Derrida lewat
teori dekonstruksi dan penekannya pada differance (suatu istilah ciptaan
Derrida sendiri) misalnya melanjutkan kritik Heidegger atas metafisika lewat
studi atas bahasa. Bagi Derrida filsafat Barat yang bersifat logosentris
(berpusat pada logos = kata, rasio) telah keliru dalam keyakinannya bahwa
Ada adalah kehadiran, dan kunci untuk memahami kehadiran bertumpu pada
konsep substansi, identitas, kesamaan, hakikat, yang jelas dan terpilah-pilah,
dsb. Padahal, menurut Derrida, semua kehadiran, identitas, predikasi dsb.
eksistensinya tergantung pada sesuatu di luar dirinya, sesuatu yang justru
tidak hadir dan berbeda darinya. Semua identitas melibatkan perbedaan dan
relasi, dan keduanya merupakan aspek-aspek atau ciri-ciri yang berada di luar
objek yang bersangkutan; berbeda dari itu, namun juga berkaitan dengannya,
tetapi tidak pernah sepenuhnya hadir. Dalam setiap tindakan identifikasi selalu
ada tindakan pasif untuk menjadi “berbeda” (differ) dan untuk
“menangguhkan” (defer). Identitas juga merupakan suatu konstruksi
pikiran dan secara hakiki bersifat linguistik atau kebahasaan.
Berkaitan
konsep dekonstruksi di atas dengan realitas objektif yang terjadi saat ini, di
mana pendidikan tentang keimanan (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan
pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi
moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama.
Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh
peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor
penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan
keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di
dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan.
Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata
mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik
menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about
being Moslem).
Sebagaimana
diketahui konsep pendidikan keimanan yang diajarkan pada siswa saat ini adalah
suatu bangunan pemikiran yang terbentuk dari proses dialektika Kalam yang sarat
dengan perdebatan teologis daripada upaya pendalaman pemahaman peserta didik
terhadap keimanan pada Tuhan. Sehingga sangat wajar apabila konsep keimanan
yang ada saat ini sangat rentan bagi infiltrasi pemikiran keislaman yang
kontraproduktif, misalnya saja fenomena pola indoktrinasi NII (Negara Islam
Indonesia) dengan pola cuci otak (brainwash). Belum lagi adanya fenomena
radikalisasi pemikiran keislaman di kalangan muda. Hal ini menandakan konsep
keimanan yang dipahami tidak paralel dengan kesadaran diri secara penuh.
Problematika yang muncul mengenai konsep keimanan ini menandakan bahwa telah
terjadi anomali pada konsep-konsep keimanan yang diajarkan pada peserta didik
selama ini.
Oleh karena
itu, timbul satu pertanyaan, bagaimana merekayasa ulang, atau melakukan
rekonseptualisasi terhadap permasalahan ini?. Harus disadari bahwa bentukan
konsep keimanan yang diajarkan pada saat ini adalah bersifat tekstual minded,
dalam artian tidak menelaah kembali bagaimana realitas objektif pengajaran
keimanan pada masa Rasulullah, khususnya pada periode Mekkah (610-622). Karena
pada periode inilah intensitas pengajaran keimanan dilakukan secara langsung
dan persuasif dari Rasul pada komunitas muslim awal Islam. Pada periode inilah
kita disuguhi oleh kisah-kisah heroik para sahabat yang memiliki immunitas
keimanan yang tinggi dan mampu bertahan atas berbagai macam deraan dan siksaan.
Tentunya dari tinjauan preskriptif ini kita menemukan bahwa immunitas keimanan
para sahabat pada periode Mekkah paralel dengan konstruksi makna keimanan yang
dibangun oleh Rasulullah pada masa itu. Kita bisa memastikan bahwa
konseptualisasi keimanan yang terbentuk pada era Mekkah sangat berbeda dengan
konsep keimanan yang diajarkan pada peserta didik pada masa sekarang.
Dekonstruksi
atas pemaknaan keimanan pada masa sekarang menjadi penting dalam rangka
memperbaharui konsep tersebut, karena konsep itu terbukti tidak lagi ampuh di
dalam memberikan immunitas keimanan bagi peserta didik. Sebagai gambaran
hipotetik, penulis akan mencoba mendeskripsikan sekilas tentang format
konseptualisasi keimanan pada periode Mekkah. Bahwa Nabi SAW. pernah bersabda
yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”, yang artinya kurang
lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Dari sini ada
beberapa fase pendidikan Tuhan kepada Muhammad sebelum diangkat sebagai Rasul: yakni,
fase keyatiman, menggembala, berdagang, ber-khadijah, dan yang terakhir adalah
ber-gua hira, kelima fase ini menyatakan secara eksplisit bahwa core values
pendidikan keimanan dalam Islam apabila mengikuti format pendidikan Tuhan pada
Rasul, yaitu kemandirian, kepemimpinan, kewirausahaan, pemenuhan tanggung jawab
dan menjadi problem solver.
Selain itu lima
surah yang pertama kali turun secara sistematik sekaligus sistemik telah
menjadi menjadi dasar konseptualisasi keimanan pada para sahabat ketika itu, yakni
surah al-Alaq (1-5) yang isinya berkenaan dengan upaya Tuhan mengenalkan
eksistensiNya dan berupaya menormalisasi pandangan teologis penduduk Mekkah
yang pagan menuju monotheisme Tauhid. Hasil dari fase pertama ini adalah
kesadaran diri para sahabat untuk bersyahadat dengan teguh. Kemudian disusul
surah al-Qalam (1-10) adalah tahapan orientasi, yakni menanamkan keyakinan para
sahabat untuk menjadi bagian penting dan menjadi aktor-aktor bagi perjuangan
agama yang dianut. Selanjutnya surah al-Muzammil (1-10) adalah tahapan
ekternalisasi diri para sahabat, yakni menanamkan semangat religiousitas
melalui usaha ibadah yang intens sebagaimana point-point yang terkandung dalam
surah tersebut. Setelah itu surah al-Muddatsir (1-10) adalah upaya mengarahkan
para sahabat untuk melakukan sosialisasi atau internalisasi kesadaran keimanan
yang telah mereka peroleh pada masyarakat luas dengan terlibat aktif di
masyarakat untuk melakukan sosial engginering atau perubahan sosial. Puncaknya
adalah surah al-Fatihah 1-7 yang merupakan tahapan objektifikasi kesadaran
keimanan para sahabat. Bahwa sesungguhnya surah al-Fatihah adalah blue print
dari rekayasa peradaban Islam dan sekaligus menjadi jiwa zaman (zeitgeist)
kemajuan Islam. Tanpa mengabaikan peranan surah-surah lain di dalam al-Qur’an,
kelima surah yang turun pertama kali secara sistematik ini, memberikan
kontribusi penting bagi pembentukan kesadaran keimanan komunitas Muslim pada
periode Mekkah. Proses-proses ini semestinya dimanifestasikan sedemikian rupa
pada rancangan kurikulum pemelajaran keimanan pada saat ini agar kualitas
keimanan para peserta didik paling tidak mendekati format keimanan para
sahabat, sehingga karakteristik para sahabat yang par exelence bisa juga
menjadi karakteristik peserta didik pada era sekarang. Wallahu A’lamu
Bishawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar