Selasa, 02 Agustus 2011

Pandangan Teologis Asy’ariyah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Revisi)

A. Pendahuluan.
Salah satu diktum idiologis mendasar dalam konsepsi pemikiran Islam adalah konsep tentang keesaan Tuhan (tauhid). Dari konsep inilah pemikiran Islam mengalami perkembangan dengan ciri khas, watak, dan nilai-nilai fundamentalnya. Pada masa klasik dialektika pemikiran tentang ketuhanan ini menjadi atmosfir utama pemikiran Islam, sehingga pemikiran Kalam atau yang juga lazim disebut Falsafah Kalam mempunyai tempat yang sangat sentral dalam bangunan pemikiran Islam klasik. Oleh karena itu pandangan teologis/kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah ataupun Maturidiah dan lainnya, menjadi tonggak sejarah yang tidak dapat dihapus dari wawasan intelektual Islam klasik. Dalam konteks pendidikan Islam, wawasan teologis/kalam tersebut masih dibahas di berbagai pusat-pusat pendidikan dan pengajaran Islam baik di pesantren, madrasah Tsanawiyah/Aliyah, IAIN/UIN maupun program-program Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah diberbagai perguruan tinggi di luar negeri.
Pemikiran Asy’ari, Mu’tazilah atau Maturidiyyah adalah bangunan pemikiran kalam yang dibentuk oleh suatu zaman yang berkembang seribu tahun yang lalu. Karena itu pemikiran tersebut mewakili watak zamannya yang berbeda dalam muatan pengalaman dan penghayatan dengan watak pada masa kini. Sehingga pemikiran tersebut adalah khazanah yang tidak bersifat mutlak untuk diikuti dan dalam membahasnya perlu sikap kritis. Dalam hal itu, tulisan ini berupaya mengelaborasi secara singkat tentang pandangan teologis Asy’ariyah yang bisa dikatakan sangat identik dengan struktur pemahaman ketuhanan aliran ahlus sunnah wal jama’ah. Pada saat yang sama, Asy’ari juga berafiliasi pada mazhab fiqh Syafi’i, di mana paham kalam dan madzhab fiqh tersebut dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini juga berupaya merumuskan implikasi-implikasinya bagi pendidikan Islam, baik implikasi secara teoretis maupun praktis. Sehingga dari sini akan diupayakan reformulasi dan rekonsepsi baru dalam pendidikan keberimanan/ketuhanan di dalam pendidikan Islam. Sebagaimana realitas objektif yang terjadi saat ini, pendidikan tentang keimanan (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama. Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan. Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about being Moslem).

B. Setting Historis Asy’ariyah.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari, dilahirkan di kota Basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Dilihat dari namanya, secara geneologis beliau adalah keturunan dari salah seorang sahabat Nabi S.AW, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari yang juga merupakan mediator dalam sengketa politik antara Ali dan Muawiyah pada peristiwa tahkim di Daumatul Jandal.
Al-Asy’ari dilahirkan dan dibesarkan serta dididik ketika aliran paham Mu’tazilah mencapai supremasinya. Maka wajar kemudian sejak masa kecilnya al-Asy’ari telah berguru kepada salah seorang ulama terkenal dari kalangan Mu’tazilah yaitu, Abu Ali al-Jubbai. Dalam kurun waktu yang panjang ia telah menjadi penganut paham Mu’tazilah yang taat, bahkan dengan kemampuan intelektualnya, ia mampu menulis buku-buku untuk mempropagandakan paham Mu’tazilah. Proses ini ia jalani hingga ia berumur 40 tahun. Pada usia ini pula ia mengalami proses skeptisisme terhadap paham yang dianutnya. Untuk itu kemudian al-Asy’ari mengasingkan diri selama 15 hari di dalam rumahnya, sampai ia merasa perlu untuk melakukan shifting paradigm terhadap pandangannya selama itu yang menurutnya telah mengalami banyak anomali di dalamnya.
Titik balik perubahan paradigma tersebut kemudian dideklamasikan oleh al-Asy’ari di masjid besar di kota Basrah. Sejak itu pula ia dengan gigih berupaya menunjukkan anomali-anomali yang ada pada paham dan pemikiran Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, perubahan besar pada diri al-Asy’ari juga disebabkan oleh pilihannya untuk berafiliasi dengan mazhab fiqh Syafi’i, dimana terdapat perbedaan-perbedaan secara diametral antara pandangan Imam Syafi’i dengan paham Mu’tazilah, khususnya pandangan tentang al-Qur’an yang bagi mazhab Syafi’i adalah bersifat qadim dan bukan mahluk, juga pandangan bahwa Tuhan dapat dicerap secara inderawi di akherat kelak.
