Selasa, 02 Agustus 2011

DEKONSTRUKSI KONSEP KEIMANAN ISLAM: DARI FORMAT MADINAH MENUJU FORMAT MEKKAH (610-622 M)

Realitas objektif yang terjadi saat ini, di mana pendidikan tentang keimanan (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama. Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan. Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about being Moslem).
Sebagaimana diketahui konsep pendidikan keimanan yang diajarkan pada siswa saat ini adalah suatu bangunan pemikiran yang terbentuk dari proses dialektika Kalam yang sarat dengan perdebatan teologis daripada upaya pendalaman pemahaman peserta didik terhadap keimanan pada Tuhan. Sehingga sangat wajar apabila konsep keimanan yang ada saat ini sangat rentan bagi infiltrasi pemikiran keislaman yang kontraproduktif, misalnya saja fenomena pola indoktrinasi NII (Negara Islam Indonesia) dengan pola cuci otak (brainwash). Belum lagi adanya fenomena radikalisasi pemikiran keislaman di kalangan muda. Hal ini menandakan konsep keimanan yang dipahami tidak paralel dengan kesadaran diri secara penuh. Problematika yang muncul mengenai konsep keimanan ini menandakan bahwa telah terjadi anomali pada konsep-konsep keimanan yang diajarkan pada peserta didik selama ini.
Oleh karena itu, timbul satu pertanyaan, bagaimana merekayasa ulang, atau melakukan rekonseptualisasi terhadap permasalahan ini?. Harus disadari bahwa bentukan konsep keimanan yang diajarkan pada saat ini adalah bersifat tekstual minded, dalam artian tidak menelaah kembali bagaimana realitas objektif pengajaran keimanan pada masa Rasulullah, khususnya pada periode Mekkah (610-622). Karena pada periode inilah intensitas pengajaran keimanan dilakukan secara langsung dan persuasif dari Rasul pada komunitas muslim awal Islam. Pada periode inilah kita disuguhi oleh kisah-kisah heroik para sahabat yang memiliki immunitas keimanan yang tinggi dan mampu bertahan atas berbagai macam deraan dan siksaan. Tentunya dari tinjauan preskriptif ini kita menemukan bahwa immunitas keimanan para sahabat pada periode Mekkah paralel dengan konstruksi makna keimanan yang dibangun oleh Rasulullah pada masa itu. Kita bisa memastikan bahwa konseptualisasi keimanan yang terbentuk pada era Mekkah sangat berbeda dengan konsep keimanan yang diajarkan pada peserta didik pada masa sekarang.
Dekonstruksi atas pemaknaan keimanan pada masa sekarang menjadi penting dalam rangka memperbaharui konsep tersebut, karena konsep itu terbukti tidak lagi ampuh di dalam memberikan immunitas keimanan bagi peserta didik. Sebagai gambaran hipotetik, penulis akan mencoba mendeskripsikan sekilas tentang format konseptualisasi keimanan pada periode Mekkah. Bahwa Nabi SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Dari sini ada beberapa fase pendidikan Tuhan kepada Muhammad sebelum diangkat sebagai Rasul: yakni, fase keyatiman, menggembala, berdagang, ber-khadijah, dan yang terakhir adalah ber-gua hira, kelima fase ini menyatakan secara eksplisit bahwa core values pendidikan keimanan dalam Islam apabila mengikuti format pendidikan Tuhan pada Rasul, yaitu kemandirian, kepemimpinan, kewirausahaan, pemenuhan tanggung jawab dan menjadi problem solver.
Selain itu lima surah yang pertama kali turun secara sistematik sekaligus sistemik telah menjadi menjadi dasar konseptualisasi keimanan pada para sahabat ketika itu, yakni surah al-Alaq (1-5) yang isinya berkenaan dengan upaya Tuhan mengenalkan eksistensiNya dan berupaya menormalisasi pandangan teologis penduduk Mekkah yang pagan menuju monotheisme Tauhid. Hasil dari fase pertama ini adalah kesadaran diri para sahabat untuk bersyahadat dengan teguh. Kemudian disusul surah al-Qalam (1-10) adalah tahapan orientasi, yakni menanamkan keyakinan para sahabat untuk menjadi bagian penting dan menjadi aktor-aktor bagi perjuangan agama yang dianut. Selanjutnya surah al-Muzammil (1-10) adalah tahapan ekternalisasi diri para sahabat, yakni menanamkan semangat religiousitas melalui usaha ibadah yang intens sebagaimana point-point yang terkandung dalam surah tersebut. Setelah itu surah al-Muddatsir (1-10) adalah upaya mengarahkan para sahabat untuk melakukan sosialisasi atau internalisasi kesadaran keimanan yang telah mereka peroleh pada masyarakat luas dengan terlibat aktif di masyarakat untuk melakukan sosial engginering atau perubahan sosial. Puncaknya adalah surah al-Fatihah 1-7 yang merupakan tahapan objektifikasi kesadaran keimanan para sahabat. Bahwa sesungguhnya surah al-Fatihah adalah blue print dari rekayasa peradaban Islam dan sekaligus menjadi jiwa zaman (zeitgeist) kemajuan Islam. Tanpa mengabaikan peranan surah-surah lain di dalam al-Qur’an, kelima surah yang turun pertama kali secara sistematik ini, memberikan kontribusi penting bagi pembentukan kesadaran keimanan komunitas Muslim pada periode Mekkah. Proses-proses ini semestinya dimanifestasikan sedemikian rupa pada rancangan kurikulum pemelajaran keimanan pada saat ini agar kualitas keimanan para peserta didik paling tidak mendekati format keimanan para sahabat, sehingga karakteristik para sahabat yang par exelence bisa juga menjadi karakteristik peserta didik pada era sekarang. Wallahu A’lamu Bishawwab.

Dimensi Spiritualitas dalam Praktik Pendidikan Terhadap Anak (Telaah Pendidikan Mikro)

A. PENDAHULUAN.
Pendidikan terhadap anak merupakan aspek yang fundamental dalam proyeksi pendidikan secara keseluruhan. Karena pendidikan terhadap anak sejak pranatal ke usia dini hingga masa remaja adalah periode yang paling krusial dalam pembentukan mental, kepribadian dan intelektualitas seorang anak. Oleh karena itu upaya konseptualisasi terus dilakukan oleh para pakar pendidikan, ataupun orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap persoalan pendidikan.
Menurut Robert Owen, tujuan utama pendidikan adalah pengembangan sikap moral. Anak-anak diumpamakan seperti sebuah plastik yang dengan mudah dapat dibentuk . Dengan metode pendidikan tertentu seorang anak dapat dibentuk untuk menjadi sesuai apa yang menjadi tujuan metode tersebut. Dalam Islam salah satu unsur penting wahana pengembangan sikap moral adalah ilmu tasawuf, karena di dalamnya sarat dengan nilai-nilai pengajaran moral (akhlak) yang disubstitusikan pada pengabdian menyeluruh pada hakekat keberadaan Tuhan.
Seorang anak sejak prenatal hingga masa remaja melalui tahapan-tahapan perkembangan. Dalam hal ini berkembang banyak penafsiran mengenai hakekat perkembangan seorang anak. John Locke berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa seorang anak adalah bersih semisal selembar kertas putih, yang kemudian sedikit demi sedikit terisi oleh pengalaman atau empiri. Menurutnya jiwa seorang anak akan mengalami kesan-kesan yang secara asosiatif berhubungan satu sama lain, dan bersumber pada dua macam pengalaman, yaitu: (1) pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera yang menimbulkan “sensations”, dan (2) pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan “reflexions” .
Teori lainnya yang diajukan aliran psikologi Gestalt mengenai perkembangan seorang anak, yang menyatakan bahwa perkembangan seorang anak itu adalah proses diferensiasi. Pengenalan anak terhadap dunia luar merupakan proses diferensiasi. Mula-mula anak merasa satu dengan dunia sekitarnya, baru kemudian ada diferensiasi: dia merasa (mengetahui) dirinya sebagai sebagai sesuatu yang berbeda dengan dunia sekitarnya .
James Mark Baldwin dalam hipotesisnya tentang “circular reaction”, mengemukakan bahwa seorang anak mula-mula bersifat a-sosial yang kemudian dalam perkembangannya mengalami proses sosialisasi dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Teori ini dikembangkan oleh teori Freudian dalam variasi yang berbeda, bahwa anak kecil mula-mula belum memiliki moral, yang kemudian lalu memiliki moral yang sifatnya heteronom, dan ketika sudah memasuki taraf kedewasaan, ia akan memiliki yang otonom . Proses perkembangan moral yang heteronom, adalah moral yang berpedoman pada sebab-sebab eksternal, yaitu pada orangtua dan orang-orang dewasa yang memiliki moral otonom. Ketika beranjak dewasa anak akan berpedoman pada sebab-sebab internal yang terdapat dalam dirinya, hal ini disebut proses internalisasi, yaitu terjadi identifikasi atau imitasi, yang tidak lain adalah penyesuaian tingkah laku dan perbuatan anak dengan norma-norma sosial, budaya, dan agama.
Dari sudut pandang fenomenologis, Langeveld mengemukakan bahwa seorang anak menjadi dewasa setelah melewati empat asas, yaitu asas biologis, asas ketidak-berdayaan, asas keamanan dan asas eksplorasi . Asas biologis adalah bahwa anak itu adalah mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang, sehingga supaya perkembangan anak berjalan dengan normal, maka keadaan biologisnya juga harus normal. Asas ketidak-berdayaan didasarkan oleh kenyataan bahwa sejak dilahirkan hingga memasuki masa remaja, seorang anak sangat tidak berdaya, dan adalah suatu keniscayaan bahwa dia perlu diarahkan dan dituntun untuk menjadi lebih berdaya. Asas keamanan, yaitu seorang anak sangat memerlukan adanya perasaan aman, karenanya memerlukan pengayoman dan perlindungan dari orang yang mendidik dan membesarkannya. Sedangkan asas eksplorasi adalah bahwa dalam perkembangannya seorang anak tidak pasif menerima pengaruh dari luar semata-mata, melainkan juga ia juga aktif mencari dan menemukan.
Konseptualisasi terhadap pendidikan terhadap anak dengan pendekatan spiritual menjadi hal yang sangat penting dimasa kini, karena ternyata konsep dan teori-teori yang ada tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya memberikan stimulan terbaik terhadap anak di era globalisasi dengan segala anomalinya. Teori pendidikan yang ada, khususnya yang berasal dari tradisi rasionalitas Barat, belum mampu secara aktual menanggulangi tingginya dekadensi moral yang terjadi di dunia Barat. Fakta kerusakan moral para remaja di Barat tersebut membuktikan bahwa pendidikan terhadap anak di Barat hanya menitikberatkan pada aspek intelektualitas semata, dan menafikan aspek-aspek moral-spiritual dari pendidikan. Budaya free sex, kondomisasi, aborsi, dan kehamilan di luar nikah sudah menjadi suatu hal yang biasa. Fenomena demikian juga mulai berimbas pada proses pendidikan di Indonesia. Budaya tersebut menjadi tidak terbendung, mengingat derasnya arus globalisasi informasi melalui media massa, internet dan televisi.
Menurut Inayat Khan:
The great fault of the modern system of education is that it only qualifies a man to obtain what he desires in life; and he tries to obtain this my every means, right or wrong, often with no regard for what losses or pain he causes others .
Bahwa kesalahan utama sistem pendidikan modern adalah bahwa sistem ini hanya mensyaratkan orang untuk memenuhi apa yang diinginkan dalam hidup, bagaimana agar seseorang bisa memenuhinya dengan melakukan berbagai cara, benar atau salah, dan seringkali tidak memikirkan kerugian atau rasa sakit yang ditimbulkan pada orang lain. Dia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk anak-anak harus dipertimbangkan dari lima sudut pandang yang berbeda: fisik, mental, moral, sosial dan spiritual. Jika satu sisi berkembang dan sisi lainnya tidak, secara alami anak akan menunjukkan beberapa kekurangan dalam perkembangannya. Baginya pendidikan bukan sebuah kualifikasi yang diperlukan untuk membuat kehidupan seseorang berhasil, juga bukan untuk menjaga kepentingan seseorang; tetapi benar-benar merupakan kualifikasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih berisi, suatu kehidupan yang memikirkan diri sendiri dan mempertimbangkan orang lain. Inayat Khan juga menegaskan bahwa:
The world of today would have been much better than it is if there had been a spiritual ideal placed before it as well as a material ideal, which seems to be the only goal of the modern world. There is no hope for the betterment of humanity until the spiritual ideal has been brought forward and made the central theme of education both at home and in schools. This only can be the solution of the difficult problem of world reform that faces humanity .
Menurutnya dunia sekarang ini akan lebih baik jika ideal spiritual ditempatkan menjadi prioritas yang lebih utama daripada ideal material yang kelihatannya menjadi satu-satunya tujuan dunia modern. Oleh karena itu tidak ada harapan untuk kemajuan umat manusia sampai ideal spiritual ditampilkan dan menjadi tema sentral pendidikan di rumah dan juga pendidikan di sekolah-sekolah. Inilah satu-satunya solusi untuk masalah reformasi dunia yang sulit yang dihadapi oleh umat manusia.


