Rabu, 02 Maret 2011

Reformulasi Konsepsi Teleologis Pendidikan Islam (Kajian Interpretatif Atas Surah An-Nahl, Ayat 97)

A. Pendahuluan.
Segala sesuatu yang eksis di dalam kehidupan, dipastikan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan tersebut kemudian menjadi pemandu atas perjalanan menyusuri ruang dan waktu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan terbagi dalam tujuan yang berorientasi personal atau individu dan tujuan yang berorientasi kemasyarakatan. Tujuan seseorang ditentukan oleh kepercayaannya kepada nilai-nilai dan sistem pemikiran (idiologi) dan teologi tertentu. Begitu pula halnya tujuan yang berorientasi kemasyarakatan, ditentukan oleh sistem sosial, budaya, dan konsensus kebangsaan yang telah disepakati.
Al-Qur’an sebagai kitab kependidikan terbesar sarat akan nilai-nilai yang akan mampu mengarahkan seseorang atau umat Islam untuk mencapai tujuan final yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam sistem keimanan Islam, memiliki dua dimensi: Pertama, berdimensi duniawiyah, dimana seseorang dituntut untuk mengoptimalkan daya kreatifnya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup baik secara individu maupun di masyarakatnya. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an sebagai operasionalisasi fungsi-fungsi kekhalifahannya. Kedua, berdimensi eskatologis (akhirati), yaitu untuk dorongan untuk memiliki sikap bahwa apapun yang diusahakan di dunia, ekuivalen dengan proyeksi kehidupan di akherat kelak, karena ada proses kausal antara kehidupan dunia dengan kehidupan akherat. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an sebagai operasionalisasi fungsi-fungsi kehambaannya.
Oleh karena itu tulisan ini berupaya mengeksplorasi kembali tujuan kependidikan di dalam Islam dengan mengambil surah an-Nahl ayat 97 sebagai sumber inspirasi. Dari hal ini, diupayakan suatu perspektif baru yang dapat memperkaya wacana mengenai tujuan pendidikan di dalam Islam. Karena dalam realitasnya dunia pendidikan Islam masih dalam kondisi terbelakang. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa pendidikan yang berjalan belum mampu meningkatkan kualitas dan martabat kehidupan umat Islam, khususnya dalam menciptakan kesejahteraan hidup dan tegaknya nilai-nilai moral dan etika sosial di masyarakat.

B. Sebaran Konsepsi Teleologis Pendidikan Islam.
Merumuskan tujuan pendidikan menjadi sangat penting karena hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri, yang paling tidak didasarkan pada konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Secara garis besar dalam al-Qur’an tujuan pendidikan diparalelkan dengan tujuan penciptaan manusia. Hal senada juga disampaikan oleh beberapa ahli pendidikan seperti Hasan Langgulung, al-Nahlawi, Ahmad Tafsir dan T.S. Eliot yang menyatakan bahwa tujuan puncak (ultimate goal) pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup umat Islam, karena pendidikan Islam merupakan sarana mencapainya. Dalam hal ini salah satu ayat yang mendasari adalah surah adz-Dzariyat (51): ayat 56:
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Oleh Musthafa al-Kik, sebagaimana dinukil oleh Nizar Ali, maksud ayat tersebut ialah:
Pengabdian kepada Allah (ibadah) ialah jalan hidup yang mencakup seluruh segi kehidupan serta segala apa yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan bahkan bagian apapun dari perilakunya dalam mengabdikan diri kepada Allah. Dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang ibadah ini, maka tujuan pendidikan dalam Islam adalah mempersiapkan manusia yang mengabdi yaitu yang memiliki sifat-sifat yang diberikan Allah kepada hambaNya.
Rumusan tersebut di atas menyiratkan bahwa motivasi utama di dalam pelaksanaan dan proses pendidikan adalah dalam rangka penghambaan kepada sang Khaliq. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat al-Nahlawi, bahwa pendidikan merupakan wahana realisasi ibadah baik sebagai individu maupun masyarakat, yang berkait erat dengan tugas penciptaan sebagai hamba dan khalifahNya. Sehingga secara fungsional tujuan pendidikan Islam sangat ekuivalen dengan kesadaran dan tanggung jawab untuk melaksanakan dengan sepenuh hati amanah yang dipikul sebagai makhluk yang menghamba secara paripurna (abid) dan pelaksana dalam memakmurkan, menata, membangun dan menjaga bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh pemberi amanah (Allah). Hal tersebut dipertegas oleh Muhammad Quthb, bahwa tujuan utama pendidikan dalam al-Qur’an adalah membentuk dan membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menunaikan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, agar membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.
Penjelasan tentang tujuan pendidikan di atas, merupakan derivasi atas pemaknaan tentang tujuan penciptaan yang terkandung di dalam al-Qur’an yang kemudian diterjemahkan di dalam skema tujuan pendidikan Islam yang bersifat idealistik, atau bersifat umum. Dari tujuan yang bersifat idealistik tersebut para ahli memiliki pandangan yang berbeda dalam menjelaskan konsepsi untuk pengertian yang lebih khusus dan spesifik. Dalam hal ini menurut al-Syaibani, paling tidak tujuan pendidikan itu memeroleh tiga aspek perubahan yaitu tujuan-tujuan individual, sosial, dan tujuan profesional.
Hasan Langgulung menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah upaya mempersiapkan seseorang dalam dimensi keagamaan, akhlak, kemasyarakatan (sosial), pemikiran dan kesenian. Sementara itu menurut al-Ghazali sebagaimana dinukil oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan terbagi menjadi dua arah: kesempurnaan kemanusiaan yang tujuan hidupnya mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan kemanusiaan yang obyeknya kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun Muhammad Athiyah al-Abrasyi merinci tujuan pendidikan itu sebagai berikut:
a. Untuk membantu pembentukan akhlaq yang mulia.
b. Sebagai persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
c. Sebagai persiapan untuk mencari rejeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
d. Menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar untuk tujuan ilmu.
e. Menyiapkan peserta didik dari segi profesional, teknis dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis, dan perusahaan tertentu supaya ia dapat mencari rejeki dalam hidup dan hidup dengan mulia selain memelihara segi kerohanian dan keagamaan.
Sedangkan al-Jamali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:
a. Agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tanggung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia.
b. Agar seseorang mengenal interaksinya dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah sistem kemasyarakatan.
c. Supaya manusia mengenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapa hikmah Allah dalam menciptakan alam semesta dan memungkin-kan manusia untuk menggunakannya.
d. Supaya manusia mengenal Tuhan Pencipta alam semesta dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya.
Dari rumusan tersebut di atas, bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi dalam dua aspek, yang pertama bersifat idealistik, yaitu sebagai upaya fungsional di dalam melaksanakan tugas kehambaan dan kekhalifahan, sehingga saluran pendidikan diarahkan dalam rangka ibadah. Dari sini akan tercapai kesempurnaan kemanusiaan, karenanya keluaran dari sistem pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil dan insan kaffah. Kedua, tujuan pendidikan Islam yang bersifat realistik, yaitu aktualisasi potensi sumber daya manusia dalam bentuk pembentukan karakter dan mental serta profesionalisme di dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Khusus aspek yang kedua ini akan menjadi pembahasan utama dalam sub bahasan berikut.
C. Pemahaman Ayat.
Ayat yang menjadi bahasan utama dalam pengkajian mengenai tujuan pendidikan Islam dalam makalah ini adalah surah an-Nahl ayat 97:
         •    •      
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat tersebut di atas dimulai dengan kata من yang dimaksud adalah laki laki maupun perempuan, sehingga dalam konteks ayat ini tidak ada pembatasan terhadap jenis kelamin tertentu, maka tugas dan tanggung jawab untuk melakukan kebajikan, termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan dipikul oleh semua manusia tanpa memandang jenis kelamin.
Kemudian kata صالح yang bermakna baik, serasi, bermanfaat, dan tidak rusak. Dalam artian bahwa kegiatan aktual yang harus dilakukan oleh setiap orang dan kepada makhluk Tuhan yang lain adalah sesuatu yang bernilai baik dan bajik, sehingga memberi manfaat kepada orang lain, serta menimbulkan harmoni antar individu, keserasian dan mengikis perilaku destruktif. Maka semestinya kegiatan pendidikan semestinya dipahami sebagai kegiatan amal shalih, dimana di dalamnya tidak ada pamrih tertentu dan murni dibangun di atas nilai-nilai keikhlasan baik sebagai pelaksana pendidikan maupun peserta didik. Yang kalau ditarik dalam proses pengajaran, yaitu pendekatan pengajaran yang bersifat humanis dan afektif, misalnya, sebagaimana yang telah digagas oleh John P. Miller melalui bukunya yang berjudul “Humanizing The Class Room; Models of Teaching in Affective Education. Dalam pengertian lain, amal shalih juga dipahami sebagai kegiatan yang menguntungkan bagi diri pribadi dan juga kepada orang lain, atau amal yang produktif. Aspek yang menguntungkan (benefit) pasti akan mendatangkan kesejahteraan (hayatan thayyibah), sehingga semestinya pendidikan memproyeksikan peserta didik agar mampu menjadi pelaku amal produktif tersebut. Karenanya proses pendidikan seharusnya mampu memberi bekal yang cukup bagi peserta didik untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.
Sedangkan kata وهو مؤمن merupakan penegasan kepada orang-orang yang telah berbuat kebajikan (amal shalih) dan mempercayai/mengimani eksistensi ketuhanan sebagai sebab dari segala sesuatu. Dalam pengertian tekstual ayat ini merujuk kepada konsep keimanan kepada Allah bagi umat Islam. Adapun kalau ditilik dalam konteks sebagai wisdom yang bersifat universal, aspek ‘iman’ di sini tidak monopoli milik kaum muslim, ‘keberimanan’ bisa saja bermakna pandangan jauh ke depan (vision) yang melatarbelakangi kegiatan kebajikan yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk umat-umat dari kepercayaan di luar Islam.
Selanjutnya kata حياة طيّبة di mana kata طيّبة merupakan jamak dari kata thayyib, yang menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, bermakna “bebasnya segala sesuatu dari segala yang mengeruhkannya”. Dalam artian kehidupan yang nyaman dan sejahtera, sehingga tidak didera oleh rasa takut dan kesedihan. Dalam pengertian lain kata طيّبة juga dikiaskan Raghib al-Isfahani, dengan ungkapan yang berbunyi: ما تستلذة الحواسو وما تستلذة النفس, yang bermakna suatu hal yang menyenangkan bagi panca indera dan menyenangkan pula bagi jiwa. Apabila ditarik dalam konteks tujuan pendidikan, semestinya pendidikan bertujuan untuk mendorong peserta didik untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Dalam pengertian kehidupan yang lebih nyaman dan sejahtera dari sebelumnya, di mana segala sesuatunya menyenangkan baik secara fisik maupun kejiwaan, sehingga tidak ada rasa takut dan kekhawatiran akan kesulitan dalam menjalani hidup. Karena ilmu yang didapatkan dari proses pengajaran telah menambah kemampuan hard skill maupun soft skill dan profesionalitas di bidang yang menjadi fokus keahliannya. Yang harus dicatat bahwa konsep kenyamanan dan kesenangan disini tidak sama dengan konsep kesenangan (pleasure) yang dikembangkan oleh paham filsafat epikureanisme, yang memandang kesenangan secara materialistik.
Istilah حياة طيّبةparalel dengan istilah حلالا طيّبة yang bermakna bahwa pencapaian kehidupan yang nyaman dan sejahtera sudah seharusnya didapatkan dari proses-proses dan sumber-sumber yang bersih dari hal-hal yang meragukan (syubhat) apalagi yang jelas-jelas dilarang (haram). Dalam hal ini pendidikan anti korupsi menjadi sangat relevan untuk memberi pemahaman kepada peserta didik bahwa kesenangan yang didapatkan dari cara-cara yang kotor, tidak akan memberi manfaat apapun bagi jiwa. Selain itu dari fenomena menjamurnya perilaku menyimpang tersebut di negara ini, membuktikan bahwa pendidikan telah gagal, dan telah keluar dari koridor tujuan ideal pendidikan yang menjadikan aspek ibadah sebagai nilai yang elan vital bagi setiap peserta didik.
D. Back To Basic Pendidikan Islam.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa konsepsi teleologis pendidikan Islam yang ada belum menyentuh persoalan yang paling mendasar, yaitu tercapainya kualitas hidup yang lebih baik. Oleh karena itu mengambil inspirasi dari ayat 97 Surah an-Nahl, dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan utama yaitu hayatan thayyibah, atau kehidupan yang baik dengan kualitas fisik maupun non-fisik (ruhaniah). Untuk mencapai hal tersebut seseorang harus melaksanakan dua prinsip penting, yaitu amal shalih dan keberimanan.
