Selasa, 02 Agustus 2011

Dimensi Spiritualitas dalam Praktik Pendidikan Terhadap Anak (Telaah Pendidikan Mikro)

A. PENDAHULUAN.
Pendidikan terhadap anak merupakan aspek yang fundamental dalam proyeksi pendidikan secara keseluruhan. Karena pendidikan terhadap anak sejak pranatal ke usia dini hingga masa remaja adalah periode yang paling krusial dalam pembentukan mental, kepribadian dan intelektualitas seorang anak. Oleh karena itu upaya konseptualisasi terus dilakukan oleh para pakar pendidikan, ataupun orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap persoalan pendidikan.
Menurut Robert Owen, tujuan utama pendidikan adalah pengembangan sikap moral. Anak-anak diumpamakan seperti sebuah plastik yang dengan mudah dapat dibentuk . Dengan metode pendidikan tertentu seorang anak dapat dibentuk untuk menjadi sesuai apa yang menjadi tujuan metode tersebut. Dalam Islam salah satu unsur penting wahana pengembangan sikap moral adalah ilmu tasawuf, karena di dalamnya sarat dengan nilai-nilai pengajaran moral (akhlak) yang disubstitusikan pada pengabdian menyeluruh pada hakekat keberadaan Tuhan.
Seorang anak sejak prenatal hingga masa remaja melalui tahapan-tahapan perkembangan. Dalam hal ini berkembang banyak penafsiran mengenai hakekat perkembangan seorang anak. John Locke berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa seorang anak adalah bersih semisal selembar kertas putih, yang kemudian sedikit demi sedikit terisi oleh pengalaman atau empiri. Menurutnya jiwa seorang anak akan mengalami kesan-kesan yang secara asosiatif berhubungan satu sama lain, dan bersumber pada dua macam pengalaman, yaitu: (1) pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera yang menimbulkan “sensations”, dan (2) pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan “reflexions” .
Teori lainnya yang diajukan aliran psikologi Gestalt mengenai perkembangan seorang anak, yang menyatakan bahwa perkembangan seorang anak itu adalah proses diferensiasi. Pengenalan anak terhadap dunia luar merupakan proses diferensiasi. Mula-mula anak merasa satu dengan dunia sekitarnya, baru kemudian ada diferensiasi: dia merasa (mengetahui) dirinya sebagai sebagai sesuatu yang berbeda dengan dunia sekitarnya .
James Mark Baldwin dalam hipotesisnya tentang “circular reaction”, mengemukakan bahwa seorang anak mula-mula bersifat a-sosial yang kemudian dalam perkembangannya mengalami proses sosialisasi dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Teori ini dikembangkan oleh teori Freudian dalam variasi yang berbeda, bahwa anak kecil mula-mula belum memiliki moral, yang kemudian lalu memiliki moral yang sifatnya heteronom, dan ketika sudah memasuki taraf kedewasaan, ia akan memiliki yang otonom . Proses perkembangan moral yang heteronom, adalah moral yang berpedoman pada sebab-sebab eksternal, yaitu pada orangtua dan orang-orang dewasa yang memiliki moral otonom. Ketika beranjak dewasa anak akan berpedoman pada sebab-sebab internal yang terdapat dalam dirinya, hal ini disebut proses internalisasi, yaitu terjadi identifikasi atau imitasi, yang tidak lain adalah penyesuaian tingkah laku dan perbuatan anak dengan norma-norma sosial, budaya, dan agama.
Dari sudut pandang fenomenologis, Langeveld mengemukakan bahwa seorang anak menjadi dewasa setelah melewati empat asas, yaitu asas biologis, asas ketidak-berdayaan, asas keamanan dan asas eksplorasi . Asas biologis adalah bahwa anak itu adalah mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang, sehingga supaya perkembangan anak berjalan dengan normal, maka keadaan biologisnya juga harus normal. Asas ketidak-berdayaan didasarkan oleh kenyataan bahwa sejak dilahirkan hingga memasuki masa remaja, seorang anak sangat tidak berdaya, dan adalah suatu keniscayaan bahwa dia perlu diarahkan dan dituntun untuk menjadi lebih berdaya. Asas keamanan, yaitu seorang anak sangat memerlukan adanya perasaan aman, karenanya memerlukan pengayoman dan perlindungan dari orang yang mendidik dan membesarkannya. Sedangkan asas eksplorasi adalah bahwa dalam perkembangannya seorang anak tidak pasif menerima pengaruh dari luar semata-mata, melainkan juga ia juga aktif mencari dan menemukan.
Konseptualisasi terhadap pendidikan terhadap anak dengan pendekatan spiritual menjadi hal yang sangat penting dimasa kini, karena ternyata konsep dan teori-teori yang ada tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya memberikan stimulan terbaik terhadap anak di era globalisasi dengan segala anomalinya. Teori pendidikan yang ada, khususnya yang berasal dari tradisi rasionalitas Barat, belum mampu secara aktual menanggulangi tingginya dekadensi moral yang terjadi di dunia Barat. Fakta kerusakan moral para remaja di Barat tersebut membuktikan bahwa pendidikan terhadap anak di Barat hanya menitikberatkan pada aspek intelektualitas semata, dan menafikan aspek-aspek moral-spiritual dari pendidikan. Budaya free sex, kondomisasi, aborsi, dan kehamilan di luar nikah sudah menjadi suatu hal yang biasa. Fenomena demikian juga mulai berimbas pada proses pendidikan di Indonesia. Budaya tersebut menjadi tidak terbendung, mengingat derasnya arus globalisasi informasi melalui media massa, internet dan televisi.
Menurut Inayat Khan:
The great fault of the modern system of education is that it only qualifies a man to obtain what he desires in life; and he tries to obtain this my every means, right or wrong, often with no regard for what losses or pain he causes others .
Bahwa kesalahan utama sistem pendidikan modern adalah bahwa sistem ini hanya mensyaratkan orang untuk memenuhi apa yang diinginkan dalam hidup, bagaimana agar seseorang bisa memenuhinya dengan melakukan berbagai cara, benar atau salah, dan seringkali tidak memikirkan kerugian atau rasa sakit yang ditimbulkan pada orang lain. Dia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk anak-anak harus dipertimbangkan dari lima sudut pandang yang berbeda: fisik, mental, moral, sosial dan spiritual. Jika satu sisi berkembang dan sisi lainnya tidak, secara alami anak akan menunjukkan beberapa kekurangan dalam perkembangannya. Baginya pendidikan bukan sebuah kualifikasi yang diperlukan untuk membuat kehidupan seseorang berhasil, juga bukan untuk menjaga kepentingan seseorang; tetapi benar-benar merupakan kualifikasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih berisi, suatu kehidupan yang memikirkan diri sendiri dan mempertimbangkan orang lain. Inayat Khan juga menegaskan bahwa:
The world of today would have been much better than it is if there had been a spiritual ideal placed before it as well as a material ideal, which seems to be the only goal of the modern world. There is no hope for the betterment of humanity until the spiritual ideal has been brought forward and made the central theme of education both at home and in schools. This only can be the solution of the difficult problem of world reform that faces humanity .
Menurutnya dunia sekarang ini akan lebih baik jika ideal spiritual ditempatkan menjadi prioritas yang lebih utama daripada ideal material yang kelihatannya menjadi satu-satunya tujuan dunia modern. Oleh karena itu tidak ada harapan untuk kemajuan umat manusia sampai ideal spiritual ditampilkan dan menjadi tema sentral pendidikan di rumah dan juga pendidikan di sekolah-sekolah. Inilah satu-satunya solusi untuk masalah reformasi dunia yang sulit yang dihadapi oleh umat manusia.


B. PEMBAHASAN.
1. Signifikansi Spiritualitas dalam Pendidikan Terhadap Anak.
Upaya konseptualisasi pendidikan dengan nilai spiritual terhadap anak adalah kebutuhan yang sangat mendesak, karena minimnya kajian terhadap hal tersebut, membuat para orangtua kekurangan rujukan dalam mendidik anak. Fakta mengenai kekerasan terhadap anak yang menghiasi media massa dan televisi menjadi realitas yang sangat jelas dari kurangnya pemahaman orangtua terhadap anak-anaknya. Selain itu di masa kini lingkungan sosial yang ada sudah semakin tidak kondusif bagi perkembangan motivasi spiritual seorang anak, karena menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, motivasi anak terkait pada lingkungan sosialnya . Oleh karena itu upaya elaborasi aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak penting untuk dilakukan, dalam rangka memperkaya khasanah pemikiran dalam pendidikan Islam, mengingat persoalan spiritualitas adalah hal yang sangat inheren dalam konsepsi normatif agama Islam.
Selain itu, menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, di masa depan diperlukan perspektif psikologis yang menumbuhkan kemampuan kreatif-konstruktif, yakni mampu mengarahkan seseorang senantiasa dalam kondisi normal secara spiritual (zero mind process), sehingga yang dirasakan adalah rasa damai, rasa aman dan rasa terlindungi yang bersifat transenden, atau dalam pengertian normatifnya disebut dengan Nafs al-Muthmainnah . Dalam hal ini Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir menambahkan, bahwa landasan filosofis untuk pentingnya spiritualitas dalam pendidikan terhadap anak adalah paradigma filsafat teo-humanistik, karena bisa dipastikan bahwa landasan filosofis humanisme antroposentris, tidak memberi ruang bagi wawasan filosofis yang membawa nilai-nilai ketuhanan dan spiritualitas .
Upaya penjelajahan terhadap aspek spiritualitas dalam proses pendidikan anak harus segera dilakukan, karena tradisi spiritualitas dalam Islam memiliki khasanah pemikiran yang sangat kaya dalam pembentukan moral-spiritual seseorang. Di samping itu spiritualitas yang didefinisikan sebagai falsafah hidup dengan kekuatan daya intuitifnya yang subyektif, ternyata dapat membangkitkan jiwa seseorang dari suatu anomali kejiwaan kepada pemenuhan hasrat spiritual yang berujung pada lahirnya kepribadian yang penuh dengan kearifan.
Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, salah satu nilai penting telaah aspek spiritual dalam proses pendidikan anak adalah untuk mengolah aspek penghayatan transendental dalam pendidikan yang selama ini diragukan dan bahkan ditolak oleh kalangan penganut paham positivisme. Penolakan itu terjadi karena penghayatan tersebut sangat mempribadi, penuh misteri, dan kadang tidak terpahami . Selama ini obyek kajian pendidikan terpenjara pada potensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Pandangan model Barat ini pada satu sisi mengabaikan apek penghayatan transendental yang merupakan inti dari doktrin Islam yang penting, yaitu konsep Ihsan. Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, menambahkan, bahwa meskipun aspek sufistik tidak dapat direplikasi penghayatan substantifnya, namun dapat dikenal dan dihayati prosesnya . Sehingga menelaah proses sufistik-transendental dapat menjadi bagian dari upaya pengkajian pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Proses sufistik-transendental tersebut, dalam pengertian pragmatik merupakan bagian dari wilayah “pengalaman”, di mana menurut Dewey, pengalaman tidak saja menunjuk pada sesuatu yang sedang berlangsung di dalam kehidupan batin si subyek, atau sesuatu yang ditanggap secara inderawi di dalam dunia luar, ataupun sesuatu yang berada dibalik dunia inderawi yang hanya dapat dicapai dengan akal budi dan intuisi . Karena itu pengalaman bersifat menyeluruh dan mencakup segala hal, termasuk proses sufistik-transendental.
Keterlibatan aspek sufistik-transendental dalam proses pendidikan anak juga berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai ilahiah (keimanan) sebagai pengalaman dasar (basic experience). Sebagaimana ditegaskan oleh Dewey, bahwa pendidikan bukan semata-mata proses, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri yang bersifat reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi pengalaman menuju suatu tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Suatu pengalaman bersifat salah didik apabila pengalaman itu menghalangi atau mencacatkan perkembangan selanjutnya . Sebagai umat Islam, tentunya penanaman nilai-nilai ilahiah sebagai pengalaman dasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena kurangnya aspek mendasar tersebut tidak hanya menghalangi, akan juga tetapi juga akan mencacatkan proses perkembangan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu aspek sufistik-transendental yang menjadi wahana pengalaman dasar seorang pribadi muslim menjadi bersifat edukatif, karena dapat membantu perkembangan pengalaman berikutnya.
Metode spiritual dalam mendidik anak sangat terasa urgensinya, karena seorang anak sejak pranatal hingga masa remaja melalui tahapan-tahapan perkembangan baik fisik, psikis, maupun intelektual. Pada tahapan-tahapan perkembangan tersebut diperlukan metode-metode tertentu agar tidak terjadi anomali pada proses perkembangan sang anak. Kita dapat melihat bahwa para orangtua masih kebingungan untuk menerapkan metode yang tepat untuk mendidik anak-anaknya. Sebagian metode konvensional, terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan “salah didik” dan kenakalan remaja yang terus meningkat. Metode konvensional yang ada juga hanya memberi penekanan pada perkembangan intelektualitas dan mengabaikan aspek moral spiritual yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Dengan terlibatnya aspek spiritualitas dalam proses mendidik anak, diharapkan dapat menjadi tawaran konseptual dan solusi alternatif bagi pemecahan masalah tersebut.
Para sufi meyakini bahwa perkembangan seorang anak tidak semata-mata bersifat fisik, psikis dan kognitif. Ada dimensi bathin yang menjadi struktur terdalam dari jiwa seseorang yang sesungguhnya telah mengalami sentuhan ilahiah pada masa pranatal, yaitu pada peristiwa perjanjian primordial pertama antara manusia dan Tuhan, yang dalam terminologi para sufi disebut hari “hari alastu” . Oleh karena itu setiap manusia memiliki potensi ilahiah yang biasa disebut “fitrah”. Persoalan spiritualisme dalam proses pendidikan anak, dimaksudkan untuk mengapresiasi potensi bawaan (heredity) tersebut, yang sesungguhnya bersifat lebih spiritual daripada intelektual. Perspektif tasawuf hadir untuk menjembatani kurangnya metode dalam mendidik anak yang mengapresiasi dimensi batin seorang anak, agar sang anak tidak hanya cerdas secara intelektual dan emosional, akan tetapi juga cerdas secara spiritual. Sebagaimana ditegaskan oleh Inayat Khan:
Very often one little idea about a metaphysical truth goes into the heart of a child like a spark of fire which slowly blazes into flame, a flame which will guide it through its whole life .
Bahwa gagasan kecil tentang kebenaran metafisika masuk ke dalam hati seorang anak laksana percikan api yang dengan perlahan berkobar menjadi nyala api yang akan menuntunnya menjalani kehidupan.
Secara preskriptif, peran spiritualitas dalam proses pendidikan anak merupakan tema sentral pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan terpenting. Sebagaimana ditegaskan oleh Iqbal bahwa individualitas (khudi) merupakan suatu kesatuan yang nyata, mantap dan tandas, karenanya tujuan akhir pendidikan adalah untuk memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, dan khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia . Pendapat tentang pentingnya pengembangan individualitas juga diikuti oleh Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa penekanan terhadap individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan dan maksud yang sebenarnya (dari kehidupan ini); sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu . Karenanya menurut Al-Attas, pendidikan adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang”, atau yang disebut dengan ta’dib, yang apabila dijabarkan secara luas bermakna sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperadaan .
2. Spiritualitas Sebagai Basis Pendidikan Anak di Masa Kini.
a. Tinjauan Umum Makna Spiritualitas
Salah satu asumsi dasar yang mendasari tulisan ini adalah bahwa setiap anak terlahir ke dunia memiliki nilai etik yang bersifat esensial di dalam dirinya, yaitu jiwa spiritual. Oleh karena itu sesungguhnya manusia pada dasarnya adalah mahluk spiritual, dan kehidupan manusia (anak) di dunia ini adalah proses menjalani pengalaman material. Hal ini menjawab pemahaman umum yang salah kaprah selama ini bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk material yang menjalani pengalaman spiritual. Proposisi ini didasari oleh oleh dalil-dalil normatif dari al-Qur'an dan Hadits yang menjelaskan tentang proyeksi eskatologis yang akan dijalani oleh manusia pasca luruhnya dimensi material yang ada di dalam dirinya (baca: kematian).
Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch, Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki dan memberi arah dan arti pada kehidupan. Selain itu spiritualitas juga dimaknai sebagai kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita; suatu kesadaran yang menghubungkan seseorang dengan Tuhan, atau apa pun yang disebut sebagai sumber keberadaan dan hakekat kehidupan. Baginya spiritualitas juga mengandung kesadaran akan adanya hubungan suci dengan seluruh ciptaan, dan pilihan untuk merengkuh hubungan itu dengan cinta.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, Mimi Doe dan Marsha Walch berpendapat bahwa hakekat spiritual anak-anak tercermin dalam kreativitas tak terbatas, imaginasi luas, dan pendekatan terhadap kehidupan yang terbuka dan gembira. Baginya spiritualitas bukan suatu dogma agama terorganisasi meskipun agama terorganisasi merupakan sarana yang baik untuk membina jiwa anak. Karena spiritualitas itu sudah ada (inheren) di dalam dirinya . Hal ini sejalan dengan pendapat Inayat Khan yang mengatakan bahwa spiritualitas adalah dimensi ketuhanan yang menjadi potensi hereditas setiap orang dan tidak terikat oleh suatu dogma agama apapun. Akan tetapi aspek spiritual suatu agama dapat dijadikan wahana di dalam menumbuhkan jiwa spiritual seorang anak, misalnya ajaran tasawuf di dalam agama Islam.
Anna Craft menegaskan bahwa salah satu aspek budaya Barat adalah sangat memegang teguh otoritas rasio dan kesadaran daripada proyeksi bawah sadar dan intuisi yang bernilai spiritual. Padahal sesungguhnya kata hati (spiritual impulse) merupakan dasar dan sumber kreativitas, di mana kekuatan proyeksi bawah sadar, intuisi spiritual dan emosional dapat membuat seorang menjadi imajinatif dan memiliki intelegensi kreatif. Sehingga tidak layak untuk memisahkan nilai-nilai spiritual dari rasionalitas atau intelektualitas, dan sangat mungkin proyeksi bawah sadar dan intuisi spiritual tersusun saling terjalin dan berkelindan pada diri seorang anak.
b. Spiritualitas Sebagai Kebutuhan Mendasar.
Salah satu fenomena yang terjadi pada masyarakat atau manusia di masa kini adalah kurangnya penerapan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hampir secara keseluruhan manusia saat ini mengalami kehampaan spiritual. Sejak rasionalisme yang tersistematisasikan berkembang, manusia hanya dilihat dari sudut fisiologis-lahiriah. Dualisme Cartesian membagi relitas menjadi dua: realitas material dan realitas mental, atau realitas fisik dan realitas akal (rasio), sementara dimensi spiritualnya tercampakkan. Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme yang terjadi sejak abad ke-18 tersebut kini dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transendental, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Hossein Nasr menegaskan dalam tulisannya bahwa, "Adalah lebih benar dunia modern, tempat kehidupan manusia berada dalam situasi yang profan – terlepaskan dari nilai-nilai dasar – tempat aspek psikis manusia dipisahkan dari jiwanya yang berperan sebagai sumber kehidupan manusia itu sendiri; dan pengalaman ruang dan waktu – telah berubah seluruhnya, dan tempat rawa keterikatan dengan yang Mahamutlak pelan-pelan telah menghilang. Selain itu, salah satu akibat memuncaknya paham rasionalisme dan teknologi ultramodern adalah persepsi dan apresiasi tentang Tuhan dan kebertuhanan tidak lagi mendapat tempat yang layak. Kecenderungan seperti ini sering juga disebut sebagai lajunya proses sekularisasi, tetapi bukannya sekularisasi dengan titik tekan institusional, misalnya pisahnya antara agama dan negara, melainkan oleh Peter L Berger dirumuskan sebagai: "Adanya proses penerapan dalam pikiran manusia, yaitu apa yang disebut sebagai sekularisasi kesadaran, dan hilangnya nilai-nilai supernatural atau spiritual dari masyarakat modern.
Hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal, yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanannya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari manusia modern lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak adanya keseimbangan dalam diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat maka keseimbangan akan semakin rusak. Minimnya nilai-nilai spiritual berimplikasi pada meningkatnya penghancuran dan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral yang sifatnya asasi dan semestinya harus dijaga.
Menurut Mimi Doe dan Marsha Walch, masyarakat di masa kini yang sangat berorientasi pada materi telah mematikan antusiasme dan jiwa kreatif alami anak-anak untuk hal-hal biasa. Mainan canggih dan plastik yang dijalankan dengan baterai, video game, komputer, serta program televisi yang tidak mendidik, telah menumpulkan imajinasi dan kreativitas alami anak-anak masa kini. Selain itu Intensi modernitas telah sedemikian rupa menggerus nilai-nilai moral dan aspek-aspek spiritual anak-anak, karenanya spiritualitas sudah saatnya menjadi kebutuhan mendasar dan menjadi basis pendidikan anak di masa kini.
c. Spiritual Parenting sebagai Solusi
Pada dekade belakangan dalam lapangan ilmu psikologi khususnya pada aliran psikologi humanistik berkembang konsep mengenai Spiritual Qoutient (SQ) sebagai antitesa dari konsep Intelectual Quotient (Q). Kecerdasan spiritual dipandang sebagai salah satu kecerdasan yang paling tinggi dibanding kecerdasan-kecerdasan yang lain. Menurut Khalil Khavari, kecerdasan spiritual adalah kecakapan dalam dimensi non-material dan jiwa kemanusiaan seseorang. Selain itu kecerdasan spiritual juga tidak harus berhubungan dengan agama. Roberts A. Emmons menegaskan dalam bukunya The Psychology of Ultimate Concerns, SQ adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. Dalam kaitannya dengan ini, "SQ tidak bergantung pada budaya dan tidak mengikuti nilai-nilai itu sendiri". Seorang anak terlahir sebagai makhluk spiritual, semua bayi yang dilahirkan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Namun apabila tidak dibina dan dikembangkan dengan baik oleh orangtuanya, maka lambat laun kecerdasan ini bisa memudar. Emmons menambahkan, bahwa seorang anak yang merasakan kehadiran Tuhan melampaui hal-hal yang bersifat fisik dan material, akan mampu menggabungkan kesadaran dalam lingkungannya dengan alam semesta yang lebih luas. Apa yang dilihat oleh seorang anak tidak terbatas dengan apa yang ia saksikan melalui alat inderawinya semata. Selain itu tegas Emmons, dengan memiliki kecerdasan spiritual yang mumpuni, seorang anak akan memiliki karakteristik (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah dan (5) kemampuan untuk berbuat baik. Demikian pula halnya Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child, juga menemukan potensi-potensi pembawaan spiritual ('spiritual traits') pada anak-anak, seperti sifat keberanian, optimisme, keimanan, perilaku konstruktif, empati, sikap memaafkan, dan bahkan ketangkasan dalam menghadapi amarah dan bahaya. Semua itu, menurut penelitian Sinetar, menjadi sifat-sifat spiritual anak-anak sejak usia dini.
Dari paradigma Spiritual Qoutient (SQ) kemudian berkembang konsep Spiritual Parenting (SP) yang digagas oleh banyak pakar psikologi anak, menyikapi kondisi masyarakat yang hampa moral dan nilai-nilai luhur ditambah ekses negatif dari media televisi, internet, lingkungan, serta sistem pendidikan modern yang lebih menekankan pada materi dan tercapainya prestasi, sehingga mengubur jiwa suci anak-anak masa kini.
Menurut Pamugari, −seorang psikolog Universitas Indonesia−, Spiritual Parenting adalah sistem pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan jiwa keimanan dan kesadaran rohani. Dari sisi metode hal ini tergolong baru, karena menggunakan paradigma holistik dalam memandang manusia. Akan tetapi dari sisi makna, pengertian, isi (content) dan pendekatan, hal ini bukanlah suatu hal yang baru, karena jauh sebelum konsep Spiritual Parenting ini muncul, secara implisit nilai-nilai spiritual dalam pendidikan telah dibahas oleh para pemikir, dan tokoh-tokoh utama dari kalangan sufi Islam.
Sejalan dengan pendapat Inayat Khan, bahwa pendidikan agama tidak cukup untuk membangun spiritualitas anak, karena pendidikan agama biasanya telah diformat dan kebanyakan lebih menekankan pada ritus-ritus dan tradisi yang lebih menekankan pada ibadah sosial dan kurang menekankan pada inner self atau 'dunia dalam' anak. Proses pengasuhan anak dalam Spiritual Parenting berwawasan lebih luas dan mendalam, karena membantu menyadarkan anak sedini mungkin bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan dan bagian dari keseluruhan alam semesta.
Sedangkan menurut Debby Milam, −salah seorang terapis anak di Amerika− menjelaskan bahwa spiritual parenting membantu mengembalikan keseimbangan keluarga. Debby melihat pada kenyataan berubahnya dinamika keluarga yang menggeser peran ibu dalam keluarga masa kini, di mana tugas mengurus rumah tangga, mengasuh dan merawat anak, perlahan-lahan mulai tergantikan oleh pengasuh, sehingga hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam keluarga. Selain itu, menularkan nilai spiritual, seperti dikatakan psikolog Fauzil Adhim, sama halnya dengan menanamkan aspek dasar pendidikan moral. Untuk mempelajarinya, anak terlebih dahulu akan mengidentifikasikan dirinya dengan significant person, dalam hal ini figur terdekat dan berpengaruh yaitu orangtuanya. Peranan orangtua sebagai teladan moral juga ditegaskan oleh Michele Borba, di mana para orangtua adalah guru moral pertama dan paling berpengaruh bagi anak, di samping itu penelitian menemukan bahwa para orangtua yang sangat kuat mengarahkan anak-anak mereka secara moral biasanya berhasil karena mereka mengambil tanggung jawab sendiri atas usaha itu.
Menurut Mimi Doe, pada usia tertentu, anak-anak mungkin akan mempertanyakan atau menolak penjelasan tentang spiritualitas, sebagaimana yang orangtua atau pengasuh berikan, dan memulai perjalanan mereka sendiri untuk mencari tahu tentang Tuhan. Dalam hal ini, orangtua atau pengasuh harus berbagi pengalaman spiritual, karena menceritakan proyeksi kemanusiaan dan spiritualitas kepada anak akan memberinya peluang untuk bersifat manusiawi dan spiritual pula. Mimi Doe dan Marsha Walsh menambahkan bahwa pertumbuhan spiritual orangtua atau pengasuh adalah karunia bagi anak-anak. Pertumbuhan spiritual, seperti menjadi orangtua spiritual adalah sebuah proses di mana orangtua atau pengasuh mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan anak-anaknya mengenai proses kedewasaan spiritual tanpa berkhutbah dan memberikan asupan nilai yang bersifat indoktrinasi. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Inayat Khan dalam konsep unlearn untuk menanamkan nilai-nilai spiritual terhadap anak.

C. KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan beberapa hal, bahwa seorang anak (manusia) difahami secara eksistensial sebagai mahluk spiritual dan substansi kediriannya bersifat ruhaniah dan bukan materil. Karenanya pengalaman yang dialami dalam kehidupan duniawi adalah proses 'pengalaman materil' sekaligus ‘pengalaman spiritual’. Sementara itu dimensi spiritualitas terhadap pendidikan anak pada masa kini sangat terasa urgensinya, karena baik dari perspektif pemikir pendidikan Barat maupun pendidikan Islam, tidak ada satu tokoh pun yang menghadirkan wacana spiritualitas sebagai wahana pendidikan anak. Para pemikir Barat, banyak terjebak pada determinisme rasionalitas, sehingga menganggap proyeksi spiritualitas dalam proses pendidikan anak adalah suatu hal yang irrasional dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Begitupula halnya dengan para pemikir pendidikan Islam baik pemikir klasik maupun kontemporer, karena sejak awal telah terjadi polarisasi pemikiran pendidikan Islam antara yang bersifat rasional-filosofis dengan yang bersifat agamis-murni.