B. PEMBAHASAN.
1. Signifikansi Spiritualitas dalam Pendidikan Terhadap Anak.
Upaya konseptualisasi pendidikan dengan nilai spiritual terhadap anak adalah kebutuhan yang sangat mendesak, karena minimnya kajian terhadap hal tersebut, membuat para orangtua kekurangan rujukan dalam mendidik anak. Fakta mengenai kekerasan terhadap anak yang menghiasi media massa dan televisi menjadi realitas yang sangat jelas dari kurangnya pemahaman orangtua terhadap anak-anaknya. Selain itu di masa kini lingkungan sosial yang ada sudah semakin tidak kondusif bagi perkembangan motivasi spiritual seorang anak, karena menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, motivasi anak terkait pada lingkungan sosialnya . Oleh karena itu upaya elaborasi aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak penting untuk dilakukan, dalam rangka memperkaya khasanah pemikiran dalam pendidikan Islam, mengingat persoalan spiritualitas adalah hal yang sangat inheren dalam konsepsi normatif agama Islam.
Selain itu, menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, di masa depan diperlukan perspektif psikologis yang menumbuhkan kemampuan kreatif-konstruktif, yakni mampu mengarahkan seseorang senantiasa dalam kondisi normal secara spiritual (zero mind process), sehingga yang dirasakan adalah rasa damai, rasa aman dan rasa terlindungi yang bersifat transenden, atau dalam pengertian normatifnya disebut dengan Nafs al-Muthmainnah . Dalam hal ini Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir menambahkan, bahwa landasan filosofis untuk pentingnya spiritualitas dalam pendidikan terhadap anak adalah paradigma filsafat teo-humanistik, karena bisa dipastikan bahwa landasan filosofis humanisme antroposentris, tidak memberi ruang bagi wawasan filosofis yang membawa nilai-nilai ketuhanan dan spiritualitas .
Upaya penjelajahan terhadap aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak harus segera dilakukan, karena tradisi spiritualitas dalam Islam memiliki khasanah pemikiran yang sangat kaya dalam pembentukan moral-spiritual seseorang. Di samping itu spiritualitas yang didefinisikan sebagai falsafah hidup dengan kekuatan daya intuitifnya yang subyektif, ternyata dapat membangkitkan jiwa seseorang dari suatu anomali kejiwaan kepada pemenuhan hasrat spiritual yang berujung pada lahirnya kepribadian yang penuh dengan kearifan.
Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, salah satu nilai penting telaah aspek spiritual dalam proses pendidikan anak adalah untuk mengolah aspek penghayatan transendental dalam pendidikan yang selama ini diragukan dan bahkan ditolak oleh kalangan penganut paham positivisme. Penolakan itu terjadi karena penghayatan tersebut sangat mempribadi, penuh misteri, dan kadang tidak terpahami . Selama ini obyek kajian pendidikan terpenjara pada potensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Pandangan model Barat ini pada satu sisi mengabaikan apek penghayatan transendental yang merupakan inti dari doktrin Islam yang penting, yaitu konsep Ihsan. Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, menambahkan, bahwa meskipun aspek sufistik tidak dapat direplikasi penghayatan substantifnya, namun dapat dikenal dan dihayati prosesnya . Sehingga menelaah proses sufistik-transendental dapat menjadi bagian dari upaya pengkajian pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Proses sufistik-transendental tersebut, dalam pengertian pragmatik merupakan bagian dari wilayah “pengalaman”, di mana menurut Dewey, pengalaman tidak saja menunjuk pada sesuatu yang sedang berlangsung di dalam kehidupan batin si subyek, atau sesuatu yang ditanggap secara inderawi di dalam dunia luar, ataupun sesuatu yang berada dibalik dunia inderawi yang hanya dapat dicapai dengan akal budi dan intuisi . Karena itu pengalaman bersifat menyeluruh dan mencakup segala hal, termasuk proses sufistik-transendental.
Keterlibatan aspek sufistik-transendental dalam proses pendidikan anak juga berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai ilahiah (keimanan) sebagai pengalaman dasar (basic experience). Sebagaimana ditegaskan oleh Dewey, bahwa pendidikan bukan semata-mata proses, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri yang bersifat reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi pengalaman menuju suatu tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Suatu pengalaman bersifat salah didik apabila pengalaman itu menghalangi atau mencacatkan perkembangan selanjutnya . Sebagai umat Islam, tentunya penanaman nilai-nilai ilahiah sebagai pengalaman dasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena kurangnya aspek mendasar tersebut tidak hanya menghalangi, akan juga tetapi juga akan mencacatkan proses perkembangan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu aspek sufistik-transendental yang menjadi wahana pengalaman dasar seorang pribadi muslim menjadi bersifat edukatif, karena dapat membantu perkembangan pengalaman berikutnya.
Metode spiritual dalam mendidik anak sangat terasa urgensinya, karena seorang anak sejak pranatal hingga masa remaja melalui tahapan-tahapan perkembangan baik fisik, psikis, maupun intelektual. Pada tahapan-tahapan perkembangan tersebut diperlukan metode-metode tertentu agar tidak terjadi anomali pada proses perkembangan sang anak. Kita dapat melihat bahwa para orangtua masih kebingungan untuk menerapkan metode yang tepat untuk mendidik anak-anaknya. Sebagian metode konvensional, terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan “salah didik” dan kenakalan remaja yang terus meningkat. Metode konvensional yang ada juga hanya memberi penekanan pada perkembangan intelektualitas dan mengabaikan aspek moral spiritual yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Dengan terlibatnya aspek spiritualitas dalam proses mendidik anak, diharapkan dapat menjadi tawaran konseptual dan solusi alternatif bagi pemecahan masalah tersebut.
Para sufi meyakini bahwa perkembangan seorang anak tidak semata-mata bersifat fisik, psikis dan kognitif. Ada dimensi bathin yang menjadi struktur terdalam dari jiwa seseorang yang sesungguhnya telah mengalami sentuhan ilahiah pada masa pranatal, yaitu pada peristiwa perjanjian primordial pertama antara manusia dan Tuhan, yang dalam terminologi para sufi disebut hari “hari alastu” . Oleh karena itu setiap manusia memiliki potensi ilahiah yang biasa disebut “fitrah”. Persoalan spiritualisme dalam proses pendidikan anak, dimaksudkan untuk mengapresiasi potensi bawaan (heredity) tersebut, yang sesungguhnya bersifat lebih spiritual daripada intelektual. Perspektif tasawuf hadir untuk menjembatani kurangnya metode dalam mendidik anak yang mengapresiasi dimensi batin seorang anak, agar sang anak tidak hanya cerdas secara intelektual dan emosional, akan tetapi juga cerdas secara spiritual. Sebagaimana ditegaskan oleh Inayat Khan:
Very often one little idea about a metaphysical truth goes into the heart of a child like a spark of fire which slowly blazes into flame, a flame which will guide it through its whole life .
Bahwa gagasan kecil tentang kebenaran metafisika masuk ke dalam hati seorang anak laksana percikan api yang dengan perlahan berkobar menjadi nyala api yang akan menuntunnya menjalani kehidupan.
Secara preskriptif, peran spiritualitas dalam proses pendidikan anak merupakan tema sentral pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan terpenting. Sebagaimana ditegaskan oleh Iqbal bahwa individualitas (khudi) merupakan suatu kesatuan yang nyata, mantap dan tandas, karenanya tujuan akhir pendidikan adalah untuk memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, dan khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia . Pendapat tentang pentingnya pengembangan individualitas juga diikuti oleh Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa penekanan terhadap individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan dan maksud yang sebenarnya (dari kehidupan ini); sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu . Karenanya menurut Al-Attas, pendidikan adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”, atau yang disebut dengan ta’dib, yang apabila dijabarkan secara luas bermakna sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperadaan .
2. Spiritualitas Sebagai Basis Pendidikan Anak di Masa Kini.
a. Tinjauan Umum Makna Spiritualitas
Salah satu asumsi dasar yang mendasari tulisan ini adalah bahwa setiap anak terlahir ke dunia memiliki nilai etik yang bersifat esensial di dalam dirinya, yaitu jiwa spiritual. Oleh karena itu sesungguhnya manusia pada dasarnya adalah mahluk spiritual, dan kehidupan manusia (anak) di dunia ini adalah proses menjalani pengalaman material. Hal ini menjawab pemahaman umum yang salah kaprah selama ini bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk material yang menjalani pengalaman spiritual. Proposisi ini didasari oleh oleh dalil-dalil normatif dari al-Qur'an dan Hadits yang menjelaskan tentang proyeksi eskatologis yang akan dijalani oleh manusia pasca luruhnya dimensi material yang ada di dalam dirinya (baca: kematian).
Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch, Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki dan memberi arah dan arti pada kehidupan. Selain itu spiritualitas juga dimaknai sebagai kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita; suatu kesadaran yang menghubungkan seseorang dengan Tuhan, atau apa pun yang disebut sebagai sumber keberadaan dan hakekat kehidupan. Baginya spiritualitas juga mengandung kesadaran akan adanya hubungan suci dengan seluruh ciptaan, dan pilihan untuk merengkuh hubungan itu dengan cinta.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, Mimi Doe dan Marsha Walch berpendapat bahwa hakekat spiritual anak-anak tercermin dalam kreativitas tak terbatas, imaginasi luas, dan pendekatan terhadap kehidupan yang terbuka dan gembira. Baginya spiritualitas bukan suatu dogma agama terorganisasi meskipun agama terorganisasi merupakan sarana yang baik untuk membina jiwa anak. Karena spiritualitas itu sudah ada (inheren) di dalam dirinya . Hal ini sejalan dengan pendapat Inayat Khan yang mengatakan bahwa spiritualitas adalah dimensi ketuhanan yang menjadi potensi hereditas setiap orang dan tidak terikat oleh suatu dogma agama apapun. Akan tetapi aspek spiritual suatu agama dapat dijadikan wahana di dalam menumbuhkan jiwa spiritual seorang anak, misalnya ajaran tasawuf di dalam agama Islam.
Anna Craft menegaskan bahwa salah satu aspek budaya Barat adalah sangat memegang teguh otoritas rasio dan kesadaran daripada proyeksi bawah sadar dan intuisi yang bernilai spiritual. Padahal sesungguhnya kata hati (spiritual impulse) merupakan dasar dan sumber kreativitas, di mana kekuatan proyeksi bawah sadar, intuisi spiritual dan emosional dapat membuat seorang menjadi imajinatif dan memiliki intelegensi kreatif. Sehingga tidak layak untuk memisahkan nilai-nilai spiritual dari rasionalitas atau intelektualitas, dan sangat mungkin proyeksi bawah sadar dan intuisi spiritual tersusun saling terjalin dan berkelindan pada diri seorang anak.
b. Spiritualitas Sebagai Kebutuhan Mendasar.
Salah satu fenomena yang terjadi pada masyarakat atau manusia di masa kini adalah kurangnya penerapan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hampir secara keseluruhan manusia saat ini mengalami kehampaan spiritual. Sejak rasionalisme yang tersistematisasikan berkembang, manusia hanya dilihat dari sudut fisiologis-lahiriah. Dualisme Cartesian membagi relitas menjadi dua: realitas material dan realitas mental, atau realitas fisik dan realitas akal (rasio), sementara dimensi spiritualnya tercampakkan. Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme yang terjadi sejak abad ke-18 tersebut kini dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transendental, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Hossein Nasr menegaskan dalam tulisannya bahwa, "Adalah lebih benar dunia modern, tempat kehidupan manusia berada dalam situasi yang profan – terlepaskan dari nilai-nilai dasar – tempat aspek psikis manusia dipisahkan dari jiwanya yang berperan sebagai sumber kehidupan manusia itu sendiri; dan pengalaman ruang dan waktu – telah berubah seluruhnya, dan tempat rawa keterikatan dengan yang Mahamutlak pelan-pelan telah menghilang. Selain itu, salah satu akibat memuncaknya paham rasionalisme dan teknologi ultramodern adalah persepsi dan apresiasi tentang Tuhan dan kebertuhanan tidak lagi mendapat tempat yang layak. Kecenderungan seperti ini sering juga disebut sebagai lajunya proses sekularisasi, tetapi bukannya sekularisasi dengan titik tekan institusional, misalnya pisahnya antara agama dan negara, melainkan oleh Peter L Berger dirumuskan sebagai: "Adanya proses penerapan dalam pikiran manusia, yaitu apa yang disebut sebagai sekularisasi kesadaran, dan hilangnya nilai-nilai supernatural atau spiritual dari masyarakat modern.
Hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal, yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanannya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari manusia modern lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak adanya keseimbangan dalam diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat maka keseimbangan akan semakin rusak. Minimnya nilai-nilai spiritual berimplikasi pada meningkatnya penghancuran dan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral yang sifatnya asasi dan semestinya harus dijaga.
Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch, masyarakat di masa kini yang sangat berorientasi pada materi telah mematikan antusiasme dan jiwa kreatif alami anak-anak untuk hal-hal biasa. Mainan canggih dan plastik yang dijalankan dengan baterai, video game, komputer, serta program televisi yang tidak mendidik, telah menumpulkan imajinasi dan kreativitas alami anak-anak masa kini. Selain itu Intensi modernitas telah sedemikian rupa menggerus nilai-nilai moral dan aspek-aspek spiritual anak-anak, karenanya spiritualitas sudah saatnya menjadi kebutuhan mendasar dan menjadi basis pendidikan anak di masa kini.
c. Spiritual Parenting sebagai Solusi
Pada dekade belakangan dalam lapangan ilmu psikologi khususnya pada aliran psikologi humanistik berkembang konsep mengenai Spiritual Qoutient (SQ) sebagai antitesa dari konsep Intelectual Quotient (Q). Kecerdasan spiritual dipandang sebagai salah satu kecerdasan yang paling tinggi dibanding kecerdasan-kecerdasan yang lain. Menurut Khalil Khavari, kecerdasan spiritual adalah kecakapan dalam dimensi non-material dan jiwa kemanusiaan seseorang. Selain itu kecerdasan spiritual juga tidak harus berhubungan dengan agama. Roberts A. Emmons menegaskan dalam bukunya The Psychology of Ultimate Concerns, SQ adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. Dalam kaitannya dengan ini, "SQ tidak bergantung pada budaya dan tidak mengikuti nilai-nilai itu sendiri". Seorang anak terlahir sebagai makhluk spiritual, semua bayi yang dilahirkan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Namun apabila tidak dibina dan dikembangkan dengan baik oleh orangtuanya, maka lambat laun kecerdasan ini bisa memudar. Emmons menambahkan, bahwa seorang anak yang merasakan kehadiran Tuhan melampaui hal-hal yang bersifat fisik dan material, akan mampu menggabungkan kesadaran dalam lingkungannya dengan alam semesta yang lebih luas. Apa yang dilihat oleh seorang anak tidak terbatas dengan apa yang ia saksikan melalui alat inderawinya semata. Selain itu tegas Emmons, dengan memiliki kecerdasan spiritual yang mumpuni, seorang anak akan memiliki karakteristik (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah dan (5) kemampuan untuk berbuat baik. Demikian pula halnya Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child, juga menemukan potensi-potensi pembawaan spiritual ('spiritual traits') pada anak-anak, seperti sifat keberanian, optimisme, keimanan, perilaku konstruktif, empati, sikap memaafkan, dan bahkan ketangkasan dalam menghadapi amarah dan bahaya. Semua itu, menurut penelitian Sinetar, menjadi sifat-sifat spiritual anak-anak sejak usia dini.
Dari paradigma Spiritual Qoutient (SQ) kemudian berkembang konsep Spiritual Parenting (SP) yang digagas oleh banyak pakar psikologi anak, menyikapi kondisi masyarakat yang hampa moral dan nilai-nilai luhur ditambah ekses negatif dari media televisi, internet, lingkungan, serta sistem pendidikan modern yang lebih menekankan pada materi dan tercapainya prestasi, sehingga mengubur jiwa suci anak-anak masa kini.
Menurut Pamugari, −seorang psikolog Universitas Indonesia−, Spiritual Parenting adalah sistem pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan jiwa keimanan dan kesadaran rohani. Dari sisi metode hal ini tergolong baru, karena menggunakan paradigma holistik dalam memandang manusia. Akan tetapi dari sisi makna, pengertian, isi (content) dan pendekatan, hal ini bukanlah suatu hal yang baru, karena jauh sebelum konsep Spiritual Parenting ini muncul, secara implisit nilai-nilai spiritual dalam pendidikan telah dibahas oleh para pemikir, dan tokoh-tokoh utama dari kalangan sufi Islam.
Sejalan dengan pendapat Inayat Khan, bahwa pendidikan agama tidak cukup untuk membangun spiritualitas anak, karena pendidikan agama biasanya telah diformat dan kebanyakan lebih menekankan pada ritus-ritus dan tradisi yang lebih menekankan pada ibadah sosial dan kurang menekankan pada inner self atau 'dunia dalam' anak. Proses pengasuhan anak dalam Spiritual Parenting berwawasan lebih luas dan mendalam, karena membantu menyadarkan anak sedini mungkin bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan dan bagian dari keseluruhan alam semesta.
Sedangkan menurut Debby Milam, −salah seorang terapis anak di Amerika− menjelaskan bahwa spiritual parenting membantu mengembalikan keseimbangan keluarga. Debby melihat pada kenyataan berubahnya dinamika keluarga yang menggeser peran ibu dalam keluarga masa kini, di mana tugas mengurus rumah tangga, mengasuh dan merawat anak, perlahan-lahan mulai tergantikan oleh pengasuh, sehingga hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam keluarga. Selain itu, menularkan nilai spiritual, seperti dikatakan psikolog Fauzil Adhim, sama halnya dengan menanamkan aspek dasar pendidikan moral. Untuk mempelajarinya, anak terlebih dahulu akan mengidentifikasikan dirinya dengan significant person, dalam hal ini figur terdekat dan berpengaruh yaitu orangtuanya. Peranan orangtua sebagai teladan moral juga ditegaskan oleh Michele Borba, di mana para orangtua adalah guru moral pertama dan paling berpengaruh bagi anak, di samping itu penelitian menemukan bahwa para orangtua yang sangat kuat mengarahkan anak-anak mereka secara moral biasanya berhasil karena mereka mengambil tanggung jawab sendiri atas usaha itu.
Menurut Mimi Doe, pada usia tertentu, anak-anak mungkin akan mempertanyakan atau menolak penjelasan tentang spiritualitas, sebagaimana yang orangtua atau pengasuh berikan, dan memulai perjalanan mereka sendiri untuk mencari tahu tentang Tuhan. Dalam hal ini, orangtua atau pengasuh harus berbagi pengalaman spiritual, karena menceritakan proyeksi kemanusiaan dan spiritualitas kepada anak akan memberinya peluang untuk bersifat manusiawi dan spiritual pula. Mimi Doe dan Marsha Walsh menambahkan bahwa pertumbuhan spiritual orangtua atau pengasuh adalah karunia bagi anak-anak. Pertumbuhan spiritual, seperti menjadi orangtua spiritual adalah sebuah proses di mana orangtua atau pengasuh mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan anak-anaknya mengenai proses kedewasaan spiritual tanpa berkhutbah dan memberikan asupan nilai yang bersifat indoktrinasi. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Inayat Khan dalam konsep unlearn untuk menanamkan nilai-nilai spiritual terhadap anak.

C. KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan beberapa hal, bahwa seorang anak (manusia) difahami secara eksistensial sebagai mahluk spiritual dan substansi kediriannya bersifat ruhaniah dan bukan materil. Karenanya pengalaman yang dialami dalam kehidupan duniawi adalah proses 'pengalaman materil' sekaligus ‘pengalaman spiritual’. Sementara itu dimensi spiritualitas terhadap pendidikan anak pada masa kini sangat terasa urgensinya, karena baik dari perspektif pemikir pendidikan Barat maupun pendidikan Islam, tidak ada satu tokoh pun yang menghadirkan wacana spiritualitas sebagai wahana pendidikan anak. Para pemikir Barat, banyak terjebak pada determinisme rasionalitas, sehingga menganggap proyeksi spiritualitas dalam proses pendidikan anak adalah suatu hal yang irrasional dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Begitupula halnya dengan para pemikir pendidikan Islam baik pemikir klasik maupun kontemporer, karena sejak awal telah terjadi polarisasi pemikiran pendidikan Islam antara yang bersifat rasional-filosofis dengan yang bersifat agamis-murni.
Selain itu wacana spiritual parenting yang dikembangkan oleh para psikolog pendidikan anak di Barat, telah mendapat apresiasi yang luas dari kalangan Muslim, dan penting untuk dielaborasi lebih lanjut. Bersesuaian dengan itu tampaknya isu 'spiritualitas' akan menjadi wacana global yang menjadi ruh baru yang tidak saja terjadi pada dunia pendidikan, akan tetapi pada wilayah sosial, ekonomi, bisnis dan dunia politik, sebagaimana ditegaskan oleh Patricia Aburdene dalam bukunya 'Mega Trends 2010', bahwa kekuatan 'spiritualitas' akan menjadi kekuatan kedua setelah era komunikasi dan informasi. (Wallahu A’lamu Bishawwab)

Bibliografi.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Baqir, Mizan, Bandung, 1984.
Craft, Anna, me-Refresh Imajinasi & Kreativitas Anak-anak, terj. M. Chairul Anam, Cerdas Pustaka, Jakarta 2004
Dewey, John, Pengalaman dan Pendidikan, terj. John de Santo, Kepel Press, Yogyakarta, 2002.
Dodson, Fitzhugh, Mendisiplinkan Anak Dengan Kasih Sayang, terj. Nenny Ekosari, Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
Doe, Mimi, dan Walsh, Marsha, 10 Prinsip Spiritual Parenting, terj. Rahmani Astuti, Kaifa, Bandung, 2001.
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, terj. Lukas Ginting, Penerbit Erlangga, Jakarta 1990.
Doe, Mimi, SQ Untuk Ibu, terj. Rahmani Astuti, Kaifa, Bandung, 2002.
Falah, Maslahul, Tinjauan EQ dan SQ untuk Memberi Nama Bayi, Media Insani, Yogyakarta, 2005.
J, Ellys, Kiat Mengasah Kecerdasan Emosional Anak, Pustaka Hidayah, Bandung, 2005.
Khan, Inayat, Kehidupan Spiritual, terj. Imron Rosjadi, Pustaka Sufi, Yogyakarta 2002,
___________, The Education of Children, http:\\www.wahiduddin. net\mv2\III\III_1_5. htm.
_________, The Training of Youth, http:\\www.wahiduddin. net\mv2\III\III_1_6. htm.
_________, The Education of The Child, http:\\www.wahiduddin. net\mv2\III\III_1_3. htm.
Muhadjir, Noeng, Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial, ed V, Rake Sarasin, Yogyakarta 2000.
_____________, Kebijakan dan Perencanaan Sosial, ed I, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000
_____________, Metodologi Keilmuan; Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, ed. V Rake Sarasin, Yogyakarta 2007.
Montgomery, Stacey, et.al, Smart Ways to Have a Smart Kid, terj. Ahmad Asnawi dan Ahmad Fuad, Platinum Diglossia Media Group, Yogyakarta, 2005.
Mangoenprasodjo, Setiono. A dan Hidayati, Nur, Sri, Anak Masa Depan dengan Multi Intelegensi, Pradipta Publishing, Yogyakarta 2005.
Patmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Raharjo, Dawam, et al, Insan Kamil, Grafiti pers, Jakarta, 1985.
Saiyidain, K.G., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terj. M.I. Soelaeman CV. Diponegoro, Bandung, 1981.
Smith, Samuel, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, terj. Tim Bumi Aksara, Bumi Aksara, Jakarta 1986.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, CV. Rajawali, Jakarta, 1989.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk., Mizan, Bandung, 2002.

Pendidikan Islam Postmodern: Pandangan Inklusif-Multikultural M. Amin Abdullah

Sinopsis
Fenomena keberagamaan yang eksklusif dan pemahaman serba teks merupakan fenomena laten dalam semua agama dan model kepercayaan lainnya. Begitupula halnya dalam sejarah perjalanan keberagamaan umat Islam, selalu saja ada muncul faksi-faksi atau golongan tertentu yang menyuarakan agama dalam term-term yang keras, kaku atau bahkan radikal. Selain itu muncul sikap-sikap keberagamaan yang tidak bersahabat dari kalangan Muslim tertentu terhadap orang-orang non-Muslim. Dari titik inilah muncul satu kesadaran baru untuk menegakkan sebuah perspektif baru dalam wacana keberagamaan dan pemahaman terhadap agama. Yaitu pentingnya wawasan keberagamaan yang inklusif dan multikultural.
Pada saat yang bersamaan dalam pergulatan pemikiran filsafat, telah berkembang pandangan filsafat yang mengeritik keras modernitas dengan narasi-narasi besarnya, karena hegemoni dan superioritas modernitas tidak memberikan tempat yang cukup bagi perkembangan narasi-narasi lokal (local narative’s). Dalam konteks pendidikan, modernitas telah menjerumuskan dunia pendidikan dalam problem-problem mekanis teknikalistik, sehingga yang menjadi pusat perhatian adalah, materi dan sistem pemelajaran dengan orientasi pada hasil bukan pada prosesnya. Secara lebih khusus dimensi kemanusiaan peserta didik telah terabaikan dan pendekatan afektif mulai ditinggalkan.
Selain itu format reproduktif dalam pendidikan yang merupakan potensi bawaan langsung dari modernitas, telah membuat dunia persekolahan tak ubahnya seperti mesin yang memproduksi lulusan dan keluaran yang telah hilang sisi-sisi kemanusiaannya. Salah satu aspek pendidikan yang ditekankan dalam perspektif pendidikan postmodern adalah pentingnya pengarusutamaan dimensi ethics. Karena hal ini akan mengantarkan peserta didik memiliki kepedulian sosial dan sikap empatik terhadap orang-orang yang berada di luar margin sosial, budaya dan agama peserta didik, atau yang sering disebut sebagai out sider’s.
Sikap-sikap monolitik dan kentalnya primordialisme dalam pendidikan Islam mengantarkan keluaran pendidikan Islam pada sikap prejudice yang berlebihan terhadap kalangan di luar Islam yang merupakan penduduk minoritas di Indonesia. Sikap ini paling tidak telah menjadi bahan bakar yang efektif dalam memicu perselisihan dan pertikaian yang telah menciderai konsensus kebangsaan yang telah ditorehkan oleh para pendahulu bangsa (founding father’s).
Kenyataan inilah yang menjadi perhatian khusus salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Yogyakarta, yakni Amin Abdullah. Perjalanan akademik dan penjelajahan intelektualnya dalam wacana pemikiran filsafat telah mengantarkannya menjadi sosok yang getol di dalam memperjuangkan wacana keberagamaan yang inklusif dan multikultural, termasuk di dalamnya dalam aspek pendidikan Islam.
Dalam hal ini ia berpandangan bahwa salah satu aspek mendasar yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam adalah melakukan reintegrasi keilmuan untuk mengikis tebalnya tembok dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam. Dengan proyek reintegrasi keilmuan ini diharapkan akan melahirkan sikap keberagamaan yang inklusif-multikultural, bersamaan dengan upaya menegasikan sekat-sekat yang membatasi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Selain itu, ia memandang perlunya pengajaran teologi Kalam yang inklusif-pluralistik, karena pada tataran sosial keagamaan seringkali terjadi percampuradukan antara wilayah “absolut” dan “relatif”. Sehingga antara kelompok sosial keagamaan menegaskan dirinya dalam batas-batas absolutisme pemahaman agama masing-masing. Di sisi lain dia berpandangan bahwa diperlukan metode baru pendidikan nilai dan pembelajaran agama dan menjadikan semangat equal in creation (sederajat dalam penciptaan dan common goal untuk kesejahteraan bersama sebagai core values.
Di samping itu, pengajaran agama seharusnya membawa misi utama yang intrisik dalam setiap agama, yaitu semangat kedamaian, harmoni dan keselamatan. Bukan penekanan pada doktrin teologis tertentu yang secara tekstual mendiskreditkan pandangan teologis agama lain. Pada sisi inilah perlunya dialog antar iman atau antar kepercayaan untuk menumbuhkan trust (saling percaya) antara masing-masing penganut agama. Karenanya untuk menopang pandangan ini diperlukan pendidikan karakter yang bersifat multidimensi dan multidisiplin. Hal ini menjadi penting karena selama ini pendidikan karakter melalui pengajaran agama dan akhlak, terjebak dalam proses ritual transfer ilmu pengetahuan, tanpa peresapan nilai-nilai agama dan akhlak dalam ranah praktik.
Dengan demikian pendidikan Islam yang inklusif-multikultural perlu diaplikasikan dalam praktik pengajaran yang multi-pendekatan dan bersifat contested untuk melahirkan kepribadian yang inklusif bagi keluaran pendidikan Islam. Sehingga pada akhirnya out come pendidikan Islam mampu bertenggang rasa dalam kerangka co-existence, dan lebih jauh mampu berpartisipasi dalam menciptakan relasi sosial yang pro-existence dalam kemajemukan sosial, budaya dan agama di Indonesia.
A. Pendahuluan.
Dunia pendidikan Islam berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan sosial kemanusiaan. Saat ini terus berkembang wacana pemikiran atas ketidakpuasan terhadap modernitas dengan nilai-nilai dan narasi-narasi besarnya (grand narative’s) yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian. Oleh karena itu bermunculan pelbagai terminologi seperti “postindustrial”, “postliberal”, “poststructural”, “postphilosophy” atau bahkan “postsecular”, tapi konsep umum yang berkembang pesat adalah “postmodern”.
Postmodernisme pada awalnya berkembang dalam bidang seni dan arsitektur, hingga akhirnya mulai merambah ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia setelah Lyotard mengintegrasikannya ke dalam filsafat sebagai bentuk ketidakpercayaan pada metanarasi . Pemikiran Lyotard bisa dikatakan melanjutkan kritik Nietzsche terhadap konsep rasionalitas modern Barat yang berpusat pada subyek sebagai kekuatan penyatu. Rasio yang diimpikan oleh proyek pencerahan akan membawa kemajuan, kebebasan dan emansipasi kemanusiaan, ternyata juga memperbudak manusia. Dalam kritiknya terhadap modernitas, Nietzsche ingin menelanjangi rasio yang menyembunyikan kehendak untuk berkuasa (the will to power). Baginya modernitas hanyalah ujung dari sejarah rasionalisasi yang dimulai dengan hancurnya kehidupan kuno dan lenyapnya mitos, karena peralihan mitos ke logos yang sudah dirintis oleh filsafat Yunani kuno. Dalam arti ini Nietzsche dapat disebut sebagai perintis gerakan Postmodernisme (avant la lettre) dalam bidang filsafat .
Pengintegrasian gerakan postmodern ke dalam (ruang) filsafat memberikan konsekuensi logis bagi munculnya ‘pembacaan ulang’ pada setiap dasar kehidupan manusia . Hal ini karena filsafat merupakan pengetahuan dasar yang memberikan konstruksi bagi munculnya setiap bentuk pemahaman (ideologi) dalam masyarakat. Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima secara apa adanya. Terminologi inilah yang kemudian dikenal dengan metode dekonstruksi yang dalam banyak hal diusung oleh Derrida . Bagi Derrida filsafat Barat yang bersifat logosentris (berpusat pada logos = kata, rasio) telah keliru dalam keyakinannya bahwa Ada (being) adalah kehadiran, dan kunci untuk memahami kehadiran bertumpu pada konsep substansi, identitas, kesamaan, hakikat, yang jelas dan terpilah-pilah .
Jika dalam visi modernitas, penalaran (reason) diakui sebagai sumber primer ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat dominasi terselubung yang kemudian mewujud dalam bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalam masyarakat modern. Maka postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali .
Pelopor aliran postmodern seperti Foucault, Lyotard, dan Derrida menekankan pada pluralitas pemikiran, matinya totalitas teori¬-teori besar dan hegemoni modernitas serta tumpulnya rasionalitas teknokratis . Sementara itu rasionalitas teknokratis itulah yang telah menimbulkan krisis nilai di dunia pendidikan. Pada intinya para filsuf postmodern memiliki hasrat yang besar untuk merombak aspek-aspek yang mendasar dunia filsafat, termasuk di dalamnya filosofi pendidikan, diantaranya mengajak pada kemungkinan obyektifitas, netralitas rasio, stabilitas makna, dan perbedaan antara kebenaran dan kekuasaan .
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan semata-mata pada dunia persekolahan. Apalagi, kita melihat fenomena betapa dunia persekolahan justru seringkali memainkan peran dogmatis dan hegemonik dalam melakukan proses transformasi nilai dan transformasi ilmu pengetahuan. Peran pendidik, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik. Di mana anak didik di sekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) . Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai instrumen standar final kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat dan monoton, mereduksi sedemikian rupa kemampuan peserta didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Henry Giroux −salah seorang pegiat pendidikan dalam perspektif postmodern− mengkritik keras format reproduktif dunia pendidikan. Dia mengatakan bahwa format tersebut menempatkan institusi pendidikan hanya dalam satu perspektif atau monolitik. Seolah-olah pendidikan hanya melayani kepentingan masyarakat dominan dan melanggengkan struktur sosial yang ada. Padahal pendidikan selalu berwajah ganda: dapat melayani kepentingan masyarakat dominan dan sekaligus dapat melayani kepentingan masyarakat sub-ordinat. Artinya pendidikan sebenarnya memiliki kekuatan opresif dan sekaligus liberatif, adaptif dan sekaligus transformatif .
Henry Giroux menekankan bahwa ethics harus menjadi perhatian utama pendidikan, khususnya wacana perbedaan ethics yang akan mengantarkan peserta didik menemukan makna yang lebih kaya dan membantu mereka memahami pelbagai perbedaan di masyarakat luas. Fungsi utama pendidikan menurutnya mendekatkan siswa pada wacana sosial (social discourse) yang akan mendorong mereka untuk memiliki kepekaan sosial terhadap fenomena kemanusiaan dan eksploitasi. Sehingga tumbuh tanggung jawab sosial pada orang lain, termasuk yang dianggap sebagai “outsiders” di dalam margin kehidupan sosial . Dalam konteks ini, pendidikan Islam seharusnya mengantarkan siswa pada pandangan yang moderat dan lunak di dalam beragama, khususnya penilaian positif terhadap aspek-aspek yang berada di luar batas konteks keislaman, bukan sikap curiga (prejudice) yang terlalu berlebihan yang pada akhirnya mengantarkan pada pandangan radikal, dan menegasikan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Oleh karena itu dalam perspektif postmodern, pendidikan Islam semestinya membangun paradigma yang lebih inklusif dan multikultural.

B. Wacana Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural.
Mencuatnya fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama dan unsur-unsur primordial lainnya, menunjukkan bahwa proyeksi pendidikan yang ada belum menghantarkan peserta didik berwawasan inklusif-multikultural. Padahal secara historis para pendiri bangsa (founding fathers) telah memilih Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip yang mendasari kemajemukan berbangsa dan bernegara . Prinsip tersebut sesungguhnya bisa menjadi simbol adanya integrasi nasional dan mengelola kemajemukan warga-masyarakat dan warga-negara dalam keserasian dan keterpaduan dan harmoni. Kebhinekaan adalah local wisdom yang juga merupakan local narative dalam perspektif postmodern, bisa ditarik ke dalam konteks paradigma inklusif-multikultural. Mengingat negara-bangsa sedang mengadapi ancaman provinsialisme dan sektarianisme sebagian masyarakat di tengah carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara pasca tumbangnya rezim Orde Baru .
Pendidikan Islam merupakan bagian penting wawasan peradaban Islam, karena secara preskriptif, Islam sebagai sebuah peradaban pernah mencapai suatu masa di mana masyarakat Muslim ketika itu memiliki sikap sosial-keagamaan yang unik di dalam merespon realitas kemajemukan. Suatu sikap yang lahir dari model kebudayaan atau peradaban tinggi dan kosmopolit pada masanya, sehingga budaya toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran termanifestasikan dengan baik pada masyarakat Muslim pada masa itu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Mulyadhi Kartanegara bahwa nilai-nilai madani yang menyokong tegaknya masyarakat kosmopolit Muslim ketika itu meliputi: pertama, inklusivisme, yaitu keterbukaan diri terhadap “unsur luar” melalui kemampuan melakukan apresiasi dan seleksi secara konstruktif. Kedua, humanisme, dalam artian cara pandang yang memperlakukan manusia semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab lain di luar itu, semisal ras, kasta, kekayaan dan agama. Termasuk di dalam humanisme di sini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya. Ketiga, toleransi, yaitu adanya sikap lapang dada dan kebesaran jiwa dalam menyikapi perbedaan. Keempat, budaya demokrasi bagi kebebasan berfikir dan penyampaian kritik .
Sementara itu apabila ditarik pada wacana pendidikan Islam dalam konteks keindonesiaan, bahwa secara preskriptif transmisi Islam yang dipelopori oleh Walisongo merupakan contoh kongkrit wajah pendidikan Islam yang inklusif-multikultural, di mana penetrasi Islam ke dalam budaya Jawa ketika itu terjadi secara damai (penetration facifique). Suatu model pendidikan Islam yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah dicerna oleh orang awam karena pendekatan Walisongo yang kongkrit-realis, tidak “njelimet” dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Usaha-usaha ini dalam konsep modern sering diterjemahkan sebagai model “model of development from within”. Model ini sekali lagi menunjukkan keunikan pandangan inklusif-multikultural Sufi Jawa yang mampu mengakomodir elemen-elemen budaya lokal dan asing, akan tetapi dalam waktu yang sama tetap berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam .
Jika kita meninjau kembali prospek hubungan antara masyarakat yang berbeda agama di Indonesia, yang tampak ke permukaan adalah adanya suatu sikap toleransi yang masih dibungkus oleh semangat dogmatisme agama. Hal ini tidak hanya menyangkut sebagian penganut agama Islam yang moderat tetapi juga golongan “santri-muslim”. Jadi meskipun permasalahan penggunaan hukum syari’ah terhadap orang Islam tidak pernah akan hilang, satu hal yang tetap dipertahankan dalam orientasi politik di Indonesia adalah kesiapan orang-orang Islam dari semua golongan untuk menerima non-Muslim sebagai anggota masyarakat bersama .
Maka dari itu, salah satu upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara penganut beragama, adalah melalui pendidikan yang inklusif-multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuhkembangkan kearifan pemahaman, kesadaran sikap dan perilaku (mode of action) peserta didik terhadap keragaman agama, budaya, dan masyarakat. Tentu saja pendidikan inklusif-multikultural di sini tidak sekedar membutuhkan “pendidikan agama”, melainkan juga “pendidikan religuisitas”. Oleh Mahmud Arif, pendidikan religuisitas mengandung arti pendidikan yang tidak sebatas mengenalkan peserta didik ajaran agama yang dianutnya, melainkan juga mengajarkan penghayatan visi kemanusiaan ajaran agama tersebut (teaching about religion and teaching about being religious) .
Selain itu penting untuk memasukkan suatu perspektif baru dalam pendidikan Islam, yaitu pendekatan komplementer yang secara serius memberikan prioritas pada perspektif-(perspektif) para penganut agama (insider). Pendekatan insider pada intinya menyertakan suatu empati yang ketat, yang berusaha menjadikan apa yang dipahami dan dialami oleh para penganut suatu agama dapat dipahami oleh orang luar, dan dengan demikian menghasilkan pemahaman empatis yang netral dan tidak menilai (dengan menangguhkan imajinasi tidak percaya), terpisah dari reaksi-reaksi dan penilaian-penilaian subyektif kita sendiri .
Berpatokan pada hal tersebut di atas, dalam praktiknya pendidikan inklusif-multikultural yang membawa misi pesan perdamaian, tidak diberikan dalam bentuk indoktrinasi, tetapi dalam konteks inkuiri. Para murid dan guru berinkuiri bersama untuk memahami hakekat masalah yang dihadapi dan menemukan kemungkinan pemecahannya . Pada saat yang sama perlu ditanamkan pada siswa tentang nilai-nilai dasar yang menjadi core values pendidikan Islam yang inklusif-multikultural yakni integritas, kerendahan hati, kesetiaan, keberanian bertindak benar, keadilan, kesabaran, kerajinan, kesederhanaan, kesopanan, dan ketaatasasan (konsistensi) .

C. Sketsa Biografis M. Amin Abdullah.
M. Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Menamatkan Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor Ponorogo 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di Pesantren yang sama. Kemudian dia menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 dia mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Setelah itu dia Mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada (1997-1998) .
Dalam hal penulisan karya ilmiah, diantaranya termasuk disertasinya yang berjudul, The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002) serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985); Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989) .
Ketika berada di Turki, dia didaulat untuk menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987. Sambil memanfaatkan masa liburan musim panas, pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Dalam hal karir akademik, ia tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Program Magister pada UIN Sunan Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1993-1996, menjabat Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1998-2001 dia dilantik sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) di almamaternya, IAIN Sunan Kalijaga. Pada Januari 1999 dia mendapat kehormatan untuk menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat. Sementara itu puncak karir akademik di almamaternya, yakni dari tahun 2002-2005 dia dilantik sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 2005-2010 dia terpilih kembali sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode kedua .
Dalam bidang organisasi kemasyarakatan, dia pernah menjadi Ketua Divisi Umat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, dia diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, juga sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005) .
Tulisan-tulisannya dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keilmuan keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikutinya, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992; tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, ”Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang, 1999; “al-Ta’rikh al- Islamy wa azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000; “International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Persiapan Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”, Kualalumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003 .

D. Pandangan Inklusif-Multikultural Amin Abdullah.
1. Signifikansi Reintegrasi Keilmuan.
Menurut Amin Abdullah, dalam konteks postmodern, wilayah bahasa, budaya, cara berfikir dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan budaya masing-masing sehingga sulit untuk ditarik garis lurus yang dapat menyamaratakan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pengalaman beragama hampir dapat dipastikan dipengaruhi juga oleh latar belakang keluarga, pendidikan, ekonomi, lingkungan dan seterusnya . Dalam hal ini prinsip umum yang harus dibangun adalah proyeksi “dialog” bukan situasi konflik (clash) antara agama, budaya dan peradaban dalam rangka menghadapi berbagai kemungkinan perubahan yang lebih dahsyat di masa mendatang perlu lebih dikedepankan daripada hanya sekedar mengklaim kebenaran “tunggal” agama-agama yang ada dengan implikasi ketertutupan dan eksklusifitas. Amin Abdullah menegaskan bahwa konsepsi ajaran agama yang bersifat inklusif (rahmatan lil alamin) dengan muatan nuansa-nuansa pemikiran postmodern jauh dikedepankan daripada sekedar mengedepankan simbol-simbol dan kelembagaan agama yang seringkali memang sangat terasa superfisial dan partikularistik .
Paradigma inklusif-multikultural ini ketika dikontekstualisasi dalam ranah pendidikan Islam yang secara preskriptif telah memikul beban sejarah perkembangan keilmuan. Di mana corak keilmuan yang berkembang dalam pendidikan Islam bersifat integralistik-ensiklopedik disatu sisi dan spesifik-parsialistik di sisi yang lain , telah memberikan andil besar dalam menciptakan dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu sekular dan ilmu-ilmu agama. Maka dari itu perlu gerakan rapprochment, yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada, atau sebagai gerakan penyatuan yang diistilahkan dengan reintegrasi epistemologi keilmuan . Dengan program reintegrasi ini diharapkan proses belajar mengajar secara akademik pada akhirnya akan menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang masih terjadi sampai saat ini. Karenanya dalam konteks pendidikan Islam, sikap inklusif-multikultural dapat ditumbuhkan bersamaan dengan upaya menegasikan sekat-sekat yang membatasi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Terkait dengan hal di atas, Amin Abdullah memandang perlu untuk menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah dengan etos dan nafas integrasi epistemologi keilmuan dengan prinsip-prinsip dasar berikut. Antara lain hadharah al-ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak punya “karakter” yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh hadharah al-falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu hadharah al-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadharah al-ilm (sains dan teknologi), tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus ke arah gerakan radicalism-fundamentalism. Untuk itu, diperlukan hadharah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif). Di sisi lain hadharah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang terkandung dalam budaya teks dan lebih-lebih menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan oleh hadharah al-ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis) .
2. Teologi Kalam yang Inklusif-Pluralistik.
Menurut Amin Abdullah, penting untuk membedakan terlebih dahulu −meskipun tidak dapat dipisahkan− antara tiga konsep berikut, yakni keberagamaan manusia (religiosity), keanekaragaman agama (religions) dan proses "menjadi" ke arah yang lebih baik-sempurna-lengkap, yang terus menerus berlangsung selama hayat dikandung badan (being religious). Diantara ketiga konsep tersebut, mana yang dianggap "absolute" (mutlak), mana yang dianggap "relative" (nisbi) dan manapula yang bersifat “relatively absolute" (secara relatif absolut) . Dalam realitas kehidupan sehari-hari ketiga hal tersebut kadang kala tercampur aduk, sehingga menyulitkan para penganut beragama untuk mengatasi problem pelik sosial keragamaan yang terjadi di masyarakat.
Dalam hal ini, relativitas yang dimaksud sama sekali tidak menegasikan tujuan-tujuan luhur yang secara "absolut" dipegang teguh oleh pengikut agama-agama, ketika cita-cita luhur, belief, credo, iman, dan aqidah yang semula dianggap "absolut" tersebut dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat bahasa manusia dan diinstitusionalisasikan, maka ia memasuki wilayah yang bersifat historis-kultural dan "relatif'. Dengan begitu, hal-hal yang bersifat "relative” (instrumental values) sesungguhnya tidak dapat dengan begitu saja dipindah ke wilayah yang bersifat "absolut" (ultimae values). Jika hal-hal yang sesungguhnya relatif ini diabsolutkan atau disakralkan, maka cepat atau lambat akan terjadi disharmoni sosial yang dapat menimbulkan kekerasan .
Amin Abdullah menambahkan, jika dalam kehidupan sosial-keagamaan seringkali terjadi percampuradukan antara wilayah "absolut" dan "relatif'. Secara tidak sadar muncul pemahaman, bahwa yang "relatif'-partikular itulah yatng sesungguhnya "absolut"-universal, semata-mata hanya untuk keperluan menegaskan identitas diri dan kelompoknya di hadapan berbagai rival kelompok sosial-keagamaan lain.
Dalam situasi seperti ini, apakah mungkin teologi yang bersifat inklusif-pluralistik diperkenalkan di lingkungan seminari, pesantren, sekolah dan perguruan tinggi yang didirikan oleh yayasan yang berbasis keagamaan. Kalau model pendekatan dan strategi pembelajaran dan pendidikan agama hanya sekedar memindahkan dan mengulang kembali materi, metode ,dan pendekatan yang biasa digunakan dalam komunitas intern sendiri, baik di gereja-gereja, masjid-masjid, vihara, atau sinagog, maka institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi tidak lagi dapat diandalkan sebagai media pencerdas dan pencerah kehidupan berbangsa .
3. Nilai Altruistic dalam Keberagamaan.
Menurut Amin Abdullah, terapi yang diperlukan untuk mengobati kecenderungan konservatisme dan eksklusifisme pendidikan agama di era modern adalah bagaimana proyeksi Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies yang bercorak Critical dan Dialogical perlu dikenalkan kepada anak didik agar nilai-nilai dari keberagamaan yang otentik untuk menyangga kehidupan bersama (peaceful coexistence; al-ta’ayus al-silmi) dapat dipelihara dan dikembangkan suburkan. Perbedaan visi dan misi muslim puritan dan moderat pun dapat dijembatani. Nilai fundamental keberagamaan Islam yang bersifat altruistic (Taqdiim ‘ala al-ghair; al-Itsar; mendahulukan dan memprioritaskan kepentingan orang lain dan umum dari pada kepentingan sendiri dan kelompok) perlu ditonjolkan kepada anak didik dan masyarakat luas, dan bukannya cuma nilai-nilai yang bersifat egoistic, agitatif dan acitivistic .
Amin Abdullah menegaskan bahwa nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang terpancar dari nilai altruistic dalam keberagamaan yang otentik dan tulus antara lain munculnya rasa empati (rasa senasib dan sepenanggungan bersama yang lain), simpati (merasakan perasan orang atau kelompok lain (the others; al-akhar) seperti yang ia rasakan sendiri), memiliki sensivitas atau kepekaan yang tinggi terhadap perasaan (feelings) orang atau kelompok lain, kasih sayang (tanpa harus disekat oleh perbedaan umur, seks, ras, agama, etnis, kelas), kedermawanan (mentalitas yang melimpah; abundant mentality), kejujuran, fairness, keterbukaan (tidak dendam dan tidak suka menutup-tutupi maksud yang sesungguhnya; tidak menggunting dalam lipatan), keadilan, kesetaraan, toleransi (secara proaktif-positif menghormati keberbedaan tersebut), mempunyai penafsiran yang berbeda dari yang kita miliki, tidak mendahulukan absolusitas dalam segala hal), tidak totalistik (memaksakan kehendak; tanpa argumen yang rasional, komprehensif), menghargai dan menghormati orang lain sebagaimana adanya, kesederhanaan (sak madyo dalam bersikap, bergaul, berperilaku, berpakaian, perabot rumah, perhiasan, makan, minum), disiplin diri (dalam menggunakan dan mengatur waktu, uang, dana, kesempatan), moderasi atau mengambil sikap jalan tengah (tidak mendahulukan ekstrimitas dan radikalitas), kesabaran (budaya antri; tidak egoistik), selalu mendahalukan tindakan yang non-diskriminatif (suka membeda-bedakan atas dasar suku, ras, etnis, umur, seks, agama, sekte, jenjang pendidikan) dan lebih mengutamakan budaya non-violence. Budaya global memerlukan nilai-nilai fundamental kemanusiaan yang soft seperti yang antaranya disebut di atas, dan sudah barang tentu masih banyak yang lain lagi. Hanya saja, bagaimana cara penyampaiannya kepada anak didik secara lebih akademik sekaligus paedagogis? Salah satunya adalah lewat pengenalan bagian-bagian tertentu dari ilmu-ilmu sosial kritis dan humanities kontemporer yang dikawinkan dengan budaya lokal yang mendarah mendaging dalam payung Ulum al-Diin dalam konteks budaya Islam .
Suatu hal yang penting untuk diajarkan ke peserta didik adalah menanamkan pemahaman yang baik dan jernih tentang adanya perbedaan wilayah operasional di dalam beragama, yakni antara yang disebut nonfalsifiable dan yang falsifiable, antara yang objektif dan subjektif, meminjam bahasa usul fikih antara yang Qat’iy dan yang Dzanniy, antara general pattern dan particular pattern. Kecerdasan spiritualitas keberagamaan era global adalah terletak dalam kemampuan seseorang, kelompok, pimpinan kelompok untuk dapat melakukan dialog yang intens, sungguh-sungguh, mendalam, dan tulus dalam dan dengan diri sendiri serta antar para pemimpin kelompok untuk dapat melerai ketegangan yang selalu ada dalam diri seorang yang beriman .
4. Pendidikan Nilai Keagamaan.
Menurut Amin Abdullah, tidak mudah mengapresiasisasi kembali dan menegaskan nilai-nilai fundamental yang diperlukan untuk kehidupan bersama antar berbagai umat beragama (juga antar etnis, budaya, ras dan kelompok). Ada 3 (tiga) himpitan “identitas” yang sama-sama fundamental, yang sama-sama menggoda, yang sama-sama hendak dipertahankan oleh manusia baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pertama adalah peneguhan identitas yang bersumber dari tuntutan loyalitas pada hubungan seseorang atau kelompok kepada Tuhan (the identity generated by one’s relation to God) yang dikonsolidasikan dan dikristalkan lewat sistem politik-keagamaan dan kedua, identitas yang bersumber pada pengalaman riil seseorang atau kelompok untuk memenuhi tuntutan loyalitas kepada kelompoknya sendiri. Kedua tuntutan peneguhan identitas seringkali berbenturan dan sulit dicari konsensus. Belum lagi, bagaimana seseorang dan lebih-lebih kelompok memenuhi tuntutan loyalitas kepada keduanya, namun pada saat yang sama seseorang atau kelompok harus pula mampu mensupport identitas ketiga, yakni mendukung nilai-nilai yang diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatasi kedua loyalitas sebelumnya .
Oleh karenanya diperlukan metode baru pendidikan nilai dan pembelajaran agama yang dapat mendukung dan menyeimbangkan ketiga himpitan tuntutan identitas tersebut tanpa dibarengi rasa bersalah. Berbuat seadil mungkin terhadap ketiga tuntutan identitas, tanpa harus melebihkan loyalitas kepada yang satu dan mengurangi yang lain. Begitu titik equilibrium antara ketiganya dilanggar, atau ketiganya berjalan sendiri-sendiri tanpa rambu-rambu yang jelas yang dapat memandu pandangan hidup (world view) pimpinan kelompok agama, pimpinan masyarakat dan pejabat negara maka disharmoni, mutual distrust, eksklusivitas, segregasi akan mengedepan dengan sendirinya dan membuka peluang munculnya tindak kekerasan dalam masyarakat .
Bagi Amin Abdullah, core values yang dapat mengantarkan anggota kelompok agama yang satu dapat menghargai anggota kelompok agama lain adalah pemahaman bahwa umat manusia adalah senasib dan sepenanggungan, equal in creation (sederajat dalam penciptaan) dan memiliki common goal untuk kesejahteraan bersama. Nilai-nilai fundamental lain yang menjadi ikutannya adalah simpati, empati, loyalitas, toleransi terhadap berbagai jenis perbedaan dan mutual trust antar berbagai kelompok kepentingan yang berbasis agama, etnis, ras, suku. Bersumber dari nilai-nilai fundamental ini, maka tindakan sosial-politis kearah keluar berupa kebijakan akan melindungi, mempertahankan dan menjamin “hak-hak dasar” (basic human right), dan menjamin kesetaraan (equality) dalam kedudukan (status), kesempatan (opportunity) dan ekonomi (outcome), dan juga kesetaraan dalam memperlakukan dan menghormati (respect) dan pengakuan (recoqnition) .
Jika nilai-nilai utama (core values) tadi tidak dipertahankan, dipupuk dan dihidupkan oleh para pimpinan elit agama yang sekaligus pimpinan masyarakat luas, maka menurut Amin Abdullah, nilai sebaliknya yang akan tumbuh subur. Yakni nilai-nilai intolerance, apatis dan disloyalty akan naik ke permukaan. Pergunjingan, buruk sangka (prejudice), kemacetan dan kebuntuan komunikasi politik segera menyebar kemana-mana. Jika keadaan sudah seperti itu, maka tindakan politik yang mengarah kepada tindakan diskriminatif (discrimination) isu masyarakat-minoritas dipertajam, bahasa-bahasa politik yang cenderung memaksakan kehendak seperti perlunya integrasi dan assimilasi yang menegasikan perlunya multiculturalism .
Amin Abdullah menambahkan, jika nilai-nilai desktruktif tersebut berkembang biak maka pimpinan agama dan pimpinan masyarakat tidak jelas dimana posisinya, apakah mereka sesungguhnya sebagai “part of problem” atau “trouble maker” atau “problem solver”. Gangguan-gangguan sosial (disturbances), kerusuhan sosial (riots) akan segera muncul. Tindakan agresif kelompok tertentu dibiarkan tanpa ada peringatan. Dari situ, tinggal tunggu waktu apa yang disebut kekerasan kelompok beban (communal violence) dan bermotifkan agama (religious violence) .
5. Pesan Damai Pendidikan Agama.
Menurut Amin Abdullah, tugas pokok pendidikan adalah untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran dari ”dalam” intern masing-masing kelompok pemeluk agama-agama itu sendiri. Kekuatan penggerak dari pendorong untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran sebenarnya terletak dan terinspirasikan dari pengalaman pokok dari setiap kelompok agama yakni, ajaran Sang Budha bagi para pemeluk agama Budha, Taurat bagi pemeluk Yahudi, Jalan Yesus bagi orang-orang Kristen dan Pesan Perdamaian dari al-Qur’an bagi pemeluk agama Islam. Sangatlah penting bagi pendidikan keagamaan (Religious Education) untuk berasumsi bahwa tugas internalnya adalah untuk memperkenalkan ”sistem tanggungjawab bersama” (system of responsibility) kepada generasi muda sesuai dengan panduan ajaran agama masing-masing. Ketika para pemeluk agama-agama mengenal dengan baik akar-akar fundamental kepercayaannya dan ketika mereka mengenal dengan baik akar-akar kebudayaan dan agamanya sendiri, maka mereka sesungguhnya telah membekali diri landasan dasar untuk dapat melakukan dialog (perjumpaan, perkenalan, perbincangan) dengan sungguh-sungguh dengan masyarakat atau komunitas lain, diluar diri dan kelompoknya .
Semua jenis pendidikan keagamaan (religious education) seharusnya dibekali dengan cara metode dan jalan baru yang lebih menekankan pada ”penghormatan”, dan ”penghargaan” kepada masyarakat dan pemeluk agama lain serta mengenal tata cara hidup dan nilai-nilai yang mereka jadikan sebagai panduan kehidupannya. Generasi muda hendaknya dipersiapkan untuk selalu siap hidup bersama orang, kelompok atau masyarakat pemeluk agama lain tanpa terlalu dibebani oleh beban-beban psikologis dan hambatan-hambatan sosial-kultural yang bersumber dari sikap buruk sangka (prejudice), tetapi lebih diarahkan pada kemampuan untuk mendengar dan saling belajar dari orang atau kelompok lain. Cara demikian menurut Amin Abdullah, akan membuka cara berpikir baru dan cara melihat persoalan kehidupan bersama dengan pandangan yang lebih segar dan terbuka .
Selain itu Amin Abdullah menegaskan bahwa dialog antar iman atau antar kepercayaan hanya dapat menumbuhkan rasa ”saling percaya” (trust) jika para peserta dan patner dialog dapat memahami bahwa mereka tidak sedang dipaksa masuk dalam skenario dogmatik yang tidak saling terhubung antara satu kepercayaan dan lainnya. Ini berarti bahwa partner dialog harus mencoba belajar memahami berbagai jenis dan macam kepercayaan/iman dari sudut pandang orang yang memiliki kepercayaan itu sendiri dan secara empatik dan simpatik bersedia meneliti tradisi-tradisi keagamaan dan tulisan-tulisan yang dimiliki oleh teman partner dialog. Mereka secara bersama-sama harus menghormati dan menghargai perbedaan yang memang ada diantara mereka dan mencoba memahami alasan dan argumen mengapa ada perbedaan diantara mereka .
Di sisi lain, dimensi keagamaan religiosity dalam pendidikan seringkali di marginalkan dan diabaikan oleh para pendidik. Pendidikan umum, pendidikan tehnik, pendidikan humaniora, pendidikan sosial, pendidikan keterampilan, pendidikan biologi, matematika, kimia, fisika seringkali tidak peduli terhadap hal-hal yang terkait dengan isu keagamaan, karena “ agama” dianggap berada diluar wilayah mereka. Bahkan ironisnya pendidikan agama yang diselenggarakan oleh kelompok agama “tertentu” (particular religion) seringkali juga memarginalkan – untuk tidak menyebutnya “meremehkan” – realitas konkrit keberagamaan (Fundamental religiosity) yang dimiliki oleh kelompok lain, yang tidak seagama. Fundamental religiosity ini seringkali diabaikan hanya semata-mata karena “mereka” berbeda agama dari agama yang kita miliki. Para pendidik lupa bahwa anak-anak dan generasi muda seharusnya dibekali, dilengkapi dan diberi “etos”, “nilai”, “keyakinan”, “kebutuhan” untuk hidup bersama (to live together) orang atau kelompok lain, dan diajari bagaimana menghormati teman sejawat manusia sebagai manusia, dilatih untuk mempunyai rasa tanggungjawab terhadap seluruh ciptaan yang hidup dan bernyawa, dilatih bagaimana mereka nantinya peka dan cepat tanggap terhadap hal-hal yang mengarah kepada kebencian, kekerasan dan seluruh perkembangan baru dan kecenderungan dalam kehidupan manusia yang mengancam kehidupan bersama .
6. Pendidikan Karakter Multidimensi.
Amin Abdullah berpendapat bahwa sifat pendidikan karakter adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, ad hoc, apalagi atomistik. Menurutnya pendidikan karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. Pendidikan agama, begitu juga pendidikan kewarganegaraan pada level manapun tidak dapat berbuat banyak jika ia berdiri sendiri (self sufficiency), karena jika tidak dikaitkan dengan budaya, sosial, hukum dan politik misalnya, maka pendidikan agama hanya akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkin mudah dihapal, tapi seringkali tidak dapat dipraktikkan dan diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks .
Pendidikan karakter sangat diperlukan oleh bangsa manapun karena dengan pendidikan karakter yang berhasil akan membuat warga masyarakat dan warga negara menjadi “baik” tanpa prasyarat apapun. Menjadikan warga negara yang “baik” tanpa embel-embel syarat agama, sosial, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum. Pendidikan Karakter seperti ini sejalan dengan cita-cita kemandirian manusia (moral otonomy) dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan Karakter yang sukses akan sama dengan tujuan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik dalam ranah multikultural, multietnis, multibahasa, multi religi di era globalisasi seperti saat sekarang ini .
Menurut Amin Abdullah banyak faktor yang menjadikan pendidikan karakter tidak atau kurang berhasil di lingkungan sekolah dan lebih-lebih di masyarakat luas di tanah air. Perangkat undang-undang dan aturan-aturan yang ada sudah lebih dari cukup namun pengawasan pelaksanaannya sangat lemah, tapi yang sering dilupakan adalah bahwasanya pendidikan karakter memang diawali dengan pengetahuan (teori). Pengetahuan (teori) tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya. Kemudian dari pengetahuan itu diharapkan dapat membentuk sikap atau akhlak yang mulia. Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang diketahui itu. Menurutnya disinilah terjadi kekeliruan dan ketidaktepatan dalam menentukan paradigma pembelajaran pendidikan karakter di tanah air, yang semestinya diperlukan adalah mengamalkan berubah menjadi yang dipentingkan adalah mengetahui atau menghapal, tanpa kemampuan untuk melakukan dan mempraktekkanya di lapangan .
Selain itu model pembelajaran pendidikan karakter atau akhlak yang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alih pengetahuan moral, agama atau karakter’ (transfer of knowledge tentang moral, agama atau karakter). Dengan paradigma pembelajaran seperti ini, maka yang ditekankan oleh pendidik adalah penguasaan materi sesuai SAP yang tersedia dan daya serap anak didik atau memorisasi/hafalan lebih dipentingkan. Praktik ini tergambar dengan jelas dalam model soal ujian atau test yang dibuat oleh guru atau dosen. Akibat langsung yang tidak dirasakan selama bertahun-tahun adalah bahwa pendidikan karakter atau moral dan akhlak terlalu berorientasi pada intelektualisme etis. Padahal model paradigma pembelajaran pendidikan karakter (humanities) semestinya tidaklah seperti pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis intelektual .
Di sisi lain bahwa model dan paradigma pembelajaran sains dan matematika (natural sciences) berbeda dari model dan paradigma pembelajaran humanities. Yang diperlukan dalam pembelajaran humanities, dalam hal ini pendidikan karakter, adalah kemampuan guru, dosen, pendidik, pemimpin untuk “menyentuh dan menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi anak didik. Keutuhan pribadi manusia meliputi perasaan, rasio, imajinasi, kreativitas dan memori. Dengan begitu, paradigma pendidikan karakter seharusnya lebih tajam diarahkan pada kehendak dan motivasi, dan bukannya intelektualitas. Oleh karena itu, yang perlu dikenal terlebih dahulu oleh para pendidik adalah struktur kepribadian manusia. Sedangkan motivasi atau kehendak sangat terkait dengan hatinurani. Maka pendidikan karakter adalah pendidikan hatinurani .
7. Pendidikan Kepribadian Inklusif.
Dalam konteks Keindonesiaan yang plural dan multikultural, sejak dari awal pembentukan karakter bangsa harus diarahkan pada kepribadian yang inklusif. Bukan semata-mata bertenggang rasa dalam kerangka co-existence tetapi lebih jauh lagi harus berpartisipasi dalam menciptakan relasi sosial yang pro-existence dalam kemajemukan. Sikap tersebut menghajatkan kerjasama antar agama dalam menghadapi masalah-masalah aktual kehidupan seperti kemiskinan, kekerasan dan konflik horisontal, korupsi dan lain sebagainya dalam kerangka nilai-nilai fundamental dan universal antar agama.
Amin Abdullah menjelaskan bahwa selama ini pelajaran agama lebih menitik beratkan pada pendekatan normatif yang berdimensi ‘salah dan benar’ semata-mata bahkan pada dimensi eksoteris yang bersifat historis dan sosiologis sehingga menimbulkan ketegangan, baik secara internal maupun hubungan antar agama. Pendekatan semacam ini bahkan masih dominan digunakan sampai tingkat perguruan tinggi yang seharusnya lebih mengedepankan pendekatan historis dan sosial empiris-kritis sehingga agama dapat memberikan perangkat problem solving dan bukan justru menjadi part of the problem dalam konteks kemajemukan dan keberagaman di Indonesia .
Dimensi normatif dapat memberikan fondasi spiritualitas yang dinamis dalam menjunjung nilai-nilai universal kemanusiaan seperti keberagaman, toleransi dan penghargaan, persamaan dan keseteraan, bukan semata-mata pada sesama pemeluk agama tetapi bagi seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sementara itu dimensi historis dapat memberikan lesson learns, baik suatu fenomena yang konstruktif maupun aspek destruktif yang pernah dilakukan oleh para pendahulu dalam konteks kesejarahannya. Sehingga dapat diambil hikmah bagi kemaslahatan kemanusiaan di masa berikutnya. Dimensi sosial-empiris dapat memberikan kesadaran kontekstual dengan mengacu pada pemecahan masalah aktual dan komprehensif .
Pada aspek ini, Amin menambahkan bahwa klaim kebenaran (truth claim) yang bersifat normatif yang mengedepankan sentimen emosional akan menimbulkan dogmatisme dan fanatisme. Di sinilah dimensi kesejarahan dan sosial menjadi sangat penting perannya dalam mengimbangi dimensi normatif sehingga dapat membentuk komitmen dan sentimen yang sehat dan inklusif yang dituntut oleh agama dan menghindari fanatisme sempit eksklusif yang dicegah oleh agama .
Idealnya agama harus diajar secara multi-approaches dan bersifat contested dengan sebanyak mungkin memaparkan berbagai dimensi. Pendekatan yang bersifat normatif-historis dan sosiologis akan dapat menyemai suatu kesadaran kritis dan spiritualitas yang dinamis dalam menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks seiring dengan modernisasi dan globalisasi yang tengah berlangsung . Dengan demikian agama menyediakan alternatif-alternatif pemecahan yang berpijak pada nilai-nilai fundamental universal (sebagai antitesis terhadap nilai-nilai furu’iyah partikular) dan berorientasi pada relevansi pemecahan yang kontekstual dan aktual seperti pemberantasan secara bentuk eksploitasi, penindasan, korupsi dan praktek-praktek dekaden lainnya.

E. Catatan Akhir.
Terlepas dari sumbangan positif di atas, posisi Postmodernisme sebagai basis filosofi pendidikan inklusif-multikultural juga mengandung kelemahan dan kesulitan yang tidak mudah untuk diatasi serta mengandung bahaya yang layak diwaspadai untuk pendidikan. Menurut J. Sudarminta, postmodernisme menolak konsep rasionalitas tunggal dan kemanusiaan universal (seperti terungkap dari teori dekonstruksi Derrida, ketidakpercayaan Lyotard pada “cerita-cerita besar” guna memberi tempat bagi kemajemukan “cerita-cerita kecil”, dan klaim Rorty bahwa benar dan salah itu melulu perkara praksis sosial) selain jatuh ke dalam relativisme, juga jatuh dalam performative contradiction. Sudarminta menambahkan, dengan jatuh ke dalam relativisme, berarti tidak ada tolok ukur bersama untuk menilai mana pandangan dan tindakan yang rasional dan manusiawi, mana yang irasional dan tidak manusiawi; mana pernyataan yang benar dan mana yang salah; mana tindakan yang baik dan mana yang buruk. Situasi ini tidak hanya menyulitkan, tetapi juga berbahaya bagi pendidikan. Mendidik para subjek didik untuk bersikap toleran dan menghargai perbedaan serta kemajemukan budaya memang suatu hal yang luhur. Tetapi toleransi ada batasnya. Kita tidak dapat bersifat toleran terhadap intoleransi yang menginjak-injak martabat manusia. Demikian juga politik identitas yang mengeras dan hanya menekankan keunikan masing-masing tanpa mempedulikan eksistensi dan hak asasi pihak lain hanya akan membuat hidup bersama yang damai di muka bumi ini menjadi mustahil dijalani .
Sementara itu, terlepas dari gagasan inklusif-multikultural M. Amin Abdullah yang nampaknya memang sangat dibutuhkan dan perlu diapresiasi serta dikembangkan lebih lanjut ke dalam ranah praktik pendidikan Islam. Kita harus berhati-hati bahwa logika argumentasi postmodernisme yang menjadi basis filosofis pendidikan inklusif-multikultural sepertinya mengarah pada gejala konsumerisme dan komersialisasi kependidikan yang individualistik. Dalam banyak hal mirip dengan yang diperjuangkan oleh kelompok kanan baru yang mendukung pasar bebas. Terkait dengan hal itu, timbul suatu pertanyaan apakah proses transformasi IAIN ke UIN yang berimbas pada perombakan fisik membuat dimensi kerakyatan yang menjadi ciri khas ketika masih IAIN menjadi luntur?. Sehingga gagasan pendidikan inklusif-multikultural hanya menjadi jargon pemanis atas bencana komersialisasi pendidikan Islam. Satu hal lain yang menjadi pertanyaan besar kemudian, mengapa justru di saat wacana pendidikan inklusif-multikultural dikampanyekan, eskalasi kekerasan atas nama etnis, suku, ras dan bahkan agama justru semakin meningkat?. (Wallahu A’lamu Bisshawwab)









Bibliografi

Abdullah, M. Amin, (1997), Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________________, (2006), Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________________, Faham Keagamaan Dan Kebangsaan Indonesia Di atas Keberagamaan Yang Majemuk Dan Multikultural, makalah disampaikan dalam Stadium General “Membangun Semangat dan Faham Kebangsaan Indonesia Diatas Keberagamaan yang Majemuk dan Multikultural”, Aula Lt.5, Gedung Rektorat, Kampus C. UNAIR, 28 Juni 2006.

________________, Mempertautkan ulum al-diin, al-fikr al-islamiy dan dirasat islamiyyah: sumbangan keilmuan islam untuk peradaban global, makalah disampaikan pada ”Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Intergrasi-Interkoneksi”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 19 Desember 2008.

________________, Pendidikan Agama Untuk Perdamaian Dunia, makalah disampaikan dalam Seminar “Pendidikan untuk Perdamaian Dunia”, diselenggarakan oleh Pasific Countries Social and Economic Solidarity Association (PASIAD), Semarang, 24 Maret 2007.

________________, Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan Hati Nurani, makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010.

________________, Agama & Pembentukan Kepribadian Bangsa Di Indonesia, lihat http://aminabd.wordpress.com/2010/06/03/71/.

________________, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian Era Multikultural-Multirelijius,http://www.uinsuka.info/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=510&Itemid=341.

Arif, Mahmud, (2011) Arti Penting Pendidikan Agama Islam yang Inklusif-Multikultural, dalam Agus Moh. Najib dan Ahmad Baidowi (ed), Merajut Perbedaan Membangun Kebersamaan, Yogyakarta: PPS UIN Sunan Kalijaga dan Dialog Centre Press.

Cannon, Dale, (2002), Enam Cara Beragama, terj. Djam’annuri dan Sahiron, Yogyakarta: Ditpertais Depag RI dan CIDA-McGill-Project.

"education, philosophy of.", (2009) Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2009 Student and Home Edition. Chicago: Encyclopædia Britannica.

Freire, Paulo. (2002). politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

I Sugiharto, Bambang, (1996) Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Lyotard, Jean Francois. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge, Minneapolis: University of Minnesota Press.

Mas’ud, Abdurrahman, (2005), Agama Pesantren, Damai atau Teror?, dalam Alef Theria Wasim et.al (ed), Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher.

Marshall, J dan Peters, M, (1999), Postmodern dalam John P. Keeves dan Gabriele Lakomski. (ed), Issues in Educational Research, United Kingdom: Pergamon.

Norris, Christopher (2003). Membongkar teori dekonstruksi Jaques Derrida, Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Nuryatno, M. Agus, (2010) Isu-isu Kritis dalam Pendidikan Islam, dalam Nizar Ali dan Sumedi. (ed), Antologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Prodi Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Kalijaga dan Idea Press.

Ozmon, Howard A dan Craver, Samuel M., (1995), Philosophical Foundations of Education, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Pilliang, Amir Yasraf. (2004). Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

S.J., J. Sudarminta, Postmodernisme dan Komersialisasi Pendidikan Tinggi, dalam http://www.aptik.or.id/artikel/postmodernisme-dan-komersialisasi-pendidikan-tinggi.

Suseno SJ, Franz Magnis, (2005), Kerukunan Beragama dalam Keragaman Agama: Kasus Indonesia dalam Alef Theria Wasim et.al (ed), Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher.

Zuchdi, Darmiyanti, (2008), Humanisasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

Pandangan Teologis Asy’ariyah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Revisi)

A. Pendahuluan.
Salah satu diktum idiologis mendasar dalam konsepsi pemikiran Islam adalah konsep tentang keesaan Tuhan (tauhid). Dari konsep inilah pemikiran Islam mengalami perkembangan dengan ciri khas, watak, dan nilai-nilai fundamentalnya. Pada masa klasik dialektika pemikiran tentang ketuhanan ini menjadi atmosfir utama pemikiran Islam, sehingga pemikiran Kalam atau yang juga lazim disebut Falsafah Kalam mempunyai tempat yang sangat sentral dalam bangunan pemikiran Islam klasik. Oleh karena itu pandangan teologis/kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah ataupun Maturidiah dan lainnya, menjadi tonggak sejarah yang tidak dapat dihapus dari wawasan intelektual Islam klasik. Dalam konteks pendidikan Islam, wawasan teologis/kalam tersebut masih dibahas di berbagai pusat-pusat pendidikan dan pengajaran Islam baik di pesantren, madrasah Tsanawiyah/Aliyah, IAIN/UIN maupun program-program Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah diberbagai perguruan tinggi di luar negeri.
Pemikiran Asy’ari, Mu’tazilah atau Maturidiyyah adalah bangunan pemikiran kalam yang dibentuk oleh suatu zaman yang berkembang seribu tahun yang lalu. Karena itu pemikiran tersebut mewakili watak zamannya yang berbeda dalam muatan pengalaman dan penghayatan dengan watak pada masa kini. Sehingga pemikiran tersebut adalah khazanah yang tidak bersifat mutlak untuk diikuti dan dalam membahasnya perlu sikap kritis. Dalam hal itu, tulisan ini berupaya mengelaborasi secara singkat tentang pandangan teologis Asy’ariyah yang bisa dikatakan sangat identik dengan struktur pemahaman ketuhanan aliran ahlus sunnah wal jama’ah. Pada saat yang sama, Asy’ari juga berafiliasi pada mazhab fiqh Syafi’i, di mana paham kalam dan madzhab fiqh tersebut dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini juga berupaya merumuskan implikasi-implikasinya bagi pendidikan Islam, baik implikasi secara teoretis maupun praktis. Sehingga dari sini akan diupayakan reformulasi dan rekonsepsi baru dalam pendidikan keberimanan/ketuhanan di dalam pendidikan Islam. Sebagaimana realitas objektif yang terjadi saat ini, pendidikan tentang keimanan (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama. Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan. Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about being Moslem).

B. Setting Historis Asy’ariyah.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan di kota Basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Dilihat dari namanya, secara geneologis beliau adalah keturunan dari salah seorang sahabat Nabi S.AW, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari yang juga merupakan mediator dalam sengketa politik antara Ali dan Muawiyah pada peristiwa tahkim di Daumatul Jandal.
Al-Asy’ari dilahirkan dan dibesarkan serta dididik ketika aliran paham Mu’tazilah mencapai supremasinya. Maka wajar kemudian sejak masa kecilnya al-Asy’ari telah berguru kepada salah seorang ulama terkenal dari kalangan Mu’tazilah yaitu, Abu Ali al-Jubbai. Dalam kurun waktu yang panjang ia telah menjadi penganut paham Mu’tazilah yang taat, bahkan dengan kemampuan intelektualnya, ia mampu menulis buku-buku untuk mempropagandakan paham Mu’tazilah. Proses ini ia jalani hingga ia berumur 40 tahun. Pada usia ini pula ia mengalami proses skeptisisme terhadap paham yang dianutnya. Untuk itu kemudian al-Asy’ari mengasingkan diri selama 15 hari di dalam rumahnya, sampai ia merasa perlu untuk melakukan shifting paradigm terhadap pandangannya selama itu yang menurutnya telah mengalami banyak anomali di dalamnya.
Titik balik perubahan paradigma tersebut kemudian dideklamasikan oleh al-Asy’ari di masjid besar di kota Basrah. Sejak itu pula ia dengan gigih berupaya menunjukkan anomali-anomali yang ada pada paham dan pemikiran Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, perubahan besar pada diri al-Asy’ari juga disebabkan oleh pilihannya untuk berafiliasi dengan mazhab fiqh Syafi’i, dimana terdapat perbedaan-perbedaan secara diametral antara pandangan Imam Syafi’i dengan paham Mu’tazilah, khususnya pandangan tentang al-Qur’an yang bagi mazhab Syafi’i adalah bersifat qadim dan bukan mahluk, juga pandangan bahwa Tuhan dapat dicerap secara inderawi di akherat kelak.
Di sisi lain, al-Asy’ari melakukan pembacaan terhadap realitas objektif di kalangan umat Islam, di mana telah terjadi dua kutub pemikiran yang berlawanan dan berselisih satu sama lain. Pada kutub pertama, yakni pemikiran Mu’tazilah yang memiliki pandangan deterministik terhadap potensi rasio manusia dan menjurus pada paham rasionalisme serta memposisikan dalil-dalil wahyu sebagai second opinion. Sementara itu al-Asy’ari juga mencemaskan terjadinya model pemahaman tekstualis-skripturalis pada kutub pemikiran yang lain, diantaranya pandangan anthropomorphist (al-hasywiah) tentang Tuhan. Atas pembacaan dua kutub pemikiran tersebut, al-Asy’ari berupaya mengajukan suatu sintesa sebagai jalan tengah atas kemelut pemikiran yang berlarut-larut. Pada akhirnya terobosan pemikiran yang dilakukan oleh al-Asy’ari menjadi tonggak penting bagi perubahan besar pada kancah pemikiran Islam pada masa selanjutnya.
Pandangan al-Asy’ari mendapatkan momentumnya setelah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang paham Mu’tazilah sebagai paham resmi kekhalifahan Abbasiyah dan membuat pamor paham Mu’tazilah merosot tajam. Ditambah lagi oleh apresiasi yang tinggi khalifah al-Mutawakkil terhadap Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan icon bagi perlawanan terhadap pemikiran Mu’tazilah. Penulis menduga pergeseran politik yang diikuti oleh pergeseran pemikiran keagamaan, sebagaimana yang telah disebut di atas, juga diikuti oleh sikap pragmatis al-Asy’ari, sebagaimana tampak di dalam karyanya Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah, yang merupakan kitab yang berisikan konsep aqidah ahlussunnah dan dimulai dengan memuji Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikannya serta menyatakan memegangi pendapat-pendapatnya. Dikemudian hari pragmatisme al-Asy’ari mendapat kritikan pedas dari salah seorang ulama mazhab Hanbali, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang menyatakan bahwa al-Asy’ari adalah seorang Mu’tazilah tulen.

C. Pandangan Teologis Asy’ariyah.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perumusan dogma al-Asy’ariyah merupakan suatu sintesa antara pandangan ortodoks dan pandangan Mu’tazilah. Diantara sekian banyak pendapat al-Asy’ari yang terserak dalam 90 buah karyanya diantaranya seperti Mawalatul Islamiyyin, Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah, Kitab Al-Luma’ Fi al-Rad ‘ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ , terdapat beberapa tema penting yang menjadi subyek pembahasannya yaitu:
Pertama, Pendangan al-Asy’ari tentang sifat berada di tengah-tengah pendapat Mu’tazilah di satu pihak dan aliran Hasywiah serta Mujassimah di lain pihak. al-Asy’ari mengajarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang rill dan abadi. Tuhan melalui sifat Pengetahuan-Nya, berkehendak dengan sifat Kehendak-Nya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut tidak identik dengan Zat-Nya, tapi tidak pula berbeda daripadanya. Sifat-sifat tersebut adalah rill walaupun kita tidak tahu ‘bagaimana’nya mereka. Dalam hal ini, menurut Fazlur Rahman, al-Asy’ari menggunakan dialetika negatif dari kaum Mu’tazilah yang pada akhirnya bersumber pada Neoplatonisme.
Kedua, tentang masalah kemerdekaan manusia, berdasarkan ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, al-Asy’ari merumuskan doktrinnya tentang ‘perolehan’ (acquisition). Menurut doktrin ini, semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnnya oleh Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian ‘memerolehnya’. D.B. Macdonald melihat dalam perumusan ini suatu usaha untuk bertindak adil terhadap kenyataan psikologis bahwa manusia memiliki kesadaran bahwa ia menguasai perbuatan-perbuatan yang dipilih dan dikerjakannya dengan sadar. Akan tetapi menurut Fazlur Rahman, masalah yang ingin diselesaikan oleh al-Asy’ari lebih bersifat moral dari pada psikologis, yakni bagaimana mendamaikan kekuasaan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Di mana pada prinsipnya yang berlaku adalah bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah, sedangkan tanggung jawab adalah pada manusia. Prinsip ini sendiri, meskipun mempunyai bentuk metafisik, dalam watak esensialnya bersifat moral-religius.
Ketiga, mengenai kemampuan inderawi manusia mencerap wujud Tuhan di akherat kelak, diantara asumsi dasar al-Asy’ari adalah bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat tentang dapatnya untuk melihat Tuhan tidak akan membawa kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
Keempat, bagi al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidaklah mungkin. Oleh karena itu tidak mungkin pula bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan tidak pula kafir.
Sepeninggal al-Asy’ari, pandangan teologis tersebut melembaga menjadi suatu pemikiran independen yang dinamai Asy’ariyah. Aliran ini pada dasarnya tetap menegakkan dalil-dalil pemikirannya secara essensial pada watak yang lebih rasional, dan memposisikan nas-nas sebagai faktor pendukung. Maka dari itu aliran ini mengalami perkembangan dan perubahan yang pesat, khususnya setelah tokoh-tokoh kenamaan seperti Al-Baqillani, Ibnu Furak, Ibnu Ishak al-Isfaraini, Abdul Kahir al-Baghdadi, Imam al-Haramain al-Juwaini, Abdul Mudzaffar al-Israfaini, Al-Ghazali, Ibnu Tumart, Asy-Syahristani, Ar-Razi, Al-Iji, dan As-Sanusi, menjadi tokoh-tokoh penganjur pandangan teologis Asy’ariyah, setelah melakukan modifikasi pada beberapa buah pemikiran al-Asy’ari. Dari penafsiran ulang dan modifikasi terhadap pandangan teologis al-Asy’ari dari para tokoh-tokoh di atas, pandangan Asy’ariyah menjadi lebih dekat, bahkan identik dengan paham teologis yang dianut oleh aliran ahlussunah wal jama’ah secara umum.

D. Hubungan Antara Teologi dan Pendidikan.
Doktrin teologis pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri. Ia terkait dengan jaringan institusi atau lembaga sosial kemasyarakatan. Bahkan, kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan tampaknya selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengkristal di masyarakat. Sehingga kesalinghubungan antara pendidikan dengan doktrin teologis sangatlah erat. Kendati pada tataran realitas objektif cenderung diposisikan terpisah, misalnya ranah pendidikan “dikerangkeng” ke dalam fakultas Tarbiyah, dan aspek ‘teologi’ menjadi ‘anak emas’ fakultas Ushuluddin.
Paling tidak ada dua pola hubungan antara teologi dan pendidikan, yaitu yang pertama, adalah hubungan yang bersifat fungsional. Bahwa konsepsi teologis adalah suatu worldview atau pandangan dunia yang membutuhkan sejenis instrumen untuk mentransmisikan gagasan teologis tersebut ke dalam spektrum yang lebih luas dan kongkret. Misalnya, salah satu media transmisi yang dapat digunakan adalah institusi pendidikan. Selain itu bahwa suatu sistem teologi biasanya hanya pada tataran wacana para pemikir dan teolog, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Untuk itu dibutuhkan peran ulama, mubaligh dan guru. Oleh karena itu secara kasat mata sesungguhnya hubungan fungsional antara teologi dan pendidikan sangatlah erat, akan tetapi dimensi pragmatis, tolak ukur dan watak dari dunia pendidikan yang memiliki karakter yang khas, sehingga persoalan teologi tidak masuk dalam hitungan dunia pendidikan.
Kedua, hubungan antara teologi dan pendidikan bersifat simbiotik (saling memengaruhi). Pada satu sisi, nilai dan spirit teologi dapat menjadi landasan konseptual yang kokoh dan ‘berjiwa’, bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan yang menjadi garapan dunia pendidikan. Di sisi lain, pada tingkat tertentu pendidikan berperan penting dalam mengejawantahkan gagasan-gagasan teologis, misalnya, implikasi pandangan teologis Asy’ariyah pada berdirinya madrasah-madrasah yang menjadi mercusuar bagi penyebaran gagasan teologis Asy’ariyah ke dalam masyarakat luas.

E. Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.
1. Implikasi Pada Ranah Politik Pendidikan Islam.
Aliran Asy’ariyah mencapai puncak supremasinya ketika paham ini dianut oleh Nizamul Mulk yang menjadi Perdana Menteri pada masa kekuasaan Bani Saljuq di era kekhalifahan Abbasiyah, dan langkah konversi pemikiran Nizamul Mulk ini juga diikuti oleh para birokrat yang menjadi bawahannya. Maka dari itu, dalam konteks sejarah pendidikan Islam, pandangan teologis Asy’ariyah berimplikasi langsung pada ranah politik pendidikan Islam, karena secara tidak langsung madrasah Nizamiah yang tersebar di hampir semua kota-kota Besar ketika itu menjadi corong bagi diseminasi paham Asy’ariyah ke khalayak luas sebagai bagian dari proyek uniformisasi pemikiran, dalam rangka menciptakan stabilitas negara.
Apa yang telah dilakukan oleh Nizamul Mulk untuk menjadikan institusi pendidikan resmi sebagai media transmisi penyebaran aliran Asy’ariyah, kemudian juga dilakukan oleh penguasa Muslim yang lain seperti Salah al-Din al-Ayyubi di Mesir melalui institusi Al-Azhar yang merupakan peninggalan Dinasti Fatimiah yang beraliran Syi’ah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammad Ibn Tumart yang merupakan murid dari Al-Ghazali, yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahhidun (1130-1269), sehingga membuat aliran Asy’ariyah menyebar di wilayah Afrika Utara dan Andalusia. Di belahan dunia Islam bagian Timur seperti wilayah India dan Afganistan, penyebaran paham Asy’ariyah juga terjadi berkat kekuasaan Mahmud al-Ghaznawi (999-1030) yang merupakan pendiri kerajaan Ghaznawi.
Penyebaran secara massif aliran Asy’ariyah juga dikarenakan, kecenderungan umumnya masyarakat yang biasanya mengikuti mazhab yang dipakai oleh dinasti yang berkuasa. Kecenderungan model keberagamaan bersifat normatif-reproduktif yang mendominasi corak berfikir masyarakat Muslim ketika itu berimplikasi pada aspek esensi dan substansi pemikiran ketuhanan yang termanifestasikan dalam etika sosial dan spiritualitas keberagamaan kurang mendapat porsi yang mengigit dalam tradisi keilmuan kalam. Sehingga timbul satu persoalan, yaitu wilayah agama dan keberadaan Islam menjadi kaku dan sempit, jargon sosiologisnya terlalu disederhanakan dan bersifat dikotomis: Muslim atau kafir, sunnah atau bid’ah. Pendekatan esensi segera beralih ke pendekatan legal-formal, pendekatan kontekstual beralih ke pendekatan tekstual dan seterusnya. Wajar kemudian sebagian kalangan berasumsi bahwa gelombang penguatan doktrin Asy’ariyah sebagai mazhab teologi mayoritas umat Islam berimplikasi pada kemerosotan intelektual di dunia pendidikan Islam hingga ke titik yang sangat memprihatinkan, seperti masih dirasakan dewasa ini.
Di samping itu kecenderungan para penguasa Muslim menjadikan teologi Asy’ariyah sebagai doktrin utama negara dalam rangka menjaga stabilitas kerajaan atau negara, berimbas pada melempemnya institusi pendidikan, karena tidak adanya upaya inovatif-reformatif-transformatif. Ditambah lagi oleh kemenangan teologi Asy’ariyah di atas pemikiran kritis filosofis yang terjadi di seputar kontroversi antara al-Ghazali −sebagai salah satu eksponen penting Asy’ariyah− dan Ibnu Sina. Sejak itu pemikiran teologi Asy’ariyah menjadi taken for granted sehingga tidak diperlukan kajian atau rumusan ulang. Yang dipentingkan hanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu hingga saat ini. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan efek negatif yang berkelanjutan hingga dewasa ini, yaitu terbentuknya paradigma ortodoksi teologi Islam klasik yang membuat mental berfikir-edukatif umat Islam sulit untuk berkembang.
2. Implikasi Pada Ranah Epistemologi Pendidikan Islam.
Tak dapat dipungkiri bahwa puncak masa keemasan peradaban Islam terjadi pada era Daulah Abbasiyah, khususnya era Harun al-Rasyid, dan al-Makmun. Pada masa ini supremasi lembaga riset ilmiah seperti Bait al-Hikmah mencapai puncaknya, yang secara epistemologis lebih mengedepankan aspek rasionalitas (aqliyyah) daripada nash-nash agama (naqliyyah). Pada perjalanan sejarahnya, supremasi al-Ulum al-Aqliyyah yang disokong oleh doktrin Muktazilah akhirnya mengalami degradasi seiring dengan menguatnya kembali pengkajian ilmu-ilmu agama atau al-Ulum al-Naqliyyah yang mengejawantah dalam bentuk berdirinya madrasah-madrasah di hampir seluruh belahan dunia Islam. Berdirinya madrasah-madrasah Nizamiah adalah titik balik pergeseran epistemologi pendidikan Islam, yakni dari horison ilmu-ilmu rasional (al-Ulum al-Aqliyyah) ke horison ilmu-ilmu keagamaan (al-Ulum al-Naqliyyah). Maka dari itu Madrasah Nizamiah di dapuk sebagai Universitas Islam pertama karena merupakan institusi resmi pertama yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan.
Dengan terjadinya pergeseran epistemologis tersebut, maka dapat dipastikan bahwa apa yang diajarkan di dalam madrasah hanya berkisar pada al-Ulum al-Naqliyyah dan al-Ulum al-Lisaniyah. Kedua ranah ilmu tersebut sesungguhnya telah mengalami masa kematangan pada masa Daulah Umayyah. Al-Ulum al-Naqliyyah adalah ilmu-ilmu yang berhubungan al-Qur’an; seperti Tafsir, Qira’at, Hadits, Fiqh dan Ushul Fiqh. Sedangkan al-Ulum al-Lisaniyah meliputi ilmu-ilmu bahasa dan sastra yang memang dibutuhkan untuk memahami al-Usul al-Islamiyah sebagai dasar al-Ulum al-Naqliyyah . Dengan demikian epistemologi al-Ulum al-Aqliyyah semakin terlupakan, walaupun sesungguhnya telah dicapai dalam beberapa dasawarsa sebelum itu.
Tidak hanya pada level al-Ulum al-Aqliyyah saja, supremasi epistemologi al-Ulum al-Naqliyyah juga membuat ilmu-ilmu terapan praktis (al-Ulum al-Tatbiqiyyah al-Amaliyyah) juga terabaikan Hal ini tampak jelas dari penuturan Abd. Majid Abu al-Futuh Badawi bahwa;
Segi-segi negatif Madrasah Nizamiah ialah bahwa madrasah ini mengkonsentrasikan usahanya pada pengajaran al-Ulum al-Syari’ah dan Ushul al-Diin sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan untuknya. Konsekuensinya, mengabaikan ilmu-ilmu terapan yang praktis (al-Ulum al-Tatbiqiyyah al-Amaliyyah). Padahal ilmu-ilmu tersebut sangat menonjol pada abad keempat dan awal abad kelima...’’ .

Walaupun demikian aspek rasionalitas tidak diabaikan sepenuhnya, karena pada kenyataanya di madrasah Nizamiah, elaborasi kajian fiqh juga mengadaptasikan aspek pendekatan logika (aqliyyah) yang secara spesifik dibahas dalam Ushul Fiqh, khususnya Ushul Fiqh Syafi’iyyah. Demikian pula pada pengajaran Kalam, khususnya Kalam Asy’ariyah yang menjadi arus utama paham teologis di madrasah Nizamiah. Pada sisi ini Kalam mengapresiasi akal dan mantiq, akan tetapi akal yang digunakan terbatas pada standar logika teologis tertentu, dan tidak mampu mendorong perkembangan ilmu. Sehingga potensi rasionalitas yang terkandung pada doktrin teologis Asy’ariyah tidak mampu mendorong perhatian terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, perkembangan sains semakin mengalami degradasi dan redup seiring dengan berdirinya lembaga pendidikan madrasah. Hal ini diakibatkan oleh bangkitnya ortodoksi Sunni yang beraliran teologi Asy’ariyah dan bercorak tasawuf dalam memahami Islam. Madrasah kurang memberikan respons secara memadai terhadap ilmu pengetahuan yang tergolong al-Ulum al-Aqliyyah. Ilmu jenis ini bahkan sering dicurigai sebagai ilmu yang bukan bersumber dari ajaran Islam . selain itu sains dianggap tidak dapat menghantarkan umat Islam menuju kesalehan dan keimanan. Dalam hal ini Abdurrahman Assegaf menyatakan bahwa akibat berangkai dari pola pikir pendidikan yang dikotomis ini adalah telah terciptanya disharmoni relasi pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi duniawi dan ukhrawi dan relasi antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris) .
Di sisi lain, pandangan teologi Asy’ariyah ternyata menyisakan beberapa anomali, sebagaimana ditegaskan oleh M. Iqbal, bahwa paham Asy’ariyah, menggunakan cara dan pola berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkret adalah merupakan kesalahan besar . Hal yang sama juga disadari oleh Arkoun bahwa teologi Islam klasik sangat diwarnai oleh pola pemikiran Yunani . Anomali seperti ini berimplikasi pada tataran teoretis-filosofis pendidikan Islam, seperti diketahui bahwa kedua kubu pemikiran tersebut pada dasarnya telah kehilangan dimensi rasional kritisnya. Karena pemikiran tersebut belum bergeming dari rumusan abad tengah yang belum mengenal perubahan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta perkembangan ilmu pengetahuan modern baik dalam bidang kealaman maupun kemanusiaan.
Terlebih lagi adalah pandangan atomistik-okasionalistik yang menjadi ciri khas pandangan teologis Asy’ariyah, di mana Abu Bakar al-Baqillani, salah seorang pengikut al-Asy’ari, secara tegas berpendapat bahwa pandangan atomistik adalah prinsip keimanan paling tinggi yang harus diakui oleh setiap muslim sebab bukti tentang keberadaan Tuhan sangat bergantung pada penerimaan pandangan atomistik terhadap alam. Senada dengan itu, al-Ghazali juga turut andil dalam menyuarakan paham okasionalisme. Menurutnya, pengafirmasian terhadap keniscayaan kausalitas jelas akan mengarah pada penyangkalan terhadap berbagai peristiwa mukjizat dan kemahakuasaan Tuhan.
Pandangan atomistik-okasionalistik tersebut mendapatkan kritikan tajam dari para pemikir kontemporer, karena berimplikasi pada konsepsi tentang hukum kausalitas yang cenderung absurd dan tidak kompatibel dengan realitas keilmuan serta worldview dunia pendidikan yang berkembang dewasa ini. Selain itu konsepsi mengenai kausalitas versi Asy’ariyah dipandang tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan baik dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman maupun humaniora.
Dengan melakukan pembacaan ulang tentang adanya fenomena anomali-anomali yang melekat pada konstruksi epistemologi teologi Asy’ariyah, dapatlah dilahirkan suatu proposisi, bahwa secara tentatif paradigma teologis Asy’ariyah perlu dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia. Proyeksi pembaharuan ini harus dimulai pada dimensi aspek falsafah pendidikan Islam, karena bukan tidak mungkin efek negatif dari anomali-anomali tersebut telah berurat berakar dalam mind-set sebagian umat Islam dan membuat umat Islam sulit bangkit dari keterpurukan peradaban kemanusiaan.
3. Implikasi pada Ranah Kurikulum.
Sebagaimana telah dipahami bersama, bahwa madrasah Nizamiah sangat kental dengan nuansa salah satu ajaran fiqh Sunni, yaitu mazhab Syafi’i. Bahkan mungkin dapat dikatakan lembaga ini mengambil corak pemahaman teologis Asy’ariyah sebagai label atau trade mark dari pengajaran yang terdapat pada madrasah ini. Dalam kaitannya dengan kurikulum pengajaran, bisa dipastikan kalau disiplin fiqh dan ushul fiqh menjadi salah satu mata kajian yang harus ditempuh oleh para pelajar, seperti yang jelas tercantum dalam dokumen wakaf lembaga Nizamiyah .
Akan tetapi argumen yang mengatakan bahwa doktrin teologi Asy’ariyah memengaruhi kurikulum madrasah Nizamiah dibantah oleh Mircea Eliade yang menyatakan bahwa tidak ada pembelajaran teologi rasional (Kalam) yang terkandung dalam kurikulum di madrasah manapun. Bahwa kurikulum lebih menitikberatkan pada kajian fiqh, hadits, dan penghafalan al-Qur’an, dan sama sekali tidak ada diskusi teologis mengenai Kalam Asy’ariyah, termasuk tidak ada pengajaran dalam pelbagai lingkaran studi yang bersifat informal .
Walaupun demikian peranan pandangan Kalam Asy’ariyah dalam langgam pemikiran keagamaan Sunni pada umumnya sangat dominan pada era madarasah Nizamiah. Mengingat bahwa pandangan teologis Asy’ariyah ini ternyata cukup ampuh untuk membentengi aqidah kaum Sunni ketika itu dari derasnya arus pemahaman Syiah Bathiniah Ismailiyah ketika itu. Maka dari itu Muhammad al-Faruqi tetap bersikukuh bahwa kalam Asy’ariyah merupakan mata kajian utama yang diajarkan di Nizamiah selain ilmu-ilmu al-Qur’an (qur’anic science), exegesis (tafsir), arabic grammar (nahwu sharaf) dan jurisprudence (fiqh) .
Dalam pada itu, tampaknya kurikulum pendidikan di madrasah Nizamiah tidak mengantarkan pada wacana integralisasi ilmu-ilmu, sebab sejak awal lembaga ini didirikan untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu keagamaan setelah sempat terabaikan karena supremasi doktrin Muktazilah. Namun demikian terlalu gegabah pula rasanya jika dikatakan bahwa madrasah Nizamiyyah adalah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang mempelopori terciptanya dikotomisme dalam pendidikan Islam. Karena fakta sejarah membuktikan bahwa penguasa selanjutnya yaitu al-Mustanshir Billah menyadari kelemahan-kelemahan kurikulum madrasah Nizamiah dalam pengembangan aspek ulum al-Aqliyah, mendorongnya untuk mendirikan madrasah al-Mustansiriyah yang mengakomodir kurikulum fiqih diluar mazhab Syafi’i untuk menciptakan harmoni antar mazhab dan mendirikan madrasah khusus di Bimaristan yang mengajarkan ilmu kedokteran .
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah madrasah pada umumnya menampakkan evidensi bahwa kurikulum madrasah tidak mampu mendorong pengembangan potensi penalaran, kecuali pada penekanan pada pendekatan doktriner dan fiqh oriented. Dari faktor inilah fenomena dualisme dalam pendidikan Islam tampak tidak terelakkan. Namun demikian, tidak terbantahkan bahwa madrasah Nizamiah memiliki peranan sentral dalam menjaga dan mensosialisasikan serta menjembatani kajian-kajian keagamaan dan khazanah intelektual Islam dari periode klasik sampai pada periode berikutnya.
Apabila ditarik dalam konteks madrasah pada masa kini, dimana eksistensinya masih dipertanyakan ketika kurikulumnya masih didominasi oleh al-Ulum al-Naqliyyah. Karena posisi madrasah yang menjaga jarak dengan sains modern itulah maka madrasah sering disebut lembaga tradisional . Pada posisi ektrim seperti inilah, pada akhirnya kurikulum madrasah yang merasa cukup puas dengan kurikulum ilmu-ilmu agama semata akan terjerumus ke dalam pemahaman keagamaan yang rigid dan bahkan akan mengancam eksistensi madrasah itu sendiri. Meskipun demikian jika dilakukan penyesuaian dengan kurikulum pendidikan modern, maka madrasah tetap dituntut untuk tidak meninggalkan sifat asli dan ciri khas dari madrasah yakni sebagai media transmisi ilmu-ilmu keagamaan. Oleh karena itu disamping menerapkan kurikulum pendidikan modern, kurikulum keagamaan juga diberi tempat secara proporsional. Dalam hal ini kurikulum keagamaan di madrasah tidak sekedar memberikan pemahaman keagamaan yang standar kepada peserta didik, akan tetapi juga menjadi alat bantu bagi siswa untuk memperbaiki karakter, kepribadian, dan memperkuat dimensi-dimensi keimanan, spiritualitas dan religiousitas peserta didik.
4. Implikasi pada Ranah Pandangan Dunia Pesantren.
Sementara itu implikasi pandangan teologis Asy’ariyah juga sangat kental pada pandangan dunia (worldview) pendidikan Islam di madrasah dan pesantren. Di mana bangunan pandangan dunia tersebut terbentuk dari sistem teologi yang merupakan gabungan model triumvirat; fiqh Syafi’i, kalam Asy’ariyah dan sufisme al-Ghazali. Perpaduan ketiga tradisi intelektual tersebut begitu kuat memengaruhi “budaya hidup” dunia pesantren, dan telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata perilaku komunitas pesantren menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formulasi “normatif-mistis”. Salah satu implikasinya, proses belajar-mengajar yang berlangsung di pesantren tampak lebih didominasi oleh model pemikiran deduktif-dogmatis agama daripada pemikiran yang induktif-rasional faktual.
Penghayatan teologis model Asy’ariyah yang berkembang di pesantren, tampaknya membuat resepsi para santri terhadap model-model penalaran apalagi pemahaman falsafi menjadi sangat minim. Asy’ariyah dengan teori “perolehan” (kasb)-nya meniscayakan pembatasan kemampuan manusia untuk mengadakan rekayasa. Sebab menurutnya, rekayasa manusia terjadi jika ada “kesenyawaan” antara kekuasaan manusia dan kekuasaan Tuhan. Bahkan Asy’ariyah menangguhkan suatu keputusan yang “tidak konkret” mengenai status manusia Mukmin yang melakukan dosa besar. Ini bisa dikatakan karena keterbatasan struktur nalar (manthiq) Asy’ariyyin .
Dengan karakteristik tradisi keilmuan pesantren dan madrasah yang semacam itu, cukup beralasan sekiranya ia digolongkan ke dalam tradisi normatif. Menurut Kuntowijoyo, tradisi keilmuan normatif memiliki dua kemungkinan, yaitu deklaratif dan apologetis. Tradisi keilmuan normatif ini juga dapat dicermati melalui corak “reproduktif” dalam paradigma keilmuan pesantren. Corak ini ditunjukkan oleh konseptualisasi ilmu sebagai sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui jalur pengalihan, pewarisan, transmisi, dan bukan sebagai sesuatu yang bisa diciptakan (created) sehingga ide “pelestarian budaya” sungguh terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Hal ini dapat dilihat dari dekodifikasi keilmuan dalam kitab kuning sebagai penjabaran dan pelestarian dari kandungan teks-teks standar (kitab-kitab babon) yang telah menimbulkan proses involusi perkembangan ilmu keagamaan, yaitu menjadi ilmu yang semakin renik.
Berangkat dari hal tersebut, reformulasi dan rekonsepsi epistemologi kalam dalam falsafah pendidikan Islam menjadi sangat penting, karena dengan kerangka berfikir kalam klasik, pelaksanaan pendidikan agama sering kali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif: lebih mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih mementingkan materi daripada metodologi. Model pendidikan Islam yang masih dipengaruhi kerangka teologis klasik, dikategorikan sebagai model pendekatan doktriner-literal-formal, karena pendekatan yang diterapkan dalam model ini lebih menekankan pada formalisme agama, bersifat normatif-tekstual dan sering kali lepas dari konteksnya. Karenanya pendidikan agama lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak bisa lagi dibantah dan diganggu gugat. Lebih dari itu teologisasi dan idiologisasi juga membawa pendidikan Islam ke arah dogmatisme; pendidikan Islam cenderung sepenuhnya dipahami secara murni normatif-doktrinal dan kurang apresiatif atau bahkan kontradiktif dengan pendekatan ilmiah-rasional yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu sekuler.
5. Signifikansi Teologi Kalam yang Inklusif-Pluralistik.
Menurut Amin Abdullah, penting untuk membedakan terlebih dahulu −meskipun tidak dapat dipisahkan− antara tiga konsep berikut, yakni keberagamaan manusia (religiosity), keanekaragaman agama (religions) dan proses "menjadi" ke arah yang lebih baik-sempurna-lengkap, yang terus menerus berlangsung selama hayat dikandung badan (being religious). Diantara ketiga konsep tersebut, mana yang dianggap "absolute" (mutlak), mana yang dianggap "relative" (nisbi) dan manapula yang bersifat “relatively absolute" (secara relatif absolut) . Dalam realitas kehidupan sehari-hari ketiga hal tersebut kadang kala tercampur aduk, sehingga menyulitkan para penganut beragama untuk mengatasi problem pelik sosial keragamaan yang terjadi di masyarakat.
Dalam hal ini, relativitas yang dimaksud sama sekali tidak menegasikan tujuan-tujuan luhur yang secara "absolut" dipegang teguh oleh pengikut agama-agama, ketika cita-cita luhur, belief, credo, iman, dan aqidah yang semula dianggap "absolut" tersebut dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat bahasa manusia dan diinstitusionalisasikan, maka ia memasuki wilayah yang bersifat historis-kultural dan "relatif'. Dengan begitu, hal-hal yang bersifat "relative” (instrumental values) sesungguhnya tidak dapat dengan begitu saja dipindah ke wilayah yang bersifat "absolut" (ultimae values). Jika hal-hal yang sesungguhnya relatif ini diabsolutkan atau disakralkan, maka cepat atau lambat akan terjadi disharmoni sosial yang dapat menimbulkan kekerasan .
Amin Abdullah menambahkan, jika dalam kehidupan sosial-keagamaan seringkali terjadi percampuradukan antara wilayah "absolut" dan "relatif'. Secara tidak sadar muncul pemahaman, bahwa yang "relatif'-partikular itulah yatng sesungguhnya "absolut"-universal, semata-mata hanya untuk keperluan menegaskan identitas diri dan kelompoknya di hadapan berbagai rival kelompok sosial-keagamaan lain. Dalam situasi seperti ini, apakah mungkin teologi yang bersifat inklusif-pluralistik diperkenalkan di lingkungan seminari, pesantren, sekolah dan perguruan tinggi yang didirikan oleh yayasan yang berbasis keagamaan. Kalau model pendekatan dan strategi pembelajaran dan pendidikan agama hanya sekedar memindahkan dan mengulang kembali materi, metode ,dan pendekatan yang biasa digunakan dalam komunitas intern sendiri, baik di gereja-gereja, masjid-masjid, vihara, atau sinagog, maka institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi tidak lagi dapat diandalkan sebagai media pencerdas dan pencerah kehidupan berbangsa .

F. Kesimpulan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa proses dialektika pemikiran Kalam, khususnya teologi Asy’ariyyah yang sesungguhnya merupakan upaya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari sebagai tokoh sentralnya, untuk memberikan formulasi dan solusi yang tuntas atas problematika pemikiran umat Islam, khususnya kaum Sunni atas kecenderungan negatif pemahaman mazhab Kalam lain seperti Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji’ah, Muktazilah dan Syi’ah. Akan tetapi glorikasi pemahaman teologis Asy’ariyah oleh para pemikir keagamaan pada periode itu justru menyumbat pengembangan proyeksi sains dan pengembangan keilmuan saintifik dan memudarkan kemampuan penalaran para peserta didik. Sehingga membuat umat Islam ketika itu tidak lagi mampu bangkit kembali ke dalam kancah pengembangan keilmuan. Tidak hanya itu, pandangan teologis Asy’ariyah telah menimbulkan efek domino, yakni berimpilkasi pada ranah politik pendidikan Islam, ranah epistemologi pendidikan Islam, kurikulum, dan dalam konteks keindonesiaan juga berimplikasi pada pandangan dunia (wolrdview) pesantren.
Lesson learned yang bisa diambil dari paparan di atas, adalah bahwa pembelajaran teologi Islam atau kalam pada masa sekarang adalah sebuah teologi yang berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran pada saat ini. Bukan teologi yang berkutat pada dimensi masa lalu, sehingga pemikiran keagamaan yang berkembang sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kekinian. Termasuk diantaranya sistem teologi Asy’ariyah yang perlu diperbaharui, agar pendidikan Islam bisa mengambil peran penting dalam mengantarkan peserta didik pada aktifitas kemanusiaan yang jauh dari ketegangan (tension) ideologis yang menumbuhkan sikap destruktif. Lebih dari itu, pendidikan Islam bertujuan mengembangkan potensi-potensi dasar yang merupakan esensi fitrah kemanusiaan. Termasuk potensi dasar untuk menjadi manusia yang beriman secara paripurna kepada Tuhan. Dari model pendidikan yang lebih humanis-transendental ini akan timbul suatu pola pengabdian yang lebih bermutu kepada Tuhan dan kemanusiaan. Wallahu A’lamu Bishawwab.
Bibliografi.
Assegaf, Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2011.
Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.
______________, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
______________, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian Era Multikultural Multirelijius,http://www.uinsuka.info/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=510&Itemid=341, diunduh pada 20/05/2011, pukul 20.30 WIB.
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, LKiS, Yogyakarta, 2008.
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama, Yogyakarta 2004
al-Faruqi, Muhammad, “The Development of The Institution of Madrasah and Nizamiyyah of Baghdad” dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. VII, No. 2, (London,tt).
Badawi, Abd al-Futuh, Abd al-Majid, al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikri, Mathabi al-Wafa, Al-Manshur, 1988.
Esack, Farid, Membebaskan Yang Tertindas; al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Mizan, Bandung, 2000.
Eliade, Mircea, (Ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 9, Simon and Schester McMillan, New York, 1993.
Giib, H.A.R., Studies on the Civilization of Islam, Beacon Press, Boston, 1968.
Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos, Jakarta, 1999.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999.
Modanggu, Thariq, Perjumpaan Teologi dan Pendidikan, Qalam Nusantara, Jakarta, 2010.
Mulkhan, Abdul Munir, “Humanisasi Pendidikan Islam”, Tashwirul Afkar, no. 11, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 2000.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...