Jumat, 11 Februari 2011

PSIKOLOGI DAN KEPRIBADIAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

A. MUQADDIMAH

Al-Qur’an sebagai korpus resmi pemahaman muslim secara universal mengandung pembahasan menyeluruh mengenai segala aspek kehidupan , termasuk diantaranya persoalan kejiwaan manusia. Al-Qur’an sering menyentuh aspek psikologis manusia dengan terminologi nafs (jiwa), bahkan secara ekstensif al-Qur’an mengangkat aspek kejiwaan (nafs) dalam 295 ayat . Ini membuktikan bahwa al-Qur’an sudah berperan aktif dalam proyeksi kejiwaan manusia, di samping peran al-Qur’an sebagai penawar penyakit kejiwaan (syifa). Sehingga al-Qur’an sudah memberikan landasan normatif bagi ummat Islam untuk mengatasi permasalahan kejiwaan, jauh sebelum ilmu psikologi secara resmi lahir pada tahun 1879, ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) membuka laboratorium pertama yang mempelajari tingkah laku manusia di Leipziq, Jerman .
Islam dalam kredonya memiliki konsep tentang “akhlaq”, di samping aqidah dan syari’ah. Konsep akhlaq ini berkaitan erat dengan persoalan etika kehidupan, yang selanjutnya sangat berhubungan erat dengan dimensi psikologis manusia. Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa dia diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia, dan ketika istri nabi Aisyah, ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai akhlaq beliau, dia menjawab bahwa akhlaq nabi adalah al-Qur’an. Hal ini diperkuat oleh al-Qur’an: “sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. 68: 4).
Terlepas dari kaidah normatif di atas, secara teoritik konsep kejiwaan manusia sudah mulai diperdebatkan sejak masa Sokrates (470-399 SM). Dan diteruskan oleh Plato (428-247 SM) dan muridnya Aristoteles (384-322SM). Persoalan kejiwaan juga menjadi perhatian khusus para filsuf dan ulama-ulama muslim, sejak era Al-Kindi, Al-farabi, Ibnu Sina, Al-ghazali dan ulama seperti Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Persoalan psikologis dan kejiwaan juga menjadi obyek perhatian mendalam para teoritikus dan pelaku tasawuf, sehinggga wajar kemudian muncul kajian yang disebut “akhlaq tasawuf”.
Makalah sederhana ini mencoba menggali lebih dalam persolan psikologis manusia, baik dalam konteks ilmu psikologi, dan persoalan kepribadian manusia yang tersurat dalam al-Qur’an, dan pentingnya penddikan akhlaq.

