Jumat, 11 Februari 2011

PSIKOLOGI DAN KEPRIBADIAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

A. MUQADDIMAH

Al-Qur’an sebagai korpus resmi pemahaman muslim secara universal mengandung pembahasan menyeluruh mengenai segala aspek kehidupan , termasuk diantaranya persoalan kejiwaan manusia. Al-Qur’an sering menyentuh aspek psikologis manusia dengan terminologi nafs (jiwa), bahkan secara ekstensif al-Qur’an mengangkat aspek kejiwaan (nafs) dalam 295 ayat . Ini membuktikan bahwa al-Qur’an sudah berperan aktif dalam proyeksi kejiwaan manusia, di samping peran al-Qur’an sebagai penawar penyakit kejiwaan (syifa). Sehingga al-Qur’an sudah memberikan landasan normatif bagi ummat Islam untuk mengatasi permasalahan kejiwaan, jauh sebelum ilmu psikologi secara resmi lahir pada tahun 1879, ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) membuka laboratorium pertama yang mempelajari tingkah laku manusia di Leipziq, Jerman .
Islam dalam kredonya memiliki konsep tentang “akhlaq”, di samping aqidah dan syari’ah. Konsep akhlaq ini berkaitan erat dengan persoalan etika kehidupan, yang selanjutnya sangat berhubungan erat dengan dimensi psikologis manusia. Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa dia diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia, dan ketika istri nabi Aisyah, ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai akhlaq beliau, dia menjawab bahwa akhlaq nabi adalah al-Qur’an. Hal ini diperkuat oleh al-Qur’an: “sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. 68: 4).
Terlepas dari kaidah normatif di atas, secara teoritik konsep kejiwaan manusia sudah mulai diperdebatkan sejak masa Sokrates (470-399 SM). Dan diteruskan oleh Plato (428-247 SM) dan muridnya Aristoteles (384-322SM). Persoalan kejiwaan juga menjadi perhatian khusus para filsuf dan ulama-ulama muslim, sejak era Al-Kindi, Al-farabi, Ibnu Sina, Al-ghazali dan ulama seperti Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Persoalan psikologis dan kejiwaan juga menjadi obyek perhatian mendalam para teoritikus dan pelaku tasawuf, sehinggga wajar kemudian muncul kajian yang disebut “akhlaq tasawuf”.
Makalah sederhana ini mencoba menggali lebih dalam persolan psikologis manusia, baik dalam konteks ilmu psikologi, dan persoalan kepribadian manusia yang tersurat dalam al-Qur’an, dan pentingnya penddikan akhlaq.

B. Sekilas Tentang Ilmu Psikologi
Psikologi berasal dari dua kata: psyche dan logos, yang berasal dari kata Yunani yang berarti “nafas kehidupan”, jiwa, atau ruh, secara bebas bisa juga diartikan sebagai pikiran. Karenanya psikologi semula didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa, akan tetapi dalam perkembangannya, definisi tersebut sudah tidak digunakan oleh kebanyakan psikolog untuk mendefinisikan psikologi . Karena persoalan “jiwa” dalam praktiknya dianggap mustahil dan sulit didefinisikan, sehingga sebagian psikolog menghindari pendefinisian jiwa sama sekali. Terutama para penganjur aliran behaviorisme, seperti B.F. Skinner dan J.B. Watson. Ini terjadi karena dalam praktiknya, kebanyakan psikolog berkonsentrasi pada yang dapat dilihat dan diukur dari tingkah laku manusia, termasuk proses biologis dalam tubuh .
Setelah dilahirkan oleh Wilhelm Wundt, psikologi diteruskan oleh Edward Titchener (1867-1927) yang berupaya menganalisis kesadaran, pengalaman, dan unsur-unsurnya secara struktural. Paradigma struktural ini kemudian mulai usang dan diteruskan oleh aliran fungsionalis, yang berupaya menerapkan psikologi dalam konteks sehari-hari. Diantara tokohnya yaitu Wiliam James (1842-1920) dan Jhon Dewey (1859-1952) . Dikemudian hari, perspektif psikologi berkembang dalam perspektif: psikodinamika, behavioristik, kognitif dan humanistik. Perspektif psikodinamika (jiwa yang aktif) berupaya meneliti pergulatan mental, terutama dalam ketidaksadaran (unconscious) yang tersembunyi dalam alam bawah sadar. Dalam pelaksanaannya diterapkan teori psikoanalitik dari Sigmund Freud (1856-1939). Terobosan yang dilakukan oleh Freud dianggap berhasil dalam menyembuhkan mental pasien dan jejaknya diikuti oleh Alfred Adler (1870-1937), Carl Jung (1875-1961), Karen Horney (1885-1952), Erich Fromm (1900-1958) dan Erik Erikson (19-02-1994). Akan tetapi perspektif psikodinamika dianggap tidak ilmiah dan tidak dapat diuji, seperti yang dikatakan Karl Popper. Akibatnya banyak psikolog yang tetap pada apa mudah dilihat, dan diukur, yaitu tingkah laku .
Upaya penelitian terhadap tingkah laku manusia kemudian dikembangkan oleh perspektif behaviorisme yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), Edward Thorndike (1874-1949), John B. Watson (1878-1958) dan B.F. Skinner (1904-1990). Kesemua tokoh ini meneliti dasar tingkah laku manusia dengan sampel binatang seperti anjing (Pavlov), kucing (Thorndike), tikus (Watson dan Skinner), sehingga perspektif ini tidak membedakan antara manusia dan binatang dalam tingkah lakunya. Seperti dikatakan oleh Skinner: “manusia adalah mesin, seperti mesin lainnya manusia bertindak dengan cara teratur dan dapat diramalkan sebagai responsinya terhadap tekanan dari luar” . Perspektif behaviorisme ini dikemudian hari ditentang oleh perspektif kognitif (gestalt) yang dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolgang Kohler (1887-1967), dan lain-lain. Psikologi kognitif hadir sebagai antitesa dari perspektif behaviorisme, dan berupaya untuk kembali kepada “akal sehat” yang memandang pikiran maupun tingkah laku itu dapat dipelajari. Dalam praktiknya, ini berarti mempelajari persepsi, pembentukan, konsep, ingatan, bahasa dan lain-lain . Dalam waktu yang sama pada tahun 1960, muncul perspektif humanistik, yang dikenal sebagai aliran ketiga setelah psikoanalisis dan behaviorisme. Aliran humanistik ini menekuni masalah kesehatan mental, dengan segala atribut positifnya, seperti kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, kebaikan, kasih sayang, berbagi, dan kedermawanan. Aliran ini dikembangkan oleh Abraham Maslow (1908-1907) dan Carl Rogers (1902-1987) .
Adapun persoalan kepribadian, beberapa psikolog telah berkonsentrasi pada masalah tipe kepribadian umum, misalnya Hans Eysenck yang mengembangkan tipe introvert dan ekstrovert dari C.G. Jung bersama dengan dimensi stabil-neurotik, dengan menggunakan angket. Eysenck berpendapat bahwa kepribadian terutama adalah bawaan sejak lahir . Selain itu, saat ini sudah lazim dipakai pembagian tipologi manusia yang dicetuskan oleh Galenus, yaitu tipe melankolis, koleris, flegmatis, dan sanguinis. Dalam persoalan kepribadian manusia, para pakar psikologi modern hanya terbatas pada penelitian aspek material dari manusia, sehingga yang dielaborasi secara mendalam adalah persoalan eksternal dan marginal semata. Tidak ada upaya untuk menyentuh sisi spiritual-bathiniah dari manusia, karena dianggap irrasional. Padahal proyeksi kejiwaan manusia tidak dapat terlepas dari substansi spiritual tersebut. Berbeda dengan perspektif Islam, yang memandang persoalan kejiwaan itu berjalin dan berkelindan dalam dimensi spiritual ajaran Islam itu sendiri.

C. Kepribadian Manusia dalam Al-Qur’an
1. Ciri-ciri kepribadian yang lurus
Kepribadian adalah kumpulan ciri-ciri perilaku, tindakan, perasaan yang disadari atau tidak disadari, pemikiran, dan konsepsi akal. Artinya kperibadian merupakan gagasan komprehensif yang tidak permanen atau tidak mapan, yang diperbuat oleh manusia, baik yang berasal dari dirinya, maupun dari orang lain . Al-Qur’an sesungguhnya telah menentukan ciri-ciri kepribadian yang sehat dalam puluhan ayatnya, baik yang terpisah-pisah maupun berada dalam satu rangkaian diantaranya adalah:
Kepribadian yang lurus adalah, sikap tidak pernah bersikap sombong dan berbicara dengan kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka:
Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS 25: 63).
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian orang-orang Mukmin, sebagian sifatnya-sifatnya adalah sebagaimana digambarkan di ayat berikut:
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS 25: 64-66)
Kepribadian yang lurus adalah pertengahan antara sikap berlebihan dan terlalu hemat (kikir) di dalam membelanjakan harta:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, tidak pula kikir, dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. 25: 67)
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang taat, yang tidak menyembah selain Allah, dan tidak pula menyembah kebanyakan tuhan yang disembah manusia:
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain selain Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. (QS. 25: 68.)
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang gemar bertaubat dan tidak dibelenggu oleh berbagai macam kesalahan dan dosanya:
Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. 3: 134-135).
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang jujur, tidak suka berbohong dan tidak melakukan berbagai perbuatan maksiat yang diharamkan Allah SWT:
Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka (lalui saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS 4: 114).
Tidak ada keburukan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar (QS 4: 114).
Dengan mendekati sifat-sifat ini dan melaksanakan segala isi ayat di atas, jiwa manusia akan mendekati kepribadian yang sehat, lurus, atau tenang. Sifat-sifat dari sebuah pribadi yang lurus dapat terangkum dalam ayat berikut:
Sesunguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar. (QS. 33: 35)

2. Ciri-ciri Kepribadian yang Sakit.
Kepribadian yang sakit memiliki banyak istilah di dalam buku-buku psikologi. Kepribadian semacam ini dipelajari dengan menggunakan istilah seperti: “gangguan kperibadian”, “kepribadian yang tidak seimbang”, dan “kepribadian yang tidak bermoral” . Di dalam al-Qur’an kita menjumpai puluhan ayat yang menggambarkan sifat-sifat kepribadian semacam ini diantaranya adalah:
Pribadi yang sakit adalah pribadi yang hipokrit (munafik) yang memiliki sifat pembohong dengan bersembunyi di balik agama dan berambisi untuk memenuhi keinginannya yang rendah:
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri, sedang mereka tidak sadar. (QS 2: 9)
Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu. (QS 63: 2).
Sebagian orang tertipu oleh keindahan penampilan luar dan kemanisan kata-kata orang yang berkepribadian seperti ini. Lahirnya bagus, sedangkan bathinnya hampa dan busuk:
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah kayu yang tersandar. (QS 63: 4).
Pribadi yang hipokrit adalah pribadi yang penakut, sombong, angkuh, dan berputus asa dari rahmat Allah:
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. (QS 63: 4).
Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. (QS. 2: 19).
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampun bagimu, “mereka membuang muka mereka dan kamu melihat mereka berpaling dan menyombongkan diri. (QS 63: 5).
Pribadi yang sakit adalah pribadi yang gemar membuat kerusakan di muka bumi. Namun demikian , ia merasa dirinya tidak berbuat demikian, bahkan menganggap dirinya orang yang mengadakan perbaikan:
Dan bila dikatakan kepada mereka: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.”Mereka menjawab, “ sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS 2: 11-12).
Firman Allah yang mengatakan “di dalam hati mereka ada penyakit” telah tertulis dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali, dan kebanyakan artinya adalah jiwa yang ragu dan buruk sangka terhadap Allah dan Rasul serta manusia. Pribadi yang sakit juga adalah orang yang memiliki kebiasaan mengumpat dan mencela (humazah-lumazah),orang–orang yang banyak bersumpah lagi hina (hallaf-mahin), serta setiap orang yang bodoh di dalam perkataan dan perbuatan :
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.”mereka menjawab, “akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman? “ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS 2: 13).
Kalau kita mengamati ayat-ayat yang menjelaskan mengenai kepribadian, baik mengenai kepribadian yang ideal, maupun kepribadian yang menyimpang, kesemuanya menjelaskan dalam pengertian yang universal, dan bersifat elementer. Karena sifat-sifat ideal, maupun sifat-sifat yang tercela yang menggambarkan kepribadian manusia tersebut juga menjadi bagian pembahasan etika kemanusiaan pada agama-agama lain. Yang membedakan adalah perspektifnya yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid. Sehingga, dalam pembahasan mengenai persoalan kepribadian manusia secara umum, kita merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an yang sebagai sumber kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk melakukan rekayasa sosial di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk.
Al-Qur’an mengatakan bahwa kelemahan manusia yang paling dasar dan yang menyebabkan semua dosa-dosa besarnya adalah “kepicikan” (dhaif) dan “kesempitan pikiran” (qathr). Al-Qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dalam bentuk-bentuk dan konteks-konteks yang berbeda, seperti dalam ayat-ayat berikut :
Sesungguhnya manusia mempunyai sifat yang goyah. Jika mendapatkan kemalangan ia pun berkeluh kesah tetapi jika mendapatkan kebaikan, ia berusaha agar kebaikan itu tidak sampai kepada orang lain (QS 70: 19-21)
Jika manusia penuh dengan sifat kikir (mementingkan diri sendiri) (QS 4: 128)
Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang jahiliah tersebut): seandainya kalian memiliki seluruh kekayaan Allah niscaya kalian tetap bakhil dan tidak mau memberikannya kepada orang-orang lain. Sesungguhnya manusia bersifat bakhil (QS 17:100)