Di sisi lain, al-Asy’ari melakukan pembacaan terhadap realitas objektif di kalangan umat Islam, di mana telah terjadi dua kutub pemikiran yang berlawanan dan berselisih satu sama lain. Pada kutub pertama, yakni pemikiran Mu’tazilah yang memiliki pandangan deterministik terhadap potensi rasio manusia dan menjurus pada paham rasionalisme serta memposisikan dalil-dalil wahyu sebagai second opinion. Sementara itu al-Asy’ari juga mencemaskan terjadinya model pemahaman tekstualis-skripturalis pada kutub pemikiran yang lain, diantaranya pandangan anthropomorphist (al-hasywiah) tentang Tuhan. Atas pembacaan dua kutub pemikiran tersebut, al-Asy’ari berupaya mengajukan suatu sintesa sebagai jalan tengah atas kemelut pemikiran yang berlarut-larut. Pada akhirnya terobosan pemikiran yang dilakukan oleh al-Asy’ari menjadi tonggak penting bagi perubahan besar pada kancah pemikiran Islam pada masa selanjutnya.
Pandangan al-Asy’ari mendapatkan momentumnya setelah al-Mutawakkil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang paham Mu’tazilah sebagai paham resmi kekhalifahan Abbasiyah dan membuat pamor paham Mu’tazilah merosot tajam. Ditambah lagi oleh apresiasi yang tinggi khalifah al-Mutawakkil terhadap Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan icon bagi perlawanan terhadap pemikiran Mu’tazilah. Penulis menduga pergeseran politik yang diikuti oleh pergeseran pemikiran keagamaan, sebagaimana yang telah disebut di atas, juga diikuti oleh sikap pragmatis al-Asy’ari, sebagaimana tampak di dalam karyanya Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah, yang merupakan kitab yang berisikan konsep aqidah ahlussunnah dan dimulai dengan memuji Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikannya serta menyatakan memegangi pendapat-pendapatnya. Dikemudian hari pragmatisme al-Asy’ari mendapat kritikan pedas dari salah seorang ulama mazhab Hanbali, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang menyatakan bahwa al-Asy’ari adalah seorang Mu’tazilah tulen.

C. Pandangan Teologis Asy’ariyah.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perumusan dogma al-Asy’ariyah merupakan suatu sintesa antara pandangan ortodoks dan pandangan Mu’tazilah. Diantara sekian banyak pendapat al-Asy’ari yang terserak dalam 90 buah karyanya diantaranya seperti Mawalatul Islamiyyin, Al-Ibanah ‘an Usulid Diyanah, Kitab Al-Luma’ Fi al-Rad ‘ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ , terdapat beberapa tema penting yang menjadi subyek pembahasannya yaitu:
Pertama, Pendangan al-Asy’ari tentang sifat berada di tengah-tengah pendapat Mu’tazilah di satu pihak dan aliran Hasywiah serta Mujassimah di lain pihak. al-Asy’ari mengajarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang rill dan abadi. Tuhan melalui sifat Pengetahuan-Nya, berkehendak dengan sifat Kehendak-Nya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut tidak identik dengan Zat-Nya, tapi tidak pula berbeda daripadanya. Sifat-sifat tersebut adalah rill walaupun kita tidak tahu ‘bagaimana’nya mereka. Dalam hal ini, menurut Fazlur Rahman, al-Asy’ari menggunakan dialetika negatif dari kaum Mu’tazilah yang pada akhirnya bersumber pada Neoplatonisme.
Kedua, tentang masalah kemerdekaan manusia, berdasarkan ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an, al-Asy’ari merumuskan doktrinnya tentang ‘perolehan’ (acquisition). Menurut doktrin ini, semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnnya oleh Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian ‘memerolehnya’. D.B. Macdonald melihat dalam perumusan ini suatu usaha untuk bertindak adil terhadap kenyataan psikologis bahwa manusia memiliki kesadaran bahwa ia menguasai perbuatan-perbuatan yang dipilih dan dikerjakannya dengan sadar. Akan tetapi menurut Fazlur Rahman, masalah yang ingin diselesaikan oleh al-Asy’ari lebih bersifat moral dari pada psikologis, yakni bagaimana mendamaikan kekuasaan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Di mana pada prinsipnya yang berlaku adalah bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah, sedangkan tanggung jawab adalah pada manusia. Prinsip ini sendiri, meskipun mempunyai bentuk metafisik, dalam watak esensialnya bersifat moral-religius.
Ketiga, mengenai kemampuan inderawi manusia mencerap wujud Tuhan di akherat kelak, diantara asumsi dasar al-Asy’ari adalah bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat tentang dapatnya untuk melihat Tuhan tidak akan membawa kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
Keempat, bagi al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidaklah mungkin. Oleh karena itu tidak mungkin pula bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan tidak pula kafir.
Sepeninggal al-Asy’ari, pandangan teologis tersebut melembaga menjadi suatu pemikiran independen yang dinamai Asy’ariyah. Aliran ini pada dasarnya tetap menegakkan dalil-dalil pemikirannya secara essensial pada watak yang lebih rasional, dan memposisikan nas-nas sebagai faktor pendukung. Maka dari itu aliran ini mengalami perkembangan dan perubahan yang pesat, khususnya setelah tokoh-tokoh kenamaan seperti Al-Baqillani, Ibnu Furak, Ibnu Ishak al-Isfaraini, Abdul Kahir al-Baghdadi, Imam al-Haramain al-Juwaini, Abdul Mudzaffar al-Israfaini, Al-Ghazali, Ibnu Tumart, Asy-Syahristani, Ar-Razi, Al-Iji, dan As-Sanusi, menjadi tokoh-tokoh penganjur pandangan teologis Asy’ariyah, setelah melakukan modifikasi pada beberapa buah pemikiran al-Asy’ari. Dari penafsiran ulang dan modifikasi terhadap pandangan teologis al-Asy’ari dari para tokoh-tokoh di atas, pandangan Asy’ariyah menjadi lebih dekat, bahkan identik dengan paham teologis yang dianut oleh aliran ahlussunah wal jama’ah secara umum.

D. Hubungan Antara Teologi dan Pendidikan.
Doktrin teologis pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri. Ia terkait dengan jaringan institusi atau lembaga sosial kemasyarakatan. Bahkan, kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan tampaknya selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengkristal di masyarakat. Sehingga kesalinghubungan antara pendidikan dengan doktrin teologis sangatlah erat. Kendati pada tataran realitas objektif cenderung diposisikan terpisah, misalnya ranah pendidikan “dikerangkeng” ke dalam fakultas Tarbiyah, dan aspek ‘teologi’ menjadi ‘anak emas’ fakultas Ushuluddin.
Paling tidak ada dua pola hubungan antara teologi dan pendidikan, yaitu yang pertama, adalah hubungan yang bersifat fungsional. Bahwa konsepsi teologis adalah suatu worldview atau pandangan dunia yang membutuhkan sejenis instrumen untuk mentransmisikan gagasan teologis tersebut ke dalam spektrum yang lebih luas dan kongkret. Misalnya, salah satu media transmisi yang dapat digunakan adalah institusi pendidikan. Selain itu bahwa suatu sistem teologi biasanya hanya pada tataran wacana para pemikir dan teolog, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Untuk itu dibutuhkan peran ulama, mubaligh dan guru. Oleh karena itu secara kasat mata sesungguhnya hubungan fungsional antara teologi dan pendidikan sangatlah erat, akan tetapi dimensi pragmatis, tolak ukur dan watak dari dunia pendidikan yang memiliki karakter yang khas, sehingga persoalan teologi tidak masuk dalam hitungan dunia pendidikan.
Kedua, hubungan antara teologi dan pendidikan bersifat simbiotik (saling memengaruhi). Pada satu sisi, nilai dan spirit teologi dapat menjadi landasan konseptual yang kokoh dan ‘berjiwa’, bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan yang menjadi garapan dunia pendidikan. Di sisi lain, pada tingkat tertentu pendidikan berperan penting dalam mengejawantahkan gagasan-gagasan teologis, misalnya, implikasi pandangan teologis Asy’ariyah pada berdirinya madrasah-madrasah yang menjadi mercusuar bagi penyebaran gagasan teologis Asy’ariyah ke dalam masyarakat luas.

E. Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.
1. Implikasi Pada Ranah Politik Pendidikan Islam.
Aliran Asy’ariyah mencapai puncak supremasinya ketika paham ini dianut oleh Nizamul Mulk yang menjadi Perdana Menteri pada masa kekuasaan Bani Saljuq di era kekhalifahan Abbasiyah, dan langkah konversi pemikiran Nizamul Mulk ini juga diikuti oleh para birokrat yang menjadi bawahannya. Maka dari itu, dalam konteks sejarah pendidikan Islam, pandangan teologis Asy’ariyah berimplikasi langsung pada ranah politik pendidikan Islam, karena secara tidak langsung madrasah Nizamiah yang tersebar di hampir semua kota-kota Besar ketika itu menjadi corong bagi diseminasi paham Asy’ariyah ke khalayak luas sebagai bagian dari proyek uniformisasi pemikiran, dalam rangka menciptakan stabilitas negara.
Apa yang telah dilakukan oleh Nizamul Mulk untuk menjadikan institusi pendidikan resmi sebagai media transmisi penyebaran aliran Asy’ariyah, kemudian juga dilakukan oleh penguasa Muslim yang lain seperti Salah al-Din al-Ayyubi di Mesir melalui institusi Al-Azhar yang merupakan peninggalan Dinasti Fatimiah yang beraliran Syi’ah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammad Ibn Tumart yang merupakan murid dari Al-Ghazali, yang kemudian mendirikan kerajaan Muwahhidun (1130-1269), sehingga membuat aliran Asy’ariyah menyebar di wilayah Afrika Utara dan Andalusia. Di belahan dunia Islam bagian Timur seperti wilayah India dan Afganistan, penyebaran paham Asy’ariyah juga terjadi berkat kekuasaan Mahmud al-Ghaznawi (999-1030) yang merupakan pendiri kerajaan Ghaznawi.
Penyebaran secara massif aliran Asy’ariyah juga dikarenakan, kecenderungan umumnya masyarakat yang biasanya mengikuti mazhab yang dipakai oleh dinasti yang berkuasa. Kecenderungan model keberagamaan bersifat normatif-reproduktif yang mendominasi corak berfikir masyarakat Muslim ketika itu berimplikasi pada aspek esensi dan substansi pemikiran ketuhanan yang termanifestasikan dalam etika sosial dan spiritualitas keberagamaan kurang mendapat porsi yang mengigit dalam tradisi keilmuan kalam. Sehingga timbul satu persoalan, yaitu wilayah agama dan keberadaan Islam menjadi kaku dan sempit, jargon sosiologisnya terlalu disederhanakan dan bersifat dikotomis: Muslim atau kafir, sunnah atau bid’ah. Pendekatan esensi segera beralih ke pendekatan legal-formal, pendekatan kontekstual beralih ke pendekatan tekstual dan seterusnya. Wajar kemudian sebagian kalangan berasumsi bahwa gelombang penguatan doktrin Asy’ariyah sebagai mazhab teologi mayoritas umat Islam berimplikasi pada kemerosotan intelektual di dunia pendidikan Islam hingga ke titik yang sangat memprihatinkan, seperti masih dirasakan dewasa ini.
Di samping itu kecenderungan para penguasa Muslim menjadikan teologi Asy’ariyah sebagai doktrin utama negara dalam rangka menjaga stabilitas kerajaan atau negara, berimbas pada melempemnya institusi pendidikan, karena tidak adanya upaya inovatif-reformatif-transformatif. Ditambah lagi oleh kemenangan teologi Asy’ariyah di atas pemikiran kritis filosofis yang terjadi di seputar kontroversi antara al-Ghazali −sebagai salah satu eksponen penting Asy’ariyah− dan Ibnu Sina. Sejak itu pemikiran teologi Asy’ariyah menjadi taken for granted sehingga tidak diperlukan kajian atau rumusan ulang. Yang dipentingkan hanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu hingga saat ini. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan efek negatif yang berkelanjutan hingga dewasa ini, yaitu terbentuknya paradigma ortodoksi teologi Islam klasik yang membuat mental berfikir-edukatif umat Islam sulit untuk berkembang.
2. Implikasi Pada Ranah Epistemologi Pendidikan Islam.
Tak dapat dipungkiri bahwa puncak masa keemasan peradaban Islam terjadi pada era Daulah Abbasiyah, khususnya era Harun al-Rasyid, dan al-Makmun. Pada masa ini supremasi lembaga riset ilmiah seperti Bait al-Hikmah mencapai puncaknya, yang secara epistemologis lebih mengedepankan aspek rasionalitas (aqliyyah) daripada nash-nash agama (naqliyyah). Pada perjalanan sejarahnya, supremasi al-Ulum al-Aqliyyah yang disokong oleh doktrin Muktazilah akhirnya mengalami degradasi seiring dengan menguatnya kembali pengkajian ilmu-ilmu agama atau al-Ulum al-Naqliyyah yang mengejawantah dalam bentuk berdirinya madrasah-madrasah di hampir seluruh belahan dunia Islam. Berdirinya madrasah-madrasah Nizamiah adalah titik balik pergeseran epistemologi pendidikan Islam, yakni dari horison ilmu-ilmu rasional (al-Ulum al-Aqliyyah) ke horison ilmu-ilmu keagamaan (al-Ulum al-Naqliyyah). Maka dari itu Madrasah Nizamiah di dapuk sebagai Universitas Islam pertama karena merupakan institusi resmi pertama yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan.
Dengan terjadinya pergeseran epistemologis tersebut, maka dapat dipastikan bahwa apa yang diajarkan di dalam madrasah hanya berkisar pada al-Ulum al-Naqliyyah dan al-Ulum al-Lisaniyah. Kedua ranah ilmu tersebut sesungguhnya telah mengalami masa kematangan pada masa Daulah Umayyah. Al-Ulum al-Naqliyyah adalah ilmu-ilmu yang berhubungan al-Qur’an; seperti Tafsir, Qira’at, Hadits, Fiqh dan Ushul Fiqh. Sedangkan al-Ulum al-Lisaniyah meliputi ilmu-ilmu bahasa dan sastra yang memang dibutuhkan untuk memahami al-Usul al-Islamiyah sebagai dasar al-Ulum al-Naqliyyah . Dengan demikian epistemologi al-Ulum al-Aqliyyah semakin terlupakan, walaupun sesungguhnya telah dicapai dalam beberapa dasawarsa sebelum itu.
Tidak hanya pada level al-Ulum al-Aqliyyah saja, supremasi epistemologi al-Ulum al-Naqliyyah juga membuat ilmu-ilmu terapan praktis (al-Ulum al-Tatbiqiyyah al-Amaliyyah) juga terabaikan Hal ini tampak jelas dari penuturan Abd. Majid Abu al-Futuh Badawi bahwa;
Segi-segi negatif Madrasah Nizamiah ialah bahwa madrasah ini mengkonsentrasikan usahanya pada pengajaran al-Ulum al-Syari’ah dan Ushul al-Diin sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan untuknya. Konsekuensinya, mengabaikan ilmu-ilmu terapan yang praktis (al-Ulum al-Tatbiqiyyah al-Amaliyyah). Padahal ilmu-ilmu tersebut sangat menonjol pada abad keempat dan awal abad kelima...’’ .

Walaupun demikian aspek rasionalitas tidak diabaikan sepenuhnya, karena pada kenyataanya di madrasah Nizamiah, elaborasi kajian fiqh juga mengadaptasikan aspek pendekatan logika (aqliyyah) yang secara spesifik dibahas dalam Ushul Fiqh, khususnya Ushul Fiqh Syafi’iyyah. Demikian pula pada pengajaran Kalam, khususnya Kalam Asy’ariyah yang menjadi arus utama paham teologis di madrasah Nizamiah. Pada sisi ini Kalam mengapresiasi akal dan mantiq, akan tetapi akal yang digunakan terbatas pada standar logika teologis tertentu, dan tidak mampu mendorong perkembangan ilmu. Sehingga potensi rasionalitas yang terkandung pada doktrin teologis Asy’ariyah tidak mampu mendorong perhatian terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, perkembangan sains semakin mengalami degradasi dan redup seiring dengan berdirinya lembaga pendidikan madrasah. Hal ini diakibatkan oleh bangkitnya ortodoksi Sunni yang beraliran teologi Asy’ariyah dan bercorak tasawuf dalam memahami Islam. Madrasah kurang memberikan respons secara memadai terhadap ilmu pengetahuan yang tergolong al-Ulum al-Aqliyyah. Ilmu jenis ini bahkan sering dicurigai sebagai ilmu yang bukan bersumber dari ajaran Islam . selain itu sains dianggap tidak dapat menghantarkan umat Islam menuju kesalehan dan keimanan. Dalam hal ini Abdurrahman Assegaf menyatakan bahwa akibat berangkai dari pola pikir pendidikan yang dikotomis ini adalah telah terciptanya disharmoni relasi pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi duniawi dan ukhrawi dan relasi antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris) .
Di sisi lain, pandangan teologi Asy’ariyah ternyata menyisakan beberapa anomali, sebagaimana ditegaskan oleh M. Iqbal, bahwa paham Asy’ariyah, menggunakan cara dan pola berfikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkret adalah merupakan kesalahan besar . Hal yang sama juga disadari oleh Arkoun bahwa teologi Islam klasik sangat diwarnai oleh pola pemikiran Yunani . Anomali seperti ini berimplikasi pada tataran teoretis-filosofis pendidikan Islam, seperti diketahui bahwa kedua kubu pemikiran tersebut pada dasarnya telah kehilangan dimensi rasional kritisnya. Karena pemikiran tersebut belum bergeming dari rumusan abad tengah yang belum mengenal perubahan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta perkembangan ilmu pengetahuan modern baik dalam bidang kealaman maupun kemanusiaan.
Terlebih lagi adalah pandangan atomistik-okasionalistik yang menjadi ciri khas pandangan teologis Asy’ariyah, di mana Abu Bakar al-Baqillani, salah seorang pengikut al-Asy’ari, secara tegas berpendapat bahwa pandangan atomistik adalah prinsip keimanan paling tinggi yang harus diakui oleh setiap muslim sebab bukti tentang keberadaan Tuhan sangat bergantung pada penerimaan pandangan atomistik terhadap alam. Senada dengan itu, al-Ghazali juga turut andil dalam menyuarakan paham okasionalisme. Menurutnya, pengafirmasian terhadap keniscayaan kausalitas jelas akan mengarah pada penyangkalan terhadap berbagai peristiwa mukjizat dan kemahakuasaan Tuhan.
Pandangan atomistik-okasionalistik tersebut mendapatkan kritikan tajam dari para pemikir kontemporer, karena berimplikasi pada konsepsi tentang hukum kausalitas yang cenderung absurd dan tidak kompatibel dengan realitas keilmuan serta worldview dunia pendidikan yang berkembang dewasa ini. Selain itu konsepsi mengenai kausalitas versi Asy’ariyah dipandang tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerja keilmuan baik dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman maupun humaniora.
Dengan melakukan pembacaan ulang tentang adanya fenomena anomali-anomali yang melekat pada konstruksi epistemologi teologi Asy’ariyah, dapatlah dilahirkan suatu proposisi, bahwa secara tentatif paradigma teologis Asy’ariyah perlu dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia. Proyeksi pembaharuan ini harus dimulai pada dimensi aspek falsafah pendidikan Islam, karena bukan tidak mungkin efek negatif dari anomali-anomali tersebut telah berurat berakar dalam mind-set sebagian umat Islam dan membuat umat Islam sulit bangkit dari keterpurukan peradaban kemanusiaan.
3. Implikasi pada Ranah Kurikulum.
Sebagaimana telah dipahami bersama, bahwa madrasah Nizamiah sangat kental dengan nuansa salah satu ajaran fiqh Sunni, yaitu mazhab Syafi’i. Bahkan mungkin dapat dikatakan lembaga ini mengambil corak pemahaman teologis Asy’ariyah sebagai label atau trade mark dari pengajaran yang terdapat pada madrasah ini. Dalam kaitannya dengan kurikulum pengajaran, bisa dipastikan kalau disiplin fiqh dan ushul fiqh menjadi salah satu mata kajian yang harus ditempuh oleh para pelajar, seperti yang jelas tercantum dalam dokumen wakaf lembaga Nizamiyah .
Akan tetapi argumen yang mengatakan bahwa doktrin teologi Asy’ariyah memengaruhi kurikulum madrasah Nizamiah dibantah oleh Mircea Eliade yang menyatakan bahwa tidak ada pembelajaran teologi rasional (Kalam) yang terkandung dalam kurikulum di madrasah manapun. Bahwa kurikulum lebih menitikberatkan pada kajian fiqh, hadits, dan penghafalan al-Qur’an, dan sama sekali tidak ada diskusi teologis mengenai Kalam Asy’ariyah, termasuk tidak ada pengajaran dalam pelbagai lingkaran studi yang bersifat informal .
Walaupun demikian peranan pandangan Kalam Asy’ariyah dalam langgam pemikiran keagamaan Sunni pada umumnya sangat dominan pada era madarasah Nizamiah. Mengingat bahwa pandangan teologis Asy’ariyah ini ternyata cukup ampuh untuk membentengi aqidah kaum Sunni ketika itu dari derasnya arus pemahaman Syiah Bathiniah Ismailiyah ketika itu. Maka dari itu Muhammad al-Faruqi tetap bersikukuh bahwa kalam Asy’ariyah merupakan mata kajian utama yang diajarkan di Nizamiah selain ilmu-ilmu al-Qur’an (qur’anic science), exegesis (tafsir), arabic grammar (nahwu sharaf) dan jurisprudence (fiqh) .
Dalam pada itu, tampaknya kurikulum pendidikan di madrasah Nizamiah tidak mengantarkan pada wacana integralisasi ilmu-ilmu, sebab sejak awal lembaga ini didirikan untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu keagamaan setelah sempat terabaikan karena supremasi doktrin Muktazilah. Namun demikian terlalu gegabah pula rasanya jika dikatakan bahwa madrasah Nizamiyyah adalah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang mempelopori terciptanya dikotomisme dalam pendidikan Islam. Karena fakta sejarah membuktikan bahwa penguasa selanjutnya yaitu al-Mustanshir Billah menyadari kelemahan-kelemahan kurikulum madrasah Nizamiah dalam pengembangan aspek ulum al-Aqliyah, mendorongnya untuk mendirikan madrasah al-Mustansiriyah yang mengakomodir kurikulum fiqih diluar mazhab Syafi’i untuk menciptakan harmoni antar mazhab dan mendirikan madrasah khusus di Bimaristan yang mengajarkan ilmu kedokteran .
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah madrasah pada umumnya menampakkan evidensi bahwa kurikulum madrasah tidak mampu mendorong pengembangan potensi penalaran, kecuali pada penekanan pada pendekatan doktriner dan fiqh oriented. Dari faktor inilah fenomena dualisme dalam pendidikan Islam tampak tidak terelakkan. Namun demikian, tidak terbantahkan bahwa madrasah Nizamiah memiliki peranan sentral dalam menjaga dan mensosialisasikan serta menjembatani kajian-kajian keagamaan dan khazanah intelektual Islam dari periode klasik sampai pada periode berikutnya.
Apabila ditarik dalam konteks madrasah pada masa kini, dimana eksistensinya masih dipertanyakan ketika kurikulumnya masih didominasi oleh al-Ulum al-Naqliyyah. Karena posisi madrasah yang menjaga jarak dengan sains modern itulah maka madrasah sering disebut lembaga tradisional . Pada posisi ektrim seperti inilah, pada akhirnya kurikulum madrasah yang merasa cukup puas dengan kurikulum ilmu-ilmu agama semata akan terjerumus ke dalam pemahaman keagamaan yang rigid dan bahkan akan mengancam eksistensi madrasah itu sendiri. Meskipun demikian jika dilakukan penyesuaian dengan kurikulum pendidikan modern, maka madrasah tetap dituntut untuk tidak meninggalkan sifat asli dan ciri khas dari madrasah yakni sebagai media transmisi ilmu-ilmu keagamaan. Oleh karena itu disamping menerapkan kurikulum pendidikan modern, kurikulum keagamaan juga diberi tempat secara proporsional. Dalam hal ini kurikulum keagamaan di madrasah tidak sekedar memberikan pemahaman keagamaan yang standar kepada peserta didik, akan tetapi juga menjadi alat bantu bagi siswa untuk memperbaiki karakter, kepribadian, dan memperkuat dimensi-dimensi keimanan, spiritualitas dan religiousitas peserta didik.
4. Implikasi pada Ranah Pandangan Dunia Pesantren.
Sementara itu implikasi pandangan teologis Asy’ariyah juga sangat kental pada pandangan dunia (worldview) pendidikan Islam di madrasah dan pesantren. Di mana bangunan pandangan dunia tersebut terbentuk dari sistem teologi yang merupakan gabungan model triumvirat; fiqh Syafi’i, kalam Asy’ariyah dan sufisme al-Ghazali. Perpaduan ketiga tradisi intelektual tersebut begitu kuat memengaruhi “budaya hidup” dunia pesantren, dan telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata perilaku komunitas pesantren menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formulasi “normatif-mistis”. Salah satu implikasinya, proses belajar-mengajar yang berlangsung di pesantren tampak lebih didominasi oleh model pemikiran deduktif-dogmatis agama daripada pemikiran yang induktif-rasional faktual.
Penghayatan teologis model Asy’ariyah yang berkembang di pesantren, tampaknya membuat resepsi para santri terhadap model-model penalaran apalagi pemahaman falsafi menjadi sangat minim. Asy’ariyah dengan teori “perolehan” (kasb)-nya meniscayakan pembatasan kemampuan manusia untuk mengadakan rekayasa. Sebab menurutnya, rekayasa manusia terjadi jika ada “kesenyawaan” antara kekuasaan manusia dan kekuasaan Tuhan. Bahkan Asy’ariyah menangguhkan suatu keputusan yang “tidak konkret” mengenai status manusia Mukmin yang melakukan dosa besar. Ini bisa dikatakan karena keterbatasan struktur nalar (manthiq) Asy’ariyyin .
Dengan karakteristik tradisi keilmuan pesantren dan madrasah yang semacam itu, cukup beralasan sekiranya ia digolongkan ke dalam tradisi normatif. Menurut Kuntowijoyo, tradisi keilmuan normatif memiliki dua kemungkinan, yaitu deklaratif dan apologetis. Tradisi keilmuan normatif ini juga dapat dicermati melalui corak “reproduktif” dalam paradigma keilmuan pesantren. Corak ini ditunjukkan oleh konseptualisasi ilmu sebagai sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui jalur pengalihan, pewarisan, transmisi, dan bukan sebagai sesuatu yang bisa diciptakan (created) sehingga ide “pelestarian budaya” sungguh terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Hal ini dapat dilihat dari dekodifikasi keilmuan dalam kitab kuning sebagai penjabaran dan pelestarian dari kandungan teks-teks standar (kitab-kitab babon) yang telah menimbulkan proses involusi perkembangan ilmu keagamaan, yaitu menjadi ilmu yang semakin renik.
Berangkat dari hal tersebut, reformulasi dan rekonsepsi epistemologi kalam dalam falsafah pendidikan Islam menjadi sangat penting, karena dengan kerangka berfikir kalam klasik, pelaksanaan pendidikan agama sering kali masih terpaku pada model konvensional yang lebih menekankan penggunaan metode ceramah yang cenderung monolog dan doktrinatif: lebih mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih mementingkan materi daripada metodologi. Model pendidikan Islam yang masih dipengaruhi kerangka teologis klasik, dikategorikan sebagai model pendekatan doktriner-literal-formal, karena pendekatan yang diterapkan dalam model ini lebih menekankan pada formalisme agama, bersifat normatif-tekstual dan sering kali lepas dari konteksnya. Karenanya pendidikan agama lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak bisa lagi dibantah dan diganggu gugat. Lebih dari itu teologisasi dan idiologisasi juga membawa pendidikan Islam ke arah dogmatisme; pendidikan Islam cenderung sepenuhnya dipahami secara murni normatif-doktrinal dan kurang apresiatif atau bahkan kontradiktif dengan pendekatan ilmiah-rasional yang diperkenalkan oleh ilmu-ilmu sekuler.
5. Signifikansi Teologi Kalam yang Inklusif-Pluralistik.
Menurut Amin Abdullah, penting untuk membedakan terlebih dahulu −meskipun tidak dapat dipisahkan− antara tiga konsep berikut, yakni keberagamaan manusia (religiosity), keanekaragaman agama (religions) dan proses "menjadi" ke arah yang lebih baik-sempurna-lengkap, yang terus menerus berlangsung selama hayat dikandung badan (being religious). Diantara ketiga konsep tersebut, mana yang dianggap "absolute" (mutlak), mana yang dianggap "relative" (nisbi) dan manapula yang bersifat “relatively absolute" (secara relatif absolut) . Dalam realitas kehidupan sehari-hari ketiga hal tersebut kadang kala tercampur aduk, sehingga menyulitkan para penganut beragama untuk mengatasi problem pelik sosial keragamaan yang terjadi di masyarakat.
Dalam hal ini, relativitas yang dimaksud sama sekali tidak menegasikan tujuan-tujuan luhur yang secara "absolut" dipegang teguh oleh pengikut agama-agama, ketika cita-cita luhur, belief, credo, iman, dan aqidah yang semula dianggap "absolut" tersebut dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat bahasa manusia dan diinstitusionalisasikan, maka ia memasuki wilayah yang bersifat historis-kultural dan "relatif'. Dengan begitu, hal-hal yang bersifat "relative” (instrumental values) sesungguhnya tidak dapat dengan begitu saja dipindah ke wilayah yang bersifat "absolut" (ultimae values). Jika hal-hal yang sesungguhnya relatif ini diabsolutkan atau disakralkan, maka cepat atau lambat akan terjadi disharmoni sosial yang dapat menimbulkan kekerasan .
Amin Abdullah menambahkan, jika dalam kehidupan sosial-keagamaan seringkali terjadi percampuradukan antara wilayah "absolut" dan "relatif'. Secara tidak sadar muncul pemahaman, bahwa yang "relatif'-partikular itulah yatng sesungguhnya "absolut"-universal, semata-mata hanya untuk keperluan menegaskan identitas diri dan kelompoknya di hadapan berbagai rival kelompok sosial-keagamaan lain. Dalam situasi seperti ini, apakah mungkin teologi yang bersifat inklusif-pluralistik diperkenalkan di lingkungan seminari, pesantren, sekolah dan perguruan tinggi yang didirikan oleh yayasan yang berbasis keagamaan. Kalau model pendekatan dan strategi pembelajaran dan pendidikan agama hanya sekedar memindahkan dan mengulang kembali materi, metode ,dan pendekatan yang biasa digunakan dalam komunitas intern sendiri, baik di gereja-gereja, masjid-masjid, vihara, atau sinagog, maka institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi tidak lagi dapat diandalkan sebagai media pencerdas dan pencerah kehidupan berbangsa .

F. Kesimpulan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa proses dialektika pemikiran Kalam, khususnya teologi Asy’ariyyah yang sesungguhnya merupakan upaya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asy’ari sebagai tokoh sentralnya, untuk memberikan formulasi dan solusi yang tuntas atas problematika pemikiran umat Islam, khususnya kaum Sunni atas kecenderungan negatif pemahaman mazhab Kalam lain seperti Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji’ah, Muktazilah dan Syi’ah. Akan tetapi glorikasi pemahaman teologis Asy’ariyah oleh para pemikir keagamaan pada periode itu justru menyumbat pengembangan proyeksi sains dan pengembangan keilmuan saintifik dan memudarkan kemampuan penalaran para peserta didik. Sehingga membuat umat Islam ketika itu tidak lagi mampu bangkit kembali ke dalam kancah pengembangan keilmuan. Tidak hanya itu, pandangan teologis Asy’ariyah telah menimbulkan efek domino, yakni berimpilkasi pada ranah politik pendidikan Islam, ranah epistemologi pendidikan Islam, kurikulum, dan dalam konteks keindonesiaan juga berimplikasi pada pandangan dunia (wolrdview) pesantren.
Lesson learned yang bisa diambil dari paparan di atas, adalah bahwa pembelajaran teologi Islam atau kalam pada masa sekarang adalah sebuah teologi yang berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran pada saat ini. Bukan teologi yang berkutat pada dimensi masa lalu, sehingga pemikiran keagamaan yang berkembang sulit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kekinian. Termasuk diantaranya sistem teologi Asy’ariyah yang perlu diperbaharui, agar pendidikan Islam bisa mengambil peran penting dalam mengantarkan peserta didik pada aktifitas kemanusiaan yang jauh dari ketegangan (tension) ideologis yang menumbuhkan sikap destruktif. Lebih dari itu, pendidikan Islam bertujuan mengembangkan potensi-potensi dasar yang merupakan esensi fitrah kemanusiaan. Termasuk potensi dasar untuk menjadi manusia yang beriman secara paripurna kepada Tuhan. Dari model pendidikan yang lebih humanis-transendental ini akan timbul suatu pola pengabdian yang lebih bermutu kepada Tuhan dan kemanusiaan. Wallahu A’lamu Bishawwab.
Bibliografi.
Assegaf, Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2011.
Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.
______________, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
______________, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian Era Multikultural Multirelijius,http://www.uinsuka.info/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=510&Itemid=341, diunduh pada 20/05/2011, pukul 20.30 WIB.
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, LKiS, Yogyakarta, 2008.
Abdurrahmansyah, Wacana Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama, Yogyakarta 2004
al-Faruqi, Muhammad, “The Development of The Institution of Madrasah and Nizamiyyah of Baghdad” dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. VII, No. 2, (London,tt).
Badawi, Abd al-Futuh, Abd al-Majid, al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikri, Mathabi al-Wafa, Al-Manshur, 1988.
Esack, Farid, Membebaskan Yang Tertindas; al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Mizan, Bandung, 2000.
Eliade, Mircea, (Ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 9, Simon and Schester McMillan, New York, 1993.
Giib, H.A.R., Studies on the Civilization of Islam, Beacon Press, Boston, 1968.
Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos, Jakarta, 1999.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999.
Modanggu, Thariq, Perjumpaan Teologi dan Pendidikan, Qalam Nusantara, Jakarta, 2010.
Mulkhan, Abdul Munir, “Humanisasi Pendidikan Islam”, Tashwirul Afkar, no. 11, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 2000.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...