Kemudian yang dimaksud dengan back to basic pendidikan, yaitu mengembalikan tujuan pendidikan kepada tujuan eksistensial manusia untuk hidup, dalam artian memberikan bekal dalam bentuk kompetensi untuk menjalani kehidupan. Belajar dari dunia hewan, bahwa semua hewan yang dilahirkan oleh induknya, sejak lahir dilatih daya instingtif-nya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan mendapatkan pelatihan dari induknya agar memiliki kompetensi di dalam bertahan hidup, baik bertahan hidup dari ancaman hewan lain maupun kemampuan berburu atau mencari makanan. Oleh karena itu pendidikan seharusnya mengantarkan peserta didik supaya hidup, atau memiliki kompetensi untuk hidup, yang di dalam bahasa al-Qur’an diistilahkan dengan amal shalih.
Istilah amal di sini juga dimaknai sebagai kegiatan yang kompetitif dan produktif yang mendatangkan imbal balik yang positif baik secara material maupun spiritual. Sementara itu istilah shalih erat kaitan maknanya dengan istilah hasan yang bermakna kebaikan yang fungsional, maka shalih juga bermakna menciptakan kedamaian dan keselamatan. Oleh karena itu amal shalih −sebagaimana termaktub dalam surah al-Ashr dan al-Tiin− adalah suatu kegiatan yang mengantarkan seseorang agar tidak terjerumus ke dalam kegagalan (husrin) dan posisi akhir derajat manusia yang paling rendah (asfala saafilin).
Tercapainya hayatan thayyibah yang menjadi tujuan pendidikan Islam, dapat dilihat pada tujuh indikator yang juga merupakan tujuh hukum kebaikan yang bersifat universal, yaitu: (1) memiliki tubuh fisik baik, dimana tubuh selalu dalam kondisi sehat, bersih, rapi, bugar, dan kuat; (2) memiliki perangai budiman dan perilaku akhlaq yang tinggi; (3) memiliki perilaku beragama yang baik dan menghargai pluralitas budaya dan keyakinan; (4) bekerja dengan sungguh-sungguh sebagai pemenuhan tanggung jawab kehidupan; (5) memiliki kesadaran tinggi di dalam kehidupan sosial bermasyarakat; (6) memiliki integritas yang tinggi dalam bidang pendidikan dan kreativitas ilmiah; (7) memiliki kesadaran tinggi terhadap pelestarian alam dan lingkungan.
Di atas semua itu, proyeksi keberimanan menjadi core values bagi upaya pencapaian hayatan thayyibah, dimana orientasi keberimanan tidak lagi bersifat individualistik, akan tetapi orientasi vertikal kepada Allah. Yaitu segala sesuatunya dilandaskan pada motivasi utama yaitu mencari keridhaan Allah, sehingga etos kerja, etos sosial, etos budaya, etos ilmiah, senantiasa bernafaskan nilai-nilai keberimanan dan keberislaman. Hal tersebut dapat dilihat dari redaksi ayat yang berbunyi و هو مؤمن bukan و آمن .
E. Problematika Internal dan Konsepsi Diri.
Apabila interpretasi ayat di atas dihadapkan pada konteks kekinian, dengan melihat realitas pendidikan Islam pada saat ini, terlihat ada jurang yang tajam antara tataran konseptual dan realitas sosial, budaya kemasyarakatan umat Islam pada umumnya. Di mana keluaran lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki hard skill dan soft skill yang memadai, di samping karena kurikulum pendidikan yang serba tanggung sehingga membuat keluaran lembaga pendidikan Islam tidak menjadi sosok yang profesional di bidangnya. Akibatnya keluaran pendidikan Islam menjadi penyumbang terbesar tingginya angka pengangguran di Indonesia.
Kondisi tersebut di atas bisa saja bersumber dari faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor internal bisa berasal dari konsep diri yang berpengaruh pada pilihan-pilihan sadar dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Faktor ekternal adalah situasi sosio-kultural maupun politik yang melingkupi sekaligus menentukan perjalanan hidup seseorang. Dalam hal ini perhatian tulisan ini lebih kepada faktor internal yang terjadi.
Dalam skema perkembangan teologi Islam, umat Islam sering menghadapi problematika pemikiran tentang persoalan takdir dan kehendak bebas. Penulis melihat asal muasal tidak adanya sensivitas sebagian umat Islam untuk meningkatkan kualitas kehidupan atau semangat enterpreneurship, karena penafsiran yang keliru atas takdir dan kehendak bebas. Selain itu pembelajaran akidah yang diterima sejak usia SD hanya menyajikan sistem ‘kalam’ yang menjemukan dan tidak mengantarkan peserta didik kepada pandangan yang positif terhadap takdir dan kehendak bebas. Akibatnya yang timbul justru pandangan fatalistik. Di sisi lain juga terjadi mis-konsepsi atas konsep-konsep seperti zuhud, qana’ah, wara’ dan sebagainya.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan memiliki dua aspek, aspek ekternalnya adalah bahwa pendidikan merupakan proses pewarisan budaya, sedangkan aspek internalnya, pendidikan adalah pengembangan potensi. Oleh karena itu pengembangan potensi diri mengalami stagnasi karena mind set dan cara pandang yang salah tentang konsep diri dan kehidupan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Padahal al-Qur’an menurut Murtadha Mutahhari telah mendeskripsikan secara terang bahwa manusia sebagai makhluk terpilih untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifah), serta makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang di dalamnya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi. Selain itu manusia mampu menaklukkan alam serta bebas pula memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan melalui pengetahuan ilmiah yang mereka miliki. Mereka mampu membangun diri dan menentukan masa depan mereka atas dasar kuasa membentuk diri yang ada dalam diri mereka. Semua mazhab moralitas, ajaran agama, dan doktrin pendidikan dimaksudkan untuk membimbing manusia ke arah pembentukan diri semacam itu.
Bersesuaian dengan penjelasan di atas, pandangan diri yang fatalistik umat Islam kebanyakan berasal dari kesalahan pengertian tentang kehendak Allah yang mengandung arti hukum dan keputusan dan dipahami secara deterministik. Padahal menurut Aisyah Abdurrahman (Bintusy-Syathi) pada detail makna terdapat perbedaan yang substansial antara kehendak Allah dan kehendak makhluk, di mana bagi makhluk, kehendak selalu bermakna kesenangan, pilihan bebas dan implementasi. Bintusy-Syathi menambahkan:
bahwa istilah kesenangan (الرغبة) itu merupakan permulaan kehendak الإرادة)) dan ketegasan ( ( العزمadalah salah satu prasyaratnya. Setelah ditelusuri, kata (الرغبة) al-Qur’an sama sekali tidak pernah disandarkan dan dikaitkan untuk Allah SWT. Akar kata رغب dalam al-Qur’an digunakan sebanyak delapan kali, dan semuanya diterapkan untuk makhluk, bukan untuk Khaliq. Demikian pula kata العزم tidak sekalipun disandarkan kepada Allah. Tidak pernah Allah digambarkan sebagai pemilik 'azam. Tetapi kata itu selalu diterapkan untuk hamba-hamba-Nya, baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk masdar, sebanyak sembilan kali dengan makna keteguhan dan implementasi.

Pencapaian kualitas kehidupan hanya bisa didapatkan dengan budaya kerja atau etos kerja yang tinggi. Dalam konteks al-Qur’an budaya kerja disejajarkan dengan terma ‘amal saleh’ yang dimaksud dengan kegiatan produkif yang menghasilkan keuntungan (benefit). al-Qur’an tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi seorang muslim untuk menganggur di sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Fa idza faraghta fanshab (QS Alam Nasyrah [94]: 7). Menurut Quraish Syihab, kata faraghta yang terambil dari kata (faragh) yang berarti “kosong setelah sebelumnya penuh”. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan proses dinamis dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya yang menuntut etos kerja yang tinggi. Kata fanshab antara lain, berarti berat atau letih. Pada mulanya ia berarti “menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap”. Fanshab seakar dengan kata nashib atau “nasib” yang biasa dipahami sebagai “bagian tertentu yang diperoleh dalam kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, serta tidak dapat/sulit dielakkan. Quraish Shihab menambahkan bahwa manusia dituntut untuk melakukan usaha atau dalam bahasa al-Qur’an, sa’i. Usaha tersebut harus bertolak dari Shafa, yang arti harfiahnya kesucian dan berakhir di Marwah. Bila ini terpenuhi usaha akan berakhir dengan kepuasan atau Marwah.
