Senin, 02 November 2009

INTEGRALISASI ILMU DAN AGAMA; ANTARA SYED. M. NAQUIB AL-ATTAS DAN KUNTOWIJOYO

A. PENDAHULUAN
Kuatnya hegemoni Barat terhadap Islam memunculkan tanggapan yang beragam di kalangan Muslim. Salah satunya adalah munculnya gagasan dewesternisasi (islamisasi) ilmu pengetahuan yang diajukan oleh Syed. M. Naquib al-Attas dalam konferensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam pada tahun 1977 di kota Mekkah. Jurang yang semakin melebar antara konsep Islam dan Barat mengenai pengetahuan, semakin diperparah oleh respon simplisistik dari Samuel Huntington yang menggemakan benturan peradaban Barat versus Islam pasca keruntuhan Uni Soviet. Tesis yang diajukan Huntington ini membuat umat Islam terjebak dalam pemahaman yang apologetik dan formalisme agama yang membuat kaum Muslim sulit untuk keluar dari kekakuan dan kebekuan berfikir.
Gagasan islamisasi pengetahuan kemudian muncul sebagai gerakan sistematik dan internasional oleh lembaga pemikiran Islam internasional (International Institute of Islamic Thought) yang digagas oleh Ismail Raji Al-Faruqi di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Akan tetapi Ismail Raji Al-Faruqi dan koleganya Ziauddin Sardar akhirnya terjebak dalam persoalan artifisial, sehingga gerakan ini turut surut setelah wafatnya Al-Faruqi di tangan agen Zionis Yahudi (Mossad).
Gagasan “pengislaman” ilmu pengetahuan muncul di tengah lemahnya umat Islam secara keseluruhan di dalam pencapaian sains dan teknologi, sehingga diformulasikanlah konsep-konsep dan metodologi “yang islami” untuk menjadi landasan konseptual bagi kaum Muslim untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Gagasan islamisasi ilmu muncul dari pemahaman bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di Barat dibangun di atas landasan nilai-nilai sekuler-materialistik dan atheistik, sehingga harus diislamkan. Seperti diketahui bahwa renaisans yang terjadi di Barat merupakan upaya “pemberontakan ilmu” terhadap doktrin gereja yang terlalu mengekang kebebasan berfikir dan berpendapat. Sehingga terjadi disparitas yang sangat tajam antara konsep “ilmu’ dan “agama” di Barat. Hilangnya pengaruh agama di dalam tubuh ilmu pengetahuan, secara tidak langsung membuat perkembangan ilmu pengetahuan bertambah bebas dan liar, yang berimplikasi pada timbulnya anomali dan ambivalensi pada ilmu pengetahuan, seperti disadari dewasa ini.
Gagasan “islamisasi pengetahuan” menuai kritik beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush, Pervez Hoodbhoy dan Kuntowijoyo. Dalam hal ini Kuntowijoyo menawarkan konsep “pengilmuan Islam” yang menurutnya lebih proporsional dari pada konsep “islamisasi ilmu” yang dicetuskan oleh Syed. M. Naquib Al-Attas, sebagaimana dibahas berikut ini.
B. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed. M. Naquib Al-Attas
Menurut sebagian intelektual Islam, proyek islamisasi bukanlah suatu hal yang baru, tetapi pernah terjadi dalam sejarah Islam, di mana para ilmuan Islam di masa lalu secara kreatif-adaptif mengapresiasi warisan pengetahuan Greco-Roman, Syria-Nestorian, dan khazanah Akademi Jundishapur di Persia. Menurut Al-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan modern merupakan “satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas”[1]. Gagasan tersebut dianggap sangat beralasan karena al-Qur’an sejak pertama kali turun sudah melakukan pembebasan secara epistemologis terhadap konsep ilmu. Sebagaimana argumen Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa konsep “islamisasi ilmu” pengetahuan kontemporer secara sistematik adalah hasil dari separuh kedua abad kedua puluh, namun ayat-ayat terawal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dalam surat al-Alaq (96) 1-5 menyiratkan dengan jelas semangat islamisasi pengetahuan[2].
Menurut Al-Attas, ilmu pengetahuan tidak bersifat netral dan bebas nilai[3]. Sehingga ketika ilmu berkembang di sebuah wilayah, ilmu tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, idiologi, dan agama yang dianut oleh para pemikir dan ilmuan di wilayah tersebut. Kemudian terjadilah apa yang disebut sebagai Helenisasi ilmu, Kristenisasi ilmu, Islamisasi ilmu pada masa klasik Islam, kemudian Westernisasi ilmu dalam bentuk sekularisasi oleh masyarakat Barat terhadap ilmu. Oleh karena itu proses “islamisasi” oleh Mulyadhi Kartanegara, adalah suatu bentuk “naturalisasi” ilmu dalam rangka meminimalisir dampak negatif sains sekuler terhadap kepercayaan agama[4].
Konsep dewesternisasi pengetahuan, oleh Al-Attas didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan yang berkembang di Barat mewariskan banyak anomali, diantaranya pemahaman yang tidak adil dan pandangan etnosentrik yang telah menyebabkan kekacauan global, bukannya perdamaian dan keadilan. Selain itu pengetahuan Barat yang bercorak atheistik, mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Menurutnya pengetahuan Barat, untuk pertama kalinya dalam sejarah telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam: satwa, nabati, dan tambang[5].
Ilmu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Al-Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal yang diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah kemanusiaan[6].
Kelima unsur tersebut di atas, menurut Al-Attas, harus diisolir dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Sedangkan dalam ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus diislamkan juga, khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori[7].
Setelah unsur-unsur pathogen (asing) bagi doktrin Islam tersebut diisolir, Al-Attas kemudian menyarankan agar unsur dan konsep utama Islam yang terdiri dari konsep: manusia, din, ‘ilm dan ma’rifah, hikmah, ‘adl, amal-adab, dan konsep universalitas (kulliyah-jami’ah)[8], diserapkan ke dalam konsep ilmu pengetahuan kontemporer. Kesemua unsur tersebut ditambatkan pada konsep tawhid, shariah, sunnah dan tarikh[9].
Jika proses penyerapan nilai-nilai tersebut sudah dilakukan, maka proses islamisasi ini akan membebaskan manusia dari tradisi magik, mitologik, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekuler kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible, dan materi[10]. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler[11].
Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan tidak semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik. Menurut Mulyadhi, konstruksi ulang epistemologi ini akan meliputi pembahasan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi dan metodologi ilmu[12].
Menurut Adi Setia-salah satu eksponen Al-Attas di ISTAC—bahwa ilmu pengetahuan kontemporer bisa diislamkan dengan cara mentafsirkan kembali fakta-fakta penemuannya menurut pandangan dunia (worldview) Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan dengan menjuruskan kembali program-program penelitian sains dan teknologi serta ilmu humaniora demi memenuhi kepentingan “maqasid shariah”[13]. Karena pada hakekatnya metodologi yang terkandung dalam “maqasid shariah” dapat mengakomodir secara penuh tujuan-tujuan riset ilmiah, sepanjang ilmu dipahami sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak bebas nilai. Bagi Al-Attas, proyek “islamisasi ilmu’ pengetahuan adalah yang bersifat “dharuriat”, karena apabila tidak segera diislamkan, maka anomali yang timbul dari pengetahuan Barat yang sekularistik akan mengancam eksistensi agama, keturunan dan harga diri umat Islam.
C. Respon dan Kritik Terhadap “Islamisasi Pengetahuan”
Konsep islamisasi pengetahuan mengundang respon pro dan kontra. Mereka yang mendukung islamisasi ilmu pengetahuan menganggap bahwa hal ini akan menjadikan ilmu terbimbing oleh nilai-nilai agama. Sebaliknya, mereka yang menolaknya berargumen bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, dan karenanya selalu netral, seperti dalam konsep netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak islamisasi ilmu itu menyodorkan persoalan seperti bagaimana memberi label matematika yang Islam. Adakah perbedaan arkeologi Islam dan arkeologi non-Islam?[14]. Pertanyaan-pertanyaan problematik seperti ini tampaknya menjadi landasan kritik terhadap gagasan “islamisasi pengetahuan”.
Menyikapi hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan, masalahnya hanya dalam menyalahgunakan. Bagi Fazlur Rahman ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “pisau bermata dua” yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya[15].
Pada umumnya para pengkritik islamisasi ilmu berpendapat bahwa sains adalah mengkaji fakta-fakta objektif dan independen dari manusia, budaya dan agama da harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya mengatakan: “hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam, sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi, atau sains Kristen[16]. Mengikuti Abdus Salam, Pervez Hoodbhoy, juga menyatakan bahwa tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia, sebagaimana telah diungkap Sir Syed Ahmed Khan, bahwa tujuan agama lebih pada usaha meningkatkan moralitas ketimbang menjelaskan fakta-fakta sains[17].
Kritik terhadap islamisasi pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush. Ia menyimpulkan bahwa “islamisasi pengetahuan” tidak logis atau tidak mungkin. Alasannya, realitas bukan islami atau bukan pula tidak islami. Oleh sebab itu sains sebagai proposisi yang benar, bukan islami atau bukan pula tidak islami. Karena menurutnya metode metafisis, empiris, atau logis adalah independen dari Islam atau agama apapun, dan metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan[18].
D. Islamisasi Ilmu Versus Pengilmuan Islam: Gagasan Kuntowijoyo
Menurut Kuntowijoyo, “pengilmuan Islam” dapat dibandingkan dengan istilah dekodifikasi Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam yang dimaksud Kunto adalah upaya “demistifikasi Islam”, dan ini adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara dekodifikasi Islam adalah berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks[19]. Seperti gerakan Wahabi dan Salafisme yang saat ini menjamur di Indonesia. Ketiga gerakan ini adalah perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur’an dan Sunnah).
Bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan adalah upaya umat Islam agar tidak begitu saja tanpa reserve mengadopsi metode-metode dari pengetahuan Barat yang telah mempengaruhi kebudayaan Islam; yaitu dengan cara mengembalikan konstruksi pengetahuan kepada poros tawhid. Karenanya gerakan islamisasi pengetahuan berarti membedakan antara ilmu Islam dan ilmu sekuler.
Merespon permasalahan ini, Kuntowijoyo menwarkan methodological objectivism, seraya menolak methodological secularism dengan membawa alternatif ilmu sosial profetik. Tidak bermaksud membedakan antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler, akan tetapi bertujuan merumuskan ilmu sosial yang objektif[20]. Objektifikasi yang dimaksud adalah upaya konkretisasi nilai-nilai normatif yang dihayati secara internal dalam ketegori dan bahasa ilmu, bukan dalam kategori dan bahasa normatif. Atau disebut juga sebagai kongkretisasi keyakinan normatif yang dihayati secara internal, tapi tidak lagi dalam bentuknya yang normatif[21].
Di sinilah letak perbedaan pengilmuan Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan[22].
Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi[23]. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110[24].
Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna[25].
Adapun mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas diantara komunitas keilmuan[26].
Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya[27]. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia.
Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.


E. Analisis
Melihat dua ragam pemikiran mengenai integralisasi ilmu dan agama di atas, penulis melihat bahwa dua pemikir kontemporer tersebut berangkat dari dasar ilmu pengetahuan masing-masing. Adapun Naquib Al-attas yang lapangan ilmu pengetahuannya banyak berkutat pada kajian mistik, tasawuf dan metafisika. Maka konsep islamisasi ilmu yang ia tawarkan sangat berbau metafisik, dan ada kesan bahwa pemikiran Al-Attas lebih banyak berkisar pada persoalan ontologik, dan kurang bisa meyakinkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah pembebasan secara epistemologis dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada wilayah etika dan nilai-nilai (aksiologis).
Sedangkan Kuntowijoyo merupakan pengamat dan ahli dari diskursus ilmu-ilmu sosial dan humaniora (geisteiswissenschaften). Karenanya ia mengaca persoalan integrasi ilmu dan agama dalam kacamata seorang ilmuan sosial dan sejarawan. Sehingga konsep “pengilmuan Islam” adalah upaya rekonstruksi epistemologis, metodologi dan etika. Di mana pemikiran yang ditawarkan tidak mampu menembus aspek-aspek metafisis, sebagaimana Al-Attas.
Al-Attas sangat dipengaruhi oleh perspektif filsafat analitik Wittgenstein dan Russellian yang diimbuhi oleh diskursus tasawuf-metafisik Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri dan Al-Ghazali. Karenanya pemikiran Al-Attas banyak yang merupakan kajian makna bahasa (semantik). Seperti pemikiran yang ia tawarkan bahwa yang pertama kali harus diislamisasi adalah bahasa dan makna. Contohnya istilah “sekuler” yang popular dengan terjemahan bahasa Arab dengan kata ‘ilmaniyyah dan almaniyyah, seharusnya lebih tepat diterjemahkan dengan kata la diniyyah atau dunyawiyyah[28]. Demikian pula dalam bidang pendidikan, menurutnya terminologi yang lebih tepat untuk dipakai adalah konsep ta’dib, daripada konsep term tarbiyah yang selama ini biasa dipakai untuk menjadi sinonim kata education. Konsep “islamisasi ilmu” juga menjadi sangat bias, karena Al-Attas memakai perspektif Ghazalian dalam melihat segala persoalan. Al-Attas juga merupakan tokoh yang getol melakukan penolakan terhadap logika Aristotelian.
Adapun Kuntowijoyo dalam “pengilmuan Islam” yang menawarkan konsep strukturalisme transendental, sangat terinspirasi oleh perspektif strukturalisme Jean Piaget yang menyebutkan tiga ciri struktur, yaitu (1) wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan), dan self regulation (mengatur diri sendiri). Kuntowijoyo juga terinspirasi oleh strukturalisme analitis Michael Lane yang mengemukakan keterkaitan (inter-connectedness) antar unsur kekuatan pembentuk struktur (innate structuring capacity), dan dalam peringkat empiris, keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). Kuntowijoyo juga mengadopsi perspektif makna transendensi dari Roger Garaudy, dan konsep etika profetiknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan struktural Antonio Gramsci[29].
F. PENUTUP
Konsep islamisasi pengetahuan telah menjadi suatu yang sangat membingungkan dan sampai pada taraf tertentu tidak popular. Membingungkan karena para pendukungnya memiliki versi dan pemahaman serta cara-cara yang berbeda-beda tentangnya. Tidak populer karena ia berimpilikasi pada relativitas sains yang selama ini dianggap universal. Walaupun asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut Steve Fuller, asumsi itu keliru karena ia lahir dari kebingungan membedakan antara media dan pesan. “pesannya tetap universal, tetapi medianya memerlukan “daya tarik” (appeal) yang lebih personal”[30].
Terlepas dari perdebatan tentang absah tidaknya konsep “islamisasi pengetahuan”, Al-Attas yang belajar dari kegagalan Ismail Raji Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar dalam proyek “islamisasi” dari lembaga IIIT (International Institute of Islamic Thought), mampu mempropagandakan konsep “islamisasi ilmu” melalui proyek prestisius lembaga ISTAC-nya, yang saat ini merupakan laboratorium pemikiran Islam terbesar se-Asia Tenggara. Sehingga pada saat ini wacana islamisasi menjadi jargon utama para intelektual muda Indonesia jebolan ISTAC yang membuat lingkaran studi dan mengadakan workshop mengenai pemikiran Islam di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, sebagai manuver perlawanan terhadap liberalisme pemikiran yang dikembangkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal) Wallahu A’lam Bishawwab.







Kepustakaan
Al-Attas, Syed. M. Naquib Islam dan Sekularisme, Penerbit Pustaka, Bandung 1981.
____________, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Mizan, Bandung, 1984.
Armas, Adnin, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Majalah Islamia. Thn 1. NO.6/Juli-September 2005.
Abidin Bagir, Zainal, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo, disampaikan dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo, di University Center UGM, 26 Mei 2005.
Fahmi, M, Islam Transendental (Menelusuri jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo), Pilar Media, Yogyakarta, 2005.
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Majalah Islamia, Thn 1. NO.6/Juli-September 2005.
Hoodbhoy, Pervez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, terj. Sari Meutia, Mizan, Bandung,1996.
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan (Pengantar Epistemologi Islam), Mizan, Bandung, 2003.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Teraju, Jakarta, 2005.
Setia, Adi, Kejahilan disangka Kepakaran, Majalah Islamia, thn 1 NO. 4/ Januari-Maret 2005.
Suprayogo, Imam, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama, dalam Zainal Abidin Bagir et. all. (ed) Integrasi Ilmu dan Agama (Interpretasi dan Aksi), Mizan, Bandung, 2005.
Suharto, Ugi, Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Al-Qaradhawi, Majalah Islamia, Thn 11 NO. 6/Juli-September 2005.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. Mizan, Bandung, 2002.

[1] Sebagaimana dikutip Rosnani Hashim, dalam Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Majalah Islamia, Thn 1. NO.6/Juli-September 2005. hlm. 31
[2] Ibid, hlm. 31.
[3] Syed. M. Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hlm. 196.
[4] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan (Pengantar Epistemologi Islam), (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 132.
[5] S.M.N Al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hlm. 169.
[6] Sebagaimana dikutip Adnin Armas, dalam Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Majalah Islamia. Thn 1. NO.6/Juli-September 2005. hlm. 13.
[7] Lihat Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi…, hlm. 35.
[8] S.M.N Al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hlm. 61.
[9] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi…, hlm 35.
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2002) hlm. 320.

[11] S.M.N Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984) hlm. 51.
[12] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai…,,hlm. 130.
[13] Lihat dalam wawancara dengan Adi Setia, Kejahilan disangka Kepakaran, Majalah Islamia, thn 1 NO. 4/ Januari-Maret 2005.
[14] Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama, dalam Zainal Abidin Bagir et. all. (ed) Integrasi Ilmu dan Agama (Interpretasi dan Aksi), (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 214.
[15] Sebagaimana dikutip Adnin Armas, Westernisasi…, hlm. 15.
[16] Ibid, hlm. 16.
[17] Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, terj. Sari Meutia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 138.
[18] Lihat Adnin Armas, Westernisasi…, hlm. 16.
[19] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 7-8.
[20] Kata objektif ini, bukanlah objektifitas yang dimaksudkan positivisme. Positivisme menyatakan bahwa untuk mencapai obyektifitas seorang ilmuan sosial harus membebaskan diri dari persepsi-persepsi, pra-konsepsi-pra-konsepsi atau nilai-nilai dalam aktifitas ilmiahnya. Lihat M. Fahmi, Islam Transendental (Menelusuri jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo), (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 270.
[21] Ibid, hlm. 271.
[22] Lihat makalah Zainal Abidin Bagir, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo, disampaikan dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo, di University Center UGM, 26 Mei 2005, hlm. 7-8.
[23] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, hlm. 52.57.
[24] “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali Imran (3): 110).
[25] Makalah Zainal Abidin, Pengilmuan Islam…, hlm. 29.
[26] Ibid, hlm. 9.
[27] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, hlm. 57.
[28] Lihat Ugi Suharto, dalam Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Al-Qaradhawi, Majalah Islamia, Thn 11 NO. 6/Juli-September 2005, hlm. 19.
[29] M. Fahmi, Islam Transendental…, hlm. 289-291.
[30] Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai…, hlm. 130.

1 komentar:

  1. The first casino to offer video slots | Kookoo
    Online slots and table games, the largest video rb88 poker community is being developed, with クイーンカジノ slots and video poker providing an unforgettable experience. 퍼스트 카지노 This

    BalasHapus

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...