Senin, 09 Januari 2012

MENAKAR KUALITAS PENDIDIKAN KITA

A. Pendahuluan. 
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. 
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Selain itu menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektivitas, efisiensi dan standarisasi pengajaran. 
Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:(1) Rendahnya sarana fisik; (2) Rendahnya kualitas guru; (3) Rendahnya kesejahteraan guru; (4) Rendahnya prestasi siswa; (5) Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan; (6) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan; (7) Mahalnya biaya pendidikan. 

 B. Tinjauan Historis Kualitas Pendidikan di Indonesia. 
 1. Era Kolonial Pada jaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional. 
Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa. 
Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakan bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Oleh sebab itu di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun sistem pendidikan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa. 
2. Era Orde Lama Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 Junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama. Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi. 
3. Era Orde Baru Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi sebuah loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada sebuah pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. 
Dalam era pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya. Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk KOPERTIS-KOPERTIS sebagai bentuk birokrasi baru. 
4. Era Reformasi Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional. Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI. Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan sebuah ajang pertikaian dan persemaian manusia-manusia yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit, mementingkan diri dan kelompok.
Menurut H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Pertama, kekuatan politik: Pendidikan masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik praktis, yang berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan partai-partai politik, untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan politik ditentukan oleh dua paradigma yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyaman hidup manusia. Paradigma ekonomi lebih mengedepankan pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan-pemenuhan kehidupan materiil dan mengesampingkan kebutuhan non materiil duniawi. Contoh pengembangan dana 20 %. Kedua, kekuatan ekonomi: manusia Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa dampak positif dan negatif. Positifnya yaitu pendidikan menunjang perbaikan hidup dan nilai negatifnya yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas pertimbangan efisiensi, produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing, yaitu pada orientasi profit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan. Demi mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan maka disusunlah beberapa upaya standarisasi. Untuk usaha tersebut maka muncul konsep-konsep seperti : Ujian Nasional. Dalam menyusun RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 – 2009 lebih menekankan pada manajemen dan kepemimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan sebuah proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, keterampilan, penguasaan skill yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi. 

 C. Realitas Objektif Kualitas Pendidikan di Indonesia. 
 Lebih dari tiga dekade Indonesia telah meningkatkan angka partisipasi sekolah dengan baik. Pada tahun 2002, angka partisipasi kasar untuk sekolah dasar melebihi 100 persen, meningkat dari 80 persen di tahun 1970, dan angka partisipasi murni sekolah dasar saat ini mencapai 93 persen. Partisipasi sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama juga menunjukkan peningkatan yang mengesankan. Angka partisipasi murni meningkat dari hanya 18 persen pada tahun 1970 menjadi 80 persen pada tahun 2002. Indonesia juga telah cukup berhasil dalam mengurangi ketimpangan angka partisipasi antara laki-laki dengan perempuan. Angka partisipasi, terutama pada jenjang pendidikan dasar, dapat disejajarkan dengan negara-negara di Asia timur lain yang mempunyai tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Akan tetapi sebagaimana yang jelaskan oleh Prof. Suyata di dalam pidato Dies, bahwa universalisasi pendidikan dasar di berbagai negara diiringi oleh kecenderungan menurunnya mutu dan kualitas pendidikan. 
Kenaikan tingkat partisipasi diiringi oleh menurunnya prestasi ini ditemukan secara konsisten di banyak negara dengan kondisi bahwa distribusi kemampuan di berbagai negara atau kawasan yang sama dan melakukan rekruitmen kelompok bawah. Alasan yang sering diajukan adalah masuknya kelompok anak yang belum siap belajar atau sering tidak mau belajar atau mau belajar untuk menyenangkan orang lain atau orang tua. Selain itu sumber-sumber belajar tidak tersedia di balik bertambahnya jumlah siswa, dan pendirian sekolah sekedar dorongan menyediakan tempat belajar dengan semangat pengabdian. Banyak sekolah didirikan dengan perlengkapan dan peralatan seadanya, termasuk guru-guru dan pengelolaannya. Hal-hal esensial tidak memadai, jam-jam belajar tidak teratur, dan lingkungan keluarga serta masyarakat tempat tinggalnya miskin sumber-sumber belajar dan dukungan belajar (Suyata, 1998: 8). Prof Suyata menambahkan bahwa pengembangan mutu sekolah dan sistem persekolahan tingkat pendidikan dasar nampaknya berbeda dengan pengembangan di tingkat pendidikan menengah. 
Pendidikan dasar dikembangkan dalam konteks kewajiban belajar dengan prioritas pada penyediaan daya tampung agar mampu menyerap semakin banyak anak usia sekolah yang berkualifikasi (eligible). Perluasan populasi sekolah secara agregatif belum sempat diikuti oleh konsolidasi pengalaman menghadapi “siswa baru” di luar klien selama ini. Pemrosesan anak oleh sistem pembelajaran nampaknya sama dari waktu ke waktu dengan dominasi eksposa verbal dan penekanan strategi kognitif analitik, linear, serta kompetitif tanpa menyiapkan mereka membiasakan budaya belajar semacam ini (Suyata, 1998: 9). 
Berkaitan dengan persoalan di atas, dalam hal ini dapat dipetakan beberapa persoalan mendasar yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia yakni antara lain: 
1. Tidak semua anak bersekolah. Indonesia masih belum mampu memenuhi program wajib belajar 9 tahun bagi semua anak. Saat ini masih terdapat sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang masih belum bersekolah. Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta. 
2. Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini. Pada tahun 2002 angka partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin. Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hampir semua anak dari berbagai kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan termiskin cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam, sebagaimana figur di bawah ini. 
3. Kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk. Selama ini ekspansi sekolah tidak menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat yang kokoh dan ekonomi yang kompetitif di masa depan. Bukti ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan murid tingkat 8 (SMP kelas 2) dibandingkan dengan negara tetangga Asia pada ujian-ujian internasional di tahun 2001 terlihat cukup jelas bahwa ekspansi partisipasi sekolah di Indonesia tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. 
4. Persiapan dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang. Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan semua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Lebih jauh, berdasarkan survei yang dilakukan untuk Laporan Pembangunan Dunia 2004, 20 persen tenaga pengajar Indonesia tidak masuk sekolah pada saat pengecekan di sekolah-sekolah yang terpilih secara random. Ini berarti 20 persen dari dana yang digunakan untuk membiayai tenaga pengajar tidak memberikan manfaat secara langsung kepada murid, karena ternyata tenaga pengajar tersebut tidak berada di kelas. 
5. Pemeliharaan sekolah-sekolah tidak dilakukan secara berkala. Berdasarkan data survei sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional, satu dari enam sekolah di Jawa Tengah berada dalam kondisi yang buruk, sementara itu sedikitnya satu dari dua sekolah di Nusa Tenggara Timur juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Murid-murid berada di ruang kelas tanpa peralatan belajar yang memadai, seperti buku pelajaran, papan tulis, alat tulis, dan tenaga pengajar yang menguasai materi pelajaran sesuai kurikulum. Rendahnya mutu sisi luar pendidikan di Indonesia sebagaimana yang telah dipetakan di atas diperparah oleh ambruknya kualitas sisi dalam atau dimensi moral pendidikan nasional seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, cinta kebenaran dan kemandirian. Kepedulian dan solidaritas sosial terbatas dan parokial. Kecenderungan materi untuk diri sendiri semakin menggejala, termasuk dalam memilih bidang pendidikan dan pekerjaan (Suyata, 1998: 11-12). Anomali moralitas kebangsaan yang semakin memburuk membuat Kementerian Pendidikan Nasional dengan tergesa-gesa menggagas pentingnya pendidikan karakter . 
 D. Peningkatan Mutu Sekolah Sebagai Sarana Perbaikan Kualitas Pendidikan. 
 Menurut Prof. Suyata, sekolah perlu dimandirikan dengan kekhasan masing-masing, tanpa membuat satu dengan lainnya terpisah, demikian halnya kerja sama dan kompetisi sekolah perlu dipikirkan untuk perbaikan mutu pendidikan. Dalam hal ini sekolah hendaknya dirancang menjadi transformator tanpa mengubah yang kuat dan lebih menjadi lemah dan kurang, melainkan memanfaatkan yang lebih itu untuk memperbesar yang kecil. Proses transformasi yang dimaksud oleh Prof Suyata adalah upaya untuk memadukan perubahan struktural dan usaha inovatif, sehingga keterkaitan antara sekolah dan masyarakat tetap terpelihara dalam menghadapi isu-isu pendidikan dan kemasyarakatan oleh fleksibilitas, kepekaan, dan komitmennya terhadap perkembangan anak. (Suyata, 1998: 13). 
 Dalam perbaikan mutu sekolah, perlu mengadopsi pendekatan developmental, yakni menekankan pada upaya sekolah untuk mengenali karakteristik awal input dan berdasarkan pengenalan karakteristik itu program-program perlakuan terhadap siswa disusun. Misalnya sedari awal sekolah telah berupaya memetakan karakteristik peserta yang masuk melalui rekam jejak yang dikoleksi melalui orang tua maupun masyarakat. Dari sini sekolah akan menganalisa atau mendiagnosa kemungkinan-kemungkinan treatment yang bisa dilakukan kepada peserta didik. Proses developmental ini memiliki similaritas dengan proses dan pola kerja yang terjadi di sebuah Rumah Sakit, di mana telah ditentukan standar keberhasilan yaitu kesembuhan pasien, dan standar itu tidak pernah berubah walaupun pasien yang datang membawa tingkatan sakit yang berbeda-beda. Sehingga keadaan pasien tidak akan memengaruhi standar, tetapi akan memengaruhi proses treatment, peralatan, waktu, jenis dan dosis pengobatan, serta biaya yang akan dikeluarkan. 
Pengadopsian pola protap dan prosedur operasional dari Rumah Sakit telah dilakukan oleh lembaga persekolahan di New Zealand dan Argentina dalam meminimalkan kenakalan remaja di sekolah dengan mendiseminasikan protap model Rumah Sakit itu melalui menempelkannya di dinding-dinding sekolah sebagai karangka acuan perilaku bagi guru maupun murid. Dengan demikian, dengan pendekatan developmental, sekolah tidak perlu melakukan proses seleksi masuk dan juga tidak perlu menurunkan standar keberhasilannya, sebab yang menentukan adalah ketepatan prosesing siswa untuk mencapai standar keberhasilan. Untuk keperluan pengembangan keunggulan, performan siswa saat masuk sekolah tidaklah menjadi yang paling penting, sebab keunggulan akan dilihat dari kemampuan sekolah memberi dampak bagi perkembangan siswa. (Suyata, 1998: 15). 
Pendekatan ini kontras dengan pendekatan tradisional yang mementingkan kekayaan sumber-sumber belajar, input yang terseleksi ketat dan standar pencapaian akademik tertinggi yang dicapai oleh keluaran sekolah. Sehingga sekolah dengan pendekatan tradisional tersebut dikatakan telah meraih reputasi sebagai berkualitas dan bermutu hanya karena pencapaian yang bersifat kosmetik dan artifisial. Don Adams sebagaimana dikutip oleh Prof Suyata, mengidentifikasi dimensi umum dalam melihat mutu yaitu: 1) reputasi, 2) sumber-sumber dan masukan, 3) proses, 4) isi, keluaran (outputs) dan hasil (outcomes), dan 6) nilai tambah (value added). Biasanya mutu sebagai reputasi menekankan masukan dan keluaran sebagaimana masyarakat umum mengenalinya. 
Mutu sebagai masukan dan sumber-sumber banyak digunakan oleh mereka yang berurusan dengan akreditasi di kalangan profesional dan badan-badan internasional. Mutu sebagai suatu proses menekankan kualitas dinamik suatu program sekolah atau suatu sistem. Mutu sebagai isi sering tidak terpisah dengan mutu sebagai proses, sedangkan mutu sebagai keluaran dan hasil semakin populer di kalangan pengambil kebijakan. Pengukuran dampak memberikan mutu sebagai suatu perubahan. Sekolah bermutu dan sekaligus dapat berdampak dapat dilihat kemampuannya menghadirkan perubahan di dalam diri siswa, baik itu pengetahuan, sikap, atau perilaku tampilnya atau keseluruhannya. (Suyata, 1998: 16-17). 
 Dari dimensi umum di atas, tampak bahwa dalam konteks pendidikan di Indonesia, baik pendidikan umum maupun keagamaan seperti madrasah, masih menekankan pada dimensi reputasi; sumber-sumber dan masukan; dan keluaran dan hasil, sementara masih mengabaikan aspek proses; isi; dan nilai tambah. Fenomena ini juga membuat lembaga persekolahan bermetamorfosa menjadi lembaga yang elitis, karena hanya bisa dinikmati oleh kelompok berpunya (the haves) atau ruler class. Sedangkan kelompok masyarakat subaltern atau ruling class hanya bisa menikmati lembaga persekolahan yang minim sarana, fasilitas, dan SDM dengan kualitas pembelajaran yang buruk. Selain persoalan maraknya lembaga persekolahan yang elitis dan minimnya lembaga persekolahan yang populis dan pro-rakyat, juga budaya yang berkembang di sekolah masih mengadopsi iklim kepemimpinan yang sentralistik, paternalistik atau bahkan feodalistik. Ditambah oleh sikap adigung adigung adiguna Kepala Sekolah dan sikap ewuh pakewuh para guru dan tenaga kependidikan. Padahal salah satu faktor penting yang menentukan mutu dan kualitas lembaga persekolahan adalah iklim kepemimpinan menjauhi pola pemaksaan dan mengadopsi pola membimbing (lead-leadership). 
Selain itu kualitas dan mutu sekolah juga sangat ditentukan oleh pengendalian kualitas manajemen, kualitas kerja, dan kualitas lingkungan sekolah. Prof. Suyata menyatakan bahwa permasalahan buruknya kualitas pendidikan yang terus meningkat hanya bisa diperbaiki dengan menghadirkan mutu lewat penerapan teori kontrol yang diimplementasikan bagi para manajer, guru, dan siswa. Pengalaman penerapan tingkat manajemen tingkat sekolah dengan menekankan sistem ini terbukti memberikan hasil positif bagi proses belajar-mengajar. (Suyata, 1998: 23). 
 E. Langkah-langkah Strategik Perbaikan Mutu dan Kualitas Sekolah. 
 Menurut Prof. Suyata, perbaikan mutu pendidikan di tingkat sekolah atau gugus sekolah memerlukan proses dan tata kerja partisipatif, kolaboratif, interaktif dalam proses transaksional dinamik antar mereka yang memiliki kepentingan dan terkena dampak oleh keputusan dan aksi pendidikan (Suyata, 1998: 23). Dalam hal ini Gestner dan rekan-rekannya merancang tujuh hal strategik untuk pembaharuan mutu sebagai berikut: • Merumuskan tujuan secara jelas dan mengukur kemajuan pencapaiannya. 
• Memilih pimpinan dan memberikan tanggung jawab kepadanya/mereka. 
• Memilih pekerja/tenaga pelaksana yang berbakat/berkemampuan, lakukan investasi di ketenagaan ini, dan sediakan atau berikan reward memadai. 
• Alokasikan dana untuk meningkatkan produktivitas sekolah. 
• Membangun tata hubungan baru antara sekolah, orang tua dan masyarakat. 
• Bujuklah siswa agara belajar. 
• Berikan reward bagi yang berhasil dan punishment bagi yang gagal. Dalam upaya perbaikan sekolah terkandung prinsip-prinsip inti sebagai kerangka acuan perubahan dan perkembangan yang dapat dilakukan secara mandiri oleh sekolah tanpa harus melibatkan unsur-unsur di luar sekolah. Oleh karena itu ada beberapa asumsi-asumsi yang menjadi landasan bagi upaya perbaikan sekolah antara lain: 
• Sekolah telah memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara mandiri. 
• Perbaikan sekolah mengandung aspek perubahan budaya atau kultur. 
• Terdapat tingkatan kondisi sekolah dan ruang kelas yang harus diperbaiki. 
• Perbaikan sekolah juga memberikan perhatian pada membangun kemampuan besar untuk melakukan perubahan. (Alma Harris, 2002: 18). 
Menurut Alma Harris ada beberapa faktor yang sangat mampu memberi kontribusi terhadap upaya perubahan dan perbaikan di sekolah, yakni: 
• Partisipasi aktif para guru di dalam merencanakan dan pengambilan kebijakan. 
• Komitmen aktif para guru untuk menjadi instrumen penting dalam mengimplementasikan program. 
• Dorongan dan tekanan untuk memastikan program terlaksana dengan baik. 
• Perlunya agensi eksternal melakukan asistensi dan menjadi wahana yang bersifat konsultatif. 
• Pengembangan staf untuk mendukung pelaksanaan perbaikan dan perubahan sekolah, sesuai target yang ingin dicapai. (Alma Harris, 2002: 19). 
