Judul Disertasi : Epistemologi Pendidikan Islam (Kajian atas
Nalar Masa Keemasan Islam dan
Implikasinya di Indonesia.
Peneliti : Mahmud Arief
NIM : 983105/S3
Tahun
:
2006
Penerbit :
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
A. REVIEW.
1. Pokok Masalah
Disertasi yang ditulis oleh Mahmud Arief
ini terinspirasi oleh proyek tradisi dan dan pembaruan (turath wa tajdid)
pemikiran Islam yang digagas oleh salah seorang pemikir Islam kontemporer dari
Mesir, yaitu Hasan Hanafi. Dalam hal ini Hasan Hanafi menyatakan bahwa produk
pemikiran Islam masa lalu sebagai al-turath (warisan budaya) yang
memiliki tiga ciri pokok, yakni: al-manqul ilayna (sesuatu yang kita
warisi), al-mafhum lana (sesuatu yang kita “pahami”) dan al-muwajjih
lisulukina (sesuatu yang mengarahkan perilaku kita). Selain itu Mahmud
Arief sependapat dengan M. Abid al-Jabiri yang mengklaim bahwa perputaran roda
budaya dan tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur
“gerak-statis” (harakat sukun) karena gerak sejarahnya tidak mengkristal
pada produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal lama dalam
bingkai pemahaman tradisional atas al-turath.
Sebagaimana
yang telah diintrodusir oleh Abid al-Jabiri, bahwa dunia pemikiran Islam hanya
berputar pada proses triadik antara tradisi nalar bayani, burhani,
dan irfani. Disertasi ini kemudian mencoba meretas atau mengurai anyaman
konstruksi nalar bayani yang mendominasi dan melakukan hegemoni terhadap
pemikiran Islam, di mana dalam sejarahnya aspek pendidikan Islam hanya berpusat
pada ilmu-ilmu yang Istidlali murni, seperti Balaghah, Nahwu, Kalam dan
Fiqh. Salah satu faktor penyebabnya adalah peran para ulama bayaniyyun
dalam “membaku-bekukan” pemikiran Islam semenjak massifikasi gerakan tadwin
pada masa keemasan Islam.
Nalar
Bayani yang dimaksud juga adalah wacana keagamaan Islam kontemporer termasuk di
dalamnya aspek pendidikan Islam yang masih sangat dipengaruhi oleh tradisi
berfikir model salaf, yang di dalamnya terjadi proses idealisasi dan
glorifikasi terhadap capaian historis umat Islam pada masa lalu. Salah satu
indikasinya adalah fenomena keberagamaan yang bercorak normatif-reproduktif
yang melekat dalam tradisi pemikiran Islam.
Oleh karena itu disertasi ini meletakkan fokus
penelitiannya pada menelaah struktur dasar pemikiran epistemologi bayani,
agar dapat menyingkap apa yang ada di balik performance luar dan
mengungkap “sisi dalam” pendidikan Islam, khususnya dari abad III, sampai abad
V H, melalui analisa kritis kaitan organik struktur dasar epistemologi dominan
dalam konstelasi budaya dan tradisi pemikiran Islam dengan pendidikan masa itu,
dan implikasinya transmisi historisnya pada pendidikan Islam Indonesia pada
masa ini.
2. Kerangka Konseptual dan
Teori
Karena
kajian disertasi ini bersifat historis-filosofis, maka pendekatan yang dipakai
dalam aspek metodologisnya menekankan pada model penelitian kesejarahan dengan
pendekatan filsafat dalam proses analisisnya. Sedangkan dalam hal teori,
penelitian ini berlandaskan pada teori yang menyatakan bahwa ada kaitan organik
dan pertautan sinergis antara pendidikan Islam dengan epistemologi sebagai
konstruksi dinamis-dialektik al- aql al-mukawwan (objektivasi
rasionalitas budaya) dan al-aql al-mukawwin (subjektivasi rasionalitas
budaya). Untuk itu teori yang dipakai adalah teori relasi-kuasa Michael
Foucoult yang dipertegas oleh Mohammed Arkoun dengan pernyataannya bahwa
terbangunnya relasi-kuasa tersebut ditopang oleh berbagai pilar hegemonik,
yaitu: hegemoni politis yang ada pada penguasa (sultah siyasiyah),
hegemoni legislasi normatif (sultah tashri’iyyah) yang ada pada para
hakim dan hegemoni budaya (sultah thaqafiyyah) yang ada pada para
agamawan-intelektual. Selain itu penelitian ini juga dilandasi oleh teori yang
diajukan oleh Abid al- Jabiri tentang dominasi paradigma bayani dalam
struktur dasar pemikiran Islam, di mana paradigma bayani memiliki
karakter dasar: (a) nalar tekstual (sultat al-lafz), (b) hegemoni asl
(nalar analogis), (c) hegemoni tajwiz (nalar okasionalistik). Adapun
mengenai konteks masa keemasan Islam, penelitian ini dilandasi oleh teori dari
beberapa tokoh seperti M. Munir Mursi, M. Jawwad Ridla untuk dari kalangan
Muslim dan Joel L. Kraemer dan H.A.R. Gibb untuk dari kalangan orientalis
Barat.
3. Temuan Penelitian
Disertasi ini terbagi dalam enam bab
pembahasan. Pada bab pertama adalah uraian mengenai latar belakang masalah
penelitian. Pada bab kedua, Mahmud Arief mengelaborasi horison epistemologi
Islam pada era keemasan, yang diantaranya membahas sisi dasar budaya pemikiran
Islam, dan penelusuran secara filosofis terhadap tiga dimensi epistemologis
dalam tradisi pemikiran Islam, yaitu Bayani, Irfani, Burhani,
dan penjelasan tentang dominasi, kejayaan, dan kemapanan tradisi Bayani
dalam struktur dasar pemikiran Islam.
Pada
bab ketiga, dijelaskan tentang pertautan epistemologi Bayani dengan
pendidikan Islam pada masa keemasan, di mana di dalamnya diungkap mengenai
nalar kebudayaan pendidikan Islam, aliran utama pemikiran pendidikan Islam yang
dipetakan dalam dua aliran besar yaitu aliran konservatif dan aliran rasional.
Selanjutnya dijelaskan mengenai dominasi epistemologi Bayani, dalam
tradisi keilmuan Islam yang berefek pada tendensi Homeostatic dalam
proses kemunculan Madrasah dalam sejarah Islam yang juga merupakan sebab
langsung dari adanya relasi-kuasa dalam otoritas keilmuan pada masa itu.
Pada
bab selanjutnya diuraikan mengenai implikasinya pada dunia kependidikan di
Indonesia, di mana proses historis yang terjadi memberikan implikasi secara
langsung pada terjadinya involusi pendidikan Islam, khususnya pada dunia
kepesantrenan. Dalam bab ini dijelaskan secara gamblang mengenai sketsa kondisi
dan potensi pesantren, formasi kultur pesantren, orientasi fiqh-sufistik
pendidikan pesantren, kekhasan pandangan dunia dan langgam dinamika pesantren,
termasuk dilema yang terjadi pada madrasah dan stagnasi konsep pendidikan
Islam.
Pada bab lima yang merupakan inti dari temuan penelitian
ini, Mahmud Arief mencoba menformulasikan epistemologi pendidikan Islam yang
relevan untuk tuntutan era kekinian. Yakni berdasarkan dari hasil pembahasan sebelumnya,
dipandang perlu untuk membangun hubungan yang bersifat takamuliyyah
antara tiga varian epistemologi pendidikan Islam, baik sebagai mode of
thought (ru’yah) maupun mode of inquiri (manhaj),
dapat dirumuskan ke dalam struktur hierarkis piramidal, di mana varian yang ada
di bawah mendasari varian yang ada di atasnya dan varian yang ada di atas
merupakan kelanjutan dan penyempurnaan varian yang ada di bawahnya. Namun
demikian, struktur hierarkis-piramidal ini tidak dipahami dalam pengertian
statis, tetapi dalam pengertian dinamis-dialektis dengan realitas yang ada dan
dalam pengertian momot nilai-nilai penyadaran dan pemberdayaan, yaitu:
humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dalam epistemologi pendidikan Islam
bisa termuat matra being (kainunah), process (sairurah),
dan becoming (shairurah) secara kontinyu karena berdasarkan pada
proses kesinambungan ijtihad dan tajdid dalam tradisi pemikiran
Islam.
B. TELAAH KRITIS.
Setelah ditelaah lebih lanjut, tampak
bahwa disertasi ini mengambil corak penelitian filsafat, khususnya filsafat
pendidikan Islam, oleh karena itu dalam proses analisis terhadap data
menggunakan model analisis deskriptif-filosofis. Dalam hal ini sedari awal
peneliti disertasi ini telah menentukan kerangka berfikir (framework) yang
melandasi penelitiannya yakni kerangka filosofik dari para pemikir Muslim
kontemporer seperti Hasan Hanafi dengan proyek Turats wa Tajdid, Nasr
Hamid Abu Zayd dengan model tafsir rasionalnya, Mohammed Arkoun dengan
pandangan strukturalis-logosentrisme-nya, dan yang paling menjiwai penelitian
ini adalah varian dimensi epistemologi bayani, irfani, burhani
dalam filsafat Islam.
Sekilas tampak bahwa dalam penelitian ini
memiliki kualitas deskripsi filosofis yang mendalam dan membuktikan betapa
luasnya khazanah pemikiran yang di elaborasi di dalamnya. Akan tetapi basis
filosofis yang diadopsi oleh peneliti disertasi sesungguhnya telah mendapatkan
banyak kritikan, khususnya pada tiga varian epistemologis yang dipetakan oleh
al-Jabiri. Bahwa penegasan terhadap tiga varian epistemologis ini sesungguhnya
adalah sebentuk pandangan yang parsial, karena pada realitas historisnya ketiga
varian tersebut adalah identifikasi terhadap terhadap corak berfikir dan
fenomena kognitif-psikologis para pemikir Muslim dalam sejarah Islam. Oleh
karena itu ketiga varian epistemologis tersebut semestinya tidak dipahami
secara baku sebagai sebuah bangunan pemikiran yang berdiri secara independen.
Salah satu contoh kecil misalnya tokoh seperti al-Ghazali adalah pemikir yang
menggunakan epistemologi bayani, irfani dan burhani sekaligus. Kenyataan ini berlawanan
dengan pandangan al-Jabiri yang mengkategorikan pemikiran al-Ghazali kepada
bentuk bayani dan irfani, dan tidak burhani sama sekali.
Sedangkan
dalam disertasi ini sejak awal telah berupaya mempertautkan model epistemologi bayani
dalam realitas historis pendidikan Islam pada masa keemasan Islam. Seolah-olah
pada masa keemasan Islam yang menjadi puncak pencapaian peradaban Muslim dalam
segala bidang ilmu yang mencakup ilmu-ilmu sains kealaman yang berkembang dari
tradisi burhani, dan dimensi spiritualitas keislaman yang telah tumbuh
subur di era Hasan al-Bashri dan berkembang pesat pada era keemasan yang
merupakan ciri khas tradisi irfani, dijukstaposisi bahwa masa keemasan
Islam hanya didominasi oleh tradisi bayani semata.
Selain
itu, di dalam disertasi ini tidak ada batasan definisi yang kongkrit mengenai
status masa keemasan Islam dalam sejarah. Dalam hal ini perlu ada penjelasan
secara definitif yang dimaksud dengan masa keemasan. Kalau dalam konteks
ekspansi politik militer maka itu terjadi pada masa Daulah Umayyah, khususnya
pada periode kekuasaan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Namun apabila masa
keemasan yang dimaksud adalah periode kemajuan secara sosio-politik dan
sosio-kultural, termasuk di dalamnya kemajuan secara fisik dan kehidupan
masyarakat kosmopolit dan beradab, maka itu terjadi pada masa kekuasaan Khalifah
Harun al-Rasyid dan masa putranya al-Makmun yang kemudian mengembangkan tradisi
Burhani melalui Baitul Hikmah yang dia bangun.
Akan tetapi di dalam disertasi ini tampaknya
yang diklaim sebagai masa keemasan adalah pada masa pasca kemenangan ortodoksi
sunni atas dominasi teologis Muktazilah, yang di dalamnya antara para ulama dan
penguasa bahu membahu untuk menghidupkan kembali kemurnian tradisi teologi
sunni (baca: ahlussunnah wal jama’ah) yang telah tergerus oleh dominasi paham
teologi rasional Muktazilah. Proses Skolastisisme pasca era Muktazilah dalam
sejarah Islam adalah proses sejarah yang lumrah, karena proses yang sama juga
terjadi pada agama yang lain. Termasuk yang diidentifikasi oleh disertasi ini
tentang adanya dominasi pandangan tesktual-formal, yang disebut dengan Bayaniyyun
di dalam tradisi keilmuan, tendensi Homeostatic dan relasi-kuasa dalam
otoritas keilmuan, di mana anasir yang sama juga terjadi di era Skolastisisme
Kristen di abad pertengahan. Sehingga semestinya persoalan ini adalah
kelumrahan sejarah yang tidak semestinya dipermasalahkan.
Berdasarkan persoalan di atas, penulis
disertasi kemudian mencoba menemukan implikasinya terhadap pendidikan Islam di
Indonesia, khususnya pada dunia kepesantrenan. Akan tetapi sebagai penelitian
kesejarahan, disertasi ini tidak secara detail memaparkan tentang bukti-bukti
historis mengenai “titik sambung” dominasi tradisi bayani pada masa
keemasan kaitannya dengan proses involusi dalam dunia kepesantrenan di
Indonesia. Akibatnya yang muncul adalah implikasi-implikasi yang cenderung
negatif, karena tidak dibangun di atas data historis yang lengkap. Padahal
sesungguhnya apabila ditelisik secara mendalam budaya pesantren sebagai
sub-kultur penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia bisa jadi memiliki
watak yang sangat berbeda dengan fenomena keberagamaan yang ada di Timur Tengah
yang sedang menikmati puncak keemasan peradaban, jikalau mengacu pada teori
masuknya Islam pada abad ke ke VII.
Pada pembahasan mengenai implikasinya
kependidikan Islam di Indonesia, tampaknya penulis disertasi mencoba menggiring
pembaca pada pemahaman bahwa fenomena dominasi epistemologi bayani pada
masa keemasan Islam telah memberikan konstribusi terhadap kemunduran dan
kemandegan dunia kepesantrenan dalam tradisi epistemologi burhani,
termasuk pada stagnasi konsep pendidikan Islam di Indonesia. Sehingga seolah-olah
fenomena historis yang terjadi pada masa keemasan adalah sebuah kecelakaan
sejarah yang berdampak buruk pada proyeksi kependidikan Islam di Indonesia.
Dari sini terlihat bahwa telah terjadi kesalahpahaman (misunderstanding)
yang menyebabkan interpretasi yang kurang tepat (misinterpretation)
terhadap peristiwa sejarah. Karena masa keemasan dalam sejarah peradaban Islam,
adalah realitas historis yang kompleks dan tidak bisa ditafsiri sebagai
realitas historis yang berjalan secara sederhana dan bisa dilabeli oleh
anasir-anasir epistemologis tertentu baik itu bayani, irfani,
maupun burhani. Akibatnya kita dengan mudah mempersalahkan realitas
historis masa keemasan sebagai biang kerok dari fenomena kemandegan dan
stagnasi kependidikan Islam di Indonesia, karena dalam konteks filsafat
sejarah, tidak tepat apabila munculnya problematika dan anomali pada realitas
kekinian selalu disebabkan oleh realitas historis pada masa lalu.
Pada bagian mengenai formulasi
epistemologi yang ditawarkan oleh penulis disertasi menawarkan perlunya
memadukan antara epistemologi bayani, burhani, dan irfani
untuk merespons realitas empiris yang terus berubah dengan fenomena
sosial-budaya yang plural. Akan tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut model dan
pola operasionalisasinya dalam realitas empirik, termasuk minimnya penjelasan
dalam dimensi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Karena pada
dasarnya dalam tulisan ini pembaca seolah-olah digiring untuk menghakimi
epistemologi bayani, sehingga yang muncul adalah pandangan serba parsial
terhadap ketiga varian epistemologi ini. Padahal semestinya bangunan
epistemologi pendidikan Islam bersifat tauhidik dan tidak dikotomik dan parsial
sebagaimana epistemologi pendidikan Barat. Oleh penulis disertasi kemudian
menawarkan epistemologi Islam transformatif yang dibingkai oleh semangat
liberasi, humanisasi dan transendensi, di mana konsep ini merupakan paradigma
Islam profetik-integralistik yang digagas oleh Kuntowijoyo. Dari sini terlihat
bahwa formulasi yang diajukan merupakan ramuan antara pemikiran Abid al-Jabiri
dengan cita rasa “nalar Arab” yang cenderung parsial dan sektarian dan
pemikiran Kuntowijoyo yang dibangun dari aspek-aspek sosio-historis
keindonesiaan. Karenanya formulasi ini
perlu diuji lebih lanjut pada realitas empirik agar disertasi ini memiliki
kontribusi signifikan terhadap keilmuan pendidikan Islam. Wallahu A’lam
Bishawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar