Rabu, 02 Maret 2011

Integrasi Sains dan Agama dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam

A. Pendahuluan.
Membicarakan persoalan sains dan agama, kita akan sampai pada pembahasan mengenai interaksi sains dan agama pada level simbolik sekaligus maknawi. Secara geneologis kita bisa melihat kompleksitas interaksi agama dan sains pada perdebatan antara dimensi keimanan yang dipahami secara tekstual dan paham ilmu yang meminggirkan doktrin agama karena kerap dianggap tidak sesuai dengan dalil-dalil akal sehat. Padahal ilmu dan agama lahir dari rahim yang sama yaitu wilayah “pengalaman” kemanusiaan. Pengalaman yang dimaksud bisa bersifat hushuli maupun hudhuri.
Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan oleh anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu-terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif.
Ada juga yang memandang bahwa sains dan agama berdiri pada posisinya masing-masing, karena bidang ilmu mengandalkan data yang didukung secara empiris untuk memastikan apa yang "nyata" dan apa yang tidak, agama sebaliknya siap menerima yang gaib dan tidak pasti hanya didasarkan pada variabel berwujud dari "iman" dan kepercayaan. Bahwa agama dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan.
Di sisi lain, banyak filsuf ilmu pengetahuan berpikir sebaliknya. Thomas S. Kuhn menegaskan ilmu yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, yang mirip dengan perspektif sekuler pada agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa itu hanyalah sebuah komitmen untuk universalitas yang melindungi terhadap subyektivitas dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan detasemen pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi metode ilmiah. Polanyi lebih lanjut menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat pribadi dan karenanya ilmuwan harus melakukan sangat pribadi jika tidak perlu berperan subjektif ketika melakukan sains. Polanyi menambahkan bahwa ilmuwan sering hanya mengikuti intuisi dari "keindahan simetri, intelektual, dan 'kesepakatan empiris’. Bagi Polanyi, perlu diadakan ilmu yang membutuhkan komitmen moral yang sama dengan yang ditemukan dalam agama. Hal yang sama juga ditegaskan oleh dua fisikawan, Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling, keduanya mengklaim bahwa "metode sains dan agama memiliki banyak kesamaan". Schilling menegaskan bahwa kedua bidang-sains dan agama-memiliki "tiga struktur-pengalaman, interpretasi teoritis, dan aplikasi praktis". Coulson menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, seperti agama, " adalah uang muka bagi imajinasi kreatif" dan bukan "hanya mengumpulkan fakta," sementara menyatakan agama mau tidak mau harus "melibatkan refleksi kritis pada pengalaman yang tidak berbeda dengan yang terjadi di ilmu pengetahuan.". Bahasa agama dan bahasa ilmiah juga menunjukkan paralelitas.
Menyikapi hal tersebut, Ian G. Barbour yang merupakan seorang fisikawan-cum-agamawan, mengusulkan empat potensi model tentang hubungan sains-agama. Yaitu, Konflik, Independensi, Dialog dan Integrasi.. Sementara bagi Barbour, tampaknya perlu melakukan advokasi tentang Integrasi, dengan asumsi bahwa kedua disiplin ilmu dan agama bisa saling mendapatkan manfaat dari pendekatan-pendekatan tertentu.
Persoalan yang muncul sekarang adalah bagaimana melakukan integrasi antara sains dan agama, dan integrasi seperti apa yang dapat dilakukan?. Dalam wacana sains dan agama, integrasi dalam pengertian generiknya adalah usaha untuk memadukan sains dan agama. J. Sudarminta, SJ, misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” (istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah). Fenomena ini hampir mirip dengan istilah Bucailisme, yang merupakan sikap defensif-apologetik sebagian intelektual Muslim.
Dengan demikian, upaya untuk menghubungan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”, dan tak jelas lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru (untuk sains dan/atau agama), yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan.
Dalam kasus paradigma epistemologi Islam, integrasi antara agama dan sains adalah sesuatu yang mungkin adanya, karena didasarkan pada gagasan Keesaan (tauhid). Dalam hal ini, ilmu pengetahuan, studi tentang alam, dianggap terkait dengan konsep Tauhid (Keesaan Tuhan), seperti juga semua cabang pengetahuan lainnya. Dalam Islam, alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari pandangan holistik Islam pada Tuhan, kemanusiaan, dan dunia. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan dan alam adalah berkesinambungan dengan agama dan Tuhan. Hubungan ini menyiratkan aspek yang suci untuk mengejar pengetahuan ilmiah oleh umat Islam, karena alam itu sendiri dilihat dalam Al Qur'an sebagai kumpulan tanda-tanda menunjuk kepada Tuhan. Secara normatif, sejak awal diwahyukannya, al-Qur’an, melalui surah al-Alaq 1-5, sudah tergambar bahwa konstruksi pengetahuan dalam Islam dibangun di atas nilai-nilai tauhid. Dari ayat-ayat yang pertama turun tersebut terlihat bahwa ada perintah untuk “membaca” yang merupakan proses pencapaian ilmu pengetahuan dengan rambu-rambu “atas nama Tuhan”. Sehingga proses pencapaian ilmu pengetahuan semestinya ekuivalen dengan proses makrifat kepada Tuhan.

