis, upaya modernisasi tersebut senafas dengan gagasan “pengilmuan”, dimana dunia kependidikan Islam baru beranjak dari periode idiologi, bahkan periode mitos/mistis. Gerakan pengilmuan atau pembaharuan yang radikal pertama dilakukan Mukti Ali pada tahun 1975-an, dimana kurikulum madrasah dirubah dari 100% mata pelajaran agama menjadi 70% mata pelajaran umum dan hanya 30% mata pelajaran agama. Ditingkat perguruan tinggi peran Mukti Ali dan Harun Nasution tidak dapat diabaikan karena telah merevisi kurikulum PTAI lebih kuat pada aspek sejarah dan pendekatan sejarah dalam kajian agama. Sampai tahun 1989, pembaharuan pendidikan Islam sudah cukup menyeluruh, mencakup kelembagaan pendidikan, penerapan sistem kelas, revisi kurikulum, dan dimasukkannya ilmu-ilmu umum ke dalam sistem pendidikan Islam dan pengakuan eksistensial yang sama dengan lembaga pendidikan umum, dengan keluarnya UU Sisdiknas tahun 2003.
Berangkat dari hal tersebut, pengilmuan metodologi kependidikan Islam menjadi sangat penting, karena menurut Mastuhu, dengan kerangka idiologi, pelaksanaan pendidikan agama sering kali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif: lebih mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih mementingkan materi daripada metodologi. Selain itu tegas Munir, problem ini muncul disebabkan oleh idiologisasi dan teologisasi ilmu-ilmu keislaman, sebagai ilmu yang memberi bekal kemampuan dalam memahami kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Metodologi kependidikan Islam yang idiologis dikategorikan sebagai model pendekatan doktriner-literal-formal, karena pendekatan yang diterapkan dalam model ini lebih menekankan pada formalisme agama, bersifat normatif-tekstual dan sering kali lepas dari konteksnya. Karenanya lanjut Munir, pendidikan agama lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak bisa lagi dibantah dan diganggu gugat. Lebih dari itu teologisasi dan idiologisasi metodologi kependidikan Islam juga membawa pendidikan Islam ke arah dogmatisme; pendidikan Islam cenderung sepenuhnya dipahami secara murni normatif-doktrinal dan kurang apresiatif atau bahkan kontradiktif dengan pendekatan ilmiah-rasional yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu sekuler.
Metodologi kependidikan Islam tersebut bisa dikatakan belum sepenuhnya mengalami “pengilmuan”, sebagaimana yang dikesankan oleh Amin Abdullah, bahwa proses transformasi pendidikan di Fakultas Tarbiyah menjadi demikian normatif untuk tidak mengatakan dogmatik. Kalau ditelusuri ke dalamnya, bahwa fakultas ini belum melandasi epistemologi penyelenggaraannya dengan dasar yang kritis dan mencerahkan. Selain itu menurut Azyumardi Azra, secara umum dunia kependidikan Islam menghadapi tantangan yang tidak ringan, diantaranya: pertama, lemahnya masyarakat ilmiah, kedua, kurang integralnya kebijaksanaan sains nasional, ketiga, tidak memadainya anggaran penelitian ilmiah, keempat, kurangnya kesadaran pelaku sektor ekonomi akan pentingnya penelitian ilmiah, kelima, kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi dan pusat riset, keenam, isolasi ilmuan dan keterbatasan jaringan, dan yang ketujuh, birokratisasi, restriksi dan kurangnya insentif.
Menurut al-Kailani, jika dicermati kajian-kajian kependidikan Islam yang ada maka sebagian besar di antaranya tampak masih bercorak diskriptif, normatif, dan adoptif serta dalam bayang-bayang “Barat sentris” atau sebaliknya, “Salaf sentris”. Pendapat ini diperkuat oleh kesimpulan Muhaimin dalam disertasi doktornya bahwa kajian-kajian pendidikan Islam di Indonesia yang ia teliti dapat digolongkan ke dalam tipologi, yakni (1) Perenial-esensialis-salafi, (2) Perenial-esensialis-madzhabi, dan (3) modernis. Namun demikian semua tipologi itu memiliki kesamaan, yaitu kurangnya kritisisme. Akibatnya menurut JM. Muslimin, pendekatan kajian keislaman yang berorientasi normatif-spekulatif sebagai lawan dari pendekatan normatif-ril-praxis serta adanya proses pembelajaran yang berjalan secara monoton serta hanya berorientasi pada kurikulum berbasis penguasaan materi konvensional (absolete subject oriented curriculum) yang tidak lagi up to-date.
Oleh karena itu, demi menghindari kecenderungan “Barat sentris dan “Salaf sentris, gagasan “pengilmuan” metodologi kependidikan Islam yang dirintis misalnya melalui kerjasama antara institusi kependidikan Islam (IAIN/UIN) dengan Mc.Gill, Kanada, menurut Komaruddin Hidayat dengan sendirinya telah memperkaya dan mengembangkan wawasan dan ilmu keislaman di UIN khususnya, sehingga pesan Islam lebih mudah diartikulasikan dan dikomunikasikan pada dunia Barat. Sementara itu sumbangan perguruan tinggi Barat pada alumninya yang berasal dari UIN/IAIN terletak terutama pada pendekatan kritis-metodologis terhadap fenomena kehidupan beragama, dan bukan pada substansi dan materi ajaran agama. Karena apabila pendekatan kritis-metodologis dijadikan pisau analisis pada substansi dan materi ajaran agama, maka dunia kependidikan Islam akan sulit berlepas diri dari gejala framework liberal yang selama ini dipakai oleh ilmuan Barat dalam meneliti Islam.
Walaupun demikian upaya “pengilmuan” atau pembaharuan yang telah ada melalui proyeksi modernisasi kelembagaan IAIN/UIN, menurut Azra telah dirasakan dewasa ini dengan beberapa perubahan yang kongkrit, diantaranya: pertama, kajian-kajian Islam di IAIN pada umumnya bersifat lintas madzhab atau menggunakan pendekatan non-madzhabi; kedua terjadi pergeseran dari kajian Islam yang lebih bersifat normatif kepada yang lebih historis, sosiologis dan empiris; ketiga, orientasi keilmuan dan jalinan kerjasama IAIN menjadi semakin variatif, saling memperkaya dan beragam. Sehingga dunia kependidikan Islam tidak dapat merespon perkembangan hanya dengan cara-cara reaksioner, apalagi menjadikannya dirinya sebagai the living ground of radicalism.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...