Peristiwa pertempuran di
Dengan
ditemani beberapa orang sahabatnya Pangeran Eudo melarikan diri ke Utara,
hingga dengan demikian seluruh Acquitania jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Kemudian Abdurrahman kembali berputar ke lembah sungai Rhine dan tentara Islam
melintasi Bourgondia, menduduki kota-kota Lyon dan Besancon, sedang pasukan
perintisnya telah sampai di Sens yang jaraknya hanya 100 mil saja dari kota
Paris. Lalu ia mengarah ke Barat hingga ke pinggir sungai
Perancis
ketika itu dalam kekuasaan kerajaan Franka dengan rajanya yang bernama
Theodorik III, akan tetapi yang sebenarnya berkuasa adalah Karel Martel,
seorang kepala Pejabat Istana. Karena bahaya Islam telah demikian mendesak maka
Karel mengumpulkan segenap bala tentaranya, akan tetapi pasukan Abdurrahman
telah memasuki jantung
Ketika
pasukan Karel Martel bergerak untuk menghadapi pasukan Islam, wilayah
Acquitania dan seluruh Perancis Selatan telah dikuasai oleh Abdurrahman.
Setelah Kerajaannya jatuh dan tentaranya tercerai berai, maka Pangeran Eudo
meminta bantuan kepada musuh lamanya Karel. Karelpun menghimpun tentara dari
suku-suku Franka dan kabilah-kabilah liar dari Jerman serta pasukan sewaan dari
seberang sungai Rhein. Sebagian besar pasukan ini tidak teratur, hampir
telanjang dan hanya memakai pakaian dari kulit serigala, sedang rambutnya yang
keriting terurai di atas bahu yang terbuka.
Sadar
akan kekuatan besar dari tentara Franka ini, maka Abdurrahman mundur dari
pinggiran sungai, kembali menuju dataran antara
Masalah ghanimah
ini cukup disadari oleh Abdurrahman, akan tetapi dengan sia-sia ia menasehati
pasukannya untuk meninggalkan harta tersebut, dan ia tidak mau menggunakan
kekerasan karena khwatir akan timbul perlawanan. Lagi pula kaum Muslimin sangat
lelah dan letih, disebabkan oleh penyerbuan yang terus menerus selama beberapa
bulan sejak mereka memasuki Perancis. Walaupun demikian panglima pasukan Islam
Abdurrahman al-Ghafiki telah bersiap-siap untuk menghadapi musuh dengan tekad
yang bulat dan kepercayaan yang penuh dalam pertempuran yang menentukan ini.
Perang dimulai pada 12 atau 13 Oktober 732 M. (akhir bulan Sya'ban, 114 H.)
selama 7 atau 8 hari dalam pertempuran-pertempuran kecil, akan tetapi tidak mempengaruhi
kedudukan masing-masing. Pertempuran besar mulai berkobar dengan dahsyat pada
hari kesembilan, akan tetapi tidak ada kemajuan apa-apa hingga malam tiba.
Pada keesokan harinya pertempuran
berkobar kembali, masing-masing menunjukkan menunjukkan keberanian dan
ketabahan yang luar biasa hingga akhirnya tanda-tanda kelemahan tampak pada
barisan Franka, dan hampir saja kemenangan akan diraih oleh pihak kaum
Muslimin. Akan tetapi Karel Martel melakukan siasat yang cerdas, yaitu
menyerang kemah-kemah penyimpanan harta rampasan perang milik kaum Muslimin
yang melimpah. Melihat hal ini sejumlah besar pasukan berkuda kaum Muslimin
menarik diri dari tengah
Dengan sia-sia dicoba oleh Abdurrahman
untuk mengembalikan disiplin dan meyakinkan pasukannya, tetapi ketika ia
bergerak kemuka untuk memimpin barisan dan mengumpulkan anak-buahnya, tiba-tiba
sebuah anak panah musuh menancap di tubuhnya dan menyebabkan ia jatuh dari kuda
dan syahid menemui ajalnya. Gempar dan kekacauan menimpa angkatan kaum Muslimin
dan sementara itu tentara Franka terus melakukan tekanan keras hingga banyak
diantara kaum Muslimin yang gugur. Akan tetapi pasukan Islam yang tersisa tetap
bertahan di tempat itu untuk menangkis serangan dengan gigih, hingga malam tiba
dan kedua barisan berpisah tanpa ada kemenangan menentukan pada salah satu
pihak. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 732 M. (awal Ramadhan 114
H.)
