Rabu, 02 Maret 2011

METODE ILMU PENGETAHUAN (Hasil Bacaan Atas Tema Methods in Science Ian G Barbour)

Abstraksi
Pembahasan mengenai metode-metode dalam sains menjadi sangat penting disaat terjadi perdebatan panjang dari kalangan ilmuan baik dari kalangan ahli di bidang sains fisik maupun di bidang sains spekulatif. Dimana hal itu kemudian memicu perumusan model-model perumusan teori baik dalam skala deduktif-induktif, maupun dalam skema rasional-empiris, yang kemudian terjadi eskalasi penting dalam apek metodologis mengenai posisi sains atau ilmu pengetahuan merupakan teori yang berdiri sendiri, sebagaimana diyakini oleh penyokong induktivisme dan falsifikasionisme. Yang kemudian mendapat respon dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kukuh dalam sebuah paradigma, atau serangkaian teori yang kukuh dalam suatu program riset ilmiah. Dalam hal ini Barbour menyuguhkan suatu paparan yang menarik tentang metode-metode sains, dalam upaya melakukan ‘dialog’ antara sains dan agama, karena studi sains tidak selamanya bersifat obyektif, dan memandang metode-metode dalam kajian non-sains, seperti agama misalnya, ternyata bersifat lebih rasional daripada bersifat dogmatis.
Kata Kunci: Metode, Teori, Sains.

A. Pendahuluan.
Istilah ‘metode’ diderivasi dari bahasa Yunani ‘methodos’ (‘jalan menuju’); sehingga secara etimologis, pengertian umumnya adalah jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu, sistem prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang dimaksud. Dalam sains ‘metode’ selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan yang ditentukan. Oleh sebab itu, dalam sains-sains spekulatif metode mengindikasikan jalan menuju proposisi-proposisi mengenai yang ada atau harus ada; sementara dalam sains-sains normatif mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan atau pembuatan sesuatu.
Dalam hal ini ada satu ungkapan yang sangat mengesankan dari Mahmud Yunus, alumni pertama Universitas Darul Ulum dari Indonesia, dalam bukunya al-Tarbiyah wa al-Ta’lim bahwa “al-Thariqat ahammu min al-maddah”. Metode atau metodologi itu sering lebih penting daripada materi atau bahan. Dari sini jelaslah bahwa metode yang baik akan selalu sangat penting. Tanpa metode semacam itu, sebagaimana biasanya, hasil-hasil yang baik sulit untuk bisa dicapai, paling tidak tanpa kerja keras yang tidak dibutuhkan. Menurut pernyataan Descartes, bahwa “memiliki pikiran yang jelas saja tidaklah cukup; poin yang penting adalah mengaplikasikannya secara jelas”, yakni, secara metodologis. Sehingga kemudian muncul berbagai macam metode misalnya seperti metode kritis yang digagas sejak era Socrates, metode intuitif yang diperkenalkan oleh Bergson, metode dialektis oleh Hegel dan juga Marx, metode fenomenologi oleh Husserl, metode analisis bahasa oleh Wittgenstein dan masih banyak lagi yang lainnya.
Khusus dalam sains, penggunaan metode yang benar merupakan unsur yang paling penting untuk memastikan bahwa kesimpulan dihubungkan dengan titik pijak dan fondasinya secara benar. Oleh karena itu menurut Henry Van Laer, ada beberapa ketentuan umum yang harus di amati dalam setiap metode saintifik, yaitu: (a) titik pijak harus jelas, benar dan pasti, (b) problemnya harus dibuat sesederhana mungkin, (c) koherensi harus dipertahankan, (d) Hipotesa yang dibangun secara mapan sangat berguna. Sementara itu Jujun Suriasumantri, mendeskripsikan metode saintifik dengan melihat kegunaan logika dan matematika dalam proses deduktif untuk menurunkan ramalan atau hipotesis dari pengetahuan keilmuan. Kemudian hipotesis diuji dengan konsekuensi deduktif dari hipotesis tersebut dan selanjutnya diuji kembali secara empiris dengan metode keilmuan tertentu, termasuk dengan statistika. Hal tersebut dilakukan karena dunia keilmuan adalah gabungan antara dunia empirik dan dunia rasional. Dunia rasional adalah koheren, logis, dan sistematis, dengan logika deduktif sebagai sendi pengikatnya. Di pihak lain dunia empiris yang obyektif dan berorientasi fakta apa adanya, dimana kesimpulan umum yang ditarik dari dunia empiris secara induktif merupakan batu ujian kenyataan dalam menerima atau menolak kebenaran.
Dalam hal ini Ian G. Barbour, merupakan sosok ilmuan yang menyandang dua gelar doktor pada bidang Fisika dan Teologi, menyuguhkan suatu paparan yang menarik tentang metode-metode sains, dalam upaya melakukan ‘dialog’ antara sains dan agama, karena studi sains tidak selamanya bersifat obyektif, dan memandang metode-metode dalam agama ternyata bersifat lebih rasional daripada bersifat dogmatis. Untuk hal tersebut, Barbour membaginya dalam tiga tema besar yaitu: (1) membahas Pengalaman dan Penafsiran dalam Ilmu Pengetahuan, (2) Komunitas Ilmiah dan Bahasanya, dan (3) Hubungan Konsep Ilmiah dengan Realitas. Sebagaimana akan dijelaskan berikut.
B. Pengalaman dan Penafsiran Dalam Ilmu Pengetahuan.
1. Interaksi Eksperimen dan Teori
Menurut Barbour meskipun data ilmu pengetahuan tidak pernah menjadi “fakta dasar” mereka selalu didasarkan pada data dunia umum. Dalam beberapa kasus data ilmu pengetahuan mungkin diperoleh oleh observasi dan deskripsi, dan dalam kasus lain dari eksperimen terkontrol dan pengukuran kuantitatif yang teliti. Data tersebut “bisa dibuktikan secara publik”, bukan karena “siapapun” bisa membuktikannya, karena data tersebut menggambarkan pengalaman umum komunitas ilmiah pada waktu tertentu. Karenanya selalu ada komponen interpretif yang muncul. Maka, lanjut Barbour, garis demarkasi antara “observasi” dan “teori” tidaklah tajam karena perbedaannya lebih bersifat pragmatis dan berubah dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tujuan penyelidikan langsung yang berbeda.
Selain itu mengenai hukum yang terkandung dalam interaksi eksperimen dan teori bisa dalam bentuk korelasi antara dua konsep atau lebih yang terkait erat dengan yang dapat diamati. Ini bisa diletakkan dalam bentuk grafik, persamaan, atau ungkapan verbal hubungan timbal balik di antara konsep, dan mereka mempunyai tingkat generalitas dan abstraksi yang beraneka ragam. Hukum di sini menurut Barbour, juga bisa mengindikasikan hubungan yang dapat dikatakan kausal dan bisa juga tidak. Banyak hukum mengungkapkan variasi yang terjadi bersamaan atau ketergantungan fungsional yang tidak disertai implikasi yang merubah satu variabel adalah ‘sebab’ perubahan pada variabel lainnya. Oleh karena itu dari penyatuan dan generalisasi skema konseptual yang berasal dari hukum tersebut, maka lahirlah yang disebut teori. Dibandingkan dengan hukum, teori adalah perluasan dari observasi langsung dan lebih komprehensif, menghubungkan lingkup fenomena lebih besar dengan generalitas yang lebih tinggi.
2. Perumusan Teori
Kemudian bagaimana teori dirumuskan?, Ian G. Barbour merumuskannya melalui tiga model saluran penalaran, yaitu deduksi, induksi dan imajinasi kreatif. Deduktif merupakan proses pengambilan kesimpulan untuk mencapai kebenaran melalui pemikiran dari perkara umum menuju ke khusus. Aplikasi deduktif diatur oleh dua prinsip, yang disebut ‘dictum de omni’ dan ‘dictum de nullo’. ‘Dictum de omni’ menyatakan bahwa apapun yang diaffirmasi di dalam keseluruhan logis maka diaffirmasi di dalam setiap bagian dari keseluruhan ini. Walaupun demikian, prinsip deduktif tidak luput dari kelemahan. Dengan premis mayor yang dianggap sudah menjadi pengetahuan yang pasti dan benar, maka konsekuensinya adalah bahwa silogisme ketegoriknya tidak menawarkan pengetahuan baru. Bahkan John Stuart Mill (1806-1873) menegaskan bahwa setiap deduksi adalah pseudo-deduksi, karena menurutnya gagasan-gagasan universal dan penilaian-penilaian universal adalah mustahil.
Apabila ditarik dalam konteks pemikiran keislaman, tampaknya pola deduktif mendominasi perumusan teori-teori keislaman, hal tersebut terlihat pada kecenderungan, text-book oriented atau ulama-oriented, dimana merupakan akibat dari terlalu mudahnya melakukan generalisasi yang merupakan kesimpulan mentah dari grand-concept yang abstrak dan umum, serta kurangnya melakukan pengamatan di lapangan secara empirik-faktual. Akibatnya mudah terjadi truth-claim yang berujung pada timbulnya friksi dan kekerasan.