B. Tipologi Integrasi: dari Sains Tradisional, Teologi Alam (Theology of Nature), hingga Kisah Baru Sains (New Story of Science).
1. Sains Tradisional.
Gagasan tentang integrasi sains dan agama di dalam konteks peradaban Islam diidentikkan oleh S.H. Nasr dengan terminologi sains tradisional, untuk membedakan secara umum dengan sains era modern yang positivistik dan reduksionistik. Sains dalam konteks peradaban Islam dipandang sebagai sebuah tradisi ilmiah dan intelektual yang senantiasa berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut. Para ilmuan Muslim, dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka ragam sains, telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Menurut Osman Bakar sains tradisional hidup dalam hampir setiap peradaban pra-modern. Namun disebabkan sifat dasarnya sendiri, sains ini mengandung kesulitan tertentu bagi pikiran ilmiah modern. Ini karena sains tersebut mensyaratkan pengakuan atas wahyu ilahi dan intuisi intelektual sebagai dua sumber fundamental yang nyata bagi pengetahuan obyektif. Ia juga mensyaratkan penerimaan tingkat eksistensi yang lain dari eksistensi fisik dan realitas hirarkis alam semesta. Syarat-syarat ini bertentangan dengan banyak asumsi dasar sains modern.
Walaupun demikian, pandangan tentang kemajemukan metode dalam sains tradisional mendapat mendapatkan pengakuan umum di kalangan sejarahwan dan filosof sains kontemporer. Sebagian mereka telah memperluasnya hingga bahkan menerima Kitab Suci sebagai komponen yang tak dapat dipisahkan dari pluralitas metodologi. Sebagaimana yang diungkap oleh Paul Feyerabend dalam bukunya Against Method, bahwa dalam masyarakat dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi agama masa abad tengah. Ilmu pengetahuan mempunyai kuasa mutlak. Kendati dalam masyarakat seseorang boleh memilih agama atau tidak, tetapi ia tetap mau tak mau harus memilih ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan tidak menjalankan fungsinya untuk membebaskan manusia, tetapi justru memperbudaknya. Demikian pula, sejumlah ilmuan profesional, terutama fisikawan, dari R. Oppenheimer dan E. Schrodinger hingga Fritjof Capra, telah berpaling pada doktrin-doktrin Timur dengan harapan menemukan solusi dari beberapa dilema dan masalah yang ditemui di ujung perbatasan fisika modern. Akan tetapi tokoh-tokoh tersebut tidak bermaksud untuk menyelaraskan sains modern dengan status epistemologis yang sama seperti yang diberikan oleh sains-sains tradisional. Jika sains modern melakukan hal yang persis seperti itu, menurut S.H. Nasr, hal itu berarti telah terjadi proses transformasi spiritual atau kelahiran kembali manusia modern.
Di dalam sains tradisional, aspek kosmologi mampu untuk menjadi “alat integrasi konseptual” karena tujuannya adalah “untuk mengadakan sebuah sains yang memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu dan hubungan tingkat-tingkat hirarki kosmik satu sama lain dan akhirnya dengan Prinsip Tertinggi. Dengan demikian ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya integrasi keanekaragaman ke dalam keterpaduan.
2. Teologi Alam (Theologi of Nature).
Sementara itu Ian G. Barbour merumuskan konsepsi integrasi agama dan sains, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu (Natural Theology), atau dari sisi agama (Teology of Nature). Alternatifnya adalah berupaya menyatukan keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan, misalnya Process Philosophy. Maka Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung usaha penyatuan melalui Theology of Nature yang digabungkan dengan penggunaan Process Philosophy secara berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah dukungannya terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah pandangannya justru lebih berat pada dialog atau perbincangan.
Integrasi teologis yang digagas oleh Barbour, yaitu teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologisnya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada apa yang disampaikan oleh isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.
Paling tidak ada lima isu penting yang diajukan Barbour di dalam menyimpulkan tentang pentingnya Teologi Alam, yaitu: Pertama, kedudukan alam di dalam Teologi, yakni bahwa kendati teologi harus berawal dari wahyu sejarah dan pengalaman personal, teologi juga harus meliputi sebuah teologi alam yang tidak mengecilkan atau mengabaikan tatanan kosmis alam semesta. Hal itu untuk membantah pandangan neo-ortodoksi, bahwa alam tetaplah tahap yang tidak terselamatkan dalam drama penyelamatan manusia. Juga pandangan eksistensialisme, bahwa dunia adalah lingkungan impersonal untuk eksistensi personal manusia. Begitupula pandangan analisis lingusitik yang menyatakan bahwa alam tidak punya kesamaan fungsi dengan wacana tentang Tuhan. Kedua, Perangai alam sebagai proses yang dinamis, yakni pandangan bahwa alam memiliki kelenturan juga struktur, kebaruan, dan keterbukaan, juga keteraturan. Dalam hal ini Barbour mengikuti pendapat Neo-Thomisme, Pollard, dan Whitehead, sebagai bantahan atas pandangan Gereja yang statis terhadap dunia dengan segala ciptaan dalam bentuknya sekarang. Juga pandangan konsepsi fisika awal tentang alam yang bersifat deterministis dan mekanis. Begitupula pandangan eksistensialis, seperti oleh Bultmann, yang menganggap dunia sebagai ini sebagai suatu tatanan mekanis yang kaku, sebuah sistem hukum kausalitas yang yang benar-benar tertutup, termasuk tertutup bagi intervensi Tuhan di dalamnya. Ketiga, bahwa adanya Kekuasaan Tertinggi Tuhan di Alam, yakni Penciptaan berkelanjutan. Keempat, yakni peranan penting metafisika, dalam hal ini, Barbour mengajukan Filsafat Proses dalam teologinya. Kelima, yaitu adanya tindakan Tuhan di alam, dimana Tuhan sebagai pengaruh berdaya cipta.
3. Kisah Baru Sains (New Story of Sains).
Pandangan ini digagas oleh Robert M. Augros dan George N. Stanciu lewat bukunya The New Story of Science (1985). Story di sini diartikan sebagai cara pandang baru terhadap dunia kosmis oleh sebuah peradaban, yaitu suatu kerangka untuk memahami dan mengevaluasi alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Menurut pandangan ini, berturut-turut selama abad ke 17, 18 dan 19 berlangsung suatu perkembangan bertahap dalam bidang fisika dan kosmologi yang semakin materialistik dan reduksionis dalam cara pandang terhadap alam semesta. Hal tersebut mengakibatkan runtuhnya secara gradual kepercayaan religius dan nilai-nilai rohani yang dimiliki manusia. Konsep-konsep pikiran dan fenomena mental tidak begitu diacuhkan lagi, bahkan ditolak keberadaannya. Kurun waktu tersebut, kemudian disebut dengan Old Story (Kisah Lama).
Akan tetapi pada abad ke-20 ini berlangsung suatu Kisah Baru (New Story), dengan adanya sebuah revolusi di bidang fisika dan kosmologi yang begitu dramatis, sejak tahun 1903. Mula-mula dalam dunia fisika yang dipelopori oleh Einstein, Bohr, dan Heisenberg; kemudian dalam bidang neurosains dengan pakar-pakar seperti Sherrington, Eccles, Sperry, dan Penfield; terus berlanjut dalam disiplin ilmu psikologi dengan Frankl, Maslow dan May; dan akhirnya dalam kosmologi yang tampak dengan teori dentuman besar (Big Bang). Dengan demikian muncullah sebuah konsep yang dikenal sebagai The Anthropic Principle yang memperjuangkan tema-tema besar yang sinonim dengan tema-tema besar agama, yakni tentang “tujuan dalam hidup ini”, eksistensi Ketuhanan, pandangan estetik dalam hidup, faktor-faktor ruhaniah, serta martabat kemanusiaan.
Kalau dalam Kisah Lama sains, seperti pandangan yang dimiliki Galilei dan Descartes, bahwa dunia adalah dunia objektif yang sudah dilucuti dari segala kualitas indera dan pikiran, atau sebaliknya dunia subjektif semata seperti yang diungkapkan oleh Berkeley, Hume, Kant atau Sartre, maka dalam pemahaman baru dari Kisah Baru dunia telah dikembalikan pada peranan pada peranan yang sentral dari manusia. Dalam Kisah Baru, diajukan tiga dimensi penting dalam pandangannya terhadap dunia, yakni; mengenai keluasannya (vastness), sifat menggabungkan (unity), dan kecerahan (light). Tradisi baru ini berupaya menjauhkan diri dari segala bentuk materialisme dan saintisme. Salah satu trend yang menggejala dalam Kisah Baru sains adalah berkembangnya sains dengan visi holistik. Sains dengan visi holistik inilah yang menciptakan dan memperkaya pertanyaan filosofis –yang sebenarnya klasik namun dengan nuansa-nuansa yang baru− antara lain, mengenai keberadaan Tuhan, penciptaan dan finalitas.