Selain itu menurut Alma Harris, ada beberapa karakteristik sekolah yang telah mengupayakan gerakan perubahan dan perbaikan, yaitu: 
• Upaya perbaikan pada aspek ruang kelas menjadi fokus perhatian utama. 
• Memanfaatkan dengan bijaksana instruksi atau strategi pedagogis, atau mereka telah mempersiapkan model-model pembelajaran secara eksplisit. 
• Memperbolehkan untuk melakukan penekanan-penekanan pada proses implementasi, untuk mengetahui sejauhmana kesetiaan dalam melaksanakan program. 
• Mengumpulkan bukti-bukti evaluasi sistematik tentang dampak yang ditimbulkan pada sekolah dan ruang kelas. 
• Memobilisasi perubahan pada tiap level di dalam organisasi sekolah, seperti ruang kelas, departemen, dan tingkatan level para guru. 
• Melakukan perubahan kultural sebagaimana perubahan pada aspek struktural. 
• Melibatkan para guru dalam dialog profesional dan perkembangan. 
• Mempersiapkan agensi eksternal untuk mendukung terlaksananya perbaikan dan perubahan. (Alma Harris, 2002: 29). 
Di sisi lain, pada level kondisi sekolah dan ruang kelas, terdapat elemen-elemen infra-struktural, yang dalam prosesnya akan berdampak langsung pada upaya perubahan dan perbaikan di sekolah, untuk pada level kondisi sekolah yang perlu dilakukan adalah: a). adanya komitmen untuk investasi pengembangan staf sekolah; b). adanya upaya yang bersifat praktis untuk melibatkan staf, para murid, dan komunitas sekolah lainnya untuk berperan dalam penentuan kebijakan dan keputusan; c). adanya pendekatan kepemimpinan yang bersifat transformatif; d). adanya penerapan strategi koordinasi yang efektif; e). adanya perhatian utama pada keuntungan yang potensial dalam proses inkuiri dan refleksi; f). adanya komitmen untuk merencanakan aktivitas yang bersifat kolaboratif. (Alma Harris, 2002: 52). Sedangkan pada level kondisi ruang kelas, yang perlu diciptakan adalah: 1). Menciptakan hubungan yang autentik antara guru dan murid, dalam bentuk hubungan yang terbuka, harmoni dan berkualitas di ruang kelas; 2). Terciptanya batasan-batasan dan aturan-aturan untuk melakukan kontrol terhadap perilaku siswa di ruang kelas; 3). Para guru mempersiapkan perencanaan secara menyeluruh baik pada aspek materi maupun sumber daya yang ada di ruang kelas; 4). Para guru merancang model dan gaya pembelajaran yang dapat diinternalisasikan di ruang kelas, tanpa harus bergantung pada murid, konteks, kurikulum, dan hasil yang diinginkan; 5). Para guru mampu membentuk hubungan yang profesional di dalam maupun di luar kelas, dan di fokuskan pada belajar dan praktek-praktek perbaikan; 6). Para guru mampu melakukan refleksi diri atas proses pembelajaran yang telah di lakukan di ruang kelas. (Alma Harris, 2002: 52-53). 
 F. Penutup. 
 Persoalan perbaikan mutu dan kualitas terus menjadi pekerjaan yang tidak pernah usai selama proses pendidikan dan pengajaran terus berjalan. Apalagi berbagai macam persoalan yang mendera perjalanan negara-bangsa Indonesia, dari hari ke hari semakin kompleks, seolah-olah negara ini sulit untuk melepaskan diri dari carut-marut yang terjadi di segala bidang. Buruknya kualitas pendidikan dan pengajaran akan berkontribusi pada melemahnya sistem budaya dan sistem sosial yang diikuti oleh ambruknya moralitas. Sehingga dalam hal ini upaya perbaikan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia bergantung pada hadirnya integritas moral dan intelektual para pemikir serta praktisi yang berkecimpung di dunia pendidikan. 

 Sumber Bacaan 
Suyata, (1998), Perbaikan Mutu Pendidikan Transformasi Sekolah dan Implikasi Kebijakan, Pidato Dies Natalis XXXIV Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta pada 23 Mei 1998 
Harris, Alma, (2003), School Improvement; Whats in it for schools?, London: RouledgeFalmer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...