Senin, 09 Januari 2012

DISKURSUS PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pendahuluan. 

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia . Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). 
Wacana pendidikan karakter telah menjadi isu penting dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini dipicu oleh kesadaran yang bersifat kolektif tentang merosotnya kualitas karakter dan kepribadian subyek didik yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti terlihat dengan tingginya eskalasi kekerasan di antara pelajar baik pada jenjang pendidikan menengah maupun di level perguruan tinggi. 
Belum lagi persoalan rendahnya moralitas subyek didik dengan menjamurnya fenomena budaya narkoba dan seks bebas di kalangan pelajar, termasuk dengan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan dan adanya indikasi meningkatnya sifat sadisme di kalangan subyek didik, terbukti oleh meningkatnya indeks tawuran antar pelajar di tahun 2011. 
Selain itu isu pendidikan karakter juga menjadi salah satu upaya pemerintah melalui Depdikbud untuk mengikis budaya korupsi yang berurat berakar dalam mind set masyarakat Indonesia. Akan tetapi, Mengembangkan pendidikan karakter itu ibarat mencari kucing hitam dalam kamar yang gelap, begitu ujar seorang guru. Memulai tahun ajaran baru, banyak sekolah mempromosikan program pendidikan karakter. Bahkan, tahun ini pun pemerintah juga menggemakan tentang pentingnya pendidikan karakter. 
Namun, semakin banyak dibicarakan, semakin tidak jelas halnya. Akhirnya, seperti kata guru tadi, kita berhadapan dengan kucing hitam dalam kamar yang gelap. Gambaran kucing hitam sebenarnya menunjuk pada berbagai macam tema terbuka yang mesti dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil keputusan sebelum mereka mengembangkan pendidikan karakter. Meskipun pendidikan karakter dirasakan kemendesakannya, baik itu berkaitan dengan pengembangan pembentukan diri individu secara utuh, serta dampak-dampak pembentukan karakter bagi kelangsungan sebuah masyarakat, pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang tidak jelas dengan sendirinya (self-evident). 
Selain itu klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan politis, sosial, budaya, agama, psikologi, pendidikan, dan psikis. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan kebaikan dan kesejahteraan individu dan masyarakat mau tidak mau mesti melibatkan banyak pihak. Perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan konflik satu sama lain dalam rangka pengembangan pendidikan karakter. 
 Dalam konteks pendidikan Islam, pengolahan konsep tentang pendidikan karakter banyak dikaitkan dengan proyeksi pengajaran aqidah dan akhlak, karena tujuan yang ingin dicapai dalam isu pendidikan karakter sepenarian dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran aqidah dan akhlak selama ini. Selain itu dalam kacamata pendidikan Islam proses pelaksanaan pendidikan karakter sejalan dengan misi utama Nabi Muhammad s.a.w. yakni dalam rangka menyempurnakan akhlak, etika, karakter umat manusia. Oleh karena itu desain pendidikan karakter yang dirancang paling tidak di ekstraksi dari nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an, hadis, dan sejarah Islam. 
Dalam hal ini keberhasilan pendidikan karakter tergantung kepada peran strategis pendidik yang mampu memerankan diri sebagai contoh par exelence atau sebagai uswah hasanah (role model). Sebagaimana yang telah diperankan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Dalam aspek materi dan kurikulum, sejatinya pendidikan Islam memiliki turats yang sangat kaya untuk menjadi sumber desain kurikulum pendidikan karakter. 

 B. Diskursus Pendidikan Karakter. 

 1. Pengertian Pendidikan Karakter. 
Ditinjau dari sudut etimologi, kata “karakter” atau dalam bahasa Inggris disebut “character” berasal dari kata Yunani “charassein”, dalam Webster’s New World Dictionary of the American Language, “karakter” diartikan sebagai “pola perilaku moral individu.” Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai upaya membentuk pola perilaku moral individu yang baik lewat proses berkesinambungan yang berarti “mengukir.” Oleh karena itu pendidikan karakter yang paling utama sejatinya diberikan kepada seorang anak, sejak usia dini, dalam institusi pendidikan yang paling kecil namun berperan paling penting, yaitu keluarga. Dalam lingkup keluarga, seorang anak akan dibentuk karakter atau pola perilaku moralnya oleh orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu. 
Selain keluarga, ada institusi pendidikan lain yang bisa dilibatkan oleh orang tua untuk menanamkan karakter yang baik dalam diri anak-anak mereka. Institusi pendidikan yang dimaksud adalah sekolah. Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah mulai dari jenjang pendidikan awal hingga jenjang pendidikan tinggi berkewajiban untuk membentuk karakter setiap peserta didiknya. Hal ini dikarenakan sekolah merupakan partner orang tua dalam mendidik anak-anaknya. 
Pendidikan karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak” . Oleh karena itu karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). 
Karakter berasal dari bahasa Yunani “charassein”, yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sehingga seseorang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan perilaku negatif lainnya dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah dan standar moral yang berlaku di masyarakat disebut dengan berkarakter mulia. 
Oleh karena itu pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membekali pengetahuan tentang kebaikan, menanamkan kecintaan terhadap kebaikan serta membentuk kebiasaan baik sesuai dengan nilai, norma, budaya, dan agama yang di anut. Menurut Doni Koesoema, karakter adalah kepribadian yang menjadi ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan (acquired) dan jiwa bawaan seseorang sejak lahir (iborn) . Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik . 
Sedangkan Soemarsono Soedarsono menyatakan karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar yang menjadi bagian kepribadian seseorang. Karakter juga merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan, pengalaman, dan pengaruh lingkungan yang menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku. Karakter seseorang tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi dibentuk dan ditumbuhkembangkan melalui pendidikan . Sementara itu karakter menurut 
Hermawan Kertawijaya, adalah ciri khas yang mengakar pada kepribadian individu dan menjadi mesin yang mendorong individu tersebut untuk bertindak, bersikap, bertutur, dan merespons sesuatu. Orang yang memiliki karakter yang kuat, akan memiliki momentum untuk mencapai tujuan . Bahkan dikatakan, “bangsa yang besar dapat dilihat dari kualitas karakter bangsa (manusia) itu sendiri” . 
Adapun Suyanto berpendapat bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat . 
 2. Konsep Pendidikan Karakter. 
 Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. 
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis . 
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor: 1) temperamen dasar (dominan, intim, stabil, cermat); 2) keyakinan (apa yang dipercayai, paradigma); 3) pendidikan (apa yang diketahui, wawasan kita); 4) motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup); 5) perjalanan (apa yang telah dialami, masa lalu kita, pola asuh dan lingungan) . 
Menurut Foerster (dalam Doni Koesoema) , ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama; keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua; koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga; otonomi. di mana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat; keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. 
Karakter mulia berarti individu mampu menghayati dan memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, intuitif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat atau efisien, menghargai waktu, pengabdian atau dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku). 
 Selain itu yang paling substansial dalam diri seorang individu yang berkarakter adalah senantiasa berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama manusia, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi (perasaaannya) . 
Pada dasarnya, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun kriteria yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. 
Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur, yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak pada karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. 
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaannya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. 
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas tahun 2010, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: oleh hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intelectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetik development), dan olah rasa dan karsa (affective and kreativity development). 
 3. Fokus Pendidikan Karakter. 
 Menurut Doni Koesoema , ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi diskursus pendidikan karakter. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang ketiga pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character development) . 
Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dan lainnya, agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu. 
Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu. 
Sejalan dengan itu Menurut Ahmad Tafsir, karakter atau akhlak diajarkan melalui metode internalisasi. Teknik pendidikannya ialah peneladanan, pembiasaan, penegakan peraturan, dan pemotivasian . Dalam hal ini Furqon Hidayatullah menyatakan pendidikan karakter dapat dilakukan secara intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Intrakurikuler terintegrasi ke dalam mata pelajaran, sedangkan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam pelajaran. Adapun pendekatan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui keteladanan, penanaman kedisiplinan, pembiasaan, penciptaan suasana kondusif dan integrasi-internalisasi . 
 4. Pilar Pendidikan Karakter. 
Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menawarkan beberapa alternatif pengembangan keutamaan untuk membentuk karakter individu menjadi pribadi berkeutamaan. Pilihan prioritas keutamaan itu didasarkan pada tiga matra pendidikan karakter yang menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh, yaitu matra individual, matra sosial, dan matra moral. 12 Pilar Keutamaan menurut Doni Koesoema A adalah sebagai berikut: 
a. Penghargaan terhadap tubuh 
Penghargaan terhadap tubuh merupakan keutamaan fundamental yang perlu dikembangkan dalam diri setiap orang. Penghargaan terhadap tubuh termasuk di dalamnya kesediaan dan kemampuan individu menjaga dan merawat kesehatan jasmani tiap individu. Kesehatan jasmani merupakan salah satu bagian penting bagi pembentukan keutamaan. 
Pendidikan karakter mesti memprioritaskan tentang bagaimana individu dapat menjaga tubuhnya satu sama lain, tidak merusaknya, melainkan membuat keberadaan tubuh tumbuh sehat sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kodratnya. Penghargaan terhadap tubuh merupakan ekspresi diri individu untuk menjadi perawat dan pelindung satu sama lain. Individu mesti menumbuhkan dalam dirinya sendiri keinginan untuk merawat tubuh diri dan orang lain, termasuk pertumbuhan psikologis dan emosionalnya. 
b. Transendental 
Pengembangan keutamaan transendental, baik itu yang sifatnya religius, keagamaan, maupun yang sublim, seperti kepekaan seni, apresiasi karya-karya manusia yang membangkitkan refleksi serta kemampuan untuk memahami kebesaran yang Iahi merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter. 