Karena kepicikan itulah manusia mempunyai sifat yang suka terburu nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi yang dilakukannya: “sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat yang terburu nafsu”(QS 21: 37) ; “ketika menyerukan kebaikan seorang manusia segera menyertainya dengan seruan kejahatan – sesungguhnya manusia sangat terburu nafsu!” (QS 17:11). Karena sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya seperti manusia. Al-Qur’an berulang kali menandaskan bahwa setelah memperoleh rahmat manusia segera “melupakan” Allah.
Sifat manusia yang goyah ini, sifat yang senantiasa beralih dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya yang disebabkan oleh kesempitan akal dan kepicikannya ini, menunjukkan berbagai tensi moral yang dasar, di mana tingkah laku manusia haus berfungsi jika ia ingin kokoh dan berhasil. Dengan demikian sikap-sikap ekstrim yang saling bertentangan ini bukanlah “masalah” yang harus dipecahkan oleh pemikiran theologis, tetapi sebagai tensi-tensi yang harus “dihadapi” jika seseorang ingin menjadi manusia yang benar-benar “religius” atau hamba Allah yang sejati .
D. Kepribadian Muslim dan Urgensi Pendidikan Akhlaq Sejak Usia Dini.
Salah satu landasan penting pembangunan kepribadian adalah elalui pendidikan akhlaq sejak dini. Karena bagusnya akhlaq seorang berbanding lurus dengan kepribadian yang baik. Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlaq sebagai suatu kesadaran jiwa yang mendorongnya berperilaku tanpa berfikir dan melalui proses kognitif. Keadaan ini terbagi menjadi dua bagian: pertama, keadaan normal yang berasal dari prinsip fisik, atau memiliki potensi bawaan yang dapat secara spontan untuk merespon dirinya untuk berakhlaq baik. Kedua, keadaan yang muncul dari kebiasaan atau latihan, mungkin permulaannya adalah bersifat kognitif, kemudian terus berlangsung menjadi sifat dan akhlaq . Selain itu al-Ghazali mengatakan “sesunguhnya induk dari prinsip akhlaq ada empat, yaitu al-Hikmah (kebijaksanaan), as-Syaja’ah (keberanian), al-Iffah (penjagaan diri), dan al-‘adl (keadilan). Kebijaksanaan adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar dari yang salah pada semua perilaku yang bersifat pilihan (ikhtiar); keadilan adalah kondisi dan kekuatan jiwa untuk menahan emosi dan syahwat, juga mengendalikannya melalui proses penyaluran dan pengekangan secara proporsional dan sesuai kebutuhan; keberanian adalah ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada saat nekat atau menahan diri; serta penjagaan diri (al-Iffah) adalah terdidiknya daya syahwat dengan pendidikan akal dan syariat. Maka dari normalitas keempat prinsip akhlaq tersebut akan melahirkan kepribadian yang ideal .
Adapun mengenai pentingnya pendidikan akhlaq sejak usia dini, Ibnu Sina berpendapat bahwa jika pendidikan akhlaq diabaikan pada usia dini, maka akhlaq dan kebiasaan buruk bisa jadi tertanam, akibatnya kelak akan sulit melepaskan diri darinya. Dengan pendapat ini, Ibnu Sina telah melampaui Sigmund Freud dan para psikolog modern yang menyatakan pentingnya tahun-tahun pertama masa kanak-kanak bagi pembentukan kepribadiannya dan memperoleh ciri khas moralitas . Dalam praktiknya Al-Ghazali berupaya menentukan langkah-langkah dalam mendidik anak. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Usman Najati, sebagai berikut:
1. Menjauhkan anak dari teman sebayanya yang mungkin bisa mengajarkan akhlaq yang buruk.
2. Tidak membiasakan anak untuk manja dan sejahtera, sehingga ia menghabiskan usianya untuk mencari keduanya dan tidak bisa bersabar menghadapi penderitaan yang dapat menimbulkan bahaya dan kehancuran bagi dirinya pada saat dewasa. Anak harus dibiasakan berpakaian, tidur, dan makan secara sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
3. Mengajarkan anak tata krama ketika menikmati makanan, sehingga tidak menjadi rakus; mengajarkan anak mengambil makanan dengan tangan kanan, membaca basmalah, mengambil makanan yang terdekat, tidak terburu-buru mengambil makanan sebelum yang lain, tidak tergesa-gesa menghabiskan makanan; agar mengunyah makanan dengan baik dan mengajarkannya untuk puas dengan makanan seadanya.
4. Anak diajarkan membaca al-Qur’an, juga cerita-cerita tentang orang-orang baik untuk menanamkan cinta kepada kaum yang shalih.
5. Menghargai dan membari ganjaran atas akhlaq dan perilaku yang baik yang ditampilkan anak. Akan tetapi, kalau ia melanggar akhlaq baik sekali pada saat-saat tertentu, maka selayaknya hal itu diabaikan dan harga dirinya tidak dijatuhkan. Jika hal itu diulangi, maka ia ditegur secara rahasia dan dinasehati agar tidak mengulanginya pada kesempatan lain. Anak tidak boleh dicela dalam setiap kesempatan, karena itu akan membuatnya menyepelekan teguran dan celaan.
6. Anak harus dibiasakan berjalan, bergerak, dan berolah raga, sehingga tidak menjadi malas
7. Anak dilarang bersikap sombong dihadapan kawan-kawannya, dan dibiasakan untuk bersikap rendah hati serta menghargai setiap orang yang bergaul dengannya.
8. Anak diajarkan bahwa mencintai dan berambisi terhadap emas dan perak adalah sesuatu yang buruk, sebab dampak negatifnya lebih berbahaya dari dampak negatif racun atas anak yang kecil, bahkan anak yang besar.
9. Anak dilarang dilarang bersumpah, baik sumpah yang benar, maupun yang palsu, sehingga hal itu tidak menjadi kebiasaan pada masa kecil.
10. Anak dibiasakan untuk menghargai orang yang lebih besar, berdiri bagi orang yang lebih atas, meluaskan tempat baginya, dan diajarkan untuk taat kepada orang tua, guru pendidik, dan orang yang lebih dewasa darinya.
11. Anak dilarang berkata-kata kotor dan mencela.
12. Melatih anak bersikap sabar atas hukuman pukulan yang diberikan oleh guru, untuk menumbuhkan sikap pemberani dan siap menerma resiko.
13. Memberi waktu istirahat setelah belajar, dan membiarkannya bermain, karena memaksanya untuk terus belajar akan mematikan hatinya, membuatnya jenuh, dan tidak suka belajar.
14. Jika sudah menginjak remaja, maka ia dilarang meninggalkan bersuci dan shalat , dan dilatih untuk berpuasa di bulan Ramadhan.
15. Anak harus diajarkan untuk takut mencuri, memakan yang haram, berkhianat, berbohong dan menipu.
Kelima belas langkah praktis yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali ini diharapkan menjadi rujukan bagi orang tua dalam mendidik anak, sehingga melahirkan generasi Muslim yang berkepribadian unggul dan berbudi pekerti yang mulia.
D. KHATIMAH
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an suci secara ekstensif sudah turut berperan aktif dalam mengatasi problematika kejiwaan manusia. Selain itu dalam Al-Qur’an juga dijelaskan mengenai ciri-ciri orang-orang yang berkepribadian lurus, dan tipologi orang-orang yang berkepribadian buruk. Islam sebagai sebagai agama dengan dimensi spiritual yang kental, tidak pernah berupaya memisahkan aspek kejiwaan seseorang dengan substansi spiritual yang dimiliki olehnya. Karena dalam Islam diyakini bahwa apabila seseorang memiliki kualitas iman yang tinggi , sudah dapat dipastikan ia memiliki jiwa yang sehat dan memiliki kepribadian yang luhur. Berbeda dengan para psikolog modern yang mengelaborasi aspek kejiwaan manusia yang hanya terbatas pada “apa yang dapat dilihat” dan “apa yang dapat diukur” dan menghindari dimensi spiritual dari manusia. Tidak hanya itu, bahkan Sigmund Freud pada kesimpulan penelitiannya mengatakan bahwa hakekat terdalam dari kepribadian manusia adalah “libido”. Karena libido merupakan energi bawaan sejak lahir yang memotivasi dan membuat kita mampu untuk bertahan hidup, dimana kegiatan seksual merupakan salah satu bentuknya. Hal inilah yang membuat Prof. Noeng Muhadjir menawarkan aliran psikologi mazhab keempat, yang disebut psikologi motivatif. Salah satunya untuk membantah tesis Freud, dengan argumen bahwa energi bawaan sejak lahir adalah konsep fitrah ilahiah, dan motivasi seseorang itu dimotivasi oleh niat yang sudah terpatri dalam hati . Pada akhirnya, kepribadian yang luhur dalam Islam, mendapat proporsi penuh dalam doktrin tentang akhlaq yang merupakan bagian dari konsep ihsan, dan akhlaq yang baik harus dibangun dan diajarkan sejak usia dini. (Wallahu A’lamu Bishawwab)







Daftar Pustaka

Benson, C. Nigel dan Grove, Simon, Psikologi For Beginners, terj. Medina Khodijah, Mizan, Bandung, 2003

Najati, Muhammad Usman, Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, Pustaka Hidayah, Bandung 2002.

Muhadjir, Noeng, Mengembangkan Epistemologi Studi Islam tematik, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2003.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996.
Syarif, Adnan, Psikologi Qur’ani, terj. Muhammad al-Mighwar, Pustaka Hidayah, Bandung 2002.

RESPONS HIDAYATULLAH TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

BAB 1

PENDAHULUAN

Gagasan pendidikan Multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian bukan merupakan hal yang baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru.
Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Pesantren Hidayatullah sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan (Ormas), telah berkiprah selama sejak didirikan pertama kali tahun 1971 hingga saat ini pada gerakan sosial, keagamaan dan pendidikan. Proses perjalanan dakwah yang dilakukan juga telah merambah hampir keseluruh penjuru Nusantara, di mana keberadaan cabang dan perwakilan telah ada di 145 kota baik ditingkat Propinsi, Kotamadya dan Kabupaten. Pada tahun-tahun terakhir organisasi Hidayatullah meningkatkan intensitas dakwah Islam melalui pendidikan. Makalah ini berupaya mengungkap sejauhmana respons Hidayatullah tentang pendidikan Multikultural, dan apakah Hidayatullah telah mengaplikasikan pendidikan Multikultural tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Pendidikan Multikultural
Menurut Andersen dan Cusher (1994: 320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian James Banks (1993: 3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah), yang kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaimin el-Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perpektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.
Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman polulasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah prestasi dan perhatian terhadap orang-orang yang berbeda baik secara internal maupun eksternal.
James Banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memilki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, en equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik segi ras, budaya, ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai mahluk makro dan sekaligus mahluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
1. Tujuannya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya".
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis)
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
B. Visi Pendidikan Profetik di Pesantren Hidayatullah dan Respons terhadap Pendidikan Multikultural.

