Rabu, 02 Maret 2011

Pendidikan Berbasiskan Makrifat (Telaah Kitab Misykat al-Anwar Al-Ghazali dan Tahdzib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih)

A. PENDAHULUAN.
Sejak awal diwahyukannya al-Qur’an melalui surah al-Alaq 1-5, sudah tergambar bahwa konstruksi pengetahuan dalam Islam dibangun di atas nilai-nilai tauhid. Dari ayat-ayat yang pertama turun tersebut terlihat bahwa ada perintah untuk “membaca” yang merupakan proses pencapaian ilmu pengetahuan dengan rambu-rambu “atas nama Tuhan”. Sehingga proses pencapaian ilmu harus ekuivalen dengan proses makrifat. Paling tidak ada tiga aspek di dalam kelima ayat tersebut, yaitu makrifat terhadap Tuhan (Rabb), makrifat terhadap manusia (al-insan) dan makrifat terhadap alam semesta (alam). Karena Tuhan sebagai wujud absolut merupakan realitas tertinggi dan fundamental, maka salah satu target atau tujuan pendidikan Islam dengan sendirinya harus diarahkan pada upaya dan metode pengenalan dan pengakuan yang benar mengenai Tuhan.
Oleh karena itu proses pendidikan sebaiknya dilandaskan pada paradigma ketiga aspek tersebut, yaitu sejak dini harus ditanamkan pemahaman tentang ketuhanan (makrifat ar-Rabb), sebagai bekal bagi peran manusia sebagai pelaku budaya (makrifat al-insan) dan pencipta budaya (makrifat al-Alam). Hal ini menjadi penting karena secara umum telah dibedakan secara diametral antara al-ilm’ dan ma’rifat, dimana al-ilm’ dipahami semata-mata ilmu pengetahuan yang diperoleh dari proses rasio-empirik, dan ma’rifat yang pahami secara khusus sebagai pengetahuan mengenai Tuhan yang dicapai melalui gnosis atau illuminasi spiritual.
Bagaimanapun, sekurang-kurangnya ada satu hadits Qudsi terkenal yang di dalamnya Tuhan mengatakan, “Aku adalah harta terpendam (kuntu kanzan makhfiyyan), dan Aku suka untuk diketahui (melalui makrifat), maka Aku ciptakan makhluq agar Aku diketahui (fa-ahbabtu’ an u’rafa fa-khalaqtu al-khalqa li-u’rafa). Sehingga adalah kurang tepat jika makrifat dianggap sebagai kebalikan dari al-Ilm’, sebab para sufi tingkat tinggi sendiri tidak membuat pembedaan yang dualistis antara keduanya: ‘ilm adalah umum dan dan spesifik (mujmal dan mufashshal), sedangkan makrifat hanyalah spesifik (mufashshal), tetapi bukan berarti makrifat yang lebih superior.
Tulisan ini berupaya menggali kembali khazanah tentang keterkaitan antara pendidikan sebagai wahana pencarian ilmu pengetahuan dengan makrifat. Dalam hal ini karya al-Ghazali merupakan karya yang berisi wawasan filosofis mengenai upaya memahami hakikat ketuhanan (makrifat al-Rabb). Kitab Misykât al-Anwâr adalah salah satu karya terakhir al- Ghazâlî yang oleh para ahli dinilai sebagai kitab yang sangat istimewa. Di dalam kitab ini, ditemukan pandangan-pandangan esoterik dan filosofis al-Ghazâlî yang radikal. Abû al-‘Ilâ' 'Afîfî misalnya, menyimpulkan bahwa kitab Misykât menggambarkan posisi atau sikap final al-Ghazâlî dalam masalah-masalah sufistik yang mendasari pandangan akhirnya mengenai tasawuf. Sementara itu karya Ibnu Miskawaih dimunculkan dalam rangka sebagai kelanjutan dari proses makrifat terhadap Tuhan, yaitu peranan akhlaq sebagai basis moral penting dalam proyeksi pendidikan Islam, kaitannya dengan peran manusia sebagai pelaku budaya (makrifat al-Insan) dan pencipta budaya (makrifat al-Alam).

B. INFORMASI DATA.
1. Metafisika Cahaya: Pandangan al-Ghazali
Tema “Cahaya” dipahami sebagai Realitas Utama, dalam diskursus ajaran tasawuf, merupakan salah satu tema sentral dalam beberapa karya para sufi. “Cahaya” dalam banyak hal menjadi konsep favorit terminologi spiritual (tasawuf) yang biasanya dilambangkan secara metafor (majâzî) dengan pengetahuan. Ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa “Tuhan adalah cahaya langit dan bumi” (an-Nur: 24, ayat 35) yang kemudian dimensi kosmogonis dan kosmologisnya diperkuat oleh Rasul saw dengan sabdanya, “Yang pertama kali diciptakan Tuhan adalah Cahaya”, telah menjadi rujukan yang absah dan mencerminkan peranan utamanya dalam tradisi keagamaan dan keilmuan Islam.
Misi utama kerasulan juga demikian, yaitu untuk membimbing manusia menuju cahaya kebenaran, bahkan al-Qur’an berkali-kali menjelaskan bahwa Tuhan menuntun manusia dari kegelapan menuju cahaya, min azh-zhulumât ilâ an-nûr. Sehingga dalam pendidikan Islam, misi utama kerasulan tersebut juga semestinya juga menjadi misi pendidikan Islam, secara metaforis, azh-zhulumât dimaknai sebagai kebodohan dan an-nûr, dimaknai sebagai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini proses transformasi dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan (cahaya), dan saluran utamanya adalah pendidikan (tarbiyah).
Al-Ghazali memulai pembahasannya dalam kitab Misykat al-Anwar dengan terlebih dahulu menjelaskan pengertian “cahaya”. Menurut al-Ghazali cahaya memiliki makna yang berbeda. Perbedaan makna ini tergantung kepada siapa yang mempersepsinya dalam hal ini al-Ghazali membagi manusia sebagai subyek yang memahami dan mempersepsi cahaya menjadi tiga golongan, yaitu kaum awwam (awam), khawashsh, dan kaum khawashsh al khawashsh.
Menurut al-Ghazali, cahaya bagi kaum awwam, menunjukkan pada sesuatu yang nampak, dan penampakan itu adalah sesuatu yang nisbi. Adakalanya sesuatu itu nampak tidak terhalangi oleh selainnya, dan adakalanya tersembunyi. Dengan demikian ia nampak (zhahir) dan tersembunyi (bathin) secara nisbi.