Wafatnya sang panglima Abdurrahman
al-Ghafiki dan para panglima-panglima utama merupakan bencana yang tak terkira
buat kaum
Dengan wafatnya sang panglima, timbul
perpecahan dan perselisihan dalam tubuh pasukan yang tersisa, muncul pendapat
yang berbeda-beda, kecemasan, dan kekacauan merajalela. Setelah melihat bahwa
sudah tidak ada harapan lagi untuk menang dan membuat serangan balasan, maka
para pemimpin pasukan yang masih hidup memutuskan untuk mengundurkan diri ke
arah Selatan yaitu ke pangkalan mereka di Septemania. Pada keesokan harinya,
melihat sepinya perkemahan tentara Islam, Karel bersama sekutunya Pangeran Eudo
maju dengan hati-hati dan mendapatinya dalam keadaan kosong. Karena khawatir
kalau-kalau kaum Muslimin sedang melakukan siasat dan tipu muslihat, maka Karel
Martel pun enggan dan tidak berani mengejar sisa-sisa pasukan, dan ia merasa
puas dengan kemunduran pasukan kaum Muslimin.
Peristiwa "Timbunan mayat para
Syuhada (Balatu'sy Syuhada) masih terpatri dalam kenangan sejarah Barat ;
rentetan kejadian dan akibat-akibatnya masih menjadi buah bibir dan renungan
bagi ahli-ahli sejarah Eropa. Berlalunya masa 12 abad semenjak terjadinya
peristiwa itu di rayakan ulang tahunnya di Perancis, dan ia merupakan sumber
baru dari pemikiran dan buah
pembicaraannya, seakan mereka hendak mengulang kembali raungan yang mengerikan
dari sejarah silam yang berbunyi: "Seandainya tentara Islam tidak dapat
dibendung di dataran Tours, tiadalah dijumpai lagi Dunia dan Eropah Kristen,
dan tentulah sekarang Islam akan berkuasa di Eropah!, Sampai-sampai ke ujung
Utara ia akan dihuni oleh putera-putera Semit dengan mata dan rambut hitam,
sebagai ganti bangsa Arya yang berambut pirang dan bermata biru! ".
Peperangan ini adalah puncak penentrasi
kaum Muslimin ke benua Eropa, dan menjadi peristiwa yang sangat menentukan
dalam sejarah Islam. Seorang sejarawan Barat yaitu Edward Gibbon mengatakan
bahwa peristiwa peperangan ini "membebaskan nenek moyang kita (Barat)
bangsa Britania begitu juga bangsa Gallia dari belenggu pemerintahan dan
kepercayaan ala Qur'an, juga melindungi kebesaran Roma dan memperlambat
kejatuhan Konstantinopel, memperkuat pula pertahanan orang Kristen, sebaliknya
menaburkan diantara kaum Muslimin benih-benih perpecahan dan sebab-sebab
kemunduran".
Mengenai kegigihan kaum Muslimin untuk
menaklukkan Eropa, Edward Gibbon mengomentari bahwa pergerakan kaum Muslimin
adalah "satu garis kemenangan gemilang", telah ditarik langkah 1000
mil panjangnya dari bukit Gibraltar (Jabal Thariq) hingga pinggir sungai
Loire. Penarikan kembali garis sepanjang itu akan membawa kaum Muslimin ke
batas-batas Polandia dan ke dataran tinggi Skotlandia; sungai
Di dataran antara Tours dan Poiters ini
ummat Islam telah kehilangan kesempatan untuk memegang kendali dunia, dan nasib
sejarah dunia berubah karenanya ; badai penaklukan Islam terdampar di hadapan
bangsa-bangsa Utara, sebagaimana ia terbentur beberapa tahun sebelumnya di muka
tembok kota Konstantinopel pada masa pemerintahan khalifah Sulaiman bin Abdul
Walid. Dengan demikian gagallah usaha yang terakhir dari khilafat untuk
menundukkan bangsa Barat dan membawa agama Kristen ke dalam pengaruh kekuasaan
Islam
Islam yang bersatu padu dengan jumlah
yang sekian banyak dengan tekad bulat dan semangat jihad seperti itu tidak
pernah lagi mendapat kesempatan untuk menjelajah ke pusat jantung Eropa
sebagaimana pergerakan pasukan Abdurrahman al-Ghafiki menuju Balatu'sy
Syuhada. Karena ummat Islam tidak lama setelah itu mulai jatuh dalam
perpecahan. Sementara kaum Muslimin di Spanyol ribut dengan pertentangan sesamanya,
maka sebuah imperium Franka yang besar dan bersatu muncul di balik pegunungan
Pyrenea yang mengancam Islam di sebelah Barat dan menyaingi kekuasaan serta
pengaruhnya.
Peristiwa pertempuran ini menyisakan
pelajaran dan wajib bagi kaum Muslimin untuk mengambil ibrah dan hikmah
dari peristiwa tersebut. Apa yang terjadi pada pertempuran di
Adapun hikmah dibalik peristiwa ini
adalah bahwa Allah telah menghendaki mundurnya tentara Islam dari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar