Senin, 02 November 2009

PENDIDIKAN MUSLIM DI ABAD PERTENGAHAN

A. MUQADDIMAH

Tak dapat dipungkiri bahwa Islam sebagai sebuah peradaban yang gemilang di masa lalu merupakan jembatan emas terjadinya transformasi ilmu pengetahuan di dunia Barat. Ini membuktikan bahwa Islam dalam proses historisnya tidak mengambil posisi yang berlawanan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Proses kreatif-adaptif dan gairah intelektual muslim yang didasari oleh kesadaran normatif agama dan mampu mengapresiasi muatan ilmu pengetahuan Greco-Hellenistik, Syria-Alexandrian, Zoroastrian dan India, menjadi muatan ilmu yang lebih berkembang.
Fakta imajinatif mengenai keberhasilan intelektual muslim dalam melakukan revitalisasi ilmu pengetahuan semenjak abad kedelapan sampai abad kesebelas dapat terlihat dalam novel monumental Umberto Eco yang berjudul “In The Name of Rose”. Dimana ia menceritakan keberhasilan para intelektual muslim melakukan modifikasi atau adaptasi kumulatif dan kreatif terhadap pengetahuan klasik, yang dikemudian hari menjangkau dunia intelektual Barat pada paruh abad keduabelas dan ketigabelas. Dalam novel tersebut juga diilustrasikan sikap setengah hati intelektual gereja untuk mengapresiasi karya-karya intelektual muslim karena dianggap bertentangan dengan doktrin gereja dan dianggap membawa semangat anti kristus (anti christ). Karenanya kebangkitan dunia intelektual Barat (renaisance) lebih banyak dipelopori oleh para intelektual non gereja, yang berakibat pada terbangunnya dunia intelektual yang sangat sekularistik. Berbeda dengan Islam di abad pertengahan yang mengapresiasi ilmu pengetahuan di dalam frame work keagamaan dan spirit skolastikisme.
Terburuknya peradaban Islam dan kebangkitan dunia intelektual Barat secara tidak langsung membuat spirit skolastikisme muslim yang kreatif-adaptif dan progressif menjadi hilang dan yang tertanam dalam spirit skolastikisme adalah sikap fatalistik, fanatisme yang membabi buta dan ortodoksi, sehingga yang terjadi adalah pandangan yang memandang segala hal yang berbau “Barat” adalah sebuah kekafiran. Maka sangat wajar, dunia intelektual muslim tetap stagnan dan terjebak dalam patologi psikologis yang akut dan rasa percaya diri intelektual yang rendah.
Buku yang ditulis oleh Mehdi Nakosteen ini secara komprehensif disertai oleh kajian dan analisis, sehingga mampu menyajikan gambaran yang sangat jelas tentang peran signifikan peradaban Islam di tengah konstelasi peradaban dunia. Begitu pula halnya dengan karya Michael Stanton yang menjelaskan secara gamblang proyeksi pendidikan tinggi dalam sejarah Muslim. Selain itu diharapkan kedua karya ini dapat memantikkan “kesadaran sejarah” muslim agar percaya diri intelektual muslim dapat terbangun kembali.

B. PEMBAHASAN
Analisis Buku
Secara umum buku yang ditulis oleh Mehdi Nakosteen dan Michael Stanton memiliki nafas yang sama, yaitu untuk menjelaskan kondisi historis pendidikan Muslim abad pertengahan dengan segala kompleksitasnya. Bedanya, Mehdi Nakosteen yang juga seorang Muslim, berupaya menjelaskan dalam perspektifnya sebagai seorang Muslim, dan ingin menunjukkan kepada Barat tentang keterlibatan Islam yang intens dalam kebangkitan dunia intelektual Eropa. Sedangkan Michael Stanton mengelaborasi aspek-aspek historis pendidikan Muslim dalam perspektifnya sebagai orang Barat. Walapun demikian, ia dianggap berhasil menjelaskan kajian historisnya secara gamblang dan obyektif.
Eksplorasi mendalam yang dilakukan oleh Mehdi Nakosteen, merupakan kerja kreatif yang luar biasa, karena ia tidak terbelenggu pada sumber historis yang berasal dari Barat, akan tetapi ia juga menjadikan sumber-sumber klasik Muslim sebagai landasan analisis dan kajiannya. Inilah yang membuat karya Nakosteen memiliki nilai lebih, apabila dibandingkan dengan karya Michael Stanton yang tampaknya menganalisis persoalan pendidikan Muslim abad pertengahan hanya berlandaskan pada referensi Barat semata. Walaupun demikian, karya Nakosteen ini tampaknya tetap memiliki nilai subyektif, karena terkesan mengunggulkan aspek pengaruh Persia dalam perkembangan intelektualitas Islam, khususnya peranan akademi Jundishapur sebagai landasan sentral. Adapun dalam karya Michael Stanton, menurut Azyumardi Azra dalam pengantar buku tersebut, terdapat kesalahpahaman Stanton dalam menilai aspek dan peranan madrasah pada era Nizhamiyah, yang disebut oleh Stanton sebagai “the institution of higher learning”, atau lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas yang berbasiskan nalar[1]. Padahal justru bibit-bibit kemunduran pengetahuan Islam sudah mulai terjadi sejak era Nizhamiyah, karena terlalu kuatnya indoktrinasi paham Sunni, sehingga memasung kebebasan berfikir dan menjadi cikal bakal terjadinya dikotomi ilmu agama dan non-agama. Selain itu Stanton juga dianggap gagal membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga pendidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai bidang sains dalam peradaban Islam[2]. Terlepas dari kritikan yang timbul atas dua karya tersebut, baik Nakosteen maupun Stanton sudah melakukan melahirkan karya yang sangat penting untuk menjelaskan kepada kita betapa keagungan dan peranan kaum Muslim terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Makalah ini akan menjelaskan secara singkat gambaran kemajuan pendidikan Islam di abad tengah (medieval) dengan mengkombinasikan dua karya serius tersebut.
2. Peranan penting Bahasa Arab
Islam mengajarkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang qadim, maka ummat Islam menganggap bahasa Arab sebagai bahasa ilahi, dan belajar bahasa Arab merupakan suatu kewajiban. Pada abad-abad awal, Al-Qur’an tidak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing, dan mereka yang masuk Islam dan ingin mempraktikkan ajarannya didorong untuk belajar membaca Al-Qur’an secara fasih. Selain itu, non-Muslim yang bekerja untuk pemerintahan Islam dengan sendirinya harus menguasai bahasa Arab yang pada masa akhir Umayyah telah menjadi bahasa pemerintahan, diplomasi dan bahasa ilmiah. Keseragaman bahasa pada kekuasaan Islam yang sangat luas, membuat bahasa ini menjadi lingua franca dan menjalankan fungsi pentingnya selama kurang lebih 400 tahun[3].
Sekalipun demikian, penerimaan bahasa Arab sebagai bahasa kesatuan membutuhkan waktu lebih lama; berbagai kelompok tetap bertahan dengan bahasa asli mereka sendiri. Umat Yahudi dan Kristen Timur Tengah, misalnya menerima bahasa Arab sebagai bahasa mereka, tapi menolak Islam sebagai satu agama; tapi orang Persia menjadi penganut agama Islam, sementara tetap menggunakan bahasa Persia, meskipun ilmuan dan administrator asal Persia menggunakan bahasa Arab dalam profesi mereka dan menggunakannya sebagai bahasa tulisan agar dapat dibaca di semua daerah Islam. Selain itu, kebutuhan orang yang baru masuk Islam dan tidak mengetahui bahasa Arab, juga mendorong berkembangnya gramatika bahasa Arab. Pada awalnya hal ini terjadi di Basrah, Mesopotamia, yang merupakan kota penghubung antara Arabia dengan Syria dan Persia[4]. Tidak dapat dipungkiri, bahasa Arab merupakan landasan penting terjadinya transformasi ilmu pengetahuan, dan ketika itu bahasa Arab menjadi bahasa ilmiah kedua setelah bahasa Yunani. Konstruksi pengetahuan ilmiah bergerak dalam dimensi bahasa, dan tanpa peranan bahasa akan sangat mustahil terjadi transformasi pengetahuan. Karenanya bahasa Arab yang diyakini oleh kaum Muslim sebagai bahasa surga, juga menjadi faktor yang sangat vital dalam sejarah.
3. Latar belakang Pendidikan Muslim Klasik
Semenjak ekspansi Islam ke wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi dan Persia, secara tidak langsung kaum muslim turut mewarisi khazanah intelektual yang berkembang baik di Romawi dan Persia. Menurut Mehdi Nakosteen, ada empat faktor yang mendasari penyebaran ilmu pengetahuan Yunani, helenisme dan helenistik :
(a).Terpisahnya institusi gereja Barat dan Timur karena alasan perbedaan doktrinal, sehingga sekte Nestorian dan Monophysite yang dianggap sebagai gerakan bid’ah (heretic) oleh gereja induk (mother church) di Barat yang beraliran Chalchedonian. Setelah bergerak dari pusat-pusat Nicene ortodoks yakni dari Nestoria kepada kekaisaran Persia, Monophysite ke wilayah Persia dan Arab. Sekte-sekte ini turut membawa warisan ilmu Greco-Helenistik, terutama ilmu kedokteran, matematika, astronomi, tehnologi, dan filsafat[5]. Dikemudian hari, warisan ini kembali kepada para cendekiawan Barat melalui tangan-tangan orang muslim.
(b). Penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Agung dan para penerusnya yang menyebarkan pengetahuan Yunani ke Persia dan India, dimana ilmu pengetahuan Yunani mengalami modifikasi oleh pemikiran-pemikiran asli setempat (local genius)
(c). Kemajuan Akademi Jundi-Shapur milik kekaisaran Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah Universitas Alexandria, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu pengetahuan India, Grecian, Syria, Helenistik, Hebrew dan Zoroastrian.
(d). Peran penting para penerjemah Hebrew (Yahudi), karena keterampilan berbahasa mereka, -pada masa awal Islam- mereka menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab[6].
Adapun latar belakang perkembangan muslim yaitu, pertama: latar belakang Syrian Nestorian, dimana tulisan-tulisan klasik ajaran-ajaran para filosof Yunani seperti Galen, Hippocrates, Euclids, dan seluruh ilmu pengetahuan dan mistisisme Neo-Platonisme yang kompleks sampai kepada kaum muslim, sebagian besar melalui guru-guru Nestorian dan Jacobite, para cendekiawan Zoroastrian dari akademi Jundi-Shapur di Khuziztan dan guru-guru pagan dari Harran. Sekolah Nisibis dibuka kembali di bawah kekuasaan orang-orang Nestorian, dan penerjemahan-penerjemahan karya Yunani dilakukan dalam bahasa Syria untuk mendukung teologi dan filsafat Kristen versi Nestorian[7]. Yang kedua: adalah latar belakang Alexandrian, karena berabad-abad sebelum penyerbuan dunia Persia dan Romawi oleh orang-orang muslim, Alexandria telah menjadi pusat Kristen dan ilmu pengetahuan Yunani. Akan tetapi di Alexandria tumbuh subur ilmu okultisme dan mistisisme, sangat sedikit memiliki kreatifitas ilmiah dan kurang berminat terhadap filsafat. Sehingga upaya pengembangan ilmu pengetahuan dipikul oleh cendekiawan Syria di Edessa, Nissibin, dan di Akademi Jundi-Shapur di bawah penguasa Sasanian pada abad keempat, kelima, dan keenam[8].
Keberadaan akademi Jundi-Shapur sangat signifikan dalam proyeksi pengetahuan pada dunia intelektual muslim, karena akademi tersebut tetap merupakan pusat ilmu pengetahuan muslim sejak periode pemerintahan Bani Umayyah (661-749). Dari akademi ini para cendekiawan, pendidik dan ahli kedokteran pergi ke Damaskus yang pada saat itu merupakan ibu kota pemerintahan. Pada peroide ini pula karya-karya Hindu, Persia, Syria, Yunani mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tradisi penerjemahan ini kemudian diteruskan oleh dinasti Abbasiyah, sehingga kota Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan mengalami puncak masa keemasan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan[9].
4. Pendidikan Muslim pada tahun 750-1350 M
Orang-orang Muslim berasimilasi dengan kebudayaan klasik dan menyempurnakannya melalui sistem pendidikan. Diantara bidang-bidang yang diasimilasikan itu adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, tehnologi, dan ilmu pengetahuan helenistik, termasuk agama dan kesusastraan Hindu dan Persia. Dengan menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan klasik untuk keperluan praktis, orang-orang muslim telah mengembangkan metode empirik-eksperimental, dimana kemudian metode ini diterapkan secara luas di Eropa[10].