Penampakan ini bagi kaum awam bersandar sepenuhnya pada panca indera, dan yang paling kuat dan paling penting dalam hal ini adalah indera penglihatan. Selanjutnya al-Ghazâlî mengklasifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan indera penglihatan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda yang gelap.
b. Yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak menampakkan yang lainnya, seperti benda-benda yang bersinar, misalnya bintang- bintang dan bara api yang tidak menyala.
c. Yang tampak dengan sendirinya dan juga menampakkan benda benda lainnya, misalnya matahari, bulan, api yang menyala dan pelita.
Yang disebut terakhir inilah yang oleh al-Ghazâlî disebut cahaya dalam persepsi kaum awam. Dengan demikian, cahaya bagi kaum awam adalah sesuatu yang tampak oleh indera penglihatan (mata) sebagai sesuatu yang bersinar dan dapat menampakkan benda lainnya. Dalam hal ini, hal-hal yang dapat diindera oleh mata sebagai sesuatu yang bercahaya adalah hal-hal yang bersifat material, seperti matahari, bulan, api, pelita, dan lain sebagainya, yang dalam tasawuf merupakan salah satu bagian Realitas yang berderajat paling rendah. Dilihat dari struktur hierarkis pengetahuan, persepsi kaum awam mengenai cahaya yang didasarkan pada analisis data indriawi dengan pengamatan terhadap alam fisik ini berada pada tingkatan yang paling rendah. Tingkatan pemahaman ini disebut juga dengan tingkatan ilmiah, di mana alam fisik dipahami melalui indera dan pengamatan ilmiah.
Jika esensi cahaya bagi kaum awam adalah sesuatu yang tampak oleh indera penglihatan (mata) atau sesuatu yang dapat diindera oleh mata, bagi kaum khawâshsh lebih melihat kepada daya yang bisa menyerap cahaya. Menurut al-Ghazâlî, cahaya bagi mereka adalah “ruh” yang memiliki daya lihat. Oleh karena itu, bagi kaum khawâshsh, cahaya lebih utama dinisbahkan kepada ‘ruh yang melihat’ (ar-rûh al-bashîrah), sebagai suatu unsur yang harus ada dalam pencerapan (makrifat).
Dengan demikian, kaum khawâshsh dalam mempersepsi cahaya lebih menukik jauh ke dalam diri manusia. Menurut mereka, cahaya adalah “mata” yang memiliki sifat kesempurnaan, yang adakalanya disebut dengan istilah ‘aql, ruh, atau nafs. Di mata kaum khawâshsh, mata lahiriah yang disebut cahaya dalam persepsi kaum awam adalah kegelapan, dan ia merupakan satu di antara mata-mata (spion) bagi akal untuk mengawasi khazanah yang paling rendah dan melaporkannya kepada akal hingga akal dapat menetapkan keputusannya dengan tepat. Akal mampu memancarkan cahaya. Akal bukan hanya membuat kita mampu mempersepsi obyek-obyek lain, tetapi akal juga akan mampu melampaui ruang dan waktu, karena ia berasal dari realitas yang sama dengan alam ruh, yang tidak semata- mata merujuk kepada daya analitis dari otak kita.
Menurut al-Ghazâlî, kata “ruh” dan kata “hati” mempunyai makna yang sama, dan bahwa mustahil memahami keduanya melalui upaya intelektual. Secara epistemologis menurut al-Ghazali, bahwa akal manusia adalah sebuah substansi spiritual yang sumber atau prinsipnya adalah akal ilahi atau logos, yang juga merupakan prinsip dari alam makrokosmik.
Kaum sufi tampaknya sepakat bahwa mustahil mencapai makrifat tentang esensi ruh melalui akal diskursif. Akal tidak sanggup memahami cahaya-cahaya abstrak (al-Anwâr al-mujarrad). Cahaya-cahaya bisa dipahami melalui penyingkapan spiritual, atau melalui rahmat Allah. Dan ini hanya mungkin dilakukan manakala seorang menutup pintu, bukan hanya pada indera-indera eksternal, serta membebaskan hati dari segenap belenggu badani dengan tekad kuat untuk berusaha memahami berbagai hal spiritual yang abstrak. Hanya dengan cara ini sajalah esensi ruh terungkap oleh kaum sufi dan hanya dengan cara ini pula mereka memperoleh makrifat.
Dengan demikian, sejauh ini terlihat bahwa meski belum sampai kepada penjelasan makna cahaya sebagaimana yang dipahami oleh kaum khawâshsh al khawâshsh, istilah “cahaya” yang dielaborasi oleh al-Ghazâlî dalam paparan di atas tidak digunakan dalam pengertian epistemologis sepenuhnya, tetapi dimaksudkan untuk mencakup makna yang lebih luas di mana cahaya fisik hanyalah salah satu penjelmaannya. Dengan demikian, cahaya tidak hanya bersifat material, tetapi juga non material. Uraian-uraian al-Ghazâlî lebih lanjut memperlihatkan bahwa cahaya diterapkan baik pada realitas tertinggi (Tuhan) maupun makhluq. Berdasarkan pemahaman dan penafsiran tersebut, al-Ghazâlî tampaknya telah mempertimbangkan dan mempersiapkan dengan cermat untuk melangkah ke pembahasan makna cahaya yang lebih hakiki (cahaya sebagaimana yang dipahami kaum khawâshsh al-khawâshsh).
Sampai di sini al-Ghazâlî kemudian mengalihkan pembicaraan kepada antitesa dari cahaya itu, yaitu kegelapan. Menurut al-Ghazâlî, tidak ada kegelapan sepekat kegelapan ‘adam (non-eksistensi). Menurutnya,‘adam adalah kegelapan. Sebab sesuatu dinamakan gelap karena ia tidak tampak bagi penglihatan, tidak menjadi maujud bagi penglihatan, meski ia sebenarnya "ada" dalam dirinya. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak ada, baik untuk sesuatu yang lain maupun untuk dirinya sendiri, sepatutnya itulah yang dimaksud dengan kegelapan, yang menjadi lawan dari keberadaan yaitu cahaya. Di titik inilah ia dekat kepada doktrin wahdat al-wujûd. Yaitu doktrinnya yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang ada dalam wujud kecuali Allah, karena wujud segala sesuatu selain Dia adalah pinjaman atau berasal dari Dia; wujud pinjaman apa pun berada pada hukum atau sifat apa yang tiada (fî hukm al-ma’dûm). Karena itu, alam pada hakikatnya tidak mempunyai wujud. Pendapat Al-Ghazâlî tersebut tidak berbeda dengan apa yang kemudian dikemukakan oleh Ibn 'Arabî ketika menggambarkan hubungan antara Tuhan dan alam yang digambarkan dengan hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah "milik" alam. Karena itu Ibn 'Arabî mengatakan bahwa wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.
Bagi para sufi, cahaya dan kegelapan adalah pengalaman- pengalaman metaforis. Ketika Yang Mutlak tampak dalam kesadaran seorang sufi, Dia tampak sebagai kesatuan yang tak-terkotori, seperti cahaya. Semua keragaman dan kemajemukan lenyap dalam kegelapan. Dengan demikian, ketika cahaya memperlihatkan penampakan penuhnya, segala sesuatu lenyap. Cahaya menyebabkan kegelapan. Tetapi, karena semuanya kehilangan individualitasnya dan lenyap dari kesadaran, secara paradoksikal, seluruh alam berubah menjadi samudera cahaya. Keluar dari kedalaman cahaya ini semua yang hilang dalam kegelapan mulai dilahirkan kembali dalam individualitas mereka masing-masing; tetapi, pada tahap ini mereka adalah kegelapan yang jauh sama sekali dari cahaya murni keperiadaan.
Selanjutnya, al-Ghazâlî menyatakan bahwa Wujud (eksistensi) adalah cahaya. Eksistensi ini sendiri terbagi dua yakni, yang memiliki eksistensi pada dirinya sendiri dan yang memiliki eksisitensi dari sesuatu selainnya. Eksistensi yang terakhir ini adalah barang pinjaman yang tidak bernilai dengan sendirinya. Karena bila eksistensinya dilihat dari sudut dirinya sendiri, sesungguhnya ia adalah ketiadaan yang murni. Eksistensinya hanyalah nisbi belaka, bukan wujud yang sebenarnya. Dengan demikian, al-Ghazâlî menyimpulkan bahwa eksistensi yang hakiki adalah Allah SWT, sebagaimana cahaya yang hakiki adalah Allah SWT.
Pesan spiritual yang dapat ditangkap dari pemaparan al- Ghazâlî di atas adalah bahwa Tuhan bagaimanapun adalah satu-satunya yang eksis. Jika kita menempatkan eksistensi kita dekat pada eksistensi-Nya, kita akan melihat bahwa kita sepenuhnya berasal dari-Nya. Kita sesungguhnya tidak memiliki eksistensi. Kita hanya menerima pancaran cahaya eksistensi-Nya, yang pada akhirnya juga akan kembali pada Sumbernya. Oleh sebab itu, jika manusia ingin menemukan eksistensi dirinya yang sesungguhnya, dia harus mencarinya di dalam non-eksistensi dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, jika manusia ingin mendekati Tuhan, ia harus menjauhkan diri dari penjara keberadaan.

2. Hierarki Epistemologi Makrifat Menurut Al-Ghazali.
Al-Ghazâlî juga memahami adanya hierarki epistemologis daya ruhani dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Pertama,daya inderawi (ar-rûh al-hisas), yaitu daya yang menerima sesuatu yang dikirim oleh pancaindera. Daya ini adalah asal dan awal daya makhluk hidup. Dengan daya ini semua makhluk hidup menjadi hidup. Ia sudah ada walaupun dalam diri seorang bayi yang masih menyusu. Kedua, daya khayali, imajinasi (ar-rûh al-khayâlî), yaitu daya yang merekam keterangan yang dikirim oleh panca indera, menyimpannya rapat-rapat untuk kemudian disampaikan kepada daya aqli (intelegensi) di atasnya, pada saat dibutuhkan. Ketiga, daya aqli, (akal, intelegensi), yaitu daya yang dapat mencerap makna-makna di luar indera dan khayal. Daya ini adalah subtansi manusiawi yang hanya khusus ada padanya, tidak ada pada hewan atau pun anak-anak kecil. Jangkauan pencerapannya adalah pengetahuan dharuri (aksiomatis) dan universal.
Keempat, Daya Pemikiran, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabungan-penggabungan dan darinya ia mengambil kesimpulan- kesimpulan. Selanjutnya bila telah memperoleh dua hasil kesimpulan, misalnya, ia akan menggabungkan keduanya sekali lagi, agar beroleh kesimpulan-kesimpulan baru pula. Dengan demikian, pengetahuannya makin lama makin bertambah terus-menerus secara tak terhingga (tanpa batas). Kelima, Daya Suci Kenabian, yaitu yang hanya khusus bagi para nabi dan sebagian para wali. Dengan daya ini, selubung kegaiban dan hukum-hukum akhirat serta sejumlah pengetahuan tentang kerajaan lelangit dan bumi bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbânî (ketuhanan) menjadi tersingkap, yang kesemuanya tak mampu dijangkau oleh daya akal dan pemikiran.
Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa perbandingan antara kelima daya yang telah disebutkan di atas dengan misykât, kaca, pelita, pohon, dan minyak, bisa menjadi pembicaraan yang sangat panjang. Karena itu, al-Ghazâlî di dalam kitab ini hanya menyingkat dan mencukupkan diri dengan mengingatkan metode permisalannya. Pertama, daya inderawi. Kata al-Ghazâlî, bila anda perhatikan kekhasan atau karakteristik dayanya, anda akan mendapatkan cahaya-cahayanya keluar dari berbagai celah, seperti mata, telinga, lubang hidung dan sebagainya. Karena itu, perumpamaan yang paling tepat dan cocok dengan daya spiritual di alam syahâdah ini adalah ceruk atau misykât.
Kedua, tentang daya akliah (yang berkaitan dengan akal atau inteligensi). Akal memberi pengetahuan akan Gagasan Ilahiah. Kata al-Ghazâlî, perumpamaan daya akliah dengan mishbâh (lampu) ini menjadi jelas, karena ia bisa menyebarkan cahayanya yang terang ke seluruh dunia, sehingga tidak heran jika para nabi disebut sebagai “pelita bercahaya” (sirâj munîr).
Ketiga, daya khayali (imajinatif). Al-Ghazâlî menyebutkan bahwa daya ini memiliki tiga karakteristik (sifat khas):
a. Ia berasal dari materi dunia rendah (alam dunia) yang pekat. Sebab sesuatu yang dikhayalkan memiliki kadar, bentuk dan arah terbatas dan tertentu, dengan kedekatan dan kejauhan yang nisbi ditinjau dari pandangan si penghayal. Sedangkan di antara ciri sesuatu yang pekat yang dilukiskan dengan sifat-sifat benda adalah ketertutupannya dari cahaya-cahaya intelegensi murni yang tidak mungkin dilukiskan dengan arah, kadar, dekat, dan jauh.
b. Khayal yang pekat ini bila dijernihkan, dihaluskan, didisiplinkan dan dikendalikan, akan mendekati batas makna-makna yang dapat dicerap oleh akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya dari akal.
c. Khayal pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk mengendalikan pengetahuan akal agar tidak goyah, tidak terombang-ambing dan tidak bercerai-berai sehingga tak terkendali. Hal ini mengingat bahwa fungsi imajinasi adalah menghimpun misal-misal imajinatif untuk kepentingan pengetahuan ‘aqlî.
Ketiga ciri khas ini, kata al-Ghazâlî tidak bisa dijumpai pada benda apapun di alam kasat mata, dalam kaitannya dengan “cahaya yang melihat”, kecuali pada “kaca”. Kaca tadinya berasal dari substansi (jauhar) yang pekat, tetapi setelah dijernihkan dan dibeningkan, ia berubah menjadi tembus pandang, transparan terhadap cahaya pelita, bahkan ia mampu merambatkan cahaya tersebut dengan cara yang baik. Selain itu, ia juga menjaga cahaya pelita dari terpaan angin. Karena sifatnya yang demikian, kata al-Ghazâlî, maka zujâjah (kaca) adalah sebaik-baik misal untuk daya khayali.
Keempat tentang daya pemikiran (daya reflektif). Nalar berarti memulai dari satu proposisi, lalu bercabang menjadi dua, dan dua menjadi empat. Demikian seterusnya, sampai nalar menjadi sangat banyak akibat proses pengembangan logis ini. Kesimpulan ini dapat berlanjut, sesuai dengan jumlahnya. Kata al-Ghazâlî, lambang yang cocok adalah pohon. Jika dipikirkan lebih lanjut, bahwa buah dari nalar diskursif adalah bahan untuk menggandakan, mendirikan, dan menetapkan segala pengetahuan, tentu tak akan dilambangkan dengan sembarang pohon semacam jeruk, apel, atau nanas. Kata al- Ghazâlî, pohon yang melambangkan nalar haruslah pohon zaitun, karena intisari buah zaitun adalah minyaknya, yang merupakan bahan pelita dan memiliki keunikan, tidak seperti minyak lain, yang meningkatkan terang pelita. Jika orang menyifati pohon berbuah istimewa ini berkah, tentulah pohon yang buahnya tak terbatas juga bisa disebut berkah. Akhirnya, karena konsekuensi proposisi akal murni itu tidak berkaitan dengan arah atau jarak, maka ia disebut dengan tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya).
Kelima, tentang daya suci kenabian yang dinisbahkan kepada para nabi dan kepada para wali jika daya tersebut sedang dalam puncak kebenderangan dan kejernihan. Daya pemikiran terbagi kepada dua jenis:
a. Yang memerlukan pengajaran, pengaktifan dan sokongan kekuatan dari luar dirinya agar tetap dapat kesinambungan pengetahuan.
b. Yang amat sangat jernih sehingga ia seakan-akan mengaktifkan dirinya sendiri tanpa sokongan dari luar.
Menerapkan pertimbangan ini, kata al-Ghazâlî, terlihat betapa sangat tepat dan pantas bila fakultas alamiah yang terang dan kuat ini digambarkan dengan ungkapan, “nyaris bercahaya (menyala) minyaknya walaupun tak tersentuh api”, karena ada di antara para ahli makrifat yang cahayanya bersinar begitu terang sehingga hampir-hampir tak bergantung pada apa yang dipasok oleh para nabi, sementara ada nabi-nabi yang cahayanya hampir-hampir tak bergantung pada apa yang dipasok oleh malaikat. Perlambangan ini sangat tepat untuk melambangkan jenis ini.
Selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan bahwa, oleh karena cahaya-cahaya ini berurutan di atas sebagian yang lain, maka cahaya indera yang datang paling awal adalah fondasi dan persiapan untuk imajinasi (karena imajinasi hanya mungkin ada dalam perpaduan dengan indera); cahaya akal dan nalar diskursif datang setelahnya. Semua itu menjelaskan mengapa kaca menjadi tempat bagi keberadaan pelita dan lubangnya tempat bagi kaca. Maksudnya, pelita berada di dalam kaca dan kaca di dalam lubang. Akhirnya, eksistensi, sebagai urutan cahaya yang bertahap, menjelaskan kata-kata cahaya di atas cahaya.
Dari paparan mengenai penafsiran al-Ghazâlî terhadap permisalan-permisalan dalam ayat cahaya di atas terlihat bahwa al-Ghazâlî berangkat dari istilah-istilah yang dipakai oleh para filosof dalam hal daya-daya (ruh-ruh) dalam diri manusia lalu kemudian memadankannya dengan istilah-istilah permisalan dalam ayat cahaya tersebut setelah terlebih dahulu menganalisis ciri-ciri utama yang melekat pada setiap permisalan tadi.
Namun yang terpenting dari penafsiran al-Ghazâlî tersebut adalah bahwa al-Ghazâlî telah menjelaskan kepada kita maksud ayat “Allah membimbing dengan cahaya-Nya, siapa yang dikehendaki,” bukan hanya berupa agama, sebagaimana yang sering dipikirkan, tetapi juga meliputi semua daya-daya jiwa yang dimiliki manusia seperti indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah membimbing manusia melalui indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Karena itu, kalau kita ingin mendapat bimbingan dari Allah, kita harus menggunakan daya-daya tersebut sebaik-baiknya.

3. Konsep Manusia dan Akhlaq: Pandangan Ibnu Miskawaih.
Sejalan dengan pandangan al-Ghazali, Ibn Miskawaih di dalam kitabnya juga menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga daya, yaitu ; (a) daya bernafsu (al-nafs al-bahîmiyah) sebagai daya yang terendah, (b) daya berani (al-nafs al-sabu‘iyyah) sebagai daya pertengahan dan (c) daya berpikir (al-nafs al-nâthiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur rohani manusia yang asal kejadiannya berbeda. Sesuai dengan pemahaman di atas, unsur rohani yang berupa al-nafs al- bahîmiyah dan al-nafs al-sabu‘iyyah berasal dari unsur materi, sedangkan al-nafs al-nâthiqah berasal dari ruh Tuhan. Justru karena itu Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa kedua al-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan al-nafs al-nâthiqah tidak akan mengalami kehancuran. Menurut Ibn Miskawaih hubungan jiwa al-bahîmiyyah/al-syahwiyyah (bernafsu) dan jiwa al-ghadlabiyah/al-sabû‘iyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling memengaruhi. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh terpengaruh terhadap kuat atau lemahnya dan sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut, begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu kedua macam jiwa ini dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna jika tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Jadi Ibn Miskawaih memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasad dan rohani yang satu dan lainnya saling memengaruhi dan berhubungan.