Pendidikan yang bervisi profetik menjadi strategi pendidikan yang dikembangkan di Pesantren Hidayatullah. Pendidikan bervisi Profetik, yaitu pendidikan yang tidak sekedar mengolah pengetahuan tekstual belaka, sehingga lulusannya kohesif dalam kehidupan di masyarakat. Diantara model pendidikan profetik yang dikembangkan di Hidayatullah yaitu:
a. Tidak terisolasi, terbelenggu secara terpisah di dalam main stream, lembaga, atau institusi pendidikan tertentu sebagai teritorial yang sempit. Akan tetapi merupakan suatu model penddikan terbuka, berada dalam lautan kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya.
b. Memiliki keseimbangan, yakni keseimbangan antara ruhani dan jasmani, keseimbangan antara teori dan praktek, keseimbangan antara sumber tekstual dengan sumber gejala alamiahya, keseimbangan antara pergaulan di kalangan institusi pendidikan dengan masyarakat, keseimbangan antara penampilan pengalaman peserta didik di luar sekolah dengan pengalaman peserta didik di dalam sekolah, dan keseimbangan antara kepentingan penyelenggara pendidikan dan kepentingan peserta didik.
Oleh karena itu pendidikan profetik dimaknakan sebagai pendidikan yang (1)kontekstual atau transformatif, (2) vertikal dan horizontal, dan (3) menempatkan institusi pendidikan di tengah-tengah pergaulan masyarakat luas baik lokal maupun global, serta (4) memiliki muatan pendidikan yang seimbang antara berbagai kepentingan dan pengalaman. Dengan demikian, maka pendidikan tidak diartikan mengubah tetapi lebih mengkondisikan agar pemberdayaan potensi dasar manusia dan masyarakat itu menjadi lebih mengalami peningkatan kualitas dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan. Potensi yang perlu dikembangkan adalah potensi metodologik yang lebih bermakna dalam mempengaruhi kehidupan, yakni potensi "iqra" atau kemampuan "membaca" baik membaca gejala alam dari wujud dan kejadiannya, maupun kemampuan membaca ayat-ayat Tuhan yang diberikan kepada masing-masing pribadi orang, yang mungkin wujudnya dalam bentuk "sandi-sandi" Tuhan. Kemampuan "iqra" itu dapat dinyatakan sebagai konsep metodologik untuk berdialog dengan Tuhan sebagai pencipta dan pengendali dinamika alam semesta. Karena Pesantren Hidayatullah berorientasi pengkaderan, maka dalam proses pendidikannya menerapkan pola pendidikan kualitatif, yaitu membatasi peserta didik dan memberi perolehan yang banyak. Hal ini dilakukan juga untuk membangun individu belajar agar mampu membangun masyarakat belajar yang sangat dibutuhkan dalam tatanan masyarakat global
Berangkat dari visi profetik tersebut, Hidayatullah sejak awal telah memposisikan diri sebagai lembaga Islam yang memperjuangkan nilai-nilai (syari'ah) Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Upaya tersebut dilakukan dengan mencari wadah, lokasi, teritori untuk melaksanakan visi tersebut. Setelah itu dikumpulkanlah anak-anak yatim, kaum dhu'afa dan kalangan fakir miskin untuk dibina di dalam lokasi tersebut dengan pembinaan nilai-nilai Islam.
Dari pemaparan tentang Multikulturalisme di atas pada dasarnya Hidayatullah telah mengakomodir nilai-nilai tertentu dari perspektif multikultural tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa para founding fathers Hidayatullah berasal dari suku-suku dan etnis yang berbeda-beda, sehingga sejak awal tidak pernah terjadi disparitas dan konflik kepentingan antar suku di dalamnya hingga kini. Dalam perkembangannya kemudian ketika cabang-cabang Hidayatullah merambah keseluruh kota-kota di Indonesia terjadi sinergi yang seimbang antara berbagai personalia yang sesungguhnya berasal dari kultur dan etnis yang berbeda. Begitupula halnya pada tataran praktis di wilayah pendidikan, sebagai contoh di Balikpapan yang merupakan pusat gerakan Hidayatullah. Di mana hampir keseluruhan santri berasal dari cabang-cabang yang ada, sehingga populasi santri sangat multietnik, dan sampai saat ini pun tidak pernah terjadi disparitas atau konflik kepentingan diantara suku dan etnis yang berbeda. Hal ini terjadi karena sejak awal Hidayatullah telah menjadikan konsep ukhuwah Islamiah, ukhuwah Basyariah, dan ukhuwah Wathoniah sebagai main stream gerakan. Sehingga tidak pernah terjadi kekhawatiran akan konflik kesukuan di dalamnya.
Sekalipun konsep-konsep dan strategi pendidikan multikultural belum mengejawantah dalam konsep pendidikan Islam di Hidayatullah, akan tetapi pada tataran nilai, hal tersebut telah dilakukan. Kalau core values multikultural yang dimaksud adalah apresiasi terhadap pluralitas budaya dan agama, hakikat manusia dan HAM, Tanggung jawab sebagai pelaksana tanggung jawab kemanusiaan di muka bumi (Khalifatullah Fil Ardhi), dan tanggung jawab manusia secara global (Tilaar: 2003), maka hal tersebut bagi Hidayatullah tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan merupakan sebuah proses ijtihadi kalau hal itu dikembangkan.
Akan tetapi apabila core values pendidikan multikultural yang dikembangkan adalah konsep demokrasi versi Amerika, pluralisme atau kesatuan teologis agama-agama, dan konsep humanisme yang dilandasi oleh nilai-nilai sekularisme, maka hal tersebut tertolak bagi Hidayatullah. Selain tidak sesuai dengan visi dan misi perjuangan Hidayatullah, hal tersebut juga bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah yang selama ini diperjuangkan.
Hidayatullah sangat menyetujui untuk menjadikan konsep Multikultural sebagai arus baru di dalam pendidikan Islam. Akan tetapi konsep Multikultural yang dibangun di atas nilai-nilai universal Islam seperti Ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama kaum Muslim), Ukhuwah Basyariah (persaudaraan kemanusiaan), Ukhuwah Wathoniah (persaudaraan kebangsaan). Selain itu konsep Multikultural tersebut juga harus dibangun di atas semangat kemanusiaan yang dikembangkan dalam Islam, seperti konsep Ta'arruf (saling mengenal), Tasamuh (toleransi), Tawazun (proporsional) dan Tabayun (rekonsiliasi). Adapun dalam konsep pluralitas, Hidayatullah menerima konsep Pluralisme Confessional yang ditawarkan oleh Prof Dr. Noeng Muhadjir, yaitu mengakui eksistensi masing-masing agama, kepercayaan, ras, etnis dan bangsa, sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjadi kearifan lokal Bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah kesimpulan bahwa konsep Multikultural sebagai sebuah wacana baru dapat diterapkan di dalam pendidikan Islam. Semangat apresiasi terhadap pluralitas budaya dan agama, hakikat manusia dan HAM, Tanggung jawab sebagai pelaksana tanggung jawab kemanusiaan di muka bumi (Khalifatullah Fil Ardhi), dan tanggung jawab manusia secara global dapat dijadikan sebagai core values dalam proses pengajaran.
Adapun Hidayatullah, berupaya melakukan respons secara konseptual, bahwa visi pendidikan profetik yang telah dipakai selama ini memperlihatkan banyaknya nilai-nilai multikultural yang dapat terakomodir pada tataran praktis. Selain itu Hidayatullah berupaya memahami konsep multikultural bukan sebagai upaya demokratisasi versi Amerika, Pluralisme atau kesatuan teologis agama-agama dan Humanisme sekuler. Akan tetapi konsep kebudayaan yang dibangun di atas nilai-nilai lokal dan nilai-nilai Islam seperti, Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Basyariah, Ukhuwah Wathoniah dan semangat konsep Ta'aruf, Tasamuh, Tawazun, dan Tabayun. (Wa Allah A'lam bi Al-Shawwab)

Sumber Bacaan
Golnick, Donna M. & Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralictic Society (New Jersey & Ohio: Prentice Hall), 2002.
Hernandez, Hilda, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content (New Jersey & Ohio: Prentice Hall), 1989.
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang: IndonesiaTera), 2003.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2006.
Yaqin, Ainul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media), 2005.

Review Artikel Bab Pendidikan dalam Buku Islam Karya Fazlur Rahman

A. RINGKASAN.

Sekolah.
Kedatangan Islam dan ekspansinya telah membuat keterampilan membaca dan menulis semakin meningkat, dimana pada tahap awal guru yang mengajari keterampilan tersebut adalah orang-orang non-muslim. Budaya agama yang menjadi instrumen pendidikan Islam menimbulkan kontroversi selama kurang lebih dua abad pertama sejarah Islam. Akhirnya fungsi pengajaran baca-tulis dan pengajaran al-Qur’an dalam praktiknya menjadi berbeda sebagaimana diakui oleh Ibnu Khaldun, dimana keterampilan tersebut hanya bisa didapatkan melalui guru-guru professional.
Di dalam sejarah Islam pendidikan dasar adalah unit yang mandiri dan tidak ada hubungan organis dengan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga secara tipologis terbagi dua, yaitu pendidikan dasar (paedagogy) termasuk diantaranya pendidikan Istana dan pendidikan orang dewasa (andragogy) yang tumbuh dalam grup fokus (halaqah) dengan guru-guru tertentu. Pendidikan tinggi atau pendidikan orang dewasa menjadi instrumen budaya agama yang vital dimana pemikiran hukum Islam dan moral theologis mengalami dialektika secara intensif yang menimbulkan pembakuan konsensus hukum dan pemikiran Kalam. Dari sini kemudian muncul kelas professional ulama hukum (fuqaha) dan ulama Kalam (mutakallimun), walaupun harus diakui sebelum kelas professional ulama ini muncul terdapat fluiditas pemikiran dan budaya toleransi yang tinggi.
Sementara itu dalam dunia kepustakaan yang menjadi penopang penting pendidikan Islam, buku-buku terkonsentrasi secara massif di Masjid, di perpustakaan semi-publik yang merupakan donasi pejabat terkemuka, dan di perpustakaan istana yang bersifat non-publik dan eksklusif. Literatur yang tersedia di perpustakaan tersebut bersifat umum, baik literatur agama maupun di luar agama. Yang menarik adalah perpustakaan dan akademi yang dibina oleh al-Ma’mun (Baitul Hikmah) lebih mempusatkan perhatian pada literatur dan penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani.
Sedangkan sekolah-sekolah milik pribadi dan sekolah-sekolah umum juga didirikan oleh usaha dan donasi individu untuk bidang pengetahuan keislaman yang khusus seperti hadits, hukum dan sejenisnya. Lembaga seperti ini terduplikasi secara massif dalam jumlah yang signifikan, terutama di wilayah timur. Khusus dalam bidang pengajaran hadits, sekolah ini memasukkan unsur-unsur propaganda anti Syi’ah sebagai respon atas kesuksesan politik dinasti Buwaihi di Irak dan Fathimiyah di Mesir, dimana al-Azhar menjadi produk historis terbesarnya.
Secara mendasar tidak benar bahwa kemunculan madrasah ortodoks sebagai kontra propaganda terhadap Syiisme karena fakta membuktikan bahwa sekolah Sunni sudah ada sebelum propaganda Syi’ah. Sekalipun selama kekuasaan politik mereka menjadikan lembaga akademik mereka sebagai alat propaganda yang menyebabkan penguasa-penguasa Sunni (Bani Ayyub dan Bani Saljuk) menyokong lembaga pendidikan Sunni yang pada akhirnya mampu mencapai supremasinyadengan ciri, watak, etos, dan status sosial tersendiri.
Akan tetapi tidaklah benar asumsi yang menyatakan bahwa Islam Sunni berhasil karena dukungan politik penguasa, karena yang menjadi faktor penentu adalah kecenderungan mayoritas masyarakat terhadap peranan publik figur seperti al-Ghazali yang menjadi tokoh sentral di Institut Nizhamiyah.
Watak Ilmu Pengetahuan Islam Zaman Pertengahan.
Sejak awal diseminasi ilmu pengetahuan Islam berpusat pada tokoh-tokoh sentral yang dengan upaya individualnya mengkonstruk kandungan pemikiran Islam. Sehingga menarik minat para murid untuk berkumpul di sekitar para tokoh sentral tersebut. Pasca pembelajaran para murid akan mendapatkan lisensi untuk mengajar suatu mata pelajaran atau kitab tertentu. Yang menarik adalah ijazah dikeluarkan atas nama guru dan bukan atas nama sekolah, dan memperkuat asumsi bahwa pada zaman pertengahan para guru memiliki peranan yang lebih signifikan dibandingkan madrasah.
Para murid yang turun ke jalan pencarian ilmu (syadd al-rikal) kepada para tokoh-tokoh sentral menjadi ciri khas pengetahuan tradisional. Pada tahap awal pengetahuan tradisional dibedakan dari Fiqh atau pemahaman. Akan tetapi lambat laun Fiqh lalu menjadi pemikiran hukum, dan ‘pengetahuan’ berarti theologi. Dalam perkembangannya kemudian pada abad 10-11 M, terjadi upaya penutupan pintu ijtihad, yang membuat ilmu-ilmu intelektual seperti theologi dan pemikiran keagamaan mengalami stagnasi.
Hal ini kemudian membuat merosotnya kehidupan intelektualisme Muslim yang mengakibatkan menurunnya kualitas ilmu pengetahuan Islam dan ilmu keagamaan menjadi kering. Pandangan yang kering dan sempit tersebut menjadi ciri khas dan pandangan dunia (worldview) ulama zaman pertengahan, dimana terjadi pengucilan terhadap jenis-jenis pemikiran murni dan bahkan juga matematika, kecuali ilmu berhitung dasar. Pada saat yang sama ditengah persaingan ilmu hukum Islam dan theologi dogmatik, Fakhruddin al-Razi, memperluas ruang lingkup theologi dogmatik ke dalam skema filosofis-teologis yang membuat para mahasiswa meninggalkan sama sekali literatur filsafat. Dari proses ini menimbulkan pandangan yang sempit dan kelesuan pendidikan tinggi, sebagaimana testimoni dari Katib Chelebi (1657 M) dari Turki dan Aurangzeb (1707) dari India.
Di sisi lain, merosotnya intelektualisme di dalam ranah ‘madrasah’ telah mendorong orang-orang yang serius terhadap kecenderungan intelektualisme beralih ke lembaga pendidikan sufi (zawiyah dan khanaqah). Karena itu timbullah dualisme yang tajam antara madrasah dengan theologi spekulatif ortodoksnya dan khanaqah dengan metafisika sufinya yang khas. Pada saat yang sama, pendidikan Barat datang membawa sifat dan karakter yang jauh berbeda.
Kurikulum dan Pengajaran.
Sikap yang minor terhadap pemikiran umum dan sains-sains kealaman, membuat kurikulum menyempit menjadi hadits, fiqh, kalam, dan tafsir, ditambah dengan gramatika dan kesusasteraan. Bahkan di madrasah ahl al-hadits aspek kalam dihapus sama sekali dari kurikulum. Sedangkan di dalam sekolah tertentu ditambahkan referensi tentang sufisme. Selain itu karena jumlah buku dalam kurikulum sangat minim, maka waktu untuk pembelajaran untuk memahami secara utuh menjadi sangat singkat. Akibatnya pembelajaran bersifat studi tekstual, karena lebih mengandalkan hafalan daripada pemahaman. Selain itu fokus pembelajaran hanya pada buku dan bukannya pada pelajaran, yang menyebabkan lahirnya banyak karya-karya komentar yang membuat hilangnya orisinalitas dalam suatu subyek tertentu.
Kebiasaan menulis komentar tanpa disertai penulisan karya-karya independen, menyebabkan terjadinya tumpukan komentar di atas komentar, hingga karya asli yang menjadi subyek komentar ditinggalkan. Bahkan karya theologi dogmatis merosot dari komentar menjadi catatan pinggir saja tentang pendapat superfisial dan perbedaan-perbedaan verbal. Hal-hal inilah yang menjadi pijakan kurikulum madrasah.
Pelaksanaan kurikulum di madrasah dilakukan dengan metode hierarki mata pelajaran, sehingga murid melalui kelas demi kelas mata pelajaran dengan waktu yang terlalu singkat untuk menguasai setiap mata pelajaran. Selain itu guru hanya berpandu pada buku rujukan asli berikut komentar-komentarnya, tanpa penjelasan lebih lanjut, atau komentar pribadi sang guru.
Di samping itu, tidak adanya kesepahaman tentang hierarki ilmu yang jelas, membuat kajian hadits menjadi sangat superior, dan membuat beberapa sekolah akhirnya hanya mengajarkan hadits saja. Akan tetapi terdapat kebebasan bagi murid untuk memilih lembaga pendidikan pendidikan yang ada, termasuk adanya kecenderungan memasuki zawiyah (lembaga pendidikan sufi) setelah lulus dari pendidikan konvensional.
Walaupun orientasi madrasah hanya pada disiplin ilmu-ilmu keagamaan, membuat tidak sepenuhnya lembaga pendidikan menjadi kaku, karena materi-materi pelajaran non-keagamaan bisa didapatkan secara privat (ekstra-madrasah), sebagaimana kasus Syah Waliullah dan Muhammad Ali al-Tsanawi.
Konsepsi tentang ilmu juga menjadi dasar lemahnya ilmu pengetahuan Muslim. Yaitu pandangan atau sikap yang pasif terhadap ilmu pengetahuan, dimana ilmu dipahami hanya ‘diperoleh’, bukan sesuatu yang harus dicari dengan semangat kuriositas yang tinggi untuk menemukan ilmu (inquiry). Disisi lain, pertentangan ilmu tradisional versus ilmu rasional, membuat pembela ortodoksi berupaya sekuat tenaga untuk memproteksi tradisi dan bersikap ketat terhadap rasionalitas. Akibatnya aspek theologi-kalam menjadi sangat mekanis. Sehingga sistem Kalam tidak lagi menyegarkan pemikiran, dan justru menjadi pengganti filsafat skolastik yang pada umumnya menyumbat kemajuan pemikiran.

B. KRITIK.
Melalui tulisannya Fazlur Rahman menyajikan perkembangan pendidikan tinggi Islam. Rahman berupaya merumuskan metodologi pemikiran keislaman, sebagai rumusan jalan keluardari sebuah kritisisme atas sejarah pemikiran keislaman. Tampaknya bahwa metodologi alternatif dipandang Rahman sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektualisme Islam. Rahman menyadari bahwa proyek besar tersebut selain memerlukan waktu yang panjang juga memerlukan sarana penunjang. Sarana penunjang yang dimaksud Rahman tiada lain adalah sistem pendidikan Islam.
Pada pembahasan mengenai sekolah, Rahman menjelaskan adanya kontroversi selama dua abad pertama dalam Islam, mengenai pengajaran baca-tulis dan pengajaran firman Allah. Menurut penulis, paling tidak perlu adanya kategorisasi di dalam pengajaran firman Allah. Pada mulanya al-Qur’an diserap oleh para sahabat dalam bentuk hafalan dan hanya ditulis oleh sebuah tim penulis, karena hal yang primer ketika itu adalah bagaimana meresapi dan memahami kandungan ayat-ayat dan mendakwahkannya, bukan bagaimana menuliskannya atau membacanya. Dalam artian yang lain, bahwa yang utama adalah keberlangsungan makna verbal dari sebuah teks, bukan bagaimana caranya memproduksi sebuah teks. Dari hal tersebut Rahman seolah-olah tidak sepakat dengan proses historis yang terjadi. Padahal di balik semua fenomena tersebut, ada hikmah yang sangat besar, yaitu bahwa al-Qur’an ‘terjaga’ dari reduksi makna yang akan berujung pada reduksi terhadap teks.
Pada aspek yang lain, Rahman menganggap berdirinya Baitul Hikmah yang dibangun dan dibina oleh al-Makmun yang memfokuskan pada literatur sains dan filsafat Yunani adalah suatu hal yang mencengangkan. Padahal apresiasi penguasaMuslim terhadap sistem budaya dan pemikiran sudah terjadi sejak era daulah Umayyah yang mengadopsi budaya politik, dalam hal ini juga budaya ilmu dari Romawi. Secara kebetulan proyeksi sains dan filsafat menjadi sangat eksklusif karena faktor bahasa dan dominasi elit cendekiawan khususnya dari kalangan Muktazilah. Penulis berasumsi bahwa yang dilakukan oleh al-Makmun lebih bersifat politis, karena ada kecenderungan monopoli pada hal-hal yang bersifat saintifik, seperti yang terjadi hingga saat ini, yakni monopoli negara-negara maju terhadap lapangan ilmu pengetahuan saintifik.
Rahman juga berasumsi bahwa turunnya kualitas ilmu pengetahuan Islam dikarenakan kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme. Rahman tidak menjelaskanlebih lanjut apa yang dimaksud dengan kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan. Karena ilmu-ilmu keagamaan berevolusi dalam sejarah sebagai bagian dari kehidupan intelektual Muslim. Evolusi yang dimaksud bersifat dinamis. Anggapan Rahman bahwa telah terjadi proses kekeringan yang gradual dalam lapangan ilmu-ilmu keagamaan bersifat tendensius. Selain itu pengertian intelektualisme oleh Rahman masih bias. Dimana intelektualisme dianggap sebagai puncak keberhasilan diskursif, atau ‘hasil’ yang harus dicapai. Sehingga ketika orang-orang tampak meninggalkannya, dianggap suatu kemunduran, padahal semestinya proyeksi intelektualisme adalah ‘proses’ yang dinamis dari intelektual Muslim yang berkecimpung dalam lapangan ilmu keagamaan maupun lapangan sains dan filsafat.
Kecurigaan Rahman yang berlebihan juga terjadi pada lapangan theologi dogmatik. Menurutnya kekeringan intelektual dan matinya pemikiran orisinal, adalah akibat theologi dogmatik yang menghubungkan semua bentuk ilmu secara organis dan dijadikan sebagai alat klaim kebenaran (truth claim) suatu dogma. Dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang terhadap proses historis kaum Muslim, apakah proses anomali seperti yang telah disinggung oleh Rahman telah benar-benar terjadi dalam sejarah Muslim. Menurut hemat penulis, persoalan yang disinggung Rahman justru pernah terjadi dalam sejarah kaum Gereja, dan memicu gerakan renaissance di Barat.
Penulis juga tidak sepakat dengan kesimpulan Rahman tentang cara pandang terhadap ‘ilmu’ yang pasif dari kalangan Muslim di zaman pertengahan karena menganggap ilmu adalah sesuatu yang harus ‘diperoleh’, Bukan sesuatu yang harus dicari dan ditemukan (inquiry). Pandangan Rahman tersebut bertentangan dengan bahasan Rahman sebelumnya tentang watak ilmu, dimana ia menjelaskan tentang fenomena pencarian ilmu (thalabul ‘ilm) yang seorang mahasiswa Muslim dengan semangat kuriositas yang tinggi bisa mengikuti kuliah dari lebih seratus orang guru dengan proses turun ke jalan (syadd al-Rikal). Di samping itu apabila melihat penjelasan historis tentang etos ilmiah yang tinggi dan proses kreatif-adaptif para intelektual Muslim di dalam menghasilkan peradaban ilmu yang superior pada zamannya, dalam hal ini kesimpulan Rahman tersebut tampak tidak proporsional.

C. PROYEKSI MASA DEPAN PENDIDIKAN ISLAM
Bagi penulis, upaya modernisasi pendidikan Islam senafas dengan gagasan “pengilmuan”, dimana dunia kependidikan Islam baru beranjak dari periode idiologi, bahkan periode mitos/mistis. Gerakan pengilmuan atau pembaharuan yang radikal pertama dilakukan Mukti Ali pada tahun 1975-an, dimana kurikulum madrasah dirubah dari 100% mata pelajaran agama menjadi 70% mata pelajaran umum dan hanya 30% mata pelajaran agama. Ditingkat perguruan tinggi peran Mukti Ali dan Harun Nasution tidak dapat diabaikan karena telah merevisi kurikulum PTAI lebih kuat pada aspek sejarah dan pendekatan sejarah dalam kajian agama. Sampai tahun 1989, pembaharuan pendidikan Islam sudah cukup menyeluruh, mencakup kelembagaan pendidikan, penerapan sistem kelas, revisi kurikulum, dan dimasukkannya ilmu-ilmu umum ke dalam sistem pendidikan Islam dan pengakuan eksistensial yang sama dengan lembaga pendidikan umum, dengan keluarnya UU Sisdiknas tahun 2003.
Berangkat dari hal tersebut, pengilmuan metodologi kependidikan Islam menjadi sangat penting, karena dengan kerangka idiologi, pelaksanaan pendidikan agama sering kali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif: lebih mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih mementingkan materi daripada metodologi. Selain itu problem ini muncul disebabkan oleh idiologisasi dan teologisasi ilmu-ilmu keislaman, sebagai ilmu yang memberi bekal kemampuan dalam memahami kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Metodologi kependidikan Islam yang idiologis dikategorikan sebagai model pendekatan doktriner-literal-formal, karena pendekatan yang diterapkan dalam model ini lebih menekankan pada formalisme agama, bersifat normatif-tekstual dan sering kali lepas dari konteksnya. Karenanyapendidikan agama lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak bisa lagi dibantah dan diganggu gugat. Lebih dari itu teologisasi dan idiologisasi metodologi kependidikan Islam juga membawa pendidikan Islam ke arah dogmatisme; pendidikan Islam cenderung sepenuhnya dipahami secara murni normatif-doktrinal dan kurang apresiatif atau bahkan kontradiktif dengan pendekatan ilmiah-rasional yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu sekuler.
Di sisi lain pendekatan kajian keislaman yang berorientasi normatif-spekulatif sebagai lawan dari pendekatan normatif-ril-praxis serta adanya proses pembelajaran yang berjalan secara monoton serta hanya berorientasi pada kurikulum berbasis penguasaan materi konvensional (absolete subject oriented curriculum) yang tidak lagi up to-date.
Oleh karena itu, demi menghindari kecenderungan “Barat sentris dan “Salaf sentris, gagasan “pengilmuan” metodologi kependidikan Islam yang dirintis misalnya melalui kerjasama antara institusi kependidikan Islam (IAIN/UIN) dengan Mc.Gill, Kanada, dengan sendirinya telah memperkaya dan mengembangkan wawasan dan ilmu keislaman di UIN khususnya, sehingga pesan Islam lebih mudah diartikulasikan dan dikomunikasikan pada dunia Barat. Sementara itu sumbangan perguruan tinggi Barat pada alumninya yang berasal dari UIN/IAIN terletak terutama pada pendekatan kritis-metodologis terhadap fenomena kehidupan beragama, dan bukan pada substansi dan materi ajaran agama. Karena apabila pendekatan kritis-metodologis dijadikan pisau analisis pada substansi dan materi ajaran agama, maka dunia kependidikan Islam akan sulit berlepas diri dari gejala framework liberal yang selama ini dipakai oleh ilmuan Barat dalam meneliti Islam.
Dari sini dapat terlihat bahwa telah terjadi evolusi pada proyeksi metodologi kependidikan Islam, dimana puncak evolusi tersebut adalah upaya pengilmuan dengan mekanisme objektifikasi, atau apa yang telah terapresiasi dalam konsep keilmuan integratif. Misalnya UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggambarkan jati diri keilmuannya melalui bukunya Pandangan Keilmuan UIN: Wahyu Memandu Ilmu (2006). UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tertuang dalam bukunya Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Masa Depan (2004). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jargon Menuju Universitas Riset (2006). UIN Alauddin Makassar menyebutnya dengan Inner Capacity seperti tertuang dalam bukunya Memahami Kebahagiaan Antara Impian dan Kenyataan: Suatu Upaya Pengembangan Inner Capacity (2006). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menuangkannya dengan jargon “integrasi-interkoneksi keilmuan” melalui skema jaring laba-laba yang di-endors secara paradigmatik oleh Amin Abdullah.
Fenomena objektifikasi tersebut tidak hanya terjadi pada level pendidikan tinggi, akan tetapi juga merambah pendidikan dasar dan menengah dengan menjamurnya SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) dan SMPIT (Sekolah Menengah Islam Terpadu). Menurut hemat penulis, basis epistemologi yang mendasari transformasi IAIN ke UIN dikhawatirkan hanya mengkerut menjadi sebatas jargon semata karena dicurigai jargon tersebut tidak dibangun di atas landasan filosofis, worldview, dan framework yang tegas dan jelas. Begitupula halnya pada pendidikan dasar dan menengah yang menunjukkan gejala bahwa sekolah tersebut didirikan untuk memenuhi kecenderungan pasar dari konsumen yang membutuhkan “sekolah umum yang agamis”, yang pada saatnya nanti sekolah ini hanyut dalam kepentingan pragmatis dan superfisial. Akibatnya aspek pendidikan agama hanya menjadi pelengkap penderita (aksesoris), atau meminjam bahasa Munir Mulkhan dengan istilah “pseudo madrasah”.
Oleh sebab itu akhirnya timbul pertanyaan seperti, bahwa “apakah ilmu sekuler itu telah disyahadati atau disakralkan dan dengan cara bagaimana itu dilakukan?”. Pertanyaan tersebut menjadi penting karena disengaja, terpaksa, atau kurang disadari dunia kependidikan Islam hidup dalam bingkai peradaban modern yang cacat sejak lahir. Karenanya aspek pendidikan tersusun secara sistematik dalam mekanisme perebutan peluang dalam ruang sosial, alam, dan nilai ekonomi yang dibatasi konsep sukses kehidupan habis-bagi. Selain itu kehancuran peradaban modern adalah akibat dari cara pandang dunia yang serba fisis-material, dimana imajinasi kreatif-bebas manusia menjadi mati suri, dan rasio analitik modernitas mempersulit manusia memahami sintesis realitas universum.
Sehingga konteks “pengilmuan metodologi kependidikan Islam” di sini semestinya dalam kerangka dasar wawasan pengetahuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah digariskan sejak al-Qur’an pertama kali diturunkan pada QS. Al-Alaq (96) 1-5. Di sini, pengetahuan manusia disebut dengan “pembacaan” (al-Qiraah) yang meliputi dua wilayah pokok, yakni pembacaan (1) “kitab penciptaan” dan (2) pembacaan “kitab tertulis”. Dengan demikian, pengetahuan manusia adalah sesuatu yang hushuli (tanpa menutup kemungkinan terhadap yang hudhuri). Seiring proses dinamis yang digumulinya dalam upaya menyingkap tirai-tirai realitas.
Jadi sejatinya yang perlu dilakukan adalah bagaimana membebaskan falsafah keilmuan dan metodologi kependidikan Islam yang terpenjara oleh paradigma habis bagi positif-materialistik, karena cacat teologis, epistemologis, dan aksiologis dari modernitas akan menimbulkan ancaman global, dimana dinamika ruh (fitrah) diletakkan dalam posisi sub-ordinat. Akibatnya yang terjadi adalah proses dehumanisasi, dimana hakikat kemanusiaan dicerabut dari dimensi ilahiahnya.
Pengilmuan metodologi kependidikan Islam dalam kerangka spiritualisasi, makrifatisasi atau pensyahadatan konstruksi ilmu, sesungguhnya sudah terjadi sejak ayat pertama dari al-Qur’an diturunkan. Ayat yang berbunyi “Iqra Bismirabbikalladzi Khalaq”, bermakna bahwa bingkai keilmuan dalam Islam/metodologi kependidikan Islam adalah “bismirabbik”, atau dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan.Wallahu A’lamu Bishawwab.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...