Pada zaman keemasan (750-1350), terjadi puncak toleransi yang luar biasa, dimana paradigma pendidikan dibangun di atas nilai-nilai humanistik, karena dogma agama dan teologi tidak membatasi gairah (coriousity) para intelektual muslim ketika itu. Mereka berusaha menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan, baik itu filologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur atau ilmu pembuatan keramik. Pada masa ini pula seorang negarawan dan administrator ulung yang bernama Nizamul Mulk (wafat 1092; 485 H) adalah penggagas dan yang mempopulerkan madrasah-madrasah. Sekolah-sekolah tersebut dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara dan madrasah-madrasah standar didirikan di semua kota-kota besar Islam, kecuali Spanyol dan Sisilia, yang pada waktu yang bersamaan mengalami puncak pengetahuan di bawah dinasti Umayyah jilid II yang menguasai Spanyol (Andalusia).
Diantara beberapa universitas, universitas terbesar adalah yang didirikan oleh Nizamul Mulk di Baghdad, yakni Universitas Nizamiyah yang terkenal. Dibuka pada tahun 1066-67 (459 H) dan terus berlangsung sebagai pusat ilmu pengetahuan selama beberapa abad[11]. Selain itu paham Sunni memperoleh perhatian dan dukungan yang besar dari Nizamul Mulk. Sebelum masa pemerintahannya, terdapat beberapa lembaga ilmu pengetahuan sejenis seperti Al-Azhar di Kairo, Mesir, pada seperempat abad kesepuluh; Darul Ilmi dan Darul Hikmah, juga di Kairo, pada masa awal dasawarsa abad kesebelas; Baitul Hikmah di Baghdad selama masa pemerintahan al-Ma’mun, dan Baihaqiyyah di Nishapur, Khurasan dan Persia[12]. Akademi Nizamiyyah yang menekankan pada pengajaran teologi dan hukum Islam, seperti diketahui bahwa sufi besar al-Ghazali mengajar di universitas Nizamiyyah, selama dua puluh lima tahun setelah didirikannya Universitas tersebut.
Tidak hanya itu, pada masa ini pendidikan dasar hampir terdapat di seluruh kawasan Islam. Para khalifah Abbasiyah adalah pendukung pendidikan dan pelajaran baca-tulis. Dimulai sejak Harun al-Rasyid, mereka berpandangan bahwa setiap anak-anak muslim wajib memiliki kesempatan untuk belajar dasar-dasar membaca, menulis, berhitung, geografi, sejarah, dan sebagainya. Sekolah dasar yang didirikan disetiap masjid (Kuttab), mengakomodir seluruh siswa baik yang kaya maupun yang miskin, sehingga sulit untuk menemukan orang muslim yang tidak dapat membaca dan menulis[13]. Kekuatan sistem pendidikan muslim pada masa ini terletak dalam bidang-bidang berikut: menghasilkan cendekiawan-cendekiawan besar hampir di segala bidang, mengembangkan program bebas buta huruf dalam skala universal, ketika buta huruf menghantui Eropa. Menyebarkan roman-roman dari kebudayaan klasik ke Barat, penghormatan yang tinggi terhadap guru dan buku, terutama dalam pendidikan yang lebih tinggi. Guru, kuliah, diskusi adalah pusat urat syaraf dari sistem pendidikannya[14].
5. Perkembangan Pendidikan Tinggi
Menurut Michael Stanton, pendidikan tinggi dalam sejarah terbagi menjadi dua, yaitu lembaga formal dan lembaga informal. Adapun lembaga formal yaitu, mesjid, lembaga wakaf, madrasah dengan kurikulum yang sistematis. Pembelajaran yang terjadi di mesjid-mesjid atau biasa disebut kuttab, dilakukan dalam bentuk halaqah, yang terbagi dalam dua jenis: halaqah yang mengkaji ilmu-ilmu agama secara umum pada tingkat tinggi; dan halaqah yang secara khusus diperuntukkan bagi kajian fiqih dalam salah satu mazhab yang empat[15]. Berbagai halaqah dalam satu masjid menawarkan pelajaran dalam beragam disiplin, mencakup hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf dan sastra Arab. Disiplin-disiplin yang dianggap bukan ilmu agama tidak termasuk dalam kegiatan pengajaran syaikh halaqah di mesjid: semua buku filsafat Yunani, sains, dan disiplin-disiplin sekular lainnya tidak diajarkan di dalam mesjid[16].
Lembaga formal yang kedua adalah lembaga wakaf. Institusi ini didirikan secara resmi oleh pemerintah untuk menampung dana kaum Muslim secara keseluruhan untuk kepentingan umum. Lembaga wakaf ini mendanai operasional mesjid-akademi, jajaran staf mencakup mudarris, syaikh, dan muadzdzin. Prioritas kedua adalah jabatan yang lebih rendah seperti mu’id dan mufid. Prioritas ketiga adalah beasiswa dan pelayanan bagi mahasiswa[17]. Lembaga formal yang ketiga adalah madrasah. Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa kemajuan madrasah pada puncaknya terjadi pada era Nizhamul Mulk. Sejak pembangunannya pada 1067 sampai 1234, Nizhamiyah tetap menjadi lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Baghdad. Pada waktu ini khalifah al-Mustanshir mendirikan lembaga pendidikan tinggi yang terdiri dari beberapa bangunan yang mencakup empat madrasah yang masing-masing mewakili satu mazhab sunni yang empat. Dengan dibangunnya al-Mustanshiriyah, satu transisi penting terjadi dalam lembaga pendidikan tinggi Islam: lembaga-lembaga kecil dengan hanya seorang syaikh, di beberapa kota, dapat berkembang menjadi lembaga pendidikan tinggi yang kompleks[18].
Mengenai lembaga pendidikan tinggi yang informal, yaitu lingkaran studi yang juga berbentuk halaqah, toko buku, observatorium, klinik dan rumah sakit. Lingkaran studi berlangsung di rumah-rumah yang tentu hanya menampung mahasiswa yang terbatas. Dari Ibnu Sina, kita mendapatkan gambaran tentang bagaimana dia menyelenggarakan halaqah-nya mulai saat fajar, dan berdiskusi serta membaca dalam halaqah itu, hingga pertengahan waktu subuh. Begitupula Al-Ghazali juga mendirikan lingkaran para ilmuan di rumahnya yang memperoleh perhatiannya secara pribadi. Di sini jelas bahwa reputasi seorang syaikh sangat menentukan kemampuannya untuk menarik para murid dan popularitas intelektual dari lingkarannya sendiri[19]. Lembaga informal kedua adalah toko buku, di mana selama kejayaan Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di Timur Tengah dan peran pentingnya menyebar ke seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Iberia. Sebelum pengrusakan oleh pasukan Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku; dan kota Shiraz, Mosul, Basrah, Kairo, Kordova, Fez, Tunis dan banyak kota-kota lain mendukung berlipatgandanya jumlah toko buku. Para saudagar buku tidak hanya membeli dan menjual buku untuk para pelanggannya, mereka juga memberikan pelayanan bagi industri perbukuan. Selain itu pemilik toko buku biasa juga berfungsi sebagai tuan rumah yang memfasilitasi sebuah diskusi, dan kadang-kadang menjadi pemimpin lingkaran studi. Ia dapat mengundang para cendekia yang ada di masyarakat untuk mengarahkan diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan[20].
Lembaga informal pendidikan tinggi lainnya adalah observatori, klinik, dan rumah sakit. Observatorium biasanya didirikan oleh penguasa muslim untuk menunjukkan prestise kekuasaannya dihadapan penguasa yang lain, sehingga kebanyakan observatori adalah proyek kerajaan yang bukan bagian dari kebanyakan madrasah yang didirikan. Khalifah al-Ma’mun mendirikan laboratorium perbintangan pada tahun 828, dan mengangkat seorang ahli matematika yang brilian, al-Khawarizmi, untuk mengarahkan studi dan penelitian. Pada sekitar tahun 1023, Adud al-daulah di Hamadhan membangun laboratorium sejenis untuk Ibnu Sina. Juga, para penguasa Bani Saljuq di Baghdad membangun observatori besar bagi 'Umar al-Khayyam dan kolega-koleganya. Barangkali observatorium paling terkenal dalam sejarah Islam adalah yang berdiri di kota Maraghah, Persia, pada tahun 1261, di mana seorang multi disipliner besar, Nashiruddin at-Thusi menjadi peneliti utamanya. Ironisnya, observatorium ini didirikan atas kehendak Timur Lank, yang merupakan keturunan Jengish Khan, sang penghancur kota Baghdad.
Sedangkan klinik dan rumah sakit, yang juga berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tinggi sebagaimana observatorium dan perpustakaan, karena rumah sakit tidak hanya menampung orang sakit, akan tetapi juga menjadi tempat bagi para pelajar Muslim yang ingin mendalami ilmu kedokteran. Pada waktu itu, sekitar 860 dokter diizinkan untuk membuka praktek; pada tahun 1160, Baghdad memiliki 60 lembaga kesehatan. Begitu juga di Kairo terdapat lima rumah sakit; begitupula di Damaskus, Kordova dan Seville, merupakan kota-kota yang memiliki rumah-rumah sakit besar. Melalui kerja sama yang baik pemerintah dan yayasan wakaf, rumah-rumah sakit tersebut menyediakan pelayanan kesehatan yang bebas biaya. Karena pendidikan kedokteran juga dilakukan di rumah sakit tersebut, maka tidak heran seorang dokter yang mengajar atau berpraktik di rumah sakit tersebut biasa kerumuni oleh para mahasiswanya. Dalam tradisi pendidikan di Timur Tengah, pengetahuan seorang dokter tidak terbatas pada kajian kedokteran an sich. Sebagai seorang multi disipliner, orang yang berusaha untuk mendapat izin sebagai dokter, biasanya terlibat juga dalam studi filsafat, sains dan ilmu agama[21].
6. Perpustakaan sebagai Indikator Kemajuan Pendidikan Muslim
Keberadaan perpustakaan menjadi tolak ukur yang paling gampang untuk mengetahui sejauh mana sebuah peradaban mengapresiasi ilmu pengetahuan. Menurut Nakosteen, ada tiga jenis perpustakaan pada abad-abad permulaan Islam, yaitu: umum, semi umum, dan perpustakaan pribadi. Perpustakaan umum biasanya berhubungan dengan sekolah, universitas atau masjid.. Perpustakaan semi umum, selain terbuka untuk sebagian masyarakat, di sisi lain juga terbuka untuk satu kelompok yang terpilih. Perpustakaan pribadi, dimiliki oleh para cendekiawan atau para penguasa untuk kepentingan pribadi. Tiga jenis perpustakaan tersebut terdapat di seluruh penjuru dunia Islam. Untuk perpustakaan umum, contohnya ialah Baitul-Hikmah yang didirikan oleh al-Ma’mun; perpustakaan Haidari di Najaf, perpustakaan Ibnu Sawwar di Basrah, Sabur Darul Ilmi di Baghdad, Darul Ilmi milik asy-Syarif ar-Radi, perpustakaan Masjid dari az-Zaid, Darul Ilmi (Darul Hikmah), perpustakaan Kairo dan sejumlah perpustakaan-perpustakaan sekolah terkenal. Sedangkan perpustakaan semi pribadi adalah, al-Nasirudinullah, al-Mu’tashimbillah, dan perpustakaan khalifah-khalifah Fathimiyyah. Adapun perpustakaan pribadi yang terdeteksi adalah perpustakaan yang dimiliki oleh al-Fath Ibnu Khaqan (wafat 861; 247 H), Hunain Ibnu Ishaq (wafat 877; 264 H), Ibnul Khasysyab (wafat 1171; 567 H), al-Muwaffaq Ibnu Matram (wafat 1191; 646 H), Jamaluddin al-Quifri (wafat 1248; 646 H), Ufra’im Ibnul Zaffan (wafat 1106; 500 H) dan Quaduddin al-Isfahani[22].
Perpustakaan yang terkenal dari khalifah al-Hakim di Kairo, terletak di sekolah tinggi dan didirikan pada tahun 1004, memiliki koleksi buku-buku yang banyak dengan satu perkiraan yang fantastis, yakni 1.600.000 volume. Perpustakaan ini dibuka untuk umum sebagai pusat ilmu pengetahuan dan penelitian (riset)[23]. Khalifah Fatimiyyah, al-Aziz (975-996) juga mendirikan perpustakaan Baitul Hikmah yang berisi 100.000 volume, dan 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak. Sedangkan di Spanyol, terdapat lebih dari tujuh puluh perpustakaan muslim, satu diantaranya adalah perpustakaan al-Hakam II (wafat 976) yang berisi sekitar 600.000 volume dan membutuhkan 24 volume katalogus untuk judul dan deskripsi[24]. Tentunya makalah sederhana ini tidak akan mampu menampung pembahasan untuk mendeskripsikan kemajuan Islam dalam bidang perpustakaan, karena sangat banyaknya perpustakaan yang berdiri ketika itu. Ini membuktikan semangat yang luar biasa dalam pencapaian pengetahuan, disaat belum adanya mesin cetak, yang baru ditemukan beberapa abad kemudian oleh Guttenberg. Keruntuhan kekuasaan muslim oleh serbuan bangsa Mongol, pasukan Salib, dan tentara Kristen di Spanyol, membuat sebagian khazanah pengetahuan ini musnah, dan sebagian diantaranya menjadi landasan kemajuan pengetahuan di Barat.
7. Proses Kreatif-adaptif Intelektual Muslim
Penting untuk dicatat bahwa apa yang dilakukan oleh para intelektual muslim adalah proses “kreatif-adaptif”, bukan “kreatif-adoptif”, dimana warisan pengetahuan klasik yang terima oleh para intelektual muslim dicerna secara hati-hati di dalam spirit skolastikisme Islam. Sehingga aspek-aspek yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dieliminir sedemikian rupa. Pencerahan ilmu pengetahuan telah diprakarsai pada abad kedelapan dan mendapat momentumnya pada abad kesembilan, telah berkembang secara luas dalam subject matter dan distribusi geografis serta secara intensif dalam term penelitian dan kreatifitas, selama paruh akhir abad kesepuluh. Sesungguhnya dekade terakhir abad kesepuluh dan keseluruhan abad kesebelas dapat dianggap sebagai abad keemasan ilmu pengetahuan dan kreatifitas muslim. Abad Islami ini ditegaskan hampir secara eksklusif seluruhnya kreatif dalam bidang-bidang pengetahuan dasar, terutama fisika, astronomi, dan matematika; dan semua karya-karya meliputi banyak hal penting dalam filsafat, teologi, agama, sejarah, dan hukum; semua perkembangan-perkembangan penting dalam bidang kedokteran dan disiplin-disiplin ilmu yang sempurna, tidak terkecuali dalam seni, kesusastraan dan musik[25].
Secara singkat dapat dikatakan bahwa tahapan proses kreatif-adaptif berlangsung secara gradual, yaitu abad kesembilan dan kesepuluh, khususnya tahun 750 dan 900 telah mengantarkan ilmu pengetahuan klasik ke dalam dunia pendidikan dan pemurnian (refinement) dalam wadah kebudayaan dan sekolah-sekolah Islam. Pada masa ini adalah pengorganisasian awal, konsolidasi dan asimilasi dari elemen-elemen klasik tersebut. Abad kesepuluh dan kesebelas –abad keemasan ilmu pengetahuan Islam- adalah abad interpretasi atau proses hermeneutik dari pemikiran-pemikiran klasik, kritisisme, dan adaptasi-adaptasi darinya serta beberapa adaptasi yang luas dari pemikiran Persia, Hindu dan pengetahuan Helenistik seperti: matematika, astronomi, trigonometri, tehnologi, kedokteran dan disiplin-disiplin sejenis lainnya. Abad keduabelas dan ketigabelas merupakan abad-abad penerjemahan oleh sekolah-sekolah Hebrew dan Kristen Latin melalui penerjemahan yang berkesinambungan dan sistematik[26]. Pada masa inilah genderang keruntuhan muslim dalam bidang ilmu pengetahuan mulai ditabuh. Keruntuhan kreatifitas dan ilmu pengetahuan muslim, bertepatan dengan fase-fase awal kebangkitan intelektual Eropa, yang telah secara luas dirangsang oleh perkenalan dengan ilmu pengetahuan, filsafat, seni muslim, kepada masyarakat dan institusi-intitusi pendidikan Eropa.
8. Kebangkitan Dunia Intelektual Eropa
Ibarat gayung bersambut, nestapa keruntuhan peradaban Islam di Baghdad dan Andalusia, diikuti sikap fatalistik dan kemunduran gairah intelektual dikalangan muslim. Hal ini tidak disia-siakan oleh para intelektual Barat untuk menyerap secara total warisan peradaban Islam yang sudah membangun dasar-dasar pengetahuan ilmiah-eksperimental, begitu pula halnya pengembangan logika berfikir induktif. Pencerahan di dunia Latin-Kristen secara khusus di stimulasi oleh dunia intelektual muslim. Berdirinya universitas-universitas Eropa pertama kali bertepatan dengan sangat derasnya arus penerjemahan, adaptasi-adaptasi dan ulasan-ulasan dari karya muslim di bidang ilmu pengetahuan, tehnologi, filsafat dan teologi. Tidak heran kemudian pada akhir abad keduabelas, telah berdiri lima universitas di Eropa, yaitu: universitas Salermo (khusus kedokteran) dan Bologna (khusus hukum), keduanya di Italia; universitas Paris dan Montpellier di Perancis; dan Oxford di Inggris. Terbesar diantaranya adalah universitas Paris dimana Oxford adalah salah satu cabang yang pada gilirannya “melahirkan” Cambridge pada tahun 1209. Universitas lainnya yang berkembang pada abad ketigabelas adalah Padua (1222); Naples (1224); Orleans, Angiers, dan universitas Salamanca di Spanyol[27].
Dalam universitas-universitas tersebut, ilmu pengetahuan telah didasarkan sepenuhnya pada tulisan dari para penulis muslim. Sebagaimana diketahui, ilmu pengetahuan aristotelian tetap merupakan inti dari kurikulum universitas Paris hingga abad keenambelas. Roger Bacon dan Albertus Magnus telah menikmati kuliah ilmu pengetahuan muslim dan merasa berhutang budi pada al-Hazm dan Jabir. Tidak sampai abad keenambelas dan datangnya Copernicus dalam ilmu astronomi -yang hanya meneruskan penemuan Nashiruddin at-Thusi-, Paracelsus dalam ilmu kedokteran, dan Vesalius dalam bidang anatomi dan para intelektual Barat lainnya yang menikmati dan mengapresiasi warisan pengetahuan muslim. Betapa kuatnya nilai pengetahuan muslim di Eropa, sehingga kurikulum kedokteran di Vienna dan Frankfurt tetap tergantung kepada karya Rhazes (Razi) dan Avicenna (Ibnu Sina), bahkan farmakologi muslim tetap dihargai di Eropa hingga abad kesembilanbelas[28].
Intelektual muslim telah berguna dengan sendirinya di sekolah-sekolah latin selama kurang lebih lima ratus tahun, dan apa yang telah diberikannya kepada dunia pendidikan Eropa adalah baik, jika hanya membangkitkan Eropa dari satu milenium intelektual yang terhenti sama sekali (dark ages). Islam telah memberi Barat yang terbaik apa yang telah dipelajarinya dari kebudayaan klasik, dan apa yang telah ditambahkan oleh kejeniusan kreatif yang dimilikinya. Hasilnya adalah kemajuan yang fantastis dalam pengetahuan dan tehnologi di dunia Barat dalam empat abad terakhir.

C. KHATIMAH
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam sebagai institusi agama, juga pernah membangun peradaban yang khas dan berperan sebagai katalisator pengembangan ilmu pengetahuan. Proses kreatif-adaptif para intelektual muslim dengan kejeniusan luar biasa mengolah proyeksi pengetahuan klasik Syria Nestorian, Greco Roman, Alexandrian dan khazanah pengetahuan dari akademi Jundi-Shapur, menjadi bangunan pengetahuan baru dengan metode penelitian (riset) yang lebih saintifik. Pencapaian intelektual muslim dalam dunia pengetahuan merupakan jembatan emas bagi munculnya kebangkitan intelektual di Eropa. Hanya satu hutang yang tetap tak terbayar, pemikiran Barat demikian banyak diperkaya oleh kerja keras kreatif selama lima ratus tahun ilmu pengetahuan muslim, telah sangat terlambat –atau boleh jadi enggan- untuk mengakui hutang ini dan terlambat pula untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada pemberinya tersebut. Karya yang di tulis oleh Mehdi Nakosteen dan Charles Michael Stanton ini adalah suatu langkah dalam tujuan tersebut.
Keruntuhan peradaban Islam dalam labirin sejarah, menyisakan beban psikologis kepada sebagian ummat Islam, hilangnya gairah intelektual dan keterbelakangan pengetahuan menimbulkan krisis percaya diri intelektual. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah pribadi schizoprenik, atau mengidap penyakit autisme intelektual, maka tidak heran sikap apologetik masih terus ada pada sebagian intelektual muslim. Karya ini setidak-tidaknya dapat menstimulasi kepercayaan diri intelektual kita dan memantikkan kembali kesadaran historis, agar terjadi upaya sungguh-sungguh untuk berperan aktif dalam kancah pengetahuan global. Upaya kembali untuk melihat sejarah keemasan Islam bukan untuk “menangisi pemandian yang telah runtuh” tetapi untuk memunculkan sikap optimistik terhadap sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo (Alm), “melihat ke belakang dengan hati nurani, dan dengan kedua mata memandang jauh ke depan. Wallahu A’lamu Bishawwab



Rujukan Utama

Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam), Terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah, Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, PT. Logos Publishing House, Jakarta, 1994.
[1] Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994), hlm. vi.

[2] Ibid, hlm. viii.

[3] Ibid, hlm. 10.
[4] Ibid, hlm. 12.

[5] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam), Terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 20.
[6] Ibid, hlm. 20.

[7] Ibid, hlm. 21.

[8] Ibid, hlm. 22.

[9] Ibid, hlm. 29.

[10] Ibid, hlm. 50.
[11] Ibid, hlm. 51.

[12] Ibid, hlm. 53.

[13] Ibid, hlm. 59.

[14] Ibid, hlm. 86.

[15] Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, hlm. 35.

[16] Ibid, hlm. 36.
[17] Ibid, hlm. 43-44.

[18] Ibid, hlm. 50-51.

[19] Ibid, hlm. 156.
[20] Ibid, hlm. 162-163.
[21] Ibid, hlm. 172-174

[22] Nakosteen, Kontribusi Islam, hlm. 89.

[23] Ibid, hlm. 91.

[24] Ibid, hlm. 96.

[25] Ibid, hlm. 227.

[26] Ibid. hlm. 249.
[27] Ibid. hlm. 269.

[28] Ibid, hlm. 277.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...