Pemikiran mengenai akhlak menjadi tema sentral dalam karya Ibn Miskawaih. Termasuk salah satu yang memengaruhi konsepnya dalam pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya adalah doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmonis, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi ia tampak lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ektrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa jiwa manusia memiliki tiga daya, yaitu; jiwa al-bahîmiyyah, jiwa al-ghadlabiyyah, dan jiwa al-nâthiqah. Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahîmiyyah adalah menjaga kesucian diri (al-‘iffah) dari mengikuti hawa nafsu diikuti oleh sifat pemurah (al-sakhâ’). Sedangkan posisi tengah jiwa al-ghadlabiyyah adalah al-hilm (sopan santun), diikuti oleh sifat al- syajâ‘ah (keberanian). Posisi tengah jiwa al-nâthiqah adalah sifat al-‘ilm diikuti oleh al-hikmah (kebijaksanaan). Adapun gabungan dari posisi tengah semua tersebut adalah keadilan/keseimbangan (al-‘adâlah). Keempat keutamaan akhlak tersebut (al-‘iffah, al-hilm, al-‘ilm dan al-‘adâlah) merupakan pokok, sedangkan keutamaan lainnya seperti al-sakhâ’ (pemurah), al-syajâ‘a (keberanian), al-hikmah (kebijaksanaan) adalah cabang. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu sangat banyak. Bahkan sulit dihitung jumlahnya. Menurut Ibn Miskawaih setiap keutamaan mempunyai dua sisi ekstrim, yang tengah adalah terpuji dan yang ektrim adalah tercela. Ibn Miskawaih dalam menguraikan sikap tengah dalam akhlak ini tidak mengemukakan satu ayat pun dari al-Qur’ân atau dari hadîts Nabi.


4. Pendidikan Akhlaq Menurut Ibnu Miskawaih.
Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak adalah kondisi jiwa yang mampu mendorong secara spontan (tanpa dipikirkan dan direnungkan terlebih dahulu untuk melahirkan sebuah perbuatan. Baik perbuatan yang bermuatan positif maupun negatif. Selanjutnya Ibn Miskawaih mengatakan bahwa sebagian akhlak itu ada yang dibawa secara alami (natural) dan sebagian yang lain ada yang diperoleh dengan membiasakan diri dan latihan. Seolah-olah Ibn Miskawaih ingin menegaskan, bahwa akhlak manusia itu dapat dibina melalui pembinaan akhlak. Menurut Miskawaih, bahwa akhlak itu dapat diperoleh dengan belajar, pembinaan (al-ta’dîb) dan nasehat terus menerus (al-mawâ‘izh) sehingga menjadi sifat bentukan (malakah,habit), manusia secara alami ditetapkan dapat menerima akhlak yang baik melalui pendidikan dan nasehat, baik dalam waktu cepat maupun dalam waktu lambat. Dan tidak boleh membiarkan anak muda dan anak-anak tanpa strategi dan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Karena hal ini adalah sesuatu yang tidak pantas terjadi (sangat tercela).
Adapun tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik Sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh sa‘âdah (kebahagiaan sejati/kebahagiaan sempurna).
Untuk mencapai tujuan pendidikan akhlak yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlak sesuai dengan konsepnya tentang manusia; (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, (3) hal-hal yang wajib bagi hubungan sesama manusia. Menurut Ibn Miskawaih ketiga pokok materi tersebut dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar ia kelompokkan kepada dua: (1) ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-‘ulûm al-fikriyah) dan (2) ilmu yang berkaitan dengan indera (al-‘ulûm al-hissiyah).
Ibn Miskawaih tidak merinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, kecuali hanya menyebutkan antara lain; shalat, puasa, dan sa’i. Kemungkinan ibadah-ibadah ini erat hubungannya dengan tubuh manusia pada satu sisi dan juga berhubungan dengan pikiran dan rohani manusia pada sisi yang lain.
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib bagi keperluan jiwa seperti; pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kekuasaan-Nya, serta motivasi untuk senang terhadap ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain di kota-kota seperti; (a) materi dalam hubungan dagang (al-mu‘âmalât, business relation), kontrak sementara petani bagi hasil (al-muzâra‘ah, temporary share-cropping contract), (b) kewanitaan (al-manâkih, women), menunaikan amanat, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.
Materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai contoh Ibn Miskawaih menyebut ilmu nahwu (tata bahasa) adalah sangat penting dalam membantu manusia untuk lurus berbicara. Materi yang ada dalam ilmu mantik (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Adapun materi yang terdapat dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisâb) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepada kepalsuan. Demikian juga Ibn Miskawaih menjelaskan materi sejarah dan puisi akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam syariah sangat ditekankan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya syariah dapat meluruskan akhlak anak-anak terbiasa berbuat yang di ridhai oleh Allah, jiwa mereka siap menerima hikmah dan memperoleh kebahagiaan (al-sa‘âdah).
Peranan orang tua dalam pertumbuhan awal anaknya sangatlah diperlukan dan hubungan antara orang tua dan anaknya hendaklah didasari hubungan cinta kasih (al-mahabbah) yang harmonis. Namun menurut Ibn Miskawaih cinta seseorang kepada gurunya hendaklah melebihi dari cintanya kepada orang tua dan ia meletakkan cinta murid dengan guru berada di antara cinta terhadap Allah dan cinta terhadap orang tua. Alasan yang dikemukakan oleh Ibn Miskawaih adalah karena guru lebih berperan besar dalam mendidik kejiwaan murid dan termasuk penentu masa depan mereka dalam mencapai kebahagiaan sejati.
Di samping itu guru berfungsi sebagai orang tua rohani (wâlid rûhânî), orang yang dimuliakan (rabb basyarî), pemilik manusia, dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi (ihsân ilâhî), karena ia mendidik murid kepada keutamaan sempurna mengisinya dengan ilmu yang tinggi dan membawa mereka kepada kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula. Pandangan mengenai posisi guru yang menempati kedudukan sentral pada murid juga diajukan oleh Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina, dan al-Zarnuji.
Menurut Ibn Miskawaih, bahwa manusia dalam menerima akhlak sama. Oleh karena itu pendidik jangan berputus asa dan merasa tak mampu, akan tetapi hendaklah secara terus menerus dalam usahanya. Ada di antara mereka yang lamban dan enggan, ada yang mudah dan patuh, keras dan sulit dalam menerima perubahan akhlak.
Oleh karena itu terdapat beberapa langkah yang dikemukakan Ibn Miskawaih dalam memperoleh akhlak yang mulia, antara lain dengan belajar, pendidikan dan kebiasaan (al-‘âdah), nasehat dan petunjuk (al-mawâizh) dan peringatan (al-tahdzîr) dan latihan (al-tadarrub). Ibn Miskawaih selanjutnya menjelaskan untuk memperoleh akhlak yang mulia, perlu ditempuh langkah-langkah antara lain sebagai berikut : Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan sopan santun yang sebenarnya sesuai dengan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwâniyah dan al-ghadlabiyyah. Karena kedua jiwa tersebut erat hubungannya dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain tidak makan dan tidak minum yang membawa kepada kerusakan tubuh atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang ada unsur berat di dalamnya seperti mengerjakan shalat yang lama atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang di dalamnya ada unsur melelahkan. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin darinya. Dengan cara ini seseorang tidak hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena bercermin dari perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Walhasil setiap siang dan malam ia akan selalu mengintrospeksi semua perbuatannya. Karena itu perbuatan buruk yang telah dilakukannya, harus dihapus dengan perbuatan yang baik agar dengan cepat semua perbuatannya menjadi baik dan terhindar dari keburukan.

C. ANALISIS.
Pendidikan Berkarakter Berbasiskan Makrifat
Wacana pendidikan yang berbasiskan karakter (akhlaq) mencuat akhir-akhir ini, sebagai respon atas proses pendidikan di Indonesia yang belum mampu menjadi katalisator perubahan sosial dan budaya ke arah yang lebih baik. Karena fenomena degradasi moral dikalangan peserta didik dan hilangnya integritas moral secara umum di kalangan elit masyarakat Indonesia. Salah satu yang kemudian yang dilirik sebagai pendidikan alternatif oleh Kementerian Pendidikan Nasional adalah pola pendidikan kepesantrenan. Pola kepesantrenan diasumsikan telah menjadi contoh par exellence bagi keluaran peserta didik yang berkarakter dan berakhlaq mulia.
Seperti diketahui, pada umumnya pendidikan kepesantrenan tidak hanya menekankan pada proses diseminasi ilmu-ilmu agama kepada para santri, akan tetapi juga aktualisasi amal ibadah agama secara ketat, tentunya setelah mendapatkan pemahaman yang mumpuni tentang makrifat. Karenanya kajian tasawuf baik yang bersifat sunnah-amaliah maupun bersifat filosofis menjadi kajian penting di dunia kepesantrenan, khususnya pesantren salafiah yang masih menjadikan kitab-kitab klasik sebagai bahan kajian. Dalam hal ini pemikiran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Ghazali menempati posisi yang sangat penting.
Kaitannya dengan informasi data mengenai pandangan filosofis al-Ghazali di dalam kitab Misykat, dapat ditarik beberapa pandangan al-Ghazali dalam upaya mendudukkan persoalan pendidikan dalam konteks makrifat. Pertama dalam metafisika “cahaya” yang dielaborasi secara mendalam oleh al-Ghazali, bahwa “cahaya” juga dipahami sebagai “ilmu pengetahuan”, bukan sekedar konstruksi ilmu yang merupakan hasil dari proses deduktif atau induktif dan perdebatan objektivitas dan subjektivitas. Sehingga ilmu tidak dinilai secara bebas tanpa ada nilai-nilai yang memengaruhinya. Yang apabila ditarik di dalam konteks epistemologis dan dalam kaca mata makrifat, realitas dipahami secara transenden melalui pesan-pesan wahyu dan pengalaman spiritual. Sementara kalau dibandingkan dengan pandangan Barat terhadap realitas, sekurang-kurangnya Barat mempunyai tiga aliran yang dominan; (a) realisme, yang memandang secara obyektif; (b) anti-realisme yang melihat realitas secara subyektif; dan (c) realisme kritis yang melihat realitas dengan subyektif dan obyektif. Menurut penulis, aliran terakhir ini mirip dengan Islam. Hanya saja, subyektifitas orang Islam sudah terisi oleh wahyu, sedang subyektivitas Barat hampa wahyu.
Kedua, bahwa al-Ghazali membagi tipologi kemampuan manusia dalam mempersepsi dan memahami “cahaya”, yaitu kaum awwam (awam), khawashsh, dan kaum khawashsh al khawashsh. Dalam artian bahwa ada lapisan pemahaman manusia di dalam menyerap “ilmu pengetahuan” baik yang bersifat hushuli maupun hudhuri. Pada umumnya pendidikan diproyeksikan agar mengantarkan peserta didik dari pemahaman yang awwam kepada pemahaman khawshsh, dan berhenti disitu saja, sehingga tidak sampai pada puncak pemahaman khawashsh al khawashsh. Hal itu terjadi karena pendidikan tidak dibangun di atas basis makrifat. Padahal pendidikan tidak sekedar berfungsi untuk melakukan pembebasan (liberasi) manusia dari kebodohan (azh-zhulumât) dan humanisasi, tetapi juga upaya transendensi. Hal yang terakhir ini tidak dapat dilakukan, sepanjang makrifat tidak menjadi basis bagi proyeksi pendidikan, karena transendensi dan makrifatisasi bergerak pada medium yang sama. Menurut Naquib al-Attas, proses pembebasan (liberasi) pada mulanya bergantung pada ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya selalu dibangun atas dan dibimbing oleh suatu bentuk ilmu pengetahuan khusus, yaitu, makrifat (ilmu pengenalan).
Ketiga, bahwa al-Ghazali berpandangan bahwa sejatinya manusia pada posisi ‘adam (non-eksistensi), sebagai lawan dari pada cahaya sejati yaitu Tuhan. Dalam artian bahwa manusia pada dasarnya berada pada kondisi kebodohan (azh-zhulumât), sehingga diperlukan suatu bimbingan dan tuntunan untuk mengeluarkannya dari posisi “kegelapan” tersebut. Bimbingan dan tuntunan tersebut itulah yang oleh penulis sebut dengan pendidikan yang berbasiskan pada makrifat. Karena posisi dzat manusia adalah bersifat theomorfis, yaitu dengan pendidikan, manusia mengupayakan diri untuk lepas dari kutub kegelapan yang merupakan wilayah dominasi iblis, syaithan dan hawa nafsu menuju kutub cahaya yang dilimpahi oleh kekuatan dan hikmah ketuhanan.
Keempat, al-Ghazali menjadikan surah an-Nur: 24, ayat 35 dari al-Qur’an sebagai sumber inspirasi untuk menetapkan hierarki epistemologi makrifat dalam memperoleh dan mencapai ilmu pengetahuan (cahaya). Dari sini terlihat jelas perbedaan secara mendasar paradigma pendidikan Islam yang berbasiskan makrifat dengan paradigma pendidikan yang berkembang di dunia Barat. al-Ghazali menetapkan lima instrumen ruhani dalam mencapai ilmu, yaitu daya inderawi (ar-rûh al-hisas), daya khayali, imajinasi (ar-rûh al-khayâlî), daya aqli, (akal, intelegensi), daya Pemikiran, dan daya Suci Kenabian. Bagi al-Ghazali empirisisme adalah level paling rendah dalam proyeksi ilmu pengetahuan, dan rasionalitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daya Suci Kenabian. Dari sini juga terlihat jelas tidak ada dikotomisasi antara realitas empirik dengan rasionalisme sebagaimana yang terjadi pada filsafat Barat.
Kaitannya dengan informasi data melalui kitab Tahdzib al-Akhlaq dari Ibnu Miskawaih, nilai terpenting yang dapat diambil adalah tentang pentingnya menumbuhkan karakter akhlaq pada diri peserta didik, sebagai aspek mendasar dari teleologi pendidikan Islam. Bedanya dengan al-Ghazali, Ibnu Miskawaih sama sekali tidak mendasarkan pandangannya pada ayat dan hadis dalam mengelaborasi persoalan akhlaq, dia banyak pandangannya pada prinsip etik yang berkembang pada dunia filsafat.
Pada awal pembahasannya mengenai akhlaq, Ibnu Miskawaih sebelumnya menjelaskan tentang potensi-potensi yang bersifat ruhaniah dalam pembentukan akhlaq seseorang. Yaitu ; (a) daya bernafsu (al-nafs al-bahîmiyah) sebagai daya yang terendah, (b) daya berani (al-nafs al-sabu‘iyyah) sebagai daya pertengahan dan (c) daya berpikir (al-nafs al-nâthiqah) sebagai daya tertinggi. Daya yang disebut terakhir ini memiliki peran sentral, dalam artian posisi rasionalitas menempati posisi penting. Akan tetapi rasionalitas yang dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih memiliki pendekatan berbeda dengan rasionalisme Barat. Deskripsi rasionalitas Ibnu Miskawaih lebih bersifat ruhaniah dan tidak bersifat mental.
Akhlaq yang dimaksud oleh Ibnu Miskawaih adalah kecenderungan untuk memilih sikap pertengahan, dimana jiwa al-nâthiqah adalah sifat al-‘ilm diikuti oleh al-hikmah (kebijaksanaan). Adapun gabungan dari posisi tengah semua tersebut adalah keadilan/keseimbangan (al-‘adâlah). Akhlaq juga merupakan potensi hereditas dan bisa juga hasil yang diperoleh dengan belajar, pembinaan (al-ta’dîb) dan nasehat terus menerus (al-mawâ‘izh) sehingga menjadi sifat bentukan (malakah,habit), manusia secara alami ditetapkan dapat menerima akhlak yang baik melalui pendidikan.
Oleh karena itu pendidikan (tarbiyah) secara teleologis memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kerasulan yaitu untuk menyempurnakan keutamaan akhlaq, karena dekadensi akhlaq (moral-ethic) adalah pertanda terjerumusnya kemanusiaan pada kondisi kebodohan (azh-zhulumât). Sehingga pendidikan yang dimaksud di sini adalah yang berbasiskan makrifat, yang dalam praktiknya menurut Ibnu Miskawaih, guru memposisikan diri sebagai orang tua rohani (wâlid rûhânî), orang yang dimuliakan (rabb basyarî), pemilik manusia, dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi (ihsân ilâhî). Dalam hal ini posisi guru tidak jauh beda dengan posisi seorang mursyid dalam pendidikan makrifat dalam zawiyah dan khanaqah-khanaqah, atau lembaga pendidikan sufi.
Pendidikan berbasiskan makrifat merupakan solusi atas pola pendidikan yang terkooptasi oleh paradigma habis bagi positif-materialistik, karena cacat teologis, epistemologis, dan aksiologis dari modernitas, dimana dinamika ruh (fitrah) diletakkan dalam posisi sub-ordinat. Menurut Inayat Khan, kesalahan utama sistem pendidikan modern adalah bahwa sistem ini hanya mensyaratkan orang untuk memenuhi apa yang diinginkan dalam hidup, bagaimana agar seseorang bisa memenuhinya dengan melakukan berbagai cara, benar atau salah, dan seringkali tidak memikirkan kerugian atau rasa sakit yang ditimbulkan pada orang lain. Ia juga berpendapat bahwa proyeksi pendidikan harus mempertimbangkan lima sudut pandang yang berbeda: fisik, mental, moral, sosial dan spiritual. Jika satu sisi berkembang dan sisi lainnya tidak, secara alami peserta didik akan menunjukkan beberapa kekurangan dalam perkembangannya.
Salah satu nilai penting pendidikan berbasiskan makrifat adalah untuk mengolah aspek penghayatan transendental dalam pendidikan yang selama ini diragukan dan bahkan ditolak oleh kalangan penganut paham positivisme. Penolakan itu terjadi karena penghayatan tersebut sangat mempribadi, penuh misteri, dan kadang tidak terpahami. Selama ini obyek kajian pendidikan terpenjara pada potensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Pandangan model Barat ini pada satu sisi mengabaikan apek penghayatan transendental yang merupakan inti dari doktrin Islam yang penting, yaitu konsep Ihsan. Menurut Noeng Muhadjir, meskipun aspek sufistik (baca; makrifat) tidak dapat direplikasi penghayatan substantifnya, namun dapat dikenal dan dihayati prosesnya.
Salah satu kedekatan metodologis antara makrifat dan paradigma pendidikan secara umum, adalah sama-sama bergerak pada wilayah pengalaman dan penafsiran. Keterlibatan aspek makrifat dalam proses pendidikan berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai ilahiah (keimanan) sebagai pengalaman dasar (basic experience). Sebagaimana ditegaskan oleh Dewey, bahwa pendidikan bukan semata-mata proses, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri yang bersifat reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi pengalaman menuju suatu tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Suatu pengalaman bersifat salah didik apabila pengalaman itu menghalangi atau mencacatkan perkembangan selanjutnya. Sebagai umat Islam, tentunya penanaman nilai-nilai ilahiah sebagai pengalaman dasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena kurangnya aspek mendasar tersebut tidak hanya menghalangi, akan juga tetapi juga akan mencacatkan proses perkembangan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu aspek makrifat yang menjadi wahana pengalaman dasar seorang pribadi muslim menjadi bersifat edukatif, karena dapat membantu perkembangan pengalaman berikutnya.
Secara preskriptif, peran makrifat dalam proses pendidikan anak merupakan tema sentral pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan terpenting. Sebagaimana ditegaskan oleh Iqbal bahwa individualitas (khudi) merupakan suatu kesatuan yang nyata, mantap dan tandas, karenanya tujuan akhir pendidikan adalah untuk memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, dan khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia . Pendapat tentang pentingnya pengembangan individualitas juga diikuti oleh Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa penekanan terhadap individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan dan maksud yang sebenarnya (dari kehidupan ini); sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu . Karenanya menurut Al-Attas, pendidikan adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”, atau yang disebut dengan ta’dib, yang apabila dijabarkan secara luas bermakna sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperadaan .

D. CATATAN AKHIR.
Ilmu yang dicapai melalui proses pendidikan berbasiskan makrifat juga disebut sebagai ilmu sejati yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai sains yang mencari pengetahuan tentang esensi segala hal yang berkenaan dengan asal muasal Ilahiahnya. Ini merupakan pengetahuan tentang noumena, yang menghubungkan fenomena dengan asal muasal sejatinya yang merupakan sumber semua eksistensi. Oleh karena pendidikan berbasiskan makrifat menjadi sangat penting dalam menumbuhkan kesadaran ilahiah peserta didik, bersamaan ketika mereka mencerap pengetahuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pendidikan berbasiskan makrifat, tidak sekadar mengajarkan praktik amaliah, tetapi memberikan pemahaman secara filosofis tentang struktur realitas. Misalnya pandangan spesifik kaum sufi mengenai hierarki struktur realitas, dimana kaum sufi mendasarkan gagasan mereka pada keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an, menformulasikan doktrin “lima keberadaan ilahiah” (al-hadharat al-ilahiyyat al-khams) untuk mengambarkan hierarki seluruh realitas. Yakni di atas realitas materiil, halus (subtil) dan spiritual (malakuti), ada tingkat realitas atau “keberadaan” selanjutnya yang lebih tinggi dalam hal ini, adalah alam sifat-sifat ilahiah (asma sifatiyah), artinya, sifat-sifat Tuhan, misalnya sifat-sifat yang merujuk padaNya sebagai pencipta dan pemberi wahyu. Pada tingkatan selanjutnya ada yang disebut dengan lahut yang dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau wujud. Yaitu prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos, dan karena itu merupakan Yang Absolut terhadap seluruh ciptaan. “keberadaan” selanjutnya atau yang tertinggi adalah Esensi Ilahi (al-dzat). “Derajat” yang diistilahkan oleh kaum sufi sebagai hahut ini adalah yang tertinggi dan tak terbatas, Wujud Tak Tergapai yang merupakan prinsip “tak dapat disifati” dan “tak dapat ditentukan”, dan oleh karena itu Absolut Murni.
Konsepsi cahaya di dalam penjelasan al-Ghazali mengenai makrifat kepada Tuhan, menemukan signifikansinya dengan realitas sains modern, dimana dalam fisika modern, logika gagal memberi jawaban ketika tiba dalam persoalan sifat dasar cahaya. Sifat cahaya yang tak-terputus dan terputus sekaligus, maksudnya, memiliki sifat sebagai gelombang dan materi, sungguh merupakan suatu paradoks dalam fisika modern. Fenomena ini telah menggiring sejumlah ahli fisika untuk menoleh kepada mistisisme Timur untuk mencari penjelasan yang berarti terhadap persoalan itu. Maka dari itu, pendidikan berbasiskan makrifat bisa menjadi alternatif model pendidikan baru, karena proses pendidikan yang ada pada akhirnya akan mengantarkan peserta didik pada penemuan sebuah tingkat realitas baru. Yakni fenomena alamiah tentang tatanan supralogis dan suprarasional, yang membutuhkan pendekatan tertentu atau jenis metodologi tertentu, kaitannya dalam hal ini adalah makrifat.
Akhir kata, dari sisi pendekatan tafsir, istilah makrifat di dalam al-Qur’an, dimana salah satu istilah yang dipakai adalah Li Ta’arafu, yaitu Allah SWT berperan sebagai Ilmun Adzim, atau sebagai pemilik ilmu pengetahuan yang memposisikan ilmu sebagai cahaya untuk menyinari manusia. Sehingga makrifat juga bermakna “upaya untuk mengetahui dengan mengambil dari yang Maha Tahu”. Dalam pengertian lain makrifat di dalam al-Qur’an juga bermakna “upaya mengenali untuk mengambil ilmu pengetahuan dari Allah SWT”. Wallahu A’lamu Bishawwab.

BIBLIOGRAFI.

Abdul Munir Mulkhan, Kecerdasan Makrifat: Jalan Pembebasan Manusia dari Mekanisme Konflik, Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam, Disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 31 Maret 2004,
Abdurrahmân Badawî, Miskawaih, dalam M. M, Sharif (ed) A History of Moslem Philosophy, 1963, Otto Harrassowitz,Weisbaden.
Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî, “Tasdîr ‘Amm,” dalam Abû Hâmid al-Ghazâlî, Misykât al- Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî, 1964 ad-Dâr al- Qawmîyah, Kairo.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1983, Bulan Bintang, Jakarta
Ibn Miskawaih, Al-Fauz al-Asghâr, 1325 H, Matba‘ah al-Sa‘âdah, Kairo.
Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâq wa Tathhîr al-A‘râq, diedit oleh Hasan Tamim, tt,Mansyûrât Dâr Maktabah Al-Hayâh, Cetakan II, Beirut.
Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâq, diedit oleh Ibn Khatîb, 1398 H, Al-Mathba‘ah al-Mishriyah wa Maktabuhâ, Cetakan I, Kairo.
Inayat Khan, Education: from Before Birth to Maturity, 1989, Hunter House Inc., USA.
Laleh Bakhtiar, Sufi: Expressions of the Mystic Quest, 1976, Avon Books, New York
Mir Valiuddin, Contemplative Disciplines in Sufism, 1980, East-West Publications (UK) Ltd., London
Noeng Muhadjir, Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial, ed. V, 2000, Rake Sarasin, Yogyakarta.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, 1994, terj. Yuliani Liputo, Pustaka Hidayah, Bandung.
Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, 1984, terj. Haidar Baqir, Mizan, Bandung.
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, 2002 terj. Hamid Fahmy dkk, Mizan, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...