Senin, 04 Juli 2022

Review Disertasi : Epistemologi Pendidikan Islam (Kajian atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia)

 

Judul Disertasi  : Epistemologi Pendidikan Islam (Kajian atas Nalar Masa  Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia.

Peneliti                  : Mahmud Arief

NIM                      : 983105/S3

Tahun                   : 2006

Penerbit                : Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

A. REVIEW.

1. Pokok Masalah

            Disertasi yang ditulis oleh Mahmud Arief ini terinspirasi oleh proyek tradisi dan dan pembaruan (turath wa tajdid) pemikiran Islam yang digagas oleh salah seorang pemikir Islam kontemporer dari Mesir, yaitu Hasan Hanafi. Dalam hal ini Hasan Hanafi menyatakan bahwa produk pemikiran Islam masa lalu sebagai al-turath (warisan budaya) yang memiliki tiga ciri pokok, yakni: al-manqul ilayna (sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lana (sesuatu yang kita “pahami”) dan al-muwajjih lisulukina (sesuatu yang mengarahkan perilaku kita). Selain itu Mahmud Arief sependapat dengan M. Abid al-Jabiri yang mengklaim bahwa perputaran roda budaya dan tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “gerak-statis” (harakat sukun) karena gerak sejarahnya tidak mengkristal pada produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal lama dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turath.

            Sebagaimana yang telah diintrodusir oleh Abid al-Jabiri, bahwa dunia pemikiran Islam hanya berputar pada proses triadik antara tradisi nalar bayani, burhani, dan irfani. Disertasi ini kemudian mencoba meretas atau mengurai anyaman konstruksi nalar bayani yang mendominasi dan melakukan hegemoni terhadap pemikiran Islam, di mana dalam sejarahnya aspek pendidikan Islam hanya berpusat pada ilmu-ilmu yang Istidlali murni, seperti Balaghah, Nahwu, Kalam dan Fiqh. Salah satu faktor penyebabnya adalah peran para ulama bayaniyyun dalam “membaku-bekukan” pemikiran Islam semenjak massifikasi gerakan tadwin pada masa keemasan Islam.

            Nalar Bayani yang dimaksud juga adalah wacana keagamaan Islam kontemporer termasuk di dalamnya aspek pendidikan Islam yang masih sangat dipengaruhi oleh tradisi berfikir model salaf, yang di dalamnya terjadi proses idealisasi dan glorifikasi terhadap capaian historis umat Islam pada masa lalu. Salah satu indikasinya adalah fenomena keberagamaan yang bercorak normatif-reproduktif yang melekat dalam tradisi pemikiran Islam.

            Oleh karena itu disertasi ini meletakkan fokus penelitiannya pada menelaah struktur dasar pemikiran epistemologi bayani, agar dapat menyingkap apa yang ada di balik performance luar dan mengungkap “sisi dalam” pendidikan Islam, khususnya dari abad III, sampai abad V H, melalui analisa kritis kaitan organik struktur dasar epistemologi dominan dalam konstelasi budaya dan tradisi pemikiran Islam dengan pendidikan masa itu, dan implikasinya transmisi historisnya pada pendidikan Islam Indonesia pada masa ini.

2. Kerangka Konseptual dan Teori

            Karena kajian disertasi ini bersifat historis-filosofis, maka pendekatan yang dipakai dalam aspek metodologisnya menekankan pada model penelitian kesejarahan dengan pendekatan filsafat dalam proses analisisnya. Sedangkan dalam hal teori, penelitian ini berlandaskan pada teori yang menyatakan bahwa ada kaitan organik dan pertautan sinergis antara pendidikan Islam dengan epistemologi sebagai konstruksi dinamis-dialektik al- aql al-mukawwan (objektivasi rasionalitas budaya) dan al-aql al-mukawwin (subjektivasi rasionalitas budaya). Untuk itu teori yang dipakai adalah teori relasi-kuasa Michael Foucoult yang dipertegas oleh Mohammed Arkoun dengan pernyataannya bahwa terbangunnya relasi-kuasa tersebut ditopang oleh berbagai pilar hegemonik, yaitu: hegemoni politis yang ada pada penguasa (sultah siyasiyah), hegemoni legislasi normatif (sultah tashri’iyyah) yang ada pada para hakim dan hegemoni budaya (sultah thaqafiyyah) yang ada pada para agamawan-intelektual. Selain itu penelitian ini juga dilandasi oleh teori yang diajukan oleh Abid al- Jabiri tentang dominasi paradigma bayani dalam struktur dasar pemikiran Islam, di mana paradigma bayani memiliki karakter dasar: (a) nalar tekstual (sultat al-lafz), (b) hegemoni asl (nalar analogis), (c) hegemoni tajwiz (nalar okasionalistik). Adapun mengenai konteks masa keemasan Islam, penelitian ini dilandasi oleh teori dari beberapa tokoh seperti M. Munir Mursi, M. Jawwad Ridla untuk dari kalangan Muslim dan Joel L. Kraemer dan H.A.R. Gibb untuk dari kalangan orientalis Barat.

3. Temuan Penelitian

            Disertasi ini terbagi dalam enam bab pembahasan. Pada bab pertama adalah uraian mengenai latar belakang masalah penelitian. Pada bab kedua, Mahmud Arief mengelaborasi horison epistemologi Islam pada era keemasan, yang diantaranya membahas sisi dasar budaya pemikiran Islam, dan penelusuran secara filosofis terhadap tiga dimensi epistemologis dalam tradisi pemikiran Islam, yaitu Bayani, Irfani, Burhani, dan penjelasan tentang dominasi, kejayaan, dan kemapanan tradisi Bayani dalam struktur dasar pemikiran Islam.

            Pada bab ketiga, dijelaskan tentang pertautan epistemologi Bayani dengan pendidikan Islam pada masa keemasan, di mana di dalamnya diungkap mengenai nalar kebudayaan pendidikan Islam, aliran utama pemikiran pendidikan Islam yang dipetakan dalam dua aliran besar yaitu aliran konservatif dan aliran rasional. Selanjutnya dijelaskan mengenai dominasi epistemologi Bayani, dalam tradisi keilmuan Islam yang berefek pada tendensi Homeostatic dalam proses kemunculan Madrasah dalam sejarah Islam yang juga merupakan sebab langsung dari adanya relasi-kuasa dalam otoritas keilmuan pada masa itu.

            Pada bab selanjutnya diuraikan mengenai implikasinya pada dunia kependidikan di Indonesia, di mana proses historis yang terjadi memberikan implikasi secara langsung pada terjadinya involusi pendidikan Islam, khususnya pada dunia kepesantrenan. Dalam bab ini dijelaskan secara gamblang mengenai sketsa kondisi dan potensi pesantren, formasi kultur pesantren, orientasi fiqh-sufistik pendidikan pesantren, kekhasan pandangan dunia dan langgam dinamika pesantren, termasuk dilema yang terjadi pada madrasah dan stagnasi konsep pendidikan Islam.

            Pada bab lima yang merupakan inti dari temuan penelitian ini, Mahmud Arief mencoba menformulasikan epistemologi pendidikan Islam yang relevan untuk tuntutan era kekinian. Yakni berdasarkan dari hasil pembahasan sebelumnya, dipandang perlu untuk membangun hubungan yang bersifat takamuliyyah antara tiga varian epistemologi pendidikan Islam, baik sebagai mode of thought (ru’yah) maupun mode of inquiri (manhaj), dapat dirumuskan ke dalam struktur hierarkis piramidal, di mana varian yang ada di bawah mendasari varian yang ada di atasnya dan varian yang ada di atas merupakan kelanjutan dan penyempurnaan varian yang ada di bawahnya. Namun demikian, struktur hierarkis-piramidal ini tidak dipahami dalam pengertian statis, tetapi dalam pengertian dinamis-dialektis dengan realitas yang ada dan dalam pengertian momot nilai-nilai penyadaran dan pemberdayaan, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dalam epistemologi pendidikan Islam bisa termuat matra being (kainunah), process (sairurah), dan becoming (shairurah) secara kontinyu karena berdasarkan pada proses kesinambungan ijtihad dan tajdid dalam tradisi pemikiran Islam.

B. TELAAH KRITIS.

            Setelah ditelaah lebih lanjut, tampak bahwa disertasi ini mengambil corak penelitian filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam, oleh karena itu dalam proses analisis terhadap data menggunakan model analisis deskriptif-filosofis. Dalam hal ini sedari awal peneliti disertasi ini telah menentukan kerangka berfikir (framework) yang melandasi penelitiannya yakni kerangka filosofik dari para pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi dengan proyek Turats wa Tajdid, Nasr Hamid Abu Zayd dengan model tafsir rasionalnya, Mohammed Arkoun dengan pandangan strukturalis-logosentrisme-nya, dan yang paling menjiwai penelitian ini adalah varian dimensi epistemologi bayani, irfani, burhani dalam filsafat Islam.

            Sekilas tampak bahwa dalam penelitian ini memiliki kualitas deskripsi filosofis yang mendalam dan membuktikan betapa luasnya khazanah pemikiran yang di elaborasi di dalamnya. Akan tetapi basis filosofis yang diadopsi oleh peneliti disertasi sesungguhnya telah mendapatkan banyak kritikan, khususnya pada tiga varian epistemologis yang dipetakan oleh al-Jabiri. Bahwa penegasan terhadap tiga varian epistemologis ini sesungguhnya adalah sebentuk pandangan yang parsial, karena pada realitas historisnya ketiga varian tersebut adalah identifikasi terhadap terhadap corak berfikir dan fenomena kognitif-psikologis para pemikir Muslim dalam sejarah Islam. Oleh karena itu ketiga varian epistemologis tersebut semestinya tidak dipahami secara baku sebagai sebuah bangunan pemikiran yang berdiri secara independen. Salah satu contoh kecil misalnya tokoh seperti al-Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi bayani, irfani dan burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan dengan pandangan al-Jabiri yang mengkategorikan pemikiran al-Ghazali kepada bentuk bayani dan irfani, dan tidak burhani sama sekali.

            Sedangkan dalam disertasi ini sejak awal telah berupaya mempertautkan model epistemologi bayani dalam realitas historis pendidikan Islam pada masa keemasan Islam. Seolah-olah pada masa keemasan Islam yang menjadi puncak pencapaian peradaban Muslim dalam segala bidang ilmu yang mencakup ilmu-ilmu sains kealaman yang berkembang dari tradisi burhani, dan dimensi spiritualitas keislaman yang telah tumbuh subur di era Hasan al-Bashri dan berkembang pesat pada era keemasan yang merupakan ciri khas tradisi irfani, dijukstaposisi bahwa masa keemasan Islam hanya didominasi oleh tradisi bayani semata.

            Selain itu, di dalam disertasi ini tidak ada batasan definisi yang kongkrit mengenai status masa keemasan Islam dalam sejarah. Dalam hal ini perlu ada penjelasan secara definitif yang dimaksud dengan masa keemasan. Kalau dalam konteks ekspansi politik militer maka itu terjadi pada masa Daulah Umayyah, khususnya pada periode kekuasaan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Namun apabila masa keemasan yang dimaksud adalah periode kemajuan secara sosio-politik dan sosio-kultural, termasuk di dalamnya kemajuan secara fisik dan kehidupan masyarakat kosmopolit dan beradab, maka itu terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid dan masa putranya al-Makmun yang kemudian mengembangkan tradisi Burhani melalui Baitul Hikmah yang dia bangun.

Akan tetapi di dalam disertasi ini tampaknya yang diklaim sebagai masa keemasan adalah pada masa pasca kemenangan ortodoksi sunni atas dominasi teologis Muktazilah, yang di dalamnya antara para ulama dan penguasa bahu membahu untuk menghidupkan kembali kemurnian tradisi teologi sunni (baca: ahlussunnah wal jama’ah) yang telah tergerus oleh dominasi paham teologi rasional Muktazilah. Proses Skolastisisme pasca era Muktazilah dalam sejarah Islam adalah proses sejarah yang lumrah, karena proses yang sama juga terjadi pada agama yang lain. Termasuk yang diidentifikasi oleh disertasi ini tentang adanya dominasi pandangan tesktual-formal, yang disebut dengan Bayaniyyun di dalam tradisi keilmuan, tendensi Homeostatic dan relasi-kuasa dalam otoritas keilmuan, di mana anasir yang sama juga terjadi di era Skolastisisme Kristen di abad pertengahan. Sehingga semestinya persoalan ini adalah kelumrahan sejarah yang tidak semestinya dipermasalahkan.

Berdasarkan persoalan di atas, penulis disertasi kemudian mencoba menemukan implikasinya terhadap pendidikan Islam di Indonesia, khususnya pada dunia kepesantrenan. Akan tetapi sebagai penelitian kesejarahan, disertasi ini tidak secara detail memaparkan tentang bukti-bukti historis mengenai “titik sambung” dominasi tradisi bayani pada masa keemasan kaitannya dengan proses involusi dalam dunia kepesantrenan di Indonesia. Akibatnya yang muncul adalah implikasi-implikasi yang cenderung negatif, karena tidak dibangun di atas data historis yang lengkap. Padahal sesungguhnya apabila ditelisik secara mendalam budaya pesantren sebagai sub-kultur penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia bisa jadi memiliki watak yang sangat berbeda dengan fenomena keberagamaan yang ada di Timur Tengah yang sedang menikmati puncak keemasan peradaban, jikalau mengacu pada teori masuknya Islam pada abad ke ke VII.

Pada pembahasan mengenai implikasinya kependidikan Islam di Indonesia, tampaknya penulis disertasi mencoba menggiring pembaca pada pemahaman bahwa fenomena dominasi epistemologi bayani pada masa keemasan Islam telah memberikan konstribusi terhadap kemunduran dan kemandegan dunia kepesantrenan dalam tradisi epistemologi burhani, termasuk pada stagnasi konsep pendidikan Islam di Indonesia. Sehingga seolah-olah fenomena historis yang terjadi pada masa keemasan adalah sebuah kecelakaan sejarah yang berdampak buruk pada proyeksi kependidikan Islam di Indonesia. Dari sini terlihat bahwa telah terjadi kesalahpahaman (misunderstanding) yang menyebabkan interpretasi yang kurang tepat (misinterpretation) terhadap peristiwa sejarah. Karena masa keemasan dalam sejarah peradaban Islam, adalah realitas historis yang kompleks dan tidak bisa ditafsiri sebagai realitas historis yang berjalan secara sederhana dan bisa dilabeli oleh anasir-anasir epistemologis tertentu baik itu bayani, irfani, maupun burhani. Akibatnya kita dengan mudah mempersalahkan realitas historis masa keemasan sebagai biang kerok dari fenomena kemandegan dan stagnasi kependidikan Islam di Indonesia, karena dalam konteks filsafat sejarah, tidak tepat apabila munculnya problematika dan anomali pada realitas kekinian selalu disebabkan oleh realitas historis pada masa lalu.

Pada bagian mengenai formulasi epistemologi yang ditawarkan oleh penulis disertasi menawarkan perlunya memadukan antara epistemologi bayani, burhani, dan irfani untuk merespons realitas empiris yang terus berubah dengan fenomena sosial-budaya yang plural. Akan tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut model dan pola operasionalisasinya dalam realitas empirik, termasuk minimnya penjelasan dalam dimensi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Karena pada dasarnya dalam tulisan ini pembaca seolah-olah digiring untuk menghakimi epistemologi bayani, sehingga yang muncul adalah pandangan serba parsial terhadap ketiga varian epistemologi ini. Padahal semestinya bangunan epistemologi pendidikan Islam bersifat tauhidik dan tidak dikotomik dan parsial sebagaimana epistemologi pendidikan Barat. Oleh penulis disertasi kemudian menawarkan epistemologi Islam transformatif yang dibingkai oleh semangat liberasi, humanisasi dan transendensi, di mana konsep ini merupakan paradigma Islam profetik-integralistik yang digagas oleh Kuntowijoyo. Dari sini terlihat bahwa formulasi yang diajukan merupakan ramuan antara pemikiran Abid al-Jabiri dengan cita rasa “nalar Arab” yang cenderung parsial dan sektarian dan pemikiran Kuntowijoyo yang dibangun dari aspek-aspek sosio-historis keindonesiaan. Karenanya  formulasi ini perlu diuji lebih lanjut pada realitas empirik agar disertasi ini memiliki kontribusi signifikan terhadap keilmuan pendidikan Islam. Wallahu A’lam Bishawwab.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...