Abstract
Islamic
education is facing a dilemma of modernity and humanity, because the world of
Islamic education that builds on the philosophy and Islamic values, on
certain sides of the world it is difficult to meet with general education which
is basically built on the philosophy and values of Western Worldview tend to
adopt the concept of secular humanism. On the other hand the internal
situation, Islamic education dilemma facing humanity, because of the
educational process was run still adopt the old patterns that are not
considered humane. Similarly, the phenomenon of violence still occur in school
environments that are in the realm of Islamic education, both physical and
psychological violence. Faced with this dilemma, then there is a continual
thoughts about the need to build a humanist discourse-religious education, as a
form of thought formulation seeking common ground between the values of
humanism which evolved from the Western Worldview and values of religiosity
that comes from the Islamic Worldview.
Keywords:
Humanism, Humanist-religious, Pathology, Significance, Implication.
A.
Pendahuluan.
Istilah
pendidikan humanis religius mengandung peta konsep yaitu adanya dua aspek pendidikan
yang ingin diintegrasikan yakni pendidikan humanis dan pendidikan religius.
Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat membangun
sistem pendidikan yang dapat mengintegrasikan dari keduanya atau mengurangi
kelemahannya. Pendidikan humanis yang menekankan aspek kemerdekaan individu
diintegrasikan dengan pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan
individu dan sosial yang memiliki kemerdekaan, tetapi dengan tidak meninggalkan
(sekuler) dari nilai-nilai keagamaan yang diikuti masyarakatnya, atau menolak
nilai ketuhanan (ateisme).
Dalam sebuah negara,
masalah pendidikan selalu menjadi isu yang sangat penting sehingga melahirkan
berbagai macam pendapat dan perdebatan mengenai arah dan orientasi pendidikan, bagaimana
pendidikan direncanakan dan dilaksanakan, dievaluasi, dan seterusnya.
Pendeknya, pendidikan merupakan isu strategis yang turut menentukan kualitas
sebuah bangsa. Pendidikan diharapkan dapat bernilai sebagai proses
'pembelajaran' sekaligus sebagai 'pemberdayaan' kemampuan (ability) dan
kesanggupan (capability) peserta didiknya.
Dalam proses
pendidikan ada upaya untuk mengembangkan potensi manusia, baik secara jasmani,
rohani maupun akal. Pada hakikatnya, keseluruhan potensi manusia yang
dikembangkan dalam pendidikan tersebut bertujuan agar manusia dapat
melaksanakan kehidupannya dengan baik, bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya
dan juga bagi negaranya. Pendidikan dipercaya menjadi alat dan proses yang
paling efektif untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa kini dan masa
yang akan datang.
John Dewey
dalam Democratic and Education menyatakan tentang fungsi penting
pendidikan : ”Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating,
process. All of these words mean that it implies attention to the conditions of
growth.”[1]
Pendidikan juga merupakan pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam
beragam fungsi dan kebutuhan. Dalam pembelajaran terkandung upaya pemenuhan
fungsi-fungsi sosial, ekonomi, politik, selain beragam kebutuhan material dan
spiritual manusia. Menurut Paulo Freire bahwa pendidikan harus dipahami sebagai
upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk berkesadaran (corpo consciente),
bukan untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (automaton)[2],
pendidikan yang menjadikan manusia sebagai benda terkendali adalah suatu
perbuatan yang bersifat kontraproduktif terhadap fitrah ontologis manusia.
Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia secara
optimal, yaitu berupa pengembangan seluruh komponen kemanusiaannya, yaitu upaya
pengembangan akal, rasa dan fisik (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik).
Bagaimana
dengan pendidikan di Negara kita, Indonesia? Pendidikan di Negara Indonesia
diharapkan bersifat humanis religius sesuai dengan cita-cita pendidikan
nasional, di mana dalam pengembangan kehidupan ilmu pengetahuan tidak terlepas
dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Masyarakat mestinya menghargai
nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang
harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, dan daerah.
Kehidupan
masyarakat Indonesia yang majemuk sangat rentan terhadap berbagai konflik sosial
(seperti etnisitas, strata sosial, pengangguran, kejahatan, kebodohan) yang
dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya pemecahan masalah sosial
tersebut harus menggunakan nilai keagamaan dan kemanusiaan sebagai dasar
kearifan untuk mencari cara pemecahannya, di samping cara yang bersifat ilmiah
pragmatis. Sehingga sudah semestinya pendidikan kita kembali ke cita-cita
semula yang sesuai dengan konsep humanis religius, baik dalam teori maupun implementasinya
di lapangan pendidikan (institusi).
Gagasan
humanisasi pendidikan menyeruak dalam wacana pemikiran pendidikan, ketika
sistem dunia pendidikan tidak lagi berupaya mengembangkan dan memberdayakan
potensi-potensi hereditas dalam jiwa dan kesadaran setiap peserta didik. Hal
ini terjadi karena sistem dunia pendidikan yang berkembang saat ini hanya
memberi penekanan pada aspek kognitif. Sehingga lembaga persekolahan atau
bahkan perguruan tinggi hanya semacam “pabrik” yang memproduksi sekelompok
manusia yang terdidik secara intelektual, tetapi miskin moral dan tidak sehat
secara spiritual. Proses pendidikan yang tidak menghantarkan peserta didik pada
kesadaran yang utuh ini kemudian disebut oleh Paulo Freire sebagai Banking
Concept Education. Sehingga salah seorang pakar pendidikan lain seperti
Ivan Illich menganggap bahwa proyeksi pendidikan dan pengajaran tidak bisa
dimonopoli oleh institusi persekolahan semata, karena kesadaran yang utuh dari
peserta didik juga bisa didapatkan di luar lembaga persekolahan (deschooling
society).
Persoalan yang
muncul belakangan ini seperti kekerasan dan anarkisme di sekolah, baik yang
tampak dalam budaya tawuran antar siswa maupun dengan masyarakat sekitar (kasus