Visi holistik dari Kisah Baru sains menemukan momentumnya dengan penelitian mutakhir tentang kaitan agama dengan sains, seperti halnya studi tentang korelasi antara religiusitas dan kecerdasan (sering IQ, tetapi juga faktor lainnya). Sebuah studi baru pada serotonin reseptor dan religiusitas menunjukkan hubungan antara kepadatan rendah reseptor serotonin dan pengalaman keagamaan yang intens. Yang juga menarik populer adalah studi tentang doa dan obat-obatan, khususnya apakah ada hubungan kausal atau korelasi antara doa spiritual dan peningkatan kesehatan. Survei oleh Gallup, National Opinion Research Centre dan Organisasi Pew menyimpulkan bahwa komitmen spiritual orang dua kali lebih mungkin untuk melaporkan telah "sangat bahagia" daripada orang-orang yang tidak memiliki komitmen agama. Selain itu, analisis lebih dari 200 studi sosial tentang "kereligiusan tinggi memprediksi agak menurunkan resiko depresi dan penyalahgunaan narkoba dan upaya bunuh diri, dan laporan dari kepuasan dengan kehidupan dan rasa kesejahteraan". Juga lebih dari 498 penelitian yang diterbitkan di jurnal-jurnal yang menyimpulkan bahwa sebagian besar penelitian ini menunjukkan korelasi positif antara komitmen agama dan tingkat yang lebih tinggi dalam merasakan kesejahteraan dan harga diri, dan tingkat yang lebih rendah dari hipertensi, depresi dan kenakalan klinis. Survei lainnya juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara iman dan altruisme. Studi yang dilakukan oleh Keith Ward menunjukkan bahwa agama secara keseluruhan adalah kontributor positif untuk kesehatan mental. Michael Argyle dan lain mengklaim bahwa ada sedikit atau tidak ada bukti bahwa agama pernah menyebabkan gangguan mental.

C. Integrasi Sains dan Agama dalam Konteks Pendidikan Islam.
Menurut al-Kailani, jika dicermati kajian-kajian pendidikan Islam yang ada maka sebagian besar di antaranya tampak masih bercorak diskriptif, normatif, dan adoptif serta dalam bayang-bayang “Barat sentris” atau sebaliknya, “Salaf sentris”. Tradisi salaf yang berusia seribu tahun yang mengalami kemacetan di abad-abad akhir, sesungguhnya memiliki khazanah intelektual yang kaya dan sangat canggih, dan keluaran dari sistem pendidikan Islam adalah sosok-sosok yang orisinal, tokoh-tokoh yang sangat sintetis dan kreatif dalam peradaban Islam. Dari fakta historis tersebut terdapat asumsi dasar bahwa pendidikan Islam memiliki pengalaman khusus mengenai kesatuan organik antara sains dan agama. Karena sains pra-modern seperti Cina, India, dan peradaban Islam memiliki perbedaan mendasar dengan sains modern, misalnya dalam hal tujuan, metodologi, sumber-sumber inspirasi, dan asumsi-asumsi filosofis mereka tentang manusia, pengetahuan, dan realitas alam semesta.
Perbedaan mendasar inilah yang menimbulkan kerumitan tersendiri, karena pendidikan baru dalam Islam yang dicangkok dari organisme hidup yang lain di Barat, yang mempunyai latar belakang budaya dan struktur internal serta konsistensinya sendiri. Walaupun pendidikan Islam masa lalu mempunyai pengalaman melakukan proses adapsi terhadap filsafat dan sains Yunani dengan terma-termanya sendiri. Tetapi pendidikan Islam menghadapi sains-sains Barat modern pada posisi yang tak menguntungkan –secara psikologis maupun intelektual− karena dominasi politik, agresi ekonomi dan hegemoni intelektual Barat.
Akibatnya, pendidikan baru yang membawa semangat sains modern yang memiliki pandangan yang minus terhadap agama tidak terintegrasi dengan baik pada sistem pendidikan Islam. Pada titik inilah kemudian terjadi dikotomisasi antara bidang agama dan sains modern di dunia pendidikan Islam. Hal ini pada akhirnya menimbulkan kerugian di antara keduanya karena tidak adanya integrasi timbal balik, sehingga pendidikan Islam mengalami berbagai krisis, diantaranya krisis konseptual, kelembagaan metodologi atau pedagogik, dan krisis orientasi. Pendek kata, pendidikan Islam memang tengah mengalami degradasi fungsional yang dinilai jauh lebih akut dibandingkan dengan hal serupa yang dialami oleh sistem pendidikan umum yang tidak secara lugas memasukkan dimensi keagamaan (baca: keislaman).
Realitas objektif tentang terjadinya anomali dan degradasi di dunia pendidikan Islam juga dikarenakan lembaga pendidikan Islam yang menghasilkan tenaga pengajar profesional mengalami krisis, sebagaimana yang dikesankan oleh Amin Abdullah, bahwa proses transformasi pendidikan di Fakultas Tarbiyah menjadi demikian normatif untuk tidak mengatakan dogmatik. Kalau ditelusuri ke dalamnya, bahwa fakultas ini belum melandasi epistemologi penyelenggaraannya dengan dasar yang kritis dan mencerahkan.
Kaitannya dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan Islam saat ini adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin Sains dalam Islam (Inter-discipline Sciences in Islam). Paradigma integratif ini sudah waktunya dikembangkan dalam abad modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban baru yang akan menggeser peradaban saat ini yang menurut hemat penulis sudah diambang kebangkrutan dilihat dari berbagai indikator fisik dan non-fisik. Dengan sistem pendidikan yang baru dimana kurikulum yang diajarkan merupakan penyatuan utuh antara nilai wahyu dan sains. Maka diharapkan para alumni lembaga pendidikan Islam mampu menjabarkan kaedah-kaedah sains dan agama dalam bentuk cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holistik) di masyarakat sehingga dimasa depan terciptalah tatanan masyarakat yang lebih baik.
Dengan demikian, pendidikan Islam di masa mendatang harus memberi prioritas pada materi pembelajaran yang akan membantu untuk menghasilkan ilmuan-ilmuan, teknolog-teknolog, dan insinyur-insinyur, serta kelompok profesional lain, yang peran dan kontribusinya sangat penting bagi kemajuan ekonomi. Tetapi hal juga berarti sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar berkepentingan untuk menghasilkan sejenis ilmuan, teknolog, atau insinyur, yang berbicara agama secara kualitatif, tidak berbeda dari mereka yang dihasilkan oleh kebanyakan pendidikan umum. Tetapi, ia harus berkepentingan untuk mendidik ilmuan-ilmuan, insinyur-insinyur, serta teknolog-teknolog “jenis baru” yang terinternalisasi di dalam dirinya kebijakan dan pengetahuan, iman spiritual dan pikiran rasional, kreativitas dan wawasan moral, kekuatan inovatif dan kebaikan etis, serta sensivitas ekologis berkembang sepenuhnya secara harmonis tanpa meruntuhkan kemungkinan bagi mereka untuk mencapai keunggulan dan kegemilangan dalam bidang dan spesialisasi masing-masing.
Dari kerangka dasar semacam itu, pendidikan Islam kemudian didudukkan dalam sistem klasifikasi keilmuan teoantroposentris-integralistik, yaitu sistem klasifikasi yang memadukan secara integral antara transmitted knowledges dan acquired knowledges melalui penggunaan pendekatan dan metodologi keilmuan interdisipliner (integrasi dan interkoneksi). Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang eksklusif dan terkucilkan (isolated entities), tetapi justru menjadi disiplin ilmu yang responsif terhadap berbagai permasalahan yang aktual (current issues).

D. Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.
Hubungan antara pendidikan Islam yang ada, baik dalam ranah hadharat an-nash, hadharat al-ilm, maupun hadharat al-falsafah, perlu dilihat dari perpektif dialog atau bahkan integrasi. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh Amin Abdullah, harus memiliki kaitan erat dengan dimensi praksis-sosial karena senantiasa memiliki dampak sosial dan dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial sehingga ia tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoretis-konseptual seperti yang dipahami selama ini. Selain itu pendidikan semestinya digunakan untuk mengenalkan peserta didik pada tradisi, budaya, sosial dan kondisi budaya, yang dalam waktu yang sama telah direduksi oleh sains modern, teknologi dan industrialisasi. Sehingga pendidikan sekarang harus diarahkan pada kekuatan positif untuk membangun kultur budaya baru dan mengeliminasi patologi sosial. George S. Counts menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki visi dan prospek untuk perubahan sosial secara radikal dan mengimplementasikan proyek tersebut.
Dengan adanya paradigma integratif dalam konteks keilmuan antara transmitted knowledges dan acquired knowledges diharapkan tercipta atmosfir akademik yang holistik dan tidak parsial. Sehingga sekat-sekat spesialisasi bidang pengetahuan tertentu tidak mengakibatkan terbentuknya wawasan miopik-narsistik, dan jangkauan pengetahuan juga tidak membatasi diri pada fakta atau pengenalan finalitas yang bersifat imanen, yang segala sesuatunya hanya dilihat pada makna “pragmatisnya”. Akan tetapi juga keberadaan makna atau finalitas ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, yakni sesuatu yang berada diluar (beyond) sains yang merupakan signifikansi dan arah sesuatu dalam pengertian “teleologisnya”.
Dengan demikian, paradigma integratif, akan mampu menjembatani kesenjangan yang tajam antara pendidikan umum dan pendidikan agama, karena madrasah sebagai salah satu bentuk pembaruan sistem pendidikan Islam (pesantren) di kurun modern masih saja menghadapi problematika institusional-keilmuan dan metodologis. Akibatnya, institusi ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan problem dualisme dikotomis keilmuan, problem fungsional “cagar budaya”, dan dominasi metodologi justifikatif-indoktrinatif dalam kegiatan akademik. Selain itu paradigma pendidikan Islam yang integratif, akan melahirkan sikap inklusif, sehingga tidak merespon perkembangan hanya dengan cara-cara reaksioner, apalagi menjadikannya dirinya sebagai the living ground of radicalism.
Implikasi dalam hal kurikulum, bisa dalam bentuk penyusunan silabus di sekitar dua isu fundamental, yakni (1) epistemologi, dan (2) etika. Topik-topik yang termasuk ke dalam epistemologi terutama berbicara tentang status epistemologis sains-sains terapan dan rekayasa, hubungan konseptualnya dengan prinsip-prinsip tauhid (yaitu, pengetahuan metafisika dan kosmologi) yang mengatur dunia fisik (natural), dengan metodologi ilmiah dan pemikiran kreatif (termasuk inspirasi matematika) dan dengan implikasi-implikasi epistemologis aspek-aspek tertentu dari kreativitas manusia dalam sains terapan dan rekayasa kontemporer, khususnya dalam rekayasa genetika. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kurikulum yang ada, akan mengantarkan peserta didik agar memiliki hasrat dan kemampuan untuk melakukan penelitian (riset) pada bidang-bidang sains untuk kemudian menemukan “titik sambungnya” dengan realitas objektif yang terjadi pada wilayah keagamaan.
Sedangkan implikasi di dalam proses belajar mengajar, dimana salah satu gagasan menarik dari Ian G. Barbour, mengenai peranan penting imajinasi kreatif sebagai metode alternatif selain metode deduktif dan induktif, karena dalam perumusan teori, imajinasi kreatif melampaui proses penalaran yang sangat logis. Yakni sudah banyak fenomena yang muncul tentang peranan guru-guru tertentu dengan kekuatan imajinasi kreatif yang dimilikinya mampu menciptakan metode-metode tertentu agar siswanya bisa menyerap pelajaran secara cepat dan lengkap. Demikian pula peranan seorang guru di dalam menciptakan desain pembelajaran yang aplikatif, misalnya dengan mengubah tata ruang dan penambahan tampilan (display) ruang kelas sehingga mampu menstimulasi gairah belajar peserta didik. Kesemuanya itu membutuhkan daya kreatifitas seorang guru agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif.
Sementara itu implikasinya dalam aspek pendidikan sosial keagamaan, dengan paradigma integratif, para peserta didik akan diajak untuk berfikir holistik dan tidak parsial dalam menghayati majemuknya keyakinan dan keberagamaan. Misalnya, dengan melakukan kunjungan secara rutin ke tempat ibadah dari agama yang berbeda, dan mendapatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip etik yang dimiliki oleh semua agama. Dengan itu juga siswa diberikan pemahaman, bahwa ada satu hal yang menyatukan semua agama dalam suatu ikatan yang disebut dengan “pengalaman keesaan” yang mana setiap agama punya tafsir berbeda sesuai dengan perspektif kitab suci masing-masing. Selain itu diajarkan bahwa perdamaian di dunia dapat dicapai dengan pengalaman Keesaan oleh setiap individu.
Dalam proses ini pendidikan memainkan peranan yang menentukan dalam proses integrasi ilmu dan agama, suatu proses yang akan mengapresiasi hasil-hasil teoritis pengetahuan dan pengalaman praktis abadi-sifat ilahi yang digali dari pengalaman pribadi masing-masing. Dari sini dengan sendirinya tumbuh imajinasi kreatif untuk menghayati pola keyakinan yang bersifat majemuk, sehingga tumbuh kesadaran kreatif untuk menghormati orang lain yang mempunyai keyakinan dan agama yang berbeda.
Dalam bentuk lain, bisa dengan mengajak siswa untuk mencari simbol-simbol harmonisasi yang terbentang di alam raya, untuk kemudian diinterpretasikan menjadi model-model integrasi antara sains dan agama. Misalnya, dalam studi holtikultura, untuk integrasi ilmu dan agama dengan model bunga matahari. Contohnya siswa dilatih untuk mengembangkan imajinasi kreatifnya dengan menjelaskan bunga matahari, dimana siswa menjelaskan kelopaknya yang mewakili berbagai budaya, mitologi, ilmu pengetahuan, pendekatan spiritual, dan filosofi, dan semua berpusat di kepala bunga. Kemudian bahwa bunga tumbuh atas dasar pengalaman manusia dan kelopak merupakan model dan sistem pemikiran yang dibangun dari pengalaman manusia dan siswa diajak untuk memahami pengalaman itu. Dari situ akan tumbuh pemikiran tentang asumsi dasar bahwa sains dan agama bisa dan harus bekerja sama untuk menghasilkan pemahaman yang lebih kaya dari dunia kita. Kita mengajari siswa untuk belajar mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama pada kegiatan lapangan bahkan sambil bermain. Dengan ini, memungkinkan untuk tumbuh dalam pemahaman siswa, bahwa ilmu pengetahuan dan agama akan tumbuh bersama, untuk beradaptasi dengan satu sama lain. Lebih dari itu, proses ini akan memahamkan siswa bahwa setiap model integrasi ilmu dan agama harus mencerminkan realitas, bukan ikatan-ikatan teoretis.

E. Catatan Penutup.
Dengan demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan dikotomisasi antara agama dan sains. Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis, holistik, serta jauh dari sistem oposisi biner yang diagungkan para penganut positivistik. Dan pendidikan merupakan salah satu medium terbaik untuk tujuan tersebut, karena kunci ke arah masa depan yang lebih baik adalah pendidikan, dimana tujuan utama pendidikan adalah untuk memampukan “budaya pengetahuan integral” berakar kuat di masyarakat Muslim kontemporer, sehingga kemajuan di bidang sains dan teknologi menjadi lebih mudah untuk dicapai. (Wallahu A’lamu Bishawwab)

Appendiks: Sebuah Rekonstruksi Testimonial.
A. Lesson Learned Mata Kuliah Agama, Sains, Budaya dan Kontribusinya Terhadap Rencana Riset (Disertasi).
Ada dua hal yang di dapatkan dari proses perkuliahan ini, yaitu peranan penting, (1) Imajinasi Kreatif dan (2) Pengalaman dan Penafsiran. Persoalan imajinasi kreatif disini tidak sekedar proses “eurekaisme” dan dimensi kreatif-intuitif yang direduksi menjadi masalah kejeniusan manusia dan dirumuskan dalam term-term kategori biologis semata, akan tetapi suatu proses “objektifikasi”. Dalam kaitannya dengan rencana riset, penulis akan mencoba menggunakan metode Imajinasi Kreatif untuk mengelaborasi secara imajiner proses historis di sekitar kehidupan Umat Islam periode Makkah berdasarkan literatur sejarah yang ada untuk menggali proses “pendidikan keberimanan” para sahabat awal yang memiliki immunitas keimanan yang luar biasa di tengah kuatnya tekanan ideologi materialisme pada saat itu. Hal tersebut dilakukan untuk ditemukan implikasinya bagi proses “pendidikan keberimanan” pada masa sekarang sebagai jawaban atas fenomena dekadensi moral di dunia pendidikan. Sementara itu proses historis tersebut di atas, merupakan realitas objektif pengalaman kemanusiaan di dalam beragama, dan penafsiran yang ada merupakan tafsiran para sejarahwan yang perlu kembali direkostruksi ke dalam “tafsir baru” agar memiliki implikasi secara objektif terhadap proses pendidikan. Sesuai dengan visi baru pendidikan Islam, yaitu bahwa pendidikan Islam tidak sekadar teaching about Islam, akan tetapi juga teaching about being Muslim. Dari sini akan lahir subyek didik yang memiliki pandangan inklusif dan menghargai keragaman kepercayaan dan pluralitas budaya.
B. Proses Perubahan Pra-kuliah, Ketika kuliah, dan Post perkuliahan.
Sebelum kuliah penulis merasakan adanya “keraguan” terhadap proses dialog atau bahkan integrasi antara agama dan sains, karena perbedaan mendasar secara diametral pada watak, esensi dan metodologinya. Akan tetapi keraguan itu mulai terjawab setelah mendapatkan penjelasan dari tiga dosen pengampu mata kuliah tentang kemungkinan dan pentingnya melakukan dialog atau bahkan integrasi antara sains dan agama. Sehingga pasca perkuliahan penulis merasakan telah terjadi proses shifting paradigm di dalam diri penulis untuk kemudian menjadi proses reflektif di dalam melakukan pengembangan “paradigma baru” tersebut ke dalam tataran keilmuan keislaman. Proses ini sangat penting sebagai bekal upaya melakukan pembaharuan di dunia pendidikan Islam pada masa-masa mendatang.
C. Proses Rekonstruksi Diri.
Dengan paradigma dialog atau integrasi, dengan sendirinya perlu dilakukan upaya rekonstruksi teori dan metodologi yang selama ini dianggap pakem oleh penulis. Karena itu perlu dilakukan elaborasi secara mendalam terhadap teori dan metodologi dalam upaya dialog dan integrasi antara sains dan agama, agar ditemukan langkah-langkah operasional untuk mewujudkan visi besar tersebut ke dalam dunia pendidikan Islam. Hal itu berkait erat dengan profesi penulis sebagai pendidik baik di madrasah maupun perguruan tinggi. Sehingga penulis bisa menjadi agen-agen penting di dalam mengejawantahkan visi dialog atau integrasi di dunia pendidikan, baik pada tataran teoretis-metodologis, maupun pada kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, karena penulis juga terlibat di dalam kegiatan sosial-keagamaan, proses yang sama juga penulis lakukan di dalam memahamkan masyarakat luas tentang pentingnya paradigma dialog atau integrasi antara sains dan agama.
Salah satu implikasi dari proses rekonstruksi diri, adalah munculnya pemahaman bahwa sains adalah pengembangan dan proses analitik terhadap pengalaman rasional-empirik dunia, dan agama adalah pengembangan sintetis dan sadar terhadap suatu pengalaman dunia yang bersifat hushuli maupun hudhuri. Dalam konteks dialog dan integrasi, penulis memposisikan diri sebagai pengamat untuk mengamati dan menjadi sadar tentang model ilmiah dunia yang diciptakan oleh pikiran ilmiah, selain mengamati eksperimen yang membuktikan atau menyangkal model yang ada. Dalam konteks agama, pengamat mengamati dan menjadi sadar tentang dogma agama, aturan dan keyakinan yang bersifat majemuk, termasuk mengamati pengalaman batin, pengalaman ketuhanan, dan kesucian. Karena itu juga pengamat akan berperan sebagai integrator dari ilmu pengetahuan dan agama sebagai dasar bagi perdamaian dan harmonisasi atas perbedaan agama, ras, dan bangsa-bangsa, dan keseimbangan kehidupan bersama antara manusia dan alam. (Wallahu A’lamu Bishawwab)
Bibliografi.
Abdullah, M. Amin, ”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”, dalam M. Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta, 2004.
______________________,“Pendidikan dan Upaya Mencerdaskan Bangsa: Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia dari dakwah ke Akademik, dalam Kusmana, JM. Muslimin, (ed)., Paradigma Baru Pendidikan, IISEP dan Dirjen Pendis Departemen Agama RI, Jakarta, 2008.
______________________,“New Horizon of Islamic Studies Through Socio-Cultural Hermeneutics”, Al-Jami’ah, vol. 41, no.1, 2003.
______________________,“Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan Agama”, Makalah disampaikan dalam Forum Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 21 Februari 2000.
Azra, Azyumardi, “Praktek Pendidikan Islam , dalam Kusmana, J M. Muslimin, (ed)., Paradigma Baru Pendidikan, IISEP dan Dirjen Pendis Departemen Agama RI, Jakarta, 2008.
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, LKiS, Yogyakarta, 2008.
Barbour, Ian G., "Science and Religion Today". dalam Ian G. Barbour (ed.). Science and Religion: New Perspectives on the Dialogue (1st ed.), Evanston and London: Harper & Row: New York, 1968
_____________, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung, 2002.
_____________, Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Baqir, Zainal Abidin et. al, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan: Bandung, 2005.
Bakar, Osman Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo, Pustaka Hidayah, Bandung 1994.
Capra, Fritjof, The Tao of Physics, Boulder: Shambala, 1975.
___________, The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture, Bantan edition, 1983.
Habgood, John, Religion and Science, Mills & Brown, 1964,
Iqbal, Muzaffar, Science & Islam, Greenwood Press, 2007.
Irsan al-Kailani, Majid, Falsafat at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Maktabah al-Hadi, Makkah, 1988.
Izutsu, Toshihiko God and Man in the Koran, Weltansckauung. Tokyo, 1964.
Leahy, Louis, Jika Sains Mencari Makna, Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Nasr, S.H., “The Cosmos and the Natural Order”, dalam Islamic Spirituality: Foundation, ed. S.H. Nasr, jilid 19 dari World Spirituality: An Encyclopedic History of the Religious Quest, Routledge and Kegan Paul, London, 1987.
Ozmon, Howard A., dan Craver, Samuel E., Philosophical Foundations of Education, Prentice-Hall, Inc, New Jersey, 1995.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas;Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 2000.
Schrodinger. E., My View of the World, Cambridge, 1964.
Soetomo, Greg, Sains dan Problem Ketuhanan, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Zubair, Achmad Charris, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Lesfi, Yogyakarta, 2002.
Referensi Internet.
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Relationship_between_religion_and_science&rurl=translate.google.co.id&usg=ALkJrhgRQgrgPmibDb6r1XT2Hg95GvvyQ#cite_note-86, akses pada tanggal 15/02/2011, pukul 17.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...