Jumat, 11 Februari 2011

RESPONS HIDAYATULLAH TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

BAB 1

PENDAHULUAN

Gagasan pendidikan Multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian bukan merupakan hal yang baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru.
Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Pesantren Hidayatullah sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan (Ormas), telah berkiprah selama sejak didirikan pertama kali tahun 1971 hingga saat ini pada gerakan sosial, keagamaan dan pendidikan. Proses perjalanan dakwah yang dilakukan juga telah merambah hampir keseluruh penjuru Nusantara, di mana keberadaan cabang dan perwakilan telah ada di 145 kota baik ditingkat Propinsi, Kotamadya dan Kabupaten. Pada tahun-tahun terakhir organisasi Hidayatullah meningkatkan intensitas dakwah Islam melalui pendidikan. Makalah ini berupaya mengungkap sejauhmana respons Hidayatullah tentang pendidikan Multikultural, dan apakah Hidayatullah telah mengaplikasikan pendidikan Multikultural tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Pendidikan Multikultural
Menurut Andersen dan Cusher (1994: 320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian James Banks (1993: 3) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah), yang kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaimin el-Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perpektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakang maupun basis sosial budaya yang melingkupinya.
Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan keragaman polulasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah prestasi dan perhatian terhadap orang-orang yang berbeda baik secara internal maupun eksternal.
James Banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memilki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, en equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik segi ras, budaya, ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai mahluk makro dan sekaligus mahluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
1. Tujuannya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya".
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis)
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
B. Visi Pendidikan Profetik di Pesantren Hidayatullah dan Respons terhadap Pendidikan Multikultural.

Pendidikan yang bervisi profetik menjadi strategi pendidikan yang dikembangkan di Pesantren Hidayatullah. Pendidikan bervisi Profetik, yaitu pendidikan yang tidak sekedar mengolah pengetahuan tekstual belaka, sehingga lulusannya kohesif dalam kehidupan di masyarakat. Diantara model pendidikan profetik yang dikembangkan di Hidayatullah yaitu:
a. Tidak terisolasi, terbelenggu secara terpisah di dalam main stream, lembaga, atau institusi pendidikan tertentu sebagai teritorial yang sempit. Akan tetapi merupakan suatu model penddikan terbuka, berada dalam lautan kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya.
b. Memiliki keseimbangan, yakni keseimbangan antara ruhani dan jasmani, keseimbangan antara teori dan praktek, keseimbangan antara sumber tekstual dengan sumber gejala alamiahya, keseimbangan antara pergaulan di kalangan institusi pendidikan dengan masyarakat, keseimbangan antara penampilan pengalaman peserta didik di luar sekolah dengan pengalaman peserta didik di dalam sekolah, dan keseimbangan antara kepentingan penyelenggara pendidikan dan kepentingan peserta didik.
Oleh karena itu pendidikan profetik dimaknakan sebagai pendidikan yang (1)kontekstual atau transformatif, (2) vertikal dan horizontal, dan (3) menempatkan institusi pendidikan di tengah-tengah pergaulan masyarakat luas baik lokal maupun global, serta (4) memiliki muatan pendidikan yang seimbang antara berbagai kepentingan dan pengalaman. Dengan demikian, maka pendidikan tidak diartikan mengubah tetapi lebih mengkondisikan agar pemberdayaan potensi dasar manusia dan masyarakat itu menjadi lebih mengalami peningkatan kualitas dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan. Potensi yang perlu dikembangkan adalah potensi metodologik yang lebih bermakna dalam mempengaruhi kehidupan, yakni potensi "iqra" atau kemampuan "membaca" baik membaca gejala alam dari wujud dan kejadiannya, maupun kemampuan membaca ayat-ayat Tuhan yang diberikan kepada masing-masing pribadi orang, yang mungkin wujudnya dalam bentuk "sandi-sandi" Tuhan. Kemampuan "iqra" itu dapat dinyatakan sebagai konsep metodologik untuk berdialog dengan Tuhan sebagai pencipta dan pengendali dinamika alam semesta. Karena Pesantren Hidayatullah berorientasi pengkaderan, maka dalam proses pendidikannya menerapkan pola pendidikan kualitatif, yaitu membatasi peserta didik dan memberi perolehan yang banyak. Hal ini dilakukan juga untuk membangun individu belajar agar mampu membangun masyarakat belajar yang sangat dibutuhkan dalam tatanan masyarakat global
Berangkat dari visi profetik tersebut, Hidayatullah sejak awal telah memposisikan diri sebagai lembaga Islam yang memperjuangkan nilai-nilai (syari'ah) Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Upaya tersebut dilakukan dengan mencari wadah, lokasi, teritori untuk melaksanakan visi tersebut. Setelah itu dikumpulkanlah anak-anak yatim, kaum dhu'afa dan kalangan fakir miskin untuk dibina di dalam lokasi tersebut dengan pembinaan nilai-nilai Islam.
Dari pemaparan tentang Multikulturalisme di atas pada dasarnya Hidayatullah telah mengakomodir nilai-nilai tertentu dari perspektif multikultural tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa para founding fathers Hidayatullah berasal dari suku-suku dan etnis yang berbeda-beda, sehingga sejak awal tidak pernah terjadi disparitas dan konflik kepentingan antar suku di dalamnya hingga kini. Dalam perkembangannya kemudian ketika cabang-cabang Hidayatullah merambah keseluruh kota-kota di Indonesia terjadi sinergi yang seimbang antara berbagai personalia yang sesungguhnya berasal dari kultur dan etnis yang berbeda. Begitupula halnya pada tataran praktis di wilayah pendidikan, sebagai contoh di Balikpapan yang merupakan pusat gerakan Hidayatullah. Di mana hampir keseluruhan santri berasal dari cabang-cabang yang ada, sehingga populasi santri sangat multietnik, dan sampai saat ini pun tidak pernah terjadi disparitas atau konflik kepentingan diantara suku dan etnis yang berbeda. Hal ini terjadi karena sejak awal Hidayatullah telah menjadikan konsep ukhuwah Islamiah, ukhuwah Basyariah, dan ukhuwah Wathoniah sebagai main stream gerakan. Sehingga tidak pernah terjadi kekhawatiran akan konflik kesukuan di dalamnya.
Sekalipun konsep-konsep dan strategi pendidikan multikultural belum mengejawantah dalam konsep pendidikan Islam di Hidayatullah, akan tetapi pada tataran nilai, hal tersebut telah dilakukan. Kalau core values multikultural yang dimaksud adalah apresiasi terhadap pluralitas budaya dan agama, hakikat manusia dan HAM, Tanggung jawab sebagai pelaksana tanggung jawab kemanusiaan di muka bumi (Khalifatullah Fil Ardhi), dan tanggung jawab manusia secara global (Tilaar: 2003), maka hal tersebut bagi Hidayatullah tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan merupakan sebuah proses ijtihadi kalau hal itu dikembangkan.
Akan tetapi apabila core values pendidikan multikultural yang dikembangkan adalah konsep demokrasi versi Amerika, pluralisme atau kesatuan teologis agama-agama, dan konsep humanisme yang dilandasi oleh nilai-nilai sekularisme, maka hal tersebut tertolak bagi Hidayatullah. Selain tidak sesuai dengan visi dan misi perjuangan Hidayatullah, hal tersebut juga bertentangan dengan nilai-nilai syari'ah yang selama ini diperjuangkan.
Hidayatullah sangat menyetujui untuk menjadikan konsep Multikultural sebagai arus baru di dalam pendidikan Islam. Akan tetapi konsep Multikultural yang dibangun di atas nilai-nilai universal Islam seperti Ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama kaum Muslim), Ukhuwah Basyariah (persaudaraan kemanusiaan), Ukhuwah Wathoniah (persaudaraan kebangsaan). Selain itu konsep Multikultural tersebut juga harus dibangun di atas semangat kemanusiaan yang dikembangkan dalam Islam, seperti konsep Ta'arruf (saling mengenal), Tasamuh (toleransi), Tawazun (proporsional) dan Tabayun (rekonsiliasi). Adapun dalam konsep pluralitas, Hidayatullah menerima konsep Pluralisme Confessional yang ditawarkan oleh Prof Dr. Noeng Muhadjir, yaitu mengakui eksistensi masing-masing agama, kepercayaan, ras, etnis dan bangsa, sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjadi kearifan lokal Bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah kesimpulan bahwa konsep Multikultural sebagai sebuah wacana baru dapat diterapkan di dalam pendidikan Islam. Semangat apresiasi terhadap pluralitas budaya dan agama, hakikat manusia dan HAM, Tanggung jawab sebagai pelaksana tanggung jawab kemanusiaan di muka bumi (Khalifatullah Fil Ardhi), dan tanggung jawab manusia secara global dapat dijadikan sebagai core values dalam proses pengajaran.
Adapun Hidayatullah, berupaya melakukan respons secara konseptual, bahwa visi pendidikan profetik yang telah dipakai selama ini memperlihatkan banyaknya nilai-nilai multikultural yang dapat terakomodir pada tataran praktis. Selain itu Hidayatullah berupaya memahami konsep multikultural bukan sebagai upaya demokratisasi versi Amerika, Pluralisme atau kesatuan teologis agama-agama dan Humanisme sekuler. Akan tetapi konsep kebudayaan yang dibangun di atas nilai-nilai lokal dan nilai-nilai Islam seperti, Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Basyariah, Ukhuwah Wathoniah dan semangat konsep Ta'aruf, Tasamuh, Tawazun, dan Tabayun. (Wa Allah A'lam bi Al-Shawwab)

Sumber Bacaan
Golnick, Donna M. & Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralictic Society (New Jersey & Ohio: Prentice Hall), 2002.
Hernandez, Hilda, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content (New Jersey & Ohio: Prentice Hall), 1989.
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang: IndonesiaTera), 2003.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2006.
Yaqin, Ainul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media), 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...