Jumat, 11 Februari 2011

Review Artikel Bab Pendidikan dalam Buku Islam Karya Fazlur Rahman

A. RINGKASAN.

Sekolah.
Kedatangan Islam dan ekspansinya telah membuat keterampilan membaca dan menulis semakin meningkat, dimana pada tahap awal guru yang mengajari keterampilan tersebut adalah orang-orang non-muslim. Budaya agama yang menjadi instrumen pendidikan Islam menimbulkan kontroversi selama kurang lebih dua abad pertama sejarah Islam. Akhirnya fungsi pengajaran baca-tulis dan pengajaran al-Qur’an dalam praktiknya menjadi berbeda sebagaimana diakui oleh Ibnu Khaldun, dimana keterampilan tersebut hanya bisa didapatkan melalui guru-guru professional.
Di dalam sejarah Islam pendidikan dasar adalah unit yang mandiri dan tidak ada hubungan organis dengan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga secara tipologis terbagi dua, yaitu pendidikan dasar (paedagogy) termasuk diantaranya pendidikan Istana dan pendidikan orang dewasa (andragogy) yang tumbuh dalam grup fokus (halaqah) dengan guru-guru tertentu. Pendidikan tinggi atau pendidikan orang dewasa menjadi instrumen budaya agama yang vital dimana pemikiran hukum Islam dan moral theologis mengalami dialektika secara intensif yang menimbulkan pembakuan konsensus hukum dan pemikiran Kalam. Dari sini kemudian muncul kelas professional ulama hukum (fuqaha) dan ulama Kalam (mutakallimun), walaupun harus diakui sebelum kelas professional ulama ini muncul terdapat fluiditas pemikiran dan budaya toleransi yang tinggi.
Sementara itu dalam dunia kepustakaan yang menjadi penopang penting pendidikan Islam, buku-buku terkonsentrasi secara massif di Masjid, di perpustakaan semi-publik yang merupakan donasi pejabat terkemuka, dan di perpustakaan istana yang bersifat non-publik dan eksklusif. Literatur yang tersedia di perpustakaan tersebut bersifat umum, baik literatur agama maupun di luar agama. Yang menarik adalah perpustakaan dan akademi yang dibina oleh al-Ma’mun (Baitul Hikmah) lebih mempusatkan perhatian pada literatur dan penerjemahan karya-karya sains dan filsafat Yunani.
Sedangkan sekolah-sekolah milik pribadi dan sekolah-sekolah umum juga didirikan oleh usaha dan donasi individu untuk bidang pengetahuan keislaman yang khusus seperti hadits, hukum dan sejenisnya. Lembaga seperti ini terduplikasi secara massif dalam jumlah yang signifikan, terutama di wilayah timur. Khusus dalam bidang pengajaran hadits, sekolah ini memasukkan unsur-unsur propaganda anti Syi’ah sebagai respon atas kesuksesan politik dinasti Buwaihi di Irak dan Fathimiyah di Mesir, dimana al-Azhar menjadi produk historis terbesarnya.
Secara mendasar tidak benar bahwa kemunculan madrasah ortodoks sebagai kontra propaganda terhadap Syiisme karena fakta membuktikan bahwa sekolah Sunni sudah ada sebelum propaganda Syi’ah. Sekalipun selama kekuasaan politik mereka menjadikan lembaga akademik mereka sebagai alat propaganda yang menyebabkan penguasa-penguasa Sunni (Bani Ayyub dan Bani Saljuk) menyokong lembaga pendidikan Sunni yang pada akhirnya mampu mencapai supremasinyadengan ciri, watak, etos, dan status sosial tersendiri.
Akan tetapi tidaklah benar asumsi yang menyatakan bahwa Islam Sunni berhasil karena dukungan politik penguasa, karena yang menjadi faktor penentu adalah kecenderungan mayoritas masyarakat terhadap peranan publik figur seperti al-Ghazali yang menjadi tokoh sentral di Institut Nizhamiyah.
Watak Ilmu Pengetahuan Islam Zaman Pertengahan.
Sejak awal diseminasi ilmu pengetahuan Islam berpusat pada tokoh-tokoh sentral yang dengan upaya individualnya mengkonstruk kandungan pemikiran Islam. Sehingga menarik minat para murid untuk berkumpul di sekitar para tokoh sentral tersebut. Pasca pembelajaran para murid akan mendapatkan lisensi untuk mengajar suatu mata pelajaran atau kitab tertentu. Yang menarik adalah ijazah dikeluarkan atas nama guru dan bukan atas nama sekolah, dan memperkuat asumsi bahwa pada zaman pertengahan para guru memiliki peranan yang lebih signifikan dibandingkan madrasah.
Para murid yang turun ke jalan pencarian ilmu (syadd al-rikal) kepada para tokoh-tokoh sentral menjadi ciri khas pengetahuan tradisional. Pada tahap awal pengetahuan tradisional dibedakan dari Fiqh atau pemahaman. Akan tetapi lambat laun Fiqh lalu menjadi pemikiran hukum, dan ‘pengetahuan’ berarti theologi. Dalam perkembangannya kemudian pada abad 10-11 M, terjadi upaya penutupan pintu ijtihad, yang membuat ilmu-ilmu intelektual seperti theologi dan pemikiran keagamaan mengalami stagnasi.
Hal ini kemudian membuat merosotnya kehidupan intelektualisme Muslim yang mengakibatkan menurunnya kualitas ilmu pengetahuan Islam dan ilmu keagamaan menjadi kering. Pandangan yang kering dan sempit tersebut menjadi ciri khas dan pandangan dunia (worldview) ulama zaman pertengahan, dimana terjadi pengucilan terhadap jenis-jenis pemikiran murni dan bahkan juga matematika, kecuali ilmu berhitung dasar. Pada saat yang sama ditengah persaingan ilmu hukum Islam dan theologi dogmatik, Fakhruddin al-Razi, memperluas ruang lingkup theologi dogmatik ke dalam skema filosofis-teologis yang membuat para mahasiswa meninggalkan sama sekali literatur filsafat. Dari proses ini menimbulkan pandangan yang sempit dan kelesuan pendidikan tinggi, sebagaimana testimoni dari Katib Chelebi (1657 M) dari Turki dan Aurangzeb (1707) dari India.
Di sisi lain, merosotnya intelektualisme di dalam ranah ‘madrasah’ telah mendorong orang-orang yang serius terhadap kecenderungan intelektualisme beralih ke lembaga pendidikan sufi (zawiyah dan khanaqah). Karena itu timbullah dualisme yang tajam antara madrasah dengan theologi spekulatif ortodoksnya dan khanaqah dengan metafisika sufinya yang khas. Pada saat yang sama, pendidikan Barat datang membawa sifat dan karakter yang jauh berbeda.
Kurikulum dan Pengajaran.
Sikap yang minor terhadap pemikiran umum dan sains-sains kealaman, membuat kurikulum menyempit menjadi hadits, fiqh, kalam, dan tafsir, ditambah dengan gramatika dan kesusasteraan. Bahkan di madrasah ahl al-hadits aspek kalam dihapus sama sekali dari kurikulum. Sedangkan di dalam sekolah tertentu ditambahkan referensi tentang sufisme. Selain itu karena jumlah buku dalam kurikulum sangat minim, maka waktu untuk pembelajaran untuk memahami secara utuh menjadi sangat singkat. Akibatnya pembelajaran bersifat studi tekstual, karena lebih mengandalkan hafalan daripada pemahaman. Selain itu fokus pembelajaran hanya pada buku dan bukannya pada pelajaran, yang menyebabkan lahirnya banyak karya-karya komentar yang membuat hilangnya orisinalitas dalam suatu subyek tertentu.
Kebiasaan menulis komentar tanpa disertai penulisan karya-karya independen, menyebabkan terjadinya tumpukan komentar di atas komentar, hingga karya asli yang menjadi subyek komentar ditinggalkan. Bahkan karya theologi dogmatis merosot dari komentar menjadi catatan pinggir saja tentang pendapat superfisial dan perbedaan-perbedaan verbal. Hal-hal inilah yang menjadi pijakan kurikulum madrasah.
Pelaksanaan kurikulum di madrasah dilakukan dengan metode hierarki mata pelajaran, sehingga murid melalui kelas demi kelas mata pelajaran dengan waktu yang terlalu singkat untuk menguasai setiap mata pelajaran. Selain itu guru hanya berpandu pada buku rujukan asli berikut komentar-komentarnya, tanpa penjelasan lebih lanjut, atau komentar pribadi sang guru.
Di samping itu, tidak adanya kesepahaman tentang hierarki ilmu yang jelas, membuat kajian hadits menjadi sangat superior, dan membuat beberapa sekolah akhirnya hanya mengajarkan hadits saja. Akan tetapi terdapat kebebasan bagi murid untuk memilih lembaga pendidikan pendidikan yang ada, termasuk adanya kecenderungan memasuki zawiyah (lembaga pendidikan sufi) setelah lulus dari pendidikan konvensional.
Walaupun orientasi madrasah hanya pada disiplin ilmu-ilmu keagamaan, membuat tidak sepenuhnya lembaga pendidikan menjadi kaku, karena materi-materi pelajaran non-keagamaan bisa didapatkan secara privat (ekstra-madrasah), sebagaimana kasus Syah Waliullah dan Muhammad Ali al-Tsanawi.
Konsepsi tentang ilmu juga menjadi dasar lemahnya ilmu pengetahuan Muslim. Yaitu pandangan atau sikap yang pasif terhadap ilmu pengetahuan, dimana ilmu dipahami hanya ‘diperoleh’, bukan sesuatu yang harus dicari dengan semangat kuriositas yang tinggi untuk menemukan ilmu (inquiry). Disisi lain, pertentangan ilmu tradisional versus ilmu rasional, membuat pembela ortodoksi berupaya sekuat tenaga untuk memproteksi tradisi dan bersikap ketat terhadap rasionalitas. Akibatnya aspek theologi-kalam menjadi sangat mekanis. Sehingga sistem Kalam tidak lagi menyegarkan pemikiran, dan justru menjadi pengganti filsafat skolastik yang pada umumnya menyumbat kemajuan pemikiran.

B. KRITIK.
Melalui tulisannya Fazlur Rahman menyajikan perkembangan pendidikan tinggi Islam. Rahman berupaya merumuskan metodologi pemikiran keislaman, sebagai rumusan jalan keluardari sebuah kritisisme atas sejarah pemikiran keislaman. Tampaknya bahwa metodologi alternatif dipandang Rahman sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektualisme Islam. Rahman menyadari bahwa proyek besar tersebut selain memerlukan waktu yang panjang juga memerlukan sarana penunjang. Sarana penunjang yang dimaksud Rahman tiada lain adalah sistem pendidikan Islam.
Pada pembahasan mengenai sekolah, Rahman menjelaskan adanya kontroversi selama dua abad pertama dalam Islam, mengenai pengajaran baca-tulis dan pengajaran firman Allah. Menurut penulis, paling tidak perlu adanya kategorisasi di dalam pengajaran firman Allah. Pada mulanya al-Qur’an diserap oleh para sahabat dalam bentuk hafalan dan hanya ditulis oleh sebuah tim penulis, karena hal yang primer ketika itu adalah bagaimana meresapi dan memahami kandungan ayat-ayat dan mendakwahkannya, bukan bagaimana menuliskannya atau membacanya. Dalam artian yang lain, bahwa yang utama adalah keberlangsungan makna verbal dari sebuah teks, bukan bagaimana caranya memproduksi sebuah teks. Dari hal tersebut Rahman seolah-olah tidak sepakat dengan proses historis yang terjadi. Padahal di balik semua fenomena tersebut, ada hikmah yang sangat besar, yaitu bahwa al-Qur’an ‘terjaga’ dari reduksi makna yang akan berujung pada reduksi terhadap teks.
Pada aspek yang lain, Rahman menganggap berdirinya Baitul Hikmah yang dibangun dan dibina oleh al-Makmun yang memfokuskan pada literatur sains dan filsafat Yunani adalah suatu hal yang mencengangkan. Padahal apresiasi penguasaMuslim terhadap sistem budaya dan pemikiran sudah terjadi sejak era daulah Umayyah yang mengadopsi budaya politik, dalam hal ini juga budaya ilmu dari Romawi. Secara kebetulan proyeksi sains dan filsafat menjadi sangat eksklusif karena faktor bahasa dan dominasi elit cendekiawan khususnya dari kalangan Muktazilah. Penulis berasumsi bahwa yang dilakukan oleh al-Makmun lebih bersifat politis, karena ada kecenderungan monopoli pada hal-hal yang bersifat saintifik, seperti yang terjadi hingga saat ini, yakni monopoli negara-negara maju terhadap lapangan ilmu pengetahuan saintifik.
Rahman juga berasumsi bahwa turunnya kualitas ilmu pengetahuan Islam dikarenakan kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme. Rahman tidak menjelaskanlebih lanjut apa yang dimaksud dengan kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keagamaan. Karena ilmu-ilmu keagamaan berevolusi dalam sejarah sebagai bagian dari kehidupan intelektual Muslim. Evolusi yang dimaksud bersifat dinamis. Anggapan Rahman bahwa telah terjadi proses kekeringan yang gradual dalam lapangan ilmu-ilmu keagamaan bersifat tendensius. Selain itu pengertian intelektualisme oleh Rahman masih bias. Dimana intelektualisme dianggap sebagai puncak keberhasilan diskursif, atau ‘hasil’ yang harus dicapai. Sehingga ketika orang-orang tampak meninggalkannya, dianggap suatu kemunduran, padahal semestinya proyeksi intelektualisme adalah ‘proses’ yang dinamis dari intelektual Muslim yang berkecimpung dalam lapangan ilmu keagamaan maupun lapangan sains dan filsafat.
Kecurigaan Rahman yang berlebihan juga terjadi pada lapangan theologi dogmatik. Menurutnya kekeringan intelektual dan matinya pemikiran orisinal, adalah akibat theologi dogmatik yang menghubungkan semua bentuk ilmu secara organis dan dijadikan sebagai alat klaim kebenaran (truth claim) suatu dogma. Dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang terhadap proses historis kaum Muslim, apakah proses anomali seperti yang telah disinggung oleh Rahman telah benar-benar terjadi dalam sejarah Muslim. Menurut hemat penulis, persoalan yang disinggung Rahman justru pernah terjadi dalam sejarah kaum Gereja, dan memicu gerakan renaissance di Barat.
Penulis juga tidak sepakat dengan kesimpulan Rahman tentang cara pandang terhadap ‘ilmu’ yang pasif dari kalangan Muslim di zaman pertengahan karena menganggap ilmu adalah sesuatu yang harus ‘diperoleh’, Bukan sesuatu yang harus dicari dan ditemukan (inquiry). Pandangan Rahman tersebut bertentangan dengan bahasan Rahman sebelumnya tentang watak ilmu, dimana ia menjelaskan tentang fenomena pencarian ilmu (thalabul ‘ilm) yang seorang mahasiswa Muslim dengan semangat kuriositas yang tinggi bisa mengikuti kuliah dari lebih seratus orang guru dengan proses turun ke jalan (syadd al-Rikal). Di samping itu apabila melihat penjelasan historis tentang etos ilmiah yang tinggi dan proses kreatif-adaptif para intelektual Muslim di dalam menghasilkan peradaban ilmu yang superior pada zamannya, dalam hal ini kesimpulan Rahman tersebut tampak tidak proporsional.

C. PROYEKSI MASA DEPAN PENDIDIKAN ISLAM
Bagi penulis, upaya modernisasi pendidikan Islam senafas dengan gagasan “pengilmuan”, dimana dunia kependidikan Islam baru beranjak dari periode idiologi, bahkan periode mitos/mistis. Gerakan pengilmuan atau pembaharuan yang radikal pertama dilakukan Mukti Ali pada tahun 1975-an, dimana kurikulum madrasah dirubah dari 100% mata pelajaran agama menjadi 70% mata pelajaran umum dan hanya 30% mata pelajaran agama. Ditingkat perguruan tinggi peran Mukti Ali dan Harun Nasution tidak dapat diabaikan karena telah merevisi kurikulum PTAI lebih kuat pada aspek sejarah dan pendekatan sejarah dalam kajian agama. Sampai tahun 1989, pembaharuan pendidikan Islam sudah cukup menyeluruh, mencakup kelembagaan pendidikan, penerapan sistem kelas, revisi kurikulum, dan dimasukkannya ilmu-ilmu umum ke dalam sistem pendidikan Islam dan pengakuan eksistensial yang sama dengan lembaga pendidikan umum, dengan keluarnya UU Sisdiknas tahun 2003.
Berangkat dari hal tersebut, pengilmuan metodologi kependidikan Islam menjadi sangat penting, karena dengan kerangka idiologi, pelaksanaan pendidikan agama sering kali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif: lebih mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih mementingkan materi daripada metodologi. Selain itu problem ini muncul disebabkan oleh idiologisasi dan teologisasi ilmu-ilmu keislaman, sebagai ilmu yang memberi bekal kemampuan dalam memahami kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Metodologi kependidikan Islam yang idiologis dikategorikan sebagai model pendekatan doktriner-literal-formal, karena pendekatan yang diterapkan dalam model ini lebih menekankan pada formalisme agama, bersifat normatif-tekstual dan sering kali lepas dari konteksnya. Karenanyapendidikan agama lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak bisa lagi dibantah dan diganggu gugat. Lebih dari itu teologisasi dan idiologisasi metodologi kependidikan Islam juga membawa pendidikan Islam ke arah dogmatisme; pendidikan Islam cenderung sepenuhnya dipahami secara murni normatif-doktrinal dan kurang apresiatif atau bahkan kontradiktif dengan pendekatan ilmiah-rasional yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu sekuler.
Di sisi lain pendekatan kajian keislaman yang berorientasi normatif-spekulatif sebagai lawan dari pendekatan normatif-ril-praxis serta adanya proses pembelajaran yang berjalan secara monoton serta hanya berorientasi pada kurikulum berbasis penguasaan materi konvensional (absolete subject oriented curriculum) yang tidak lagi up to-date.
Oleh karena itu, demi menghindari kecenderungan “Barat sentris dan “Salaf sentris, gagasan “pengilmuan” metodologi kependidikan Islam yang dirintis misalnya melalui kerjasama antara institusi kependidikan Islam (IAIN/UIN) dengan Mc.Gill, Kanada, dengan sendirinya telah memperkaya dan mengembangkan wawasan dan ilmu keislaman di UIN khususnya, sehingga pesan Islam lebih mudah diartikulasikan dan dikomunikasikan pada dunia Barat. Sementara itu sumbangan perguruan tinggi Barat pada alumninya yang berasal dari UIN/IAIN terletak terutama pada pendekatan kritis-metodologis terhadap fenomena kehidupan beragama, dan bukan pada substansi dan materi ajaran agama. Karena apabila pendekatan kritis-metodologis dijadikan pisau analisis pada substansi dan materi ajaran agama, maka dunia kependidikan Islam akan sulit berlepas diri dari gejala framework liberal yang selama ini dipakai oleh ilmuan Barat dalam meneliti Islam.
Dari sini dapat terlihat bahwa telah terjadi evolusi pada proyeksi metodologi kependidikan Islam, dimana puncak evolusi tersebut adalah upaya pengilmuan dengan mekanisme objektifikasi, atau apa yang telah terapresiasi dalam konsep keilmuan integratif. Misalnya UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggambarkan jati diri keilmuannya melalui bukunya Pandangan Keilmuan UIN: Wahyu Memandu Ilmu (2006). UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tertuang dalam bukunya Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Masa Depan (2004). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jargon Menuju Universitas Riset (2006). UIN Alauddin Makassar menyebutnya dengan Inner Capacity seperti tertuang dalam bukunya Memahami Kebahagiaan Antara Impian dan Kenyataan: Suatu Upaya Pengembangan Inner Capacity (2006). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menuangkannya dengan jargon “integrasi-interkoneksi keilmuan” melalui skema jaring laba-laba yang di-endors secara paradigmatik oleh Amin Abdullah.
Fenomena objektifikasi tersebut tidak hanya terjadi pada level pendidikan tinggi, akan tetapi juga merambah pendidikan dasar dan menengah dengan menjamurnya SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) dan SMPIT (Sekolah Menengah Islam Terpadu). Menurut hemat penulis, basis epistemologi yang mendasari transformasi IAIN ke UIN dikhawatirkan hanya mengkerut menjadi sebatas jargon semata karena dicurigai jargon tersebut tidak dibangun di atas landasan filosofis, worldview, dan framework yang tegas dan jelas. Begitupula halnya pada pendidikan dasar dan menengah yang menunjukkan gejala bahwa sekolah tersebut didirikan untuk memenuhi kecenderungan pasar dari konsumen yang membutuhkan “sekolah umum yang agamis”, yang pada saatnya nanti sekolah ini hanyut dalam kepentingan pragmatis dan superfisial. Akibatnya aspek pendidikan agama hanya menjadi pelengkap penderita (aksesoris), atau meminjam bahasa Munir Mulkhan dengan istilah “pseudo madrasah”.
Oleh sebab itu akhirnya timbul pertanyaan seperti, bahwa “apakah ilmu sekuler itu telah disyahadati atau disakralkan dan dengan cara bagaimana itu dilakukan?”. Pertanyaan tersebut menjadi penting karena disengaja, terpaksa, atau kurang disadari dunia kependidikan Islam hidup dalam bingkai peradaban modern yang cacat sejak lahir. Karenanya aspek pendidikan tersusun secara sistematik dalam mekanisme perebutan peluang dalam ruang sosial, alam, dan nilai ekonomi yang dibatasi konsep sukses kehidupan habis-bagi. Selain itu kehancuran peradaban modern adalah akibat dari cara pandang dunia yang serba fisis-material, dimana imajinasi kreatif-bebas manusia menjadi mati suri, dan rasio analitik modernitas mempersulit manusia memahami sintesis realitas universum.
Sehingga konteks “pengilmuan metodologi kependidikan Islam” di sini semestinya dalam kerangka dasar wawasan pengetahuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah digariskan sejak al-Qur’an pertama kali diturunkan pada QS. Al-Alaq (96) 1-5. Di sini, pengetahuan manusia disebut dengan “pembacaan” (al-Qiraah) yang meliputi dua wilayah pokok, yakni pembacaan (1) “kitab penciptaan” dan (2) pembacaan “kitab tertulis”. Dengan demikian, pengetahuan manusia adalah sesuatu yang hushuli (tanpa menutup kemungkinan terhadap yang hudhuri). Seiring proses dinamis yang digumulinya dalam upaya menyingkap tirai-tirai realitas.
Jadi sejatinya yang perlu dilakukan adalah bagaimana membebaskan falsafah keilmuan dan metodologi kependidikan Islam yang terpenjara oleh paradigma habis bagi positif-materialistik, karena cacat teologis, epistemologis, dan aksiologis dari modernitas akan menimbulkan ancaman global, dimana dinamika ruh (fitrah) diletakkan dalam posisi sub-ordinat. Akibatnya yang terjadi adalah proses dehumanisasi, dimana hakikat kemanusiaan dicerabut dari dimensi ilahiahnya.
Pengilmuan metodologi kependidikan Islam dalam kerangka spiritualisasi, makrifatisasi atau pensyahadatan konstruksi ilmu, sesungguhnya sudah terjadi sejak ayat pertama dari al-Qur’an diturunkan. Ayat yang berbunyi “Iqra Bismirabbikalladzi Khalaq”, bermakna bahwa bingkai keilmuan dalam Islam/metodologi kependidikan Islam adalah “bismirabbik”, atau dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan.Wallahu A’lamu Bishawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...