Setiap individu dianugerahi kepekaan akan sesuatu yang lembut, halus, yang bekerja secara rohani mendampingi manusia, kepekaan akan sesuatu yang adikodrati. Kepekaan akan yang suci, yang transenden, yang baik, yang indah, baik itu dalam diri manusia maupun di alam, merupakan salah satu sarana untuk membentuk individu menjadi pribadi berkeutamaan. 
c. Keunggulan akademik 
Keunggulan akademik adalah tujuan dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik berbeda dengan sekedar lulus ujian. Keunggulan akademik mencakup di dalamnya, cinta akan ilmu, kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani terus menerus melakukan evaluasi dan kritik diri, terampil mengomunikasikan gagasan, pemikiran, melalui bahasa yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik, mengembangkan rasa kepenasaranan intelektual yang menjadi kunci serta pintu pembuka bagi hadirnya ilmu pengetahuan. Dari kecintaan akan ilmu inilah akan tumbuh inovasi, kreasi dan pembaharuan dalam bidang keilmuan. 
d. Penguasaan diri 
Penguasaan diri merupakan kemampuan individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau menundukkan seluruh dorongan emosi itu pada tujuan yang benar selaras dengan panduan akal budi. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kesediaan mengolah emosi dan perasaan, mau menempatkan kecondongan rasa perasaan sesuai dengan konteks dan tujuan yang tepat sebagaimana akal budi membimbingnya. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kemampuan individu dalam menempatkan diri, bertindak dan berkata-kata secara bijak dalam ruang dan waktu yang tertentu. 
e. Keberanian 
Keberanian merupakan keutamaan yang memungkinkan individu mampu melakukan sesuatu dan merealisasikan apa yang dicita-citakannya. Keberanian termasuk di dalamnya kesediaan untuk berkorban demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, kerja keras, karena individu tersebut memiliki cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam hidupnya. Keberanian merupakan dorongan yang memungkinkan individu mewujudnyatakan dan merealisasikan impiannya. 
f. Cinta kebenaran 
Cinta akan kebenaran merupakan dasar pembentukan karakter yang baik, bukan sekedar sebagai seorang pembelajar, melainkan juga sebagai manusia. Manusia merindukan kebenaran dan dengan akal budinya manusia berusaha mencari, menemukan dan melaksanakan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Prinsip berpegang teguh pada kebenaran mesti diterapkan bagi praksis individu maupun dalam kehidupan bersama. Cinta akan kebenaran yang sejati memungkinkan seseorang itu berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebenaran yang diyakininya. Sebab, keteguhan nilai-nilai akan kebenaran inilah yang menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter. 
g. Terampil 
Memiliki berbagai macam kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan, bagi bagi perkembangan individu maupun dalam kerangka pengembangan profesional menjadi syarat utama pengembangan pendidikan karakter yang utuh. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti merupakan dasar bagi keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya ini seorang individu mampu mengubah dunia. 
h. Demokratis 
Masyarakat global hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk saling membutuhkan, bahu membahu satu sama lain. Masyarakat tidak dapat hidup secara tertutup sebab keterhubungan satu sama lain itu merupakan kondisi faktual manusia. Karena itu, setiap individu mesti belajar bagaimana hidup bersama, mengatur tatanan kehidupan secara bersama, sehingga inspirasi dan aspirasi individu dapat tercapai. Demokrasi mengandaikan bahwa individu memiliki otonomi dalam kebersamaan untuk mengatur kehidupannya sehingga individu dapat bertumbuh sehat dalam kebersamaan. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan semangat kebangsaan. 
i. Menghargai perbedaan 
Perbedaan adalah kodrat manusia. Menghargai perbedaan merupakan sikap fundamental yang mesti ditumbuhkan dalam diri individu. Terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menghargai perbedaan mesti ditumbuhkan dalam diri tiap individu, karena negara kita ini berdiri karena para pendiri bangsa ini menghargai perbedaan, dan dalam perbedaan itu mereka ingin mempersatukan kekuatan dan tenaga dalam membangun bangsa. 
j. Tanggung jawab 
Tanggung jawab merupakan unsur penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini memiliki tiga dimensi, yaitu tanggung jawab kepada (relasi antara individu dengan orang lain), tanggung jawab bagi (hubungan individu dengan dirinya sendiri), serta tanggung jawab terhadap (hubungan individu terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat). 
k. Keadilan 
Bersikap adil, serta mau memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter. Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk antisosial. Untuk itulah diperlukan komitmen bersama agar masing-masing individu dihargai. Dalam konteks hidup bersama, keadilan menjadi jiwa bagi sebuah tatanan masyarakat yang sehat, manusiawi dan bermartabat. Tanpa keadilan, banyak hak-hak orang lain dilanggar. 
l. Integritas moral 
Integritas moral merupakan sasaran utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter. Integritas moral inilah yang menjadikan masing-masing individu dalam masyarakat yang plural mampu bekerja sama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil dan bermartabat bagi manusia, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan yang bernilai dan berharga apapun keadaan dan kondisinya. Kehadiran individu yang memiliki integritas moral menjadi dasar bagi konstruksi sebuah tatanan masyarakat beradab. 
Integritas moral muncul jika individu mampu mengambil keputusan melalui proses pertimbangan rasional yang benar, dan melaksanakannya dalam tindakan secara bijak, sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Integritas moral termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk membuat kebijakan praktis yang bermakna bagi hidupnya sendiri dan orang lain. 
 5. Tiga Basis Desain Pendidikan Karakter. 
 Menurut Doni Koesoema , pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah non-instruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. 
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. 
Menurut Doni, pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif. 
 6. Pendidikan Karakter Multidimensi. 
 Amin Abdullah berpendapat bahwa sifat pendidikan karakter adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, ad hoc, apalagi atomistik. Menurutnya pendidikan karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. 
Pendidikan agama, begitu juga pendidikan kewarganegaraan pada level manapun tidak dapat berbuat banyak jika ia berdiri sendiri (self sufficiency), karena jika tidak dikaitkan dengan budaya, sosial, hukum dan politik misalnya, maka pendidikan agama hanya akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkin mudah dihapal, tapi seringkali tidak dapat dipraktikkan dan diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks . 
Pendidikan karakter sangat diperlukan oleh bangsa manapun karena dengan pendidikan karakter yang berhasil akan membuat warga masyarakat dan warga negara menjadi “baik” tanpa prasyarat apapun. Menjadikan warga negara yang “baik” tanpa embel-embel syarat agama, sosial, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum. 
Pendidikan Karakter seperti ini sejalan dengan cita-cita kemandirian manusia (moral otonomy) dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan Karakter yang sukses akan sama dengan tujuan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik dalam ranah multikultural, multietnis, multibahasa, multi religi di era globalisasi seperti saat sekarang ini . 
 Menurut Amin Abdullah banyak faktor yang menjadikan pendidikan karakter tidak atau kurang berhasil di lingkungan sekolah dan lebih-lebih di masyarakat luas di tanah air. Perangkat undang-undang dan aturan-aturan yang ada sudah lebih dari cukup namun pengawasan pelaksanaannya sangat lemah, tapi yang sering dilupakan adalah bahwasanya pendidikan karakter memang diawali dengan pengetahuan (teori). Pengetahuan (teori) tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya. Kemudian dari pengetahuan itu diharapkan dapat membentuk sikap atau akhlak yang mulia. 
Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang diketahui itu. Menurutnya di sinilah terjadi kekeliruan dan ketidaktepatan dalam menentukan paradigma pembelajaran pendidikan karakter di tanah air, yang semestinya diperlukan adalah mengamalkan berubah menjadi yang dipentingkan adalah mengetahui atau menghapal, tanpa kemampuan untuk melakukan dan mempraktekkannya di lapangan . 
 7. Dampak Pendidikan Karakter. 
 Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri - St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. 
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik . Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. 
 Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. 
Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis. Sebagaimana yang disinyalir oleh Thomas Lickona bahwa Bila pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan sebagaimana mestinya, setiap peserta didik bukan hanya berkembang dalam hal perilaku moral atau karakternya saja tetapi berdampak juga pada perkembangan akademisnya. Pernyataan ini didasari pada dua alasan. Pertama, jika program pendidikan karakter di sekolah mengembangkan kualitas hubungan antara guru dan anak didik, serta hubungan antara anak didik dengan orang lain, maka secara tidak langsung akan tercipta lingkungan yang baik untuk mengajar dan belajar. Kedua, pendidikan karakter juga mengajarkan kepada siswa tentang kemampuan dan kebiasaan bekerja keras serta selalu berupaya untuk melakukan yang terbaik dalam proses belajar mereka .  

C. Anasir-Anasir Strategis Pendidikan Karakter (Sebuah Analisis). 

 1. Peran Strategis Pendidik Sebagai Role Model (Uswah Hasanah). 
 Dalam proses pendidikan karakter, posisi guru menempati posisi yang sangat sentral, karena melalui peran guru proses transformasi nilai-nilai karakter dapat dilakukan. Dengan demikian semestinya dalam proyeksi pendidikan karakter yang digagas oleh Kemendikbud, para guru harus melewati proses pelatihan dan pengayaan pemahaman tentang pendidikan karakter itu sendiri sebelum tampil untuk memposisikan diri sebagai pendidik. Dalam hal ini kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kemampuan untuk mengajar dengan maksimal yang dibarengi oleh kompetensi kepribadian sebagai pendidik untuk mengantarkan peserta didik memiliki karakter yang lebih baik. 
 Realitas yang terjadi di dunia pendidikan pada masa sekarang adalah terjadinya krisis keteladanan di kalangan peserta didik, di mana guru tidak mampu memosisikan diri sebagai significant person dan role model (uswah hasanah), terlebih lagi tidak mampu mengambil peran dan tanggung jawab sebagai orang tua ketika di sekolah. Akibatnya para siswa mengadopsi atau mengambil tokoh-tokoh di luar dunia pendidikan, seperti para penyanyi, bintang film, dan tokoh-tokoh non- agama sebagai panutan dalam berprilaku. Maka wajar kemudian para siswa sangat mudah terjerumus ke dalam perilaku dan karakter menyimpang dari norma-norma agama, sosial, dan budaya. Di saat orang tua dan guru tidak mampu untuk memerankan diri sebagai figur panutan dalam melakukan proses transformasi karakter dan kepribadian, lalu para anak didik yang mendapatkan figur panutan yang salah, maka yang terjadi adalah split personality pada anak didik yang kemudian berujung pada terjadinya proses alienasi (keterasingan psikologis) pada mereka. 
Bisa jadi fenomena sadisme, budaya beringas, dekadensi moral yang terjadi di kalangan anak didik justru dipicu oleh ketidakmampuan orang tua dan guru untuk mentransformasikan nilai-nilai karakter kepada anak didik. Dengan demikian apabila pendidikan karakter menjadi arus utama dalam pendidikan nasional, maka yang semestinya dilakukan terlebih dahulu adalah mempersiapkan tenaga pengajar yang profesional dan telah teruji secara kualitatif memiliki kepribadian dan karakter yang baik, agar nantinya bisa menjadi figur panutan para siswa atau anak didik. 
 2. Perlunya Revolusi Pengajaran. 
Selain peran strategis guru dalam proses pendidikan karakter, maka juga perlu dilakukan revolusi dalam pengajaran. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Amin Abdullah, bahwa model pembelajaran pendidikan karakter atau akhlak yang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alih pengetahuan moral, agama atau karakter’ (transfer of knowledge tentang moral, agama atau karakter). 
Dengan paradigma pembelajaran seperti ini, maka yang ditekankan oleh pendidik adalah penguasaan materi sesuai SAP yang tersedia dan daya serap anak didik atau memorisasi/hafalan lebih dipentingkan. Praktik ini tergambar dengan jelas dalam model soal ujian atau test yang dibuat oleh guru atau dosen. Akibat langsung yang tidak dirasakan selama bertahun-tahun adalah bahwa pendidikan karakter atau moral dan akhlak terlalu berorientasi pada intelektualisme etis. 
Padahal model paradigma pembelajaran pendidikan karakter (humanities) semestinya tidaklah seperti pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis intelektual . Di sisi lain bahwa model dan paradigma pembelajaran sains dan matematika (natural sciences) berbeda dari model dan paradigma pembelajaran humanities. Yang diperlukan dalam pembelajaran humanities, dalam hal ini pendidikan karakter, adalah kemampuan guru, dosen, pendidik, pemimpin untuk “menyentuh dan menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi anak didik. Keutuhan pribadi manusia meliputi perasaan, rasio, imajinasi, kreativitas dan memori. Dengan begitu, paradigma pendidikan karakter seharusnya lebih tajam diarahkan pada kehendak dan motivasi, dan bukannya intelektualitas. 
Oleh karena itu, yang perlu dikenal terlebih dahulu oleh para pendidik adalah struktur kepribadian manusia. Sedangkan motivasi atau kehendak sangat terkait dengan hati nurani. Maka pendidikan karakter adalah pendidikan hati nurani . 
 3. Model Evaluasi Karakter. 
 Adapun persoalan yang paling membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter adalah persoalan tentang evaluasi, yaitu tentang cara dan tujuan evaluasi. Pendidikan karakter sering kali dianggap sebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilai dan dievaluasi. Misalnya dengan membuat mata pelajaran tentang pendidikan karakter, dan dengan demikian menilai pengetahuan siswa tentangnya melalui tes tertulis akan lebih mudah dibandingkan menilai perilaku siswa. Ada persoalan serius berkaitan dengan cara-cara penilaian dalam pendidikan karakter. 
 Masalah evaluasi sering dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakah evaluasi mesti dikaitkan dengan kenaikan kelas, atau kelulusan, seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah, di mana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap, bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa? Faktanya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini sering kali hanya sekedar menjadi macam kertas, dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya masih bisa diabaikan. 
 Oleh karena itu dalam proses evaluasinya, pendidikan karakter tidak saja berdiri sendiri dalam sebuah mata pelajaran, akan tetapi penanaman nilai-nilai karakter dapat menjadi hidden curriculum dalam mata pelajaran tertentu yang basisnya adalah humanities. Selain itu proses penanaman nilai-nilai karakter dan sekaligus proses evaluasinya, juga tidak bisa hanya dimonopoli oleh pihak sekolah, akan tetapi melibatkan peran yang sifatnya sinergis antara orang tua di rumah, dan guru di sekolah. Dalam hal ini guru juga harus menjalin relasi yang baik dengan orang tua peserta didik. 
Hal ini penting agar guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memantau kekonsistenan perkembangan karakter peserta didik baik di sekolah maupun di rumah. Bisa terjadi suatu situasi di mana seorang peserta didik berkarakter baik di sekolah tetapi ketika siswa berada di rumah hal sebaliknyalah yang terjadi. Seorang siswa bisa menjadi anak yang sangat patuh terhadap guru di sekolah, tetapi menjadi anak yang sangat memberontak terhadap orang tua di rumah. Untuk mencegah hal tersebut, guru dan orang tua harus saling bertukar informasi tentang perkembangan karakter anak didik. Kuesioner adalah cara sederhana yang dapat digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi dari orang tua tentang perkembangan karakter anak didiknya di rumah. Kuesioner tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan sederhana berkaitan dengan karakter yang dipelajari anak di sekolah dan orang tua bertugas untuk memberikan jawaban dalam kaitan pelaksanaan karakter tersebut oleh anak di rumah. Informasi dari orang tua yang didapat oleh guru dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan karakter anak didik yang bersangkutan. 
Di samping orang tua, guru juga dapat meminta setiap peserta didiknya untuk menilai perkembangan karakter temannya satu sama lain. Dengan menggabungkan informasi dari orang tua, siswa, maupun dari guru sendiri maka penilaian perkembangan karakter yang diberikan oleh guru kepada setiap peserta didiknya akan lebih obyektif. 
 4. Peran Strategis Aspek Akhlak Islami Sebagai Basis Pendidikan Karakter. 
 Dalam konteks pendidikan Islam, sejatinya persoalan karakter, perilaku, budi pekerti menjadi unsur penting dalam dimensi akhlak, di mana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari trilogi ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Sehingga sebenarnya persoalan perbaikan karakter menjadi tugas dan tanggung jawab dunia pendidikan agama, dalam konteks umat Islam, adalah pendidikan Islam. 
 Menurut Abudin Nata, para tokoh pendidikan Islam klasik seperti Ibnu Miskawaih, al-Qabisi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku subyek didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan manusia . 
Dalam perspektif Islam, budi pekerti sering diterjemahkan akhlak yang meliputi tabiat, perangai, kebiasaan. Imam al-Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu di dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak dipikirkan lagi . Akhlak atau “moralitas Islami” merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, di mana secara etimologis akhlak adalah ilmu yang menentukan batasan antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin, Ahmad Amin menjelaskan bahwa akhlak menegaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat . 
Adapun Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moral sence) . Dengan demikian dimensi akhlak memiliki karakteristik dasar yang bisa dijadikan basis dan resources penting dalam proyeksi pendidikan karakter, di mana Abdurrahman Assegaf menjelaskan di antara karakteristik dasar akhlak antara lain: pertama, akhlak mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk; kedua, akhlak menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah Swt; ketiga, akhlak bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat; dan keempat, akhlak mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia . 
 Tujuan dari pendidikan akhlak juga sepenarian dengan tujuan pendidikan karakter, sebagaimana ditegaskan oleh Ramayulis, bahwa tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas dan jujur. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah) . 
Dalam hal ini keutamaan yang dimaksud juga adalah karakter positif yang harus dimiliki oleh seseorang, sebagai modal utama di dalam interaksi sosial dan budaya kepada orang lain. Pada prinsipnya pembinaan akhlak (moral) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum di lembaga manapun harus bersifat mendasar dan menyeluruh , sebagaimana halnya pendidikan karakter. Dengan demikian pendidikan akhlak dan pendidikan karakter adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. 
Nurcholis Madjid misalnya, kemudian merinci nilai-nilai akhlak yang bisa ditanamkan kepada anak didik, antara lain:, silaturrahmi (shilat al-rahmi), persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al-musawwah), adil (adl), baik sangka (husn-u’zh-zhann), rendah hati (tawadlu), tepat janji (al-wafa’), lapang dada (insyirah), dapat dipercaya (al-amanah), perwira (qawamiyah), dermawan (al-munfiqun) . Nilai-nilai akhlak ini adalah sebagian kecil dari luasnya persoalan moralitas Islami yang terkandung di dalam khazanah keislaman dan bisa dijadikan sebagai basis pendidikan karakter. 
