Selasa, 02 Agustus 2011

DEKONSTRUKSI KONSEP KEIMANAN ISLAM: DARI FORMAT MADINAH MENUJU FORMAT MEKKAH (610-622 M)

Realitas objektif yang terjadi saat ini, di mana pendidikan tentang keimanan (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama. Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan. Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about being Moslem).
Sebagaimana diketahui konsep pendidikan keimanan yang diajarkan pada siswa saat ini adalah suatu bangunan pemikiran yang terbentuk dari proses dialektika Kalam yang sarat dengan perdebatan teologis daripada upaya pendalaman pemahaman peserta didik terhadap keimanan pada Tuhan. Sehingga sangat wajar apabila konsep keimanan yang ada saat ini sangat rentan bagi infiltrasi pemikiran keislaman yang kontraproduktif, misalnya saja fenomena pola indoktrinasi NII (Negara Islam Indonesia) dengan pola cuci otak (brainwash). Belum lagi adanya fenomena radikalisasi pemikiran keislaman di kalangan muda. Hal ini menandakan konsep keimanan yang dipahami tidak paralel dengan kesadaran diri secara penuh. Problematika yang muncul mengenai konsep keimanan ini menandakan bahwa telah terjadi anomali pada konsep-konsep keimanan yang diajarkan pada peserta didik selama ini.
Oleh karena itu, timbul satu pertanyaan, bagaimana merekayasa ulang, atau melakukan rekonseptualisasi terhadap permasalahan ini?. Harus disadari bahwa bentukan konsep keimanan yang diajarkan pada saat ini adalah bersifat tekstual minded, dalam artian tidak menelaah kembali bagaimana realitas objektif pengajaran keimanan pada masa Rasulullah, khususnya pada periode Mekkah (610-622). Karena pada periode inilah intensitas pengajaran keimanan dilakukan secara langsung dan persuasif dari Rasul pada komunitas muslim awal Islam. Pada periode inilah kita disuguhi oleh kisah-kisah heroik para sahabat yang memiliki immunitas keimanan yang tinggi dan mampu bertahan atas berbagai macam deraan dan siksaan. Tentunya dari tinjauan preskriptif ini kita menemukan bahwa immunitas keimanan para sahabat pada periode Mekkah paralel dengan konstruksi makna keimanan yang dibangun oleh Rasulullah pada masa itu. Kita bisa memastikan bahwa konseptualisasi keimanan yang terbentuk pada era Mekkah sangat berbeda dengan konsep keimanan yang diajarkan pada peserta didik pada masa sekarang.
Dekonstruksi atas pemaknaan keimanan pada masa sekarang menjadi penting dalam rangka memperbaharui konsep tersebut, karena konsep itu terbukti tidak lagi ampuh di dalam memberikan immunitas keimanan bagi peserta didik. Sebagai gambaran hipotetik, penulis akan mencoba mendeskripsikan sekilas tentang format konseptualisasi keimanan pada periode Mekkah. Bahwa Nabi SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Dari sini ada beberapa fase pendidikan Tuhan kepada Muhammad sebelum diangkat sebagai Rasul: yakni, fase keyatiman, menggembala, berdagang, ber-khadijah, dan yang terakhir adalah ber-gua hira, kelima fase ini menyatakan secara eksplisit bahwa core values pendidikan keimanan dalam Islam apabila mengikuti format pendidikan Tuhan pada Rasul, yaitu kemandirian, kepemimpinan, kewirausahaan, pemenuhan tanggung jawab dan menjadi problem solver.
Selain itu lima surah yang pertama kali turun secara sistematik sekaligus sistemik telah menjadi menjadi dasar konseptualisasi keimanan pada para sahabat ketika itu, yakni surah al-Alaq (1-5) yang isinya berkenaan dengan upaya Tuhan mengenalkan eksistensiNya dan berupaya menormalisasi pandangan teologis penduduk Mekkah yang pagan menuju monotheisme Tauhid. Hasil dari fase pertama ini adalah kesadaran diri para sahabat untuk bersyahadat dengan teguh. Kemudian disusul surah al-Qalam (1-10) adalah tahapan orientasi, yakni menanamkan keyakinan para sahabat untuk menjadi bagian penting dan menjadi aktor-aktor bagi perjuangan agama yang dianut. Selanjutnya surah al-Muzammil (1-10) adalah tahapan ekternalisasi diri para sahabat, yakni menanamkan semangat religiousitas melalui usaha ibadah yang intens sebagaimana point-point yang terkandung dalam surah tersebut. Setelah itu surah al-Muddatsir (1-10) adalah upaya mengarahkan para sahabat untuk melakukan sosialisasi atau internalisasi kesadaran keimanan yang telah mereka peroleh pada masyarakat luas dengan terlibat aktif di masyarakat untuk melakukan sosial engginering atau perubahan sosial. Puncaknya adalah surah al-Fatihah 1-7 yang merupakan tahapan objektifikasi kesadaran keimanan para sahabat. Bahwa sesungguhnya surah al-Fatihah adalah blue print dari rekayasa peradaban Islam dan sekaligus menjadi jiwa zaman (zeitgeist) kemajuan Islam. Tanpa mengabaikan peranan surah-surah lain di dalam al-Qur’an, kelima surah yang turun pertama kali secara sistematik ini, memberikan kontribusi penting bagi pembentukan kesadaran keimanan komunitas Muslim pada periode Mekkah. Proses-proses ini semestinya dimanifestasikan sedemikian rupa pada rancangan kurikulum pemelajaran keimanan pada saat ini agar kualitas keimanan para peserta didik paling tidak mendekati format keimanan para sahabat, sehingga karakteristik para sahabat yang par exelence bisa juga menjadi karakteristik peserta didik pada era sekarang. Wallahu A’lamu Bishawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...