Selain itu wacana spiritual parenting yang dikembangkan oleh para psikolog pendidikan anak di Barat, telah mendapat apresiasi yang luas dari kalangan Muslim, dan penting untuk dielaborasi lebih lanjut. Bersesuaian dengan itu tampaknya isu 'spiritualitas' akan menjadi wacana global yang menjadi ruh baru yang tidak saja terjadi pada dunia pendidikan, akan tetapi pada wilayah sosial, ekonomi, bisnis dan dunia politik, sebagaimana ditegaskan oleh Patricia Aburdene dalam bukunya 'Mega Trends 2010', bahwa kekuatan 'spiritualitas' akan menjadi kekuatan kedua setelah era komunikasi dan informasi. (Wallahu A’lamu Bishawwab)

Bibliografi.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Baqir, Mizan, Bandung, 1984.
Craft, Anna, me-Refresh Imajinasi & Kreativitas Anak-anak, terj. M. Chairul Anam, Cerdas Pustaka, Jakarta 2004
Dewey, John, Pengalaman dan Pendidikan, terj. John de Santo, Kepel Press, Yogyakarta, 2002.
Dodson, Fitzhugh, Mendisiplinkan Anak Dengan Kasih Sayang, terj. Nenny Ekosari, Gunung Mulia, Jakarta, 1988.
Doe, Mimi, dan Walsh, Marsha, 10 Prinsip Spiritual Parenting, terj. Rahmani Astuti, Kaifa, Bandung, 2001.
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, terj. Lukas Ginting, Penerbit Erlangga, Jakarta 1990.
Doe, Mimi, SQ Untuk Ibu, terj. Rahmani Astuti, Kaifa, Bandung, 2002.
Falah, Maslahul, Tinjauan EQ dan SQ untuk Memberi Nama Bayi, Media Insani, Yogyakarta, 2005.
J, Ellys, Kiat Mengasah Kecerdasan Emosional Anak, Pustaka Hidayah, Bandung, 2005.
Khan, Inayat, Kehidupan Spiritual, terj. Imron Rosjadi, Pustaka Sufi, Yogyakarta 2002,
___________, The Education of Children, http:\\www.wahiduddin. net\mv2\III\III_1_5. htm.
_________, The Training of Youth, http:\\www.wahiduddin. net\mv2\III\III_1_6. htm.
_________, The Education of The Child, http:\\www.wahiduddin. net\mv2\III\III_1_3. htm.
Muhadjir, Noeng, Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial, ed V, Rake Sarasin, Yogyakarta 2000.
_____________, Kebijakan dan Perencanaan Sosial, ed I, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000
_____________, Metodologi Keilmuan; Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, ed. V Rake Sarasin, Yogyakarta 2007.
Montgomery, Stacey, et.al, Smart Ways to Have a Smart Kid, terj. Ahmad Asnawi dan Ahmad Fuad, Platinum Diglossia Media Group, Yogyakarta, 2005.
Mangoenprasodjo, Setiono. A dan Hidayati, Nur, Sri, Anak Masa Depan dengan Multi Intelegensi, Pradipta Publishing, Yogyakarta 2005.
Patmonodewo, Soemiarti, Pendidikan Anak Prasekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Raharjo, Dawam, et al, Insan Kamil, Grafiti pers, Jakarta, 1985.
Saiyidain, K.G., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, terj. M.I. Soelaeman CV. Diponegoro, Bandung, 1981.
Smith, Samuel, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, terj. Tim Bumi Aksara, Bumi Aksara, Jakarta 1986.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, CV. Rajawali, Jakarta, 1989.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed. M. Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk., Mizan, Bandung, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...