 Dalam konteks pendidikan Islam, akhlak juga bersifat transendental, di mana berakhlak dengan akhlak Tuhan adalah proses yang harus dilalui oleh siapa pun bila ia ingin menjadi Manusia Sempurna. Sebagaimana tergambar dalam pernyataan-pernyataan seperti dalam teks-teks Sufi, yakni ungkapan “berakhlak dengan akhlak Allah” dianggap berasal dari hadis Nabi saw, yang kerap kali dinyatakan dengan perkataan, “takhalluq bi akhlaqi-Llah” (“Berakhlaklah dengan akhlak Allah”). Ungkapan-ungkapan lain yang searti dengan ungkapan “al-takhalluq bi akhlaqi-Llah” (“berakhlak dengan akhlak Allah”) adalah “al-takhalluq bi asma’i-Llah” (“berakhlak dengan nama-nama Allah”), “al-tasyabbuh bi akhlaqi-Llah” (“memperoleh keserupaan dengan akhlak Allah”), “al-tasyabbuh bi al-Ilah” (“memperoleh keserupaan dengan Tuhan”), “al-tasyabbuh bi al-hadlrah al-Ilahiyyah” (“memperoleh keserupaan dengan kehadiran ilahi”). “Berakhlak dengan akhlak Allah” tidak berarti meniru secara aktif nama-nama dan sifat-sifat Allah karena tugas itu di luar kemampuan manusia, dan lagi pula meniru secara aktif nama-nama dan sifat-sifat Allah sama dengan menyaingi Allah, yang menimbulkan keangkuhan dan kesombongan luar biasa. “Berakhlak dengan akhlak Allah” berarti menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-sifat Allah, yang telah ada pada kita meskipun dalam bentuk potensial. 
Sesuai dengan doktrin wahdat al-wujud, “berakhlak dengan akhlak Allah” berarti pula menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah karena kita dan segala sesuatu selain Allah tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti kiasan (majazi); satu-satunya wujud, atau lebih tepatnya wujud hakiki, adalah Allah. “Berakhlak dengan akhlak Allah” mengukuhkan pandangan bahwa “tidak sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah, nama-nama-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya.” Ketika manusia menafikan wujudnya, ia kembali kepada sifat aslinya, yaitu “ketiadaan” (‘adam), tetapi pada waktu yang sama ia berada dalam keadaan yang disebut “ketenteraman abadi” (rahat al-abad). 
 5. Peran Strategis Local Wisdom Sebagai Basis Budaya Berkarakter. 
 Disadari atau tidak, sungguh amat banyak nilai-nilai tradisional yang hidup dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai muatan pendidikan karakter. Nilai-nilai tradisi ini telah menjadi kearifan lokal yang walaupun berbeda-beda di antara suku-suku bangsa namun memiliki kesamaan yang sangat signifikan. Manakala nilai-nilai tradisional ini hendak disinkronkan dengan pendidikan karakter niscaya sangat sejalan dengan nilai inti dan tujuan pendidikan karakter. 
 Di samping nilai dan norma yang bersumber dari agama, di tengah masyarakat kita dalam suku-suku bangsa Indonesia juga ada dan masih hidup nilai-nilai dan norma sosial yang bersumber dari adat. Biasanya kearifan lokal yang bersumber dari adat ini berbentuk pepatah-petitih yang mengajarkan kebaikan seperti ajakan untuk menambah pengetahuan, dorongan untuk kerja keras, nasihat dalam mengumpulkan kekayaan, unggah-ungguh berbahasa, cara menghormati orang lain, hingga ajaran melestarikan alam sekitar. Secara turun-temurun kearifan lokal yang bersumber dari adat istiadat itu, dan bersanding dengan kearifan lokal yang bersumber dari ajaran agama, masih terus diwariskan dan sesungguhnya masih hidup di tengah masyarakat kita. Karena itu, ketika pendidikan karakter didengungkan ulang maka sejatinya kearifan lokal itu dapat digunakan untuk memperkuat pendidikan karakter. Sebaliknya pendidikan karakter ini merevitalisasi kearifan lokal untuk dimanfaatkan dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Salah satu di antara faktor keberhasilan pendidikan karakter di negara-negara maju adalah seperti Jepang, Korea, Cina, dan lainnya, adalah karena keberhasilan dunia pendidikan di negara tersebut menggali khasanah budaya lokal yang dimiliki sebagai fondasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Hal ini juga membuktikan bahwa derasnya arus budaya asing, khususnya dari Barat, tidak mampu menggerus nilai-nilai budaya lokal yang telah dijadikan fondasi dalam berprilaku. 
 Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, dunia pesantren adalah basis budaya berkarakter, dan merupakan salah satu langgam local wisdom yang dapat dijadikan wahana pengembangan pendidikan karakter. Dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Pola Pendidikan Pesantren di Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010, diperoleh kesimpulan bahwa terbukti secara empiris pendidikan di pesantren mampu mengembangkan siswa dari berbagai aspek, meliputi kemampuan intelektual dan pembentukan watak religiusitas, kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan, kebebasan, nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan, kepatuhan pada ajaran agama, peraturan dan kedisiplinan. Keberhasilan pendidikan di pesantren dalam membentuk karakter dicapai karena dalam pendidikan pesantren menggunakan sistem boarding school, adanya wibawa dan keteladanan Kiai sebagai pemimpin pondok dan suasana pembelajaran pondok yang kondusif untuk pengembangan karakter subyek didik. Berdasarkan hasil seminar tersebut, direkomendasikan perlunya pendidikan karakter yang Islami melalui pola pendidikan pesantren baik di sekolah, keluarga, dan masyarakat . 
Oleh karena itu proses pendidikan karakter di Indonesia tidak akan pernah berhasil tanpa adanya budaya berkarakter, yakni dengan merevitalisasi kembali kearifan budaya lokal yang ada. Karena fenomena yang tampak di permukaan adalah bahwa nilai-nilai kearifan lokal dianggap sebagai nilai-nilai usang yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian, sehingga hampir dilupakan karena derasnya arus budaya asing yang menyerbu melalui media informasi. 
 D. Penutup. 
 Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah bagian penting dari proses pendidikan secara umum, karena pendidikan tidak sekedar bertujuan untuk mencerdaskan subyek didik dalam aspek intelektual semata. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah agar subyek didik memiliki kepribadian, perilaku, kebiasaan, dan akhlak yang baik. Sebagaimana pernyataan yang di tegaskan oleh Aristoteles beberapa abad sebelum Masehi, bahwa “mendidik akal tanpa mendidik hati, sama dengan tidak adanya pendidikan sama sekali” (educating the mind without educating the heart, there’s no education at all). Terlepas dari berbagai macam konsep yang berkembang dalam diskursus pendidikan karakter, terdapat unsur-unsur penting dalam pendidikan karakter, yakni perlunya strategi tertentu untuk mempersiapkan guru dan wali murid sebagai role model (uswah hasanah), karena salah satu penyebab rusaknya karakter subyek didik di masa sekarang adalah adanya krisis keteladanan. Di samping itu perlunya dilakukan revolusi dalam pengajaran dan merancang model evaluasi yang tepat bagi proses pendidikan karakter. Selain itu, dalam konteks pendidikan Islam, pendidikan karakter sepenarian dan memiliki similaritas konsep dengan konsepsi pendidikan akhlak, karenanya dimensi akhlak dapat dijadikan sebagai basis penting dalam proses pendidikan karakter. Atas semua itu, pendidikan karakter tidak akan berjalan tanpa adanya budaya berkarakter, dalam hal ini merevitalisasi kembali local wisdom sebagai basis pendidikan karakter di Indonesia. Wallahu A’lam Bishawwab. 

SUMBER BACAAN 
 Abdullah, M. Amin, Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan Hati Nurani, makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. 
 Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), 1989, Bulan Bintang, Jakarta. 
 Assegaf, Abd.Rahman, Filsafat Pendidikan Islam, 2011, Rajawali Press, Jakarta. 
 Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, 1994, Ruhama, Jakarta. Hidayatullah, Furqon, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, 2010, Tuma Pustaka dan UNS, Surakarta. Indrayati, “Pengembangan Karakter Anak Sejak Usia Dini Berbasis Aktifitas Keseharian Di Dalam Keluarga” Makalah Pada Pembekalan Calon Voluntair Parenting Education BPKB DIY Tahun 2011. Kertawijaya, Hermawan, Grow with Character : The Modal Marketing, 2010, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 
 Koesoema, Doni, Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 2007, Grasindo, Jakarta. 
_____________, 12 Pilar Pendidikan Karakter, http://www.pendidikankarakter.org/12%20Pilar.html, diunduh tanggal 20 Desember 2011, 08.00 WIB.
 _____________, Kucing Hitam Pendidikan Karakter, Kompas, 19 Juli, 2010.
 ______________, Tiga Basis Pendidikan Karakter, http://www.pendidikankarakter.org/articles 003.html, diunduh tanggal 20 Desember 2011, 08.00 WIB. Madjid, 
Nurcholish, Masyarakat Religius, 1997, Paramadina, Jakarta. 
 Majid, Abdul dan Andayani, Dian, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, 2011, Remaja Rosdakarya, 2011, Bandung. 
 Muslich, Musnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, 2011, Bumi Aksara, Jakarta. 
 Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 2003, Raja Grafindo Persada, 2003. Jakarta. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 2002, Kalam Mulia, Jakarta. 
 Ringkasan Eksekutif Seminar Nasional Pendidikan, 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Ruswandi, Uus, “Metode Pembinaan Akhlak Remaja” dalam A. Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor. Tedi Priyatna, 2004, Mimbar Pustaka, Bandung. Soedarsono, Soemarsono “Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Arti dan Peran Penting Karakter Hasrat Untuk Berubah, Harian Umum Pelita, edisi 20 Juli 2009. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan, 2010, Kencana, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...