Adapun induksi, adalah proses dimana premis dari argumennya diyakini dapat membantu mencapai kesimpulan umum, namun tidak memastikannya. Prinsip ini digunakan untuk menggambarkan beberapa bentuk hubungan yang didasarkan pada tanda, misalnya satu atau beberapa bagian dari pengamatan dan pengalaman, atau merumuskan hukum atas dasar observasi terbatas dari pola gejala yang berulang-ulang.
Menurut Aristoteles, induksi merupakan satu-satunya cara dimana manusia bisa memeroleh wawasan intelektual. Induksi merupakan jalan yang menghantarkan dari tingkat inderawi dan individual menuju tingkat universal. Dalam suatu pengertian, induksi lebih natural bagi manusia ketimbang deduksi, walaupun deduksi memberikan pengetahuan yang lebih sempurna karena ia mulai dari yang universal, yang memiliki tingkat inteligibilitas yang lebih tinggi. Sementara itu, Charles Sanders Peirce mempertanyakan proses induktif, menurutnya dalam kerangka logic of discovery, kita mengkonstruksi hipotesis baru dari reruntuhan hipotesis yang telah gagal, dan menguji norma-norma yang mengarahkan kita dalam menetapkan hipotesis mana yang layak diujikan. Dalam hal ini Peirce menawarkan model perumusan abduktif, yang melibatkan tiga macam penyimpulan sekaligus, yaitu hipotesis, deduksi, dan induksi.
Menurut Ian G. Barbour, selain prinsip deduksi dan induksi, ada yang disebut dengan proses imajinasi kreatif. Dimana banyak ide kreatif telah terjadi tanpa diduga dalam kilasan intuitif, sebagaimana peristiwa ketika Archimedes berteriak “Eureka” dalam bak mandinya, dan Newton yang terinpirasi dengan jatuhnya sebuah apel untuk teori gravitasi dan revolusi Bulan. Barbour menambahkan bahwa dalam perumusan teori, imajinasi kreatif melampaui proses penalaran yang sangat logis.
Di dalam konteks pemikiran Islam, perumusan teori di atas dapat dipertimbangkan untuk menjadi suatu komposisi pemikiran terpadu untuk mengembangkan tradisi berfikir analitis-kritis atau reflektif, yang tampaknya ekuivalen dengan tradisi ijtihad dalam Islam. sebagaimana ditegaskan oleh Abdurrahman Assegaf, bahwa tradisi ijtihad menuntun seorang muslim untuk bersikap akademik dan terbuka untuk menerima perbedaan pendapat (qaabil li an-niqasy). Berfikir akademik juga menuntun seseorang agar bersikap fleksibel dan toleran terhadap hasil pemikiran orang lain secara kontekstual. Sebagaimana terlihat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum kelas professional ulama muncul, terdapat fluiditas pemikiran dan budaya toleransi yang tinggi.
3. Kriteria untuk Mengevaluasi Teori
Dalam hal mengevaluasi sebuah teori, Barbour menetapkan tiga kriteria yaitu: (a) hubugan dengan data yang dapat dihasilkan kembali dalam komunitas ilmiah. Kesesuaian empiris adalah sifat krusial teori yang dapat diterima, dimana teori adalah sebuah “tiket penyimpulan”, sebuah teknik untuk menyimpulkan hubungan yang dapat diamati dan diuji. (b) mengacu pada hubungan di antara konsep teoritis. Konsistensi dan koherensi secara berurutan berarti tidak adanya kontradiksi logis dan adanya hubungan bertingkat di antara konsep di dalam struktur internal teori tertentu, atau dengan konsep teori lain yang dianggap valid. (c) berhadapan dengan kekomprehensifan sebuah teori. Dalam hal ini termasuk generalitas awalnya, atau kemampuan untuk menunjukkan kesatuan pokok dalam fenomena yang kelihatan berbeda.
Sebagian besar teori, menurut Barbour, dapat dikatakan sebagai sebuah teori apabila teori tersebut memiliki kesesuaian yang lebih baik dengan data yang diketahui dan lebih koheren dan komprehensif daripada teori alternatif yang ada pada saat itu. Sementara itu, lain halnya dengan Karl R. Popper, yang menurutnya, suatu teori dikatakan ilmiah, jika ia dapat difalsifikasi atau dibuktikan kesalahannya, bukan dibuktikan kebenarannya dengan observasi dan eksperimen, karena observasi dan eksperimen tidak dapat membenarkan suatu teori. Begitupula halnya teori-teori ilmiah, menurut Popper, bukan hasil olahan dari observasi, tetapi temuan-temuan, dugaan-dugaan yang dikemukakan dengan berani sebagai percobaan untuk dieliminasi jika mereka berlawanan dengan observasi.
Di sisi lain, menurut Imre Lakatos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah adalah rangkaian teori-teori, dan bukannya teori tunggal yang berdiri sendiri. Rangkaian teori-teori itu antara satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan suatu kontinuitas yang menyatukan teori-teori tersebut menjadi program-program riset. Oleh Lakatos, dalam metode riset ilmiah ada dua aturan metodologis, yaitu metode yang memberitahukan cara atau jalan yang harus dihindari (heuristik negatif) dan metode mana yang harus dijalankan (heuristik positif).
C. Komunitas Ilmiah dan Bahasanya.
1. Komunitas Ilmiah dan Paradigmanya
Menurut Barbour, eksistensi komunitas ilmiah selalu esensial untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagaimana keberadaan The Royal Society dan French Academy yang merupakan faktor penting dalam kelahiran ilmu pengetahuan. Komunitas ilmiah, seperti beberapa kelompok dalam masyarakat, memiliki seperangkat sikap yang dipengaruhi tetapi tidak identik dengan seperangkat sikap budaya umumnya. T.S. Kuhn juga menjelaskan bahwa komunitas ilmiah punya otoritas dalam mendukung asumsi tertentu dengan paradigmanya. Paradigma adalah “contoh standar” karya ilmiah yang diterima oleh sekelompok ilmuan tertentu pada waktu tertentu. Selain itu tidak ada otoritas yang lebih tinggi selain komunitas ilmiah untuk mengambil keputusan di antara paradigma tersebut.
Tesis T.S. Kuhn tersebut kemudian mendapat kritik dari Barbour, dimana ia menjelaskan bahwa Kuhn telah melebih-lebihkan karakter acak perubahan paradigma. Kenyataannya sebuah paradigma bisa berfungsi mengarahkan tradisi penelitian dengan cara yang menyatu; tetapi ketika menggambarkan paradigma, kita harus berusaha membedakan berbagai macam komponennya, karena mereka dievaluasi dengan berbagai cara. Di samping itu paradigma secara tidak langsung mentransmisikan beberapa praduga tentang alam yang sangat umum. Barbour menambahkan bahwa meskipun Kuhn secara absah menyerang pandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat kumulatif, tetapi dia gagal mengindikasikan bahwa bahkan dalam sebuah “revolusi” banyak karakteristik tradisi sebelumnya yang dipertahankan setelah terjadinya perubahan. Dalam artian bahwa ketika sebagian besar data telah diperoleh, akan ada banyak asumsi dan metode yang berlaku ditinggalkan. Karena itu ada kontinuitas, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang relatif matang, dan ada kemajuan, meskipun jarang yang ada dalam satu garis lurus.
2. Karakter Simbolis Bahasa Ilmiah
Salah satu unsur terpenting dalam konstruksi sains adalah adalah apa yang disebut abstraksi. Menurut Van Laer, isi yang dikandung oleh konsep abstraksi mencerminkan realitas hanya dalam suatu cara yang tidak komplit, yaitu sejauh isi kognitif tidak hanya berisi partikularia-partikularia individual kongkrit yang jika partikularia-partikularia individual kongkrit ini tidak ada maka benda itu pun tidak ada.
Setiap komunitas ilmiah menurut Barbour mempunyai bahasa simbolis tertentu yang digunakan untuk menafsirkan beberapa aspek pengalamannya. Suatu jenis konsep yang digunakan dan pola pemikiran yang diwujudkan dengan bahasa yang ditentukan berdasarkan asumsi dan minat komunitas ilmiah tersebut. Oleh karena itu bahasa setiap komunitas penyelidikan adalah abstraktif dan selektif dan menggantikan pengalaman kompleks dengan konsep simbolis dan sketsa diagramatis aspek-aspek yang menarik tersebut.
Menurut Barbour, pada abad sebelumnya, karakter simbolis bahasa ilmiah ini diabaikan; ilmu pengetahuan diasumsikan memberikan sebuah deskripsi literal tentang sebuah dunia obyektif. Konsepnya adalah pemikiran yang sama sebagai sebuah replika yang tepat dan utuh tentang alam sebagaimana adanya, yang mana pandangan tersebut disebut Barbour sebagai “realisme naif’. Sedangkan saat ini konsep-konsep yang dianggap sebagai simbol hanya menghadapi aspek-aspek fenomena tertentu untuk mencapai tujuan khusus dan terbatas. Kontribusi pikiran manusia pada penemuan, dan peran imajinasi dan kreativitas dalam perumusan teori baru, diakui secara luas. Konsep tidak diberikan sudah jadi oleh alam; konsep adalah adalah istilah dalam sistem simbol manusia.
3. Penggunaan Analogi dan Model
Secara umum prinsip analogi menurut Van Laer adalah fenomena-fenomena yang mirip (analog) memiliki kausa-kausa, sifat-sifat atau akibat-akibat yang sama. Prinsip analogi mengekspresikan kebenaran yang tidak terbantahkan apabila: (a) aplikasinya terbatas pada fenomena-fenomena deterministik, yaitu fenomena-fenomena yang karena sifat dasar alamiahnya bisa bekerja hanya dalam satu cara; (b) kemiripan dimaksud menunjuk tidak hanya pada kualitas-kualitas atau hubungan-hubungan aksidental, tetapi benar-benar esensial. Sehingga probabilitas konklusi akan diproporsikan secara langsung pada keluasan dan kepastian kemiripan yang diobservasi.
Sementara itu Barbour mendefinisikan model sebagai sebuah analogi sistematik yang dipostulatkan di antara sebuah fenomena yang hukum-hukumnya telah diketahui dan ada di bawah penyelidikan. Karenanya tidak diragukan lagi telah menjadi sumber teori ilmiah yang produktif. Misalnya teori gelombang cahaya sebagian besar dikembangkan melalui analogi dengan sifat gelombang suara. Akan tetapi yang harus dicatat, tegas Barbour, bahwa analogi hanyalah kesamaan beberapa beberapa karakter dan bukan semua karakter, sedangkan model hanya menyatakan kemungkinan hipotesis yang harus diuji secara eksperimental, dan teori adalah gambaran simbolis dan selektif.
D. Hubungan Konsep Ilmiah dengan Realitas.
1. Teori Sebagai Rangkuman Data (Positivisme)
Auguste Comte sebagai pelopor paham positivisme menegaskan bahwa sains bukanlah pengetahuan tentang kausa, tetapi semata-mata deskripsi tentang regularitas di dalam alam, tentang “bagaimana” kejadian-kejadian di dunia. Oleh karena itu teori-teori eksplanatori disingkirkan tanpa harapan untuk diingat; hanya teori-teori deskriptif atau teori-teori yang mengklasifikasi sajalah yang mampu menemukan rahmat.
Ada dua varian utama positivisme. Menurut fenomentalis, objek fisik itu adalah konstruksi logis di luar data indrawi. Mill mengajukannya dengan mengatakan bahwa objek-objek adalah “kemungkinan permanen dari sensasi”. Semua pembicaraan tentang objek, menurut kaum fenomentalis, bisa direduksi ke dalam pembicaraan tentang data indrawi. Sementara, menurut versi fisikalis, bahwa data memerlukan penerjemahan semua pernyataan konseptual menjadi “bahasa sesuatu” yakni, pernyataan tentang peristiwa dalam dunia publik atau hasil eksperimen langsung. Dalam kata lain semua konsep harus didefinisikan secara operasional dan diukur dengan prosedur laboratorium yang bisa diidentifikasi.
Kaum positivisme berasumsi bahwa apa yang ada dan berguna saja yang secara prinsip bisa diverivikasi. Pertanyaan tentang nilai suatu teori atau makna suatu ‘penjelasan’ tidaklah berarti, karena tidak ada jawaban yang bisa diverifikasi bisa diberikan. Dalam hal ini Barbour menyatakan, bahwa sebuah teori diambil sebagai sebuah penjelasan fenomena secara tepat karena teori menggunakan ide dengan tingkat logika yang berbeda dan mempunyai kekomprehensifan dan generalitas yang lebih besar daripada fenomena itu sendiri. Karena itu, ia menganggap bahwa positivisme telah gagal dalam menggambarkan peran krusial konsep dan teori dalam sejarah ilmu pengetahuan seperti bentuk empirisisme awal.
2. Teori Sebagai Alat yang Bermanfaat (Instrumentalisme)
Paham instrumentalisme menganggap bahwa pengalaman adalah lingkungan yang merangsang individual untuk memodifikasi lingkungan. Sehingga pengalaman adalah proses interaktif suatu organisme, termasuk manusia, dengan lingkungannya. Selain itu pengetahuan dan pikiran, dipahami hanya berfungsi sebagai alat semata untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Barbour menjelaskan, bahwa instrumentalis memberikan peranan yang lebih besar pada penciptaan skema konseptual imajinatif orang yang memahami daripada kelompok positivis. Karena bagi paham instrumentalis teori berfungsi sebagai alat penyelidikan. Teori diyakini sebagai (a) alat penghitungan untuk memberikan prediksi yang akurat, (b) mengorganisasi panduan untuk mengarahkan eksperimen lebih lanjut, dan (c) alat praktis untuk mencapai kontrol teknis. Mereka dinilai berdasarkan manfaatnya untuk mencapai tujuan-tujuan ini, bukan berdasarkan kebenaran atau kesalahannya.
Pandangan instrumentalis mendapat kritik pada enam hal. Pertama, pandangan ini dinyatakan tidak memiliki basis metafisika yang memadai, karena kajian spekulatif terhadap hakikat realitas hanya akan membuang-buang waktu semata. Kedua, instrumentalis memandang mind hanya alat yang secara biologis membantu manusia untuk survive. Ketiga, kebenaran adalah buatan manusia dan tidak memiliki eksistensi yang independen, sehingga tidak dapat diterima begitu saja. Keempat, jika teori adalah sekadar untuk memenuhi keinginan, bagaimana mungkin teori bisa memenuhi objektifitas dalam penelitian. Kelima, instrumentalisme lebih menekankan pada tujuan-tujuan pragmatis, bukan pada tujuan esensial yang seharusnya dicari.
Walaupun demikian, dalam konteks kajian keislaman. teori intrumentalisme dapat dimanfaatkan sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena pengalaman keagamaan. Fenomena shalat, misalnya dapat dipahami dari sudut pandang ini. Dimana shalat merupakan instrumen penting dalam konfigurasi keimanan umat Islam. Selain itu shalat sebenarnya adalah salah satu upaya manusia melakukan penyesuaian, harmonisasi, atau penyelarasan terhadap alam sekitar yang dipandang problematis demi memenuhi kebutuhan dan tujuannya, yakni kedamaian di muka bumi. Ketika timbul kekerasan dalam beragama, maka shalat bisa menjadi variabel penting dalam penelitian ilmiah.
3. Teori Sebagai Struktur Mental (Idealisme)
Bagi kaum idealis, khususnya kaum Kantian (pengikut Immanuel Kant), sebagaimana dijelaskan oleh Van Laer, bahwa pengetahuan manusia merupakan suatu proses subyektif dimana indera dan intelek, pada saat stimulus-stimulus inderawi ekternal memproduksi obyek pengetahuan itu sendiri yang dengan demikian berarti pada umumnya menentukan isi yang diketahui. Berkat ‘bentuk-bentuk pikiran’ alamiah, kita terpaksa harus menata fenomena-fenomena menurut kategori-ketegori tertentu, semisal unitas dan pluralitas, substansi dan aksidensi, kausalitas dan lain-lain. Realitas fenomena-fenomena itu bukanlah ukuran pemikiran kita, tetapi intelek itu sendiri yang menjadi ukuran. Tatanan yang kita kira memahami dan mengetahui, bukanlah tatanan benda-benda di dalam dirinya sendiri, tetapi tatanan yang, berkat struktur alami pikiran kita, kita masukkan ke dalam produk-produk kita dalam mengetahui. Bagi pandangan ini teori tiada lain hanyalah suatu penataan fenomena-fenomena di dalam diri kita secara subyektif sejalan dengan hukum-hukum pikiran alamiah; suatu teori eksplanatori adalah suatu teori yang menunjukkan bahwa data-data pengalaman bisa ditata menurut kategori kausalitas.
Menyikapi hal ini, Bertrand Russel berasumsi bahwa kaum idealis salah paham terhadap apa yang dimaksud dengan sesuatu yang ada dalam pikiran. Ia mengatakan jika kita memikirkan seseorang, ada perasaan yang kita miliki bahwa orang itu “dalam pikiran”. Tentu saja, mereka harus berada dalam pikiran kita, dalam pengertian tertentu, kita memikirkan mereka. Tetapi jelaslah, itu tidak bermaksud bahwa orang yang sebenarnya (actual person) berjalan mengitari kepala kita. Dengan cara yang sama, ketika kita merasakan sebuah objek, kita butuh ide yang pasti di kepala kita. Tetapi tidaklah penting maksudnya adalah bentuk, tekstur, warnanya sendiri sebenarnya ada di kepala kita. Adalah kebenaran yang tidak bisa disangkal lagi untuk mengatakan bahwa untuk mengetahui sebuah objek kita perlu memiliki ide mental tentang objek itu. Tetapi tidak berarti bahwa objek tidak lain dari ide ini. Oleh karena itu pandangan idealisme dianggap sebagai kesadaran intuitif dan tidak masuk akal.
4. Teori Sebagai Gambaran Dunia (Realisme)
Realisme adalah pandangan berdasarkan anggapan umum (common-sense view), yang mengasumsikan bahwa objek-objek ada secara bebas dari persepsi kita tentang objek-objek tersebut. Menurut kaum realis, ada dunia dari benda-benda nyata, memiliki bentangan nyata, sifat-sifat nyata dan aktivitas-aktivitas nyata. Lebih lanjut, kaum realis menerima bahwa pengalaman inderawi mampu memberikan gambar yang bisa dipercaya tentang dunia, sehingga bagi setiap impresi (kesan) inderawi spesifik ada realitas saintifik tertentu yang sejajar di luar dunia kita. Tetapi pengetahuan inderawi ini secara formal tidak sama dengan realitas, tetapi hanya analog dengannya.
Ketika diterapkan dalam teori, tampak jelas bahwa teori-teori saintifik harus secara tepat didasarkan pada pengalaman memberikan gambaran yang bisa dipercaya tentang dunia. Paham ini meyakini bahwa ada hubungan faktual antara fenomena-fenomena dalam hubungan timbal-balik dan interdependensinya, dan, dalam kasus-kasus yang tepat, eksistensi tendensi atau arah tertentu di dalam pengembangan benda-benda nyata.
Barbour menjelaskan bahwa berbeda dengan positivis, realis menegaskan bahwa kenyataan tidak dapat diamati. Berbeda dengan instrumentalis, realis menegaskan bahwa konsep valid adalah benar serta bermanfaat. Berbeda dengan idealis, realis menyatakan bahwa konsep menggambarkan struktur kejadian di dunia.
Menurut Whitehead, −salah seorang filsuf realis modern penemu “filsafat proses”− sebagaimana dijelaskan oleh Barbour, berpandangan bahwa materi mentah pengalaman telah memiliki kesatuan, yang dimengerti secara integral dengan seluruh kemampuan; dan pengalaman ini meliputi pengetahuan tentang interaksi bersama dengan lingkungan. Hanya dengan analisis kita dapat mengabstraksi “data indera” dari totalitas yang kita pahami. Kita memberikan reaksi dan respon, bukan mengisolasi keadaan mental. Kesadaran primitif kita adalah tentang kehidupan di dunia, bukan tentang membentuk kehidupan. Whitehead, jelas Barbour, berbicara tentang “sebuah kesadaran diri kita sendiri, sebagai kesadaran dari hubungan akrab, interkoneksitas, dan partisipasi dalam proses pencapaian di luar diri kita sendiri.
Dalam menyimpulkan pandangan realisme Whitehead, Barbour menjelaskan, bahwa Whitehead memberikan penekanan pentingnya objek pengetahuan, bukan subjek pengetahuan, tetapi peran subjek sama sekali tidak dihilangkan, karena (a) realitas tidak terdiri dari sesuatu, tetapi peritiwa yang terjadi dalam jaringan hubungan yang meliputi orang yang mengetahui dan objek yang diketahui; (b) pengetahuan bukan berasal dari subjek atau objek saja, tetapi dari sebuah situasi interaksi bersama, dan (c) bahasa ilmiah adalah simbolis, berasal dari abstraksi selektif subjek dari situasi total.
E. Catatan Akhir.
Pada akhirnya proses kegiatan keilmuan adalah “proses” yang tidak pernah usai, dan perumusan “metode” dalam perkembangan sains selalu mengikuti perkembangan zaman dan kemanusiaan. Dimana secara mendasar seorang akademisi atau ilmuan, memulainya dengan merumuskan masalah, pengajuan hipotesis dan pengujian terhadap kebenaran dengan landasan teoritis dan metodologi tertentu.
Dalam hal ini Ian G. Barbour berupaya mendedahkan secara gamblang tentang metode-metode sains dalam kerangka berfikir komprehensif yang dimulai dari pembahasan mengenai problematika pengalaman dan penafsiran dalam ilmu pengetahuan dengan menganalisis pola interaksi eksperimen dan teori, bagaimana pola merumuskan sebuah teori, serta kriteria-kriteria di dalam melakukan evaluasi terhadap teori. Selanjutnya Barbour menjelaskan tentang peranan interaksi komunitas ilmiah dan bahasanya, termasuk peranan paradigmanya. Di samping itu bagaimana sesungguhnya karakter simbolis bahasa ilmiah, berikut pola penggunaan analogi dan model. Pada bagian akhir, Barbour menjelaskan pola relasi antara konsep ilmiah dengan realitas, dengan menelaah pandangan paham positivisme, instrumentalisme, idealisme, dan realisme.
Dari hal tersebut disimpulkan, pertama, bahwa ilmuan mempunyai kebiasaan menjadikan karya-karya ilmiah dengan asumsi-asumsi realisme, sehingga pada umumnya karya ilmiah tersebut dikatakan semata-mata suatu ‘penemuan’ saintifik, bukan penciptaan. Dalam artian hakikat keilmuan hanya diletakkan pada basis pemahaman saintifik belaka, tidak dalam pengertian sebagai sebuah karya kreatif dari sebuah daya cipta yang merupakan anugerah terbesar dari hakekat tertinggi dari seluruh penciptaan (Tuhan). Inilah yang disebut Barbour dengan sebutan realisme naif yang memandang teori sampai kepada kita dalam kondisi sudah jadi oleh alam. Oleh karena itu timbul pandangan realisme kritis yang menegaskan peran susunan mental dan aktivitas imajinatif dalam perumusan teori, dan menegaskan bahwa beberapa gagasan yang sesuai dengan observasi lebih baik daripada gagasan lain yang hanya disebabkan oleh peristiwa yang mempunyai pola obyektif.
Kedua, bahwa para ilmuan baik dari kalangan positivis, dan idealis yang berdebat tentang pemahaman terhadap alam dengan kriteria empiris dan rasional yang mereka ajukan, dimana positivis telah gagal menyatakan bahwa semua data sesungguhnya bermuatan teori, dan bahwa hanya jaringan teori dan eksperimen yang dapat diuji bersama-sama. Sementara kelompok idealis di lain pihak telah gagal menekankan dasar empiris ilmu pengetahuan modern yang sudah pasti berbeda dengan “prinsip pembuktian –diri” ilmu pengetahuan abad pertengahan dan “bentuk pemikiran yang disangka benar”dari neo-kantianisme. Sehingga penekanan yang berlebihan pada kriteria empiris atau rasional justru semakin mengaburkan karakter aktivitas ilmiah.
Ketiga, bahwa aktivitas ilmiah adalah sebuah fenomena banyak aspek yang melibatkan eksperimen dan teori yang tidak hanya diambil untuk menciptakan ilmu pengetahuan. Usaha ilmiah membutuhkan proses logis dan sebuah imajinasi kreatif yang melampaui logika dan bersifat intuitif. Di samping itu teori dievaluasi berdasarkan kesepakatan empiris, koherensi rasional, dan kekomprehensifan. Sementara aktivitas individual dan originalitas adalah signifikan tetapi terjadi dalam tradisi komunitas ilmiah dan di bawah pengaruh paradigmanya. Bahasa ilmiah mengacu pada dunia secara simbolis dan parsial, dimana kadang-kadang menggunakan analogi dan model dalam ruang lingkup terbatas.
Keempat, Teori yang dihasilkan bersifat relatif (nisbi), karena sangat mungkin dimasa depan diperbaiki, dimodifikasi, atau dalam kasus yang jarang, digulingkan dalam sebuah “revolusi” besar. Namun teori ilmiah mempunyai sebuah keterandalan, dan komunitas ilmiah akhirnya mencapai konsensus. Selain itu, meskipun beberapa aspek pengetahuan ilmiah berubah, banyak aspek yang dipertahankan dan berkontribusi pada sebuah kemajuan kumulatif menyeluruh yang berbeda dari kemajuan disiplin ilmu lainnya. Wallahu A’lamu Bishawwab.

Bibliografi
Assegaf, Abdurrahman, “Reorientasi Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Hadharah Al-‘Ilm, dalam Nizar Ali dan Sumedi. (ed), Antologi Pendidikan Islam, Prodi Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Kalijaga dan Idea Press, Yogyakarta, 2010.
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berfikir, LESFI, Yogyakarta, 2008.
Baggini, Julian, Lima Tema Utama Filsafat, terj. Nur Zain Hae, Teraju, Bandung, 2004.
Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, terj. Damayanti dan Ridwan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Descartes, Rene, Discourse On Method Meditations, Translated by John Veitch dalam The Rationalist, A Dolphin Book, New York, 1960.
Madjid , Nurcholish, “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, Jauhar Vol. 1 Nomor 1 (Desember 2000),
Popper, Karl R. , “Philosophy of Science”, dalam C.A. Mace (ed.), British Philosophy in the Mid-Century, Allen and Unwin, London, 1957.
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy, George Allen & Unwin Ltd, London, 1996
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001.
Van Laer, Henry, Filsafat Sains, terj. Yudian W. Asmin dan Torang Rambe, LPMI, Yogyakarta, 1995.
Zubaedi, dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains Thomas Kuhn, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...