Pencapaian kualitas kehidupan biasanya dibuktikan secara mudah dengan kepemilikan atas materi atau kekayaan. al-Qur’an menggunakan istilah ghina yang terulang dalam berbagai bentuknya sebanyak 73 kali, dan pada umumnya diterjemahkan dengan “kaya”, serta dipahami secara keliru dalam arti “memiliki materi yang banyak”. Karena dalam konsep Islam kemiskinan ruhani lebih berbahaya daripada kemiskinan materi, karena kemiskinan ruhani dapat menghambat manusia mencapai tujuan hidupnya yang hakiki. Walaupun demikian al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berjuang meraih kehidupan duniawi. Salah satu indikatornya adalah seorang Muslim diajari agar berdoa dan berusaha meraih hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-akhirah. Allah Swt melalui al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menjelajahi bumi yang terhampar untuk mencari rezekinya. Selain itu istilah yang digunakan untuk menunjukkan anugerah-Nya, adalah fadhl yang berarti “kelebihan”. Jika demikian itu halnya, maka lanjut Quraish Shihab, pemilahan kekayaan dan kemiskinan pada dua sisi material dan spiritual, bukanlah berarti mengalihkan perjuangan kekayaan hanya semata-mata kekayaan spiritual, tetapi perjuangan tersebut adalah untuk mengingatkan manusia agar tidak larut dalam memperbanyak dan menumpuk harta benda, sebagaimana yang, antara lain diingatkan oleh sural al-Takatsur. Dengan demikian al-Qur’an telah memberikan proporsi dan garis demarkasi yang jelas bagi orang-orang yang ingin meningkatkan kualitas kehidupannya. Konsep hayatan thayyibah menjadi sasaran penting bagi proyeksi pendidikan, maka sudah semestinya pendidikan mengembangkan potensi diri peserta didik, agar di dikemudian hari tercipta kehidupan yang lebih bermartabat dan berkualitas.

F. Penutup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para pakar pendidikan Islam telah mendefinisikan tujuan pendidikan yang sangat berkait erat dengan pandangan hidup umat Islam itu sendiri, yaitu tujuan penciptaan. Sehingga segala sesuatunya dilandaskan kepada konsep penghambaan kepada Allah (ibadah), dan pengambilan peran kependidikan dimaknai sebagai mandat dari Allah, dalam statusnya sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Dalam hal ini tujuan pendidikan seperti ini berada pada level idealistik.
Dengan mengambil inspirasi dari surah an-Nahl ayat 97, bahwa proyeksi pendidikan semestinya juga bertujuan untuk mengembangkan potensi diri dan aktualisasi potensi sumber daya manusia dalam bentuk pembentukan karakter dan mental serta profesionalisme di dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat. Sehingga keluaran pendidikan Islam adalah orang-orang yang bersiap untuk melakukan kegiatan amal shalih yang produktif dan memberi kontribusi yang signifikan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik (hayatan thayyibah). Perspektif yang realistik terhadap tujuan pendidikan menjadi sangat penting ditengah pandangan masyarakat yang mengangggap keluaran pendidikan Islam hanya berfungsi sebagai pelengkap penderita simbol-simbol agama. Wallahu A’lam Bisshawwab.
Bibliografi.
al-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Bait wal Madrasah wal-Mujtama’, Dar al-Fikr, Damaskus, 1996.
Ali, Nizar “Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Hadits”, dalam Nizar Ali dan Sumedi. (ed), Antologi Pendidikan Islam, Prodi Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Kalijaga dan Idea Press, Yogyakarta, 2010.
al-Syaibani, Muhammad Oemar al-Thoumy, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahri, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Abdurrahman, Aisyah (Bintusy-Syathi), Manusia: Sensivitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief, LKPSM, Yogyakarta, 1997.
al-Jamaly, Muhammad Fadhil, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya 1986.
Hitami, Munzir, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, Infinite Press, Yogyakarta, 2004.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1995.
Mutahhari, Murtadha, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, terj. Sugeng Rijono dan Farid Gaban, Mizan, Bandung 1989.
Quthb, Muhammad, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Dar al-Syuruq, Beirut, 1983.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2005.
Shihab, Muhammad Quraish, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...