B. Sekilas Tentang Ilmu Psikologi
Psikologi berasal dari dua kata: psyche dan logos, yang berasal dari kata Yunani yang berarti “nafas kehidupan”, jiwa, atau ruh, secara bebas bisa juga diartikan sebagai pikiran. Karenanya psikologi semula didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa, akan tetapi dalam perkembangannya, definisi tersebut sudah tidak digunakan oleh kebanyakan psikolog untuk mendefinisikan psikologi . Karena persoalan “jiwa” dalam praktiknya dianggap mustahil dan sulit didefinisikan, sehingga sebagian psikolog menghindari pendefinisian jiwa sama sekali. Terutama para penganjur aliran behaviorisme, seperti B.F. Skinner dan J.B. Watson. Ini terjadi karena dalam praktiknya, kebanyakan psikolog berkonsentrasi pada yang dapat dilihat dan diukur dari tingkah laku manusia, termasuk proses biologis dalam tubuh .
Setelah dilahirkan oleh Wilhelm Wundt, psikologi diteruskan oleh Edward Titchener (1867-1927) yang berupaya menganalisis kesadaran, pengalaman, dan unsur-unsurnya secara struktural. Paradigma struktural ini kemudian mulai usang dan diteruskan oleh aliran fungsionalis, yang berupaya menerapkan psikologi dalam konteks sehari-hari. Diantara tokohnya yaitu Wiliam James (1842-1920) dan Jhon Dewey (1859-1952) . Dikemudian hari, perspektif psikologi berkembang dalam perspektif: psikodinamika, behavioristik, kognitif dan humanistik. Perspektif psikodinamika (jiwa yang aktif) berupaya meneliti pergulatan mental, terutama dalam ketidaksadaran (unconscious) yang tersembunyi dalam alam bawah sadar. Dalam pelaksanaannya diterapkan teori psikoanalitik dari Sigmund Freud (1856-1939). Terobosan yang dilakukan oleh Freud dianggap berhasil dalam menyembuhkan mental pasien dan jejaknya diikuti oleh Alfred Adler (1870-1937), Carl Jung (1875-1961), Karen Horney (1885-1952), Erich Fromm (1900-1958) dan Erik Erikson (19-02-1994). Akan tetapi perspektif psikodinamika dianggap tidak ilmiah dan tidak dapat diuji, seperti yang dikatakan Karl Popper. Akibatnya banyak psikolog yang tetap pada apa mudah dilihat, dan diukur, yaitu tingkah laku .
Upaya penelitian terhadap tingkah laku manusia kemudian dikembangkan oleh perspektif behaviorisme yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), Edward Thorndike (1874-1949), John B. Watson (1878-1958) dan B.F. Skinner (1904-1990). Kesemua tokoh ini meneliti dasar tingkah laku manusia dengan sampel binatang seperti anjing (Pavlov), kucing (Thorndike), tikus (Watson dan Skinner), sehingga perspektif ini tidak membedakan antara manusia dan binatang dalam tingkah lakunya. Seperti dikatakan oleh Skinner: “manusia adalah mesin, seperti mesin lainnya manusia bertindak dengan cara teratur dan dapat diramalkan sebagai responsinya terhadap tekanan dari luar” . Perspektif behaviorisme ini dikemudian hari ditentang oleh perspektif kognitif (gestalt) yang dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolgang Kohler (1887-1967), dan lain-lain. Psikologi kognitif hadir sebagai antitesa dari perspektif behaviorisme, dan berupaya untuk kembali kepada “akal sehat” yang memandang pikiran maupun tingkah laku itu dapat dipelajari. Dalam praktiknya, ini berarti mempelajari persepsi, pembentukan, konsep, ingatan, bahasa dan lain-lain . Dalam waktu yang sama pada tahun 1960, muncul perspektif humanistik, yang dikenal sebagai aliran ketiga setelah psikoanalisis dan behaviorisme. Aliran humanistik ini menekuni masalah kesehatan mental, dengan segala atribut positifnya, seperti kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, kebaikan, kasih sayang, berbagi, dan kedermawanan. Aliran ini dikembangkan oleh Abraham Maslow (1908-1907) dan Carl Rogers (1902-1987) .
Adapun persoalan kepribadian, beberapa psikolog telah berkonsentrasi pada masalah tipe kepribadian umum, misalnya Hans Eysenck yang mengembangkan tipe introvert dan ekstrovert dari C.G. Jung bersama dengan dimensi stabil-neurotik, dengan menggunakan angket. Eysenck berpendapat bahwa kepribadian terutama adalah bawaan sejak lahir . Selain itu, saat ini sudah lazim dipakai pembagian tipologi manusia yang dicetuskan oleh Galenus, yaitu tipe melankolis, koleris, flegmatis, dan sanguinis. Dalam persoalan kepribadian manusia, para pakar psikologi modern hanya terbatas pada penelitian aspek material dari manusia, sehingga yang dielaborasi secara mendalam adalah persoalan eksternal dan marginal semata. Tidak ada upaya untuk menyentuh sisi spiritual-bathiniah dari manusia, karena dianggap irrasional. Padahal proyeksi kejiwaan manusia tidak dapat terlepas dari substansi spiritual tersebut. Berbeda dengan perspektif Islam, yang memandang persoalan kejiwaan itu berjalin dan berkelindan dalam dimensi spiritual ajaran Islam itu sendiri.

C. Kepribadian Manusia dalam Al-Qur’an
1. Ciri-ciri kepribadian yang lurus
Kepribadian adalah kumpulan ciri-ciri perilaku, tindakan, perasaan yang disadari atau tidak disadari, pemikiran, dan konsepsi akal. Artinya kperibadian merupakan gagasan komprehensif yang tidak permanen atau tidak mapan, yang diperbuat oleh manusia, baik yang berasal dari dirinya, maupun dari orang lain . Al-Qur’an sesungguhnya telah menentukan ciri-ciri kepribadian yang sehat dalam puluhan ayatnya, baik yang terpisah-pisah maupun berada dalam satu rangkaian diantaranya adalah:
Kepribadian yang lurus adalah, sikap tidak pernah bersikap sombong dan berbicara dengan kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka:
Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS 25: 63).
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian orang-orang Mukmin, sebagian sifatnya-sifatnya adalah sebagaimana digambarkan di ayat berikut:
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS 25: 64-66)
Kepribadian yang lurus adalah pertengahan antara sikap berlebihan dan terlalu hemat (kikir) di dalam membelanjakan harta:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, tidak pula kikir, dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. 25: 67)
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang taat, yang tidak menyembah selain Allah, dan tidak pula menyembah kebanyakan tuhan yang disembah manusia:
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain selain Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. (QS. 25: 68.)
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang gemar bertaubat dan tidak dibelenggu oleh berbagai macam kesalahan dan dosanya:
Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. 3: 134-135).
Kepribadian yang lurus adalah kepribadian yang jujur, tidak suka berbohong dan tidak melakukan berbagai perbuatan maksiat yang diharamkan Allah SWT:
Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka (lalui saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS 4: 114).
Tidak ada keburukan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar (QS 4: 114).
Dengan mendekati sifat-sifat ini dan melaksanakan segala isi ayat di atas, jiwa manusia akan mendekati kepribadian yang sehat, lurus, atau tenang. Sifat-sifat dari sebuah pribadi yang lurus dapat terangkum dalam ayat berikut:
Sesunguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar. (QS. 33: 35)

2. Ciri-ciri Kepribadian yang Sakit.
Kepribadian yang sakit memiliki banyak istilah di dalam buku-buku psikologi. Kepribadian semacam ini dipelajari dengan menggunakan istilah seperti: “gangguan kperibadian”, “kepribadian yang tidak seimbang”, dan “kepribadian yang tidak bermoral” . Di dalam al-Qur’an kita menjumpai puluhan ayat yang menggambarkan sifat-sifat kepribadian semacam ini diantaranya adalah:
Pribadi yang sakit adalah pribadi yang hipokrit (munafik) yang memiliki sifat pembohong dengan bersembunyi di balik agama dan berambisi untuk memenuhi keinginannya yang rendah:
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri, sedang mereka tidak sadar. (QS 2: 9)
Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu. (QS 63: 2).
Sebagian orang tertipu oleh keindahan penampilan luar dan kemanisan kata-kata orang yang berkepribadian seperti ini. Lahirnya bagus, sedangkan bathinnya hampa dan busuk:
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah kayu yang tersandar. (QS 63: 4).
Pribadi yang hipokrit adalah pribadi yang penakut, sombong, angkuh, dan berputus asa dari rahmat Allah:
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. (QS 63: 4).
Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. (QS. 2: 19).
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampun bagimu, “mereka membuang muka mereka dan kamu melihat mereka berpaling dan menyombongkan diri. (QS 63: 5).
Pribadi yang sakit adalah pribadi yang gemar membuat kerusakan di muka bumi. Namun demikian , ia merasa dirinya tidak berbuat demikian, bahkan menganggap dirinya orang yang mengadakan perbaikan:
Dan bila dikatakan kepada mereka: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.”Mereka menjawab, “ sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS 2: 11-12).
Firman Allah yang mengatakan “di dalam hati mereka ada penyakit” telah tertulis dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali, dan kebanyakan artinya adalah jiwa yang ragu dan buruk sangka terhadap Allah dan Rasul serta manusia. Pribadi yang sakit juga adalah orang yang memiliki kebiasaan mengumpat dan mencela (humazah-lumazah),orang–orang yang banyak bersumpah lagi hina (hallaf-mahin), serta setiap orang yang bodoh di dalam perkataan dan perbuatan :
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.”mereka menjawab, “akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman? “ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS 2: 13).
Kalau kita mengamati ayat-ayat yang menjelaskan mengenai kepribadian, baik mengenai kepribadian yang ideal, maupun kepribadian yang menyimpang, kesemuanya menjelaskan dalam pengertian yang universal, dan bersifat elementer. Karena sifat-sifat ideal, maupun sifat-sifat yang tercela yang menggambarkan kepribadian manusia tersebut juga menjadi bagian pembahasan etika kemanusiaan pada agama-agama lain. Yang membedakan adalah perspektifnya yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid. Sehingga, dalam pembahasan mengenai persoalan kepribadian manusia secara umum, kita merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an yang sebagai sumber kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) untuk melakukan rekayasa sosial di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk.
Al-Qur’an mengatakan bahwa kelemahan manusia yang paling dasar dan yang menyebabkan semua dosa-dosa besarnya adalah “kepicikan” (dhaif) dan “kesempitan pikiran” (qathr). Al-Qur’an tidak henti-hentinya menyebutkan kelemahan ini di dalam bentuk-bentuk dan konteks-konteks yang berbeda, seperti dalam ayat-ayat berikut :
Sesungguhnya manusia mempunyai sifat yang goyah. Jika mendapatkan kemalangan ia pun berkeluh kesah tetapi jika mendapatkan kebaikan, ia berusaha agar kebaikan itu tidak sampai kepada orang lain (QS 70: 19-21)
Jika manusia penuh dengan sifat kikir (mementingkan diri sendiri) (QS 4: 128)
Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang jahiliah tersebut): seandainya kalian memiliki seluruh kekayaan Allah niscaya kalian tetap bakhil dan tidak mau memberikannya kepada orang-orang lain. Sesungguhnya manusia bersifat bakhil (QS 17:100)

Karena kepicikan itulah manusia mempunyai sifat yang suka terburu nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi yang dilakukannya: “sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat yang terburu nafsu”(QS 21: 37) ; “ketika menyerukan kebaikan seorang manusia segera menyertainya dengan seruan kejahatan – sesungguhnya manusia sangat terburu nafsu!” (QS 17:11). Karena sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau putus asa. Tidak ada mahluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya seperti manusia. Al-Qur’an berulang kali menandaskan bahwa setelah memperoleh rahmat manusia segera “melupakan” Allah.
Sifat manusia yang goyah ini, sifat yang senantiasa beralih dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya yang disebabkan oleh kesempitan akal dan kepicikannya ini, menunjukkan berbagai tensi moral yang dasar, di mana tingkah laku manusia haus berfungsi jika ia ingin kokoh dan berhasil. Dengan demikian sikap-sikap ekstrim yang saling bertentangan ini bukanlah “masalah” yang harus dipecahkan oleh pemikiran theologis, tetapi sebagai tensi-tensi yang harus “dihadapi” jika seseorang ingin menjadi manusia yang benar-benar “religius” atau hamba Allah yang sejati .
D. Kepribadian Muslim dan Urgensi Pendidikan Akhlaq Sejak Usia Dini.
Salah satu landasan penting pembangunan kepribadian adalah elalui pendidikan akhlaq sejak dini. Karena bagusnya akhlaq seorang berbanding lurus dengan kepribadian yang baik. Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlaq sebagai suatu kesadaran jiwa yang mendorongnya berperilaku tanpa berfikir dan melalui proses kognitif. Keadaan ini terbagi menjadi dua bagian: pertama, keadaan normal yang berasal dari prinsip fisik, atau memiliki potensi bawaan yang dapat secara spontan untuk merespon dirinya untuk berakhlaq baik. Kedua, keadaan yang muncul dari kebiasaan atau latihan, mungkin permulaannya adalah bersifat kognitif, kemudian terus berlangsung menjadi sifat dan akhlaq . Selain itu al-Ghazali mengatakan “sesunguhnya induk dari prinsip akhlaq ada empat, yaitu al-Hikmah (kebijaksanaan), as-Syaja’ah (keberanian), al-Iffah (penjagaan diri), dan al-‘adl (keadilan). Kebijaksanaan adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar dari yang salah pada semua perilaku yang bersifat pilihan (ikhtiar); keadilan adalah kondisi dan kekuatan jiwa untuk menahan emosi dan syahwat, juga mengendalikannya melalui proses penyaluran dan pengekangan secara proporsional dan sesuai kebutuhan; keberanian adalah ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada saat nekat atau menahan diri; serta penjagaan diri (al-Iffah) adalah terdidiknya daya syahwat dengan pendidikan akal dan syariat. Maka dari normalitas keempat prinsip akhlaq tersebut akan melahirkan kepribadian yang ideal .
Adapun mengenai pentingnya pendidikan akhlaq sejak usia dini, Ibnu Sina berpendapat bahwa jika pendidikan akhlaq diabaikan pada usia dini, maka akhlaq dan kebiasaan buruk bisa jadi tertanam, akibatnya kelak akan sulit melepaskan diri darinya. Dengan pendapat ini, Ibnu Sina telah melampaui Sigmund Freud dan para psikolog modern yang menyatakan pentingnya tahun-tahun pertama masa kanak-kanak bagi pembentukan kepribadiannya dan memperoleh ciri khas moralitas . Dalam praktiknya Al-Ghazali berupaya menentukan langkah-langkah dalam mendidik anak. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Usman Najati, sebagai berikut:
1. Menjauhkan anak dari teman sebayanya yang mungkin bisa mengajarkan akhlaq yang buruk.
2. Tidak membiasakan anak untuk manja dan sejahtera, sehingga ia menghabiskan usianya untuk mencari keduanya dan tidak bisa bersabar menghadapi penderitaan yang dapat menimbulkan bahaya dan kehancuran bagi dirinya pada saat dewasa. Anak harus dibiasakan berpakaian, tidur, dan makan secara sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
3. Mengajarkan anak tata krama ketika menikmati makanan, sehingga tidak menjadi rakus; mengajarkan anak mengambil makanan dengan tangan kanan, membaca basmalah, mengambil makanan yang terdekat, tidak terburu-buru mengambil makanan sebelum yang lain, tidak tergesa-gesa menghabiskan makanan; agar mengunyah makanan dengan baik dan mengajarkannya untuk puas dengan makanan seadanya.
4. Anak diajarkan membaca al-Qur’an, juga cerita-cerita tentang orang-orang baik untuk menanamkan cinta kepada kaum yang shalih.
5. Menghargai dan membari ganjaran atas akhlaq dan perilaku yang baik yang ditampilkan anak. Akan tetapi, kalau ia melanggar akhlaq baik sekali pada saat-saat tertentu, maka selayaknya hal itu diabaikan dan harga dirinya tidak dijatuhkan. Jika hal itu diulangi, maka ia ditegur secara rahasia dan dinasehati agar tidak mengulanginya pada kesempatan lain. Anak tidak boleh dicela dalam setiap kesempatan, karena itu akan membuatnya menyepelekan teguran dan celaan.
6. Anak harus dibiasakan berjalan, bergerak, dan berolah raga, sehingga tidak menjadi malas
7. Anak dilarang bersikap sombong dihadapan kawan-kawannya, dan dibiasakan untuk bersikap rendah hati serta menghargai setiap orang yang bergaul dengannya.
8. Anak diajarkan bahwa mencintai dan berambisi terhadap emas dan perak adalah sesuatu yang buruk, sebab dampak negatifnya lebih berbahaya dari dampak negatif racun atas anak yang kecil, bahkan anak yang besar.
9. Anak dilarang dilarang bersumpah, baik sumpah yang benar, maupun yang palsu, sehingga hal itu tidak menjadi kebiasaan pada masa kecil.
10. Anak dibiasakan untuk menghargai orang yang lebih besar, berdiri bagi orang yang lebih atas, meluaskan tempat baginya, dan diajarkan untuk taat kepada orang tua, guru pendidik, dan orang yang lebih dewasa darinya.
11. Anak dilarang berkata-kata kotor dan mencela.
12. Melatih anak bersikap sabar atas hukuman pukulan yang diberikan oleh guru, untuk menumbuhkan sikap pemberani dan siap menerma resiko.
13. Memberi waktu istirahat setelah belajar, dan membiarkannya bermain, karena memaksanya untuk terus belajar akan mematikan hatinya, membuatnya jenuh, dan tidak suka belajar.
14. Jika sudah menginjak remaja, maka ia dilarang meninggalkan bersuci dan shalat , dan dilatih untuk berpuasa di bulan Ramadhan.
15. Anak harus diajarkan untuk takut mencuri, memakan yang haram, berkhianat, berbohong dan menipu.
Kelima belas langkah praktis yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali ini diharapkan menjadi rujukan bagi orang tua dalam mendidik anak, sehingga melahirkan generasi Muslim yang berkepribadian unggul dan berbudi pekerti yang mulia.
D. KHATIMAH
Dari paparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an suci secara ekstensif sudah turut berperan aktif dalam mengatasi problematika kejiwaan manusia. Selain itu dalam Al-Qur’an juga dijelaskan mengenai ciri-ciri orang-orang yang berkepribadian lurus, dan tipologi orang-orang yang berkepribadian buruk. Islam sebagai sebagai agama dengan dimensi spiritual yang kental, tidak pernah berupaya memisahkan aspek kejiwaan seseorang dengan substansi spiritual yang dimiliki olehnya. Karena dalam Islam diyakini bahwa apabila seseorang memiliki kualitas iman yang tinggi , sudah dapat dipastikan ia memiliki jiwa yang sehat dan memiliki kepribadian yang luhur. Berbeda dengan para psikolog modern yang mengelaborasi aspek kejiwaan manusia yang hanya terbatas pada “apa yang dapat dilihat” dan “apa yang dapat diukur” dan menghindari dimensi spiritual dari manusia. Tidak hanya itu, bahkan Sigmund Freud pada kesimpulan penelitiannya mengatakan bahwa hakekat terdalam dari kepribadian manusia adalah “libido”. Karena libido merupakan energi bawaan sejak lahir yang memotivasi dan membuat kita mampu untuk bertahan hidup, dimana kegiatan seksual merupakan salah satu bentuknya. Hal inilah yang membuat Prof. Noeng Muhadjir menawarkan aliran psikologi mazhab keempat, yang disebut psikologi motivatif. Salah satunya untuk membantah tesis Freud, dengan argumen bahwa energi bawaan sejak lahir adalah konsep fitrah ilahiah, dan motivasi seseorang itu dimotivasi oleh niat yang sudah terpatri dalam hati . Pada akhirnya, kepribadian yang luhur dalam Islam, mendapat proporsi penuh dalam doktrin tentang akhlaq yang merupakan bagian dari konsep ihsan, dan akhlaq yang baik harus dibangun dan diajarkan sejak usia dini. (Wallahu A’lamu Bishawwab)







Daftar Pustaka

Benson, C. Nigel dan Grove, Simon, Psikologi For Beginners, terj. Medina Khodijah, Mizan, Bandung, 2003

Najati, Muhammad Usman, Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, Pustaka Hidayah, Bandung 2002.

Muhadjir, Noeng, Mengembangkan Epistemologi Studi Islam tematik, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2003.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996.
Syarif, Adnan, Psikologi Qur’ani, terj. Muhammad al-Mighwar, Pustaka Hidayah, Bandung 2002.

1 komentar:

  1. Salam jumpa lagi di dunia Blog, ya Ust" apa aja kegiatannya sekarang? ditunggu silaturrahmi balik pada blogku.

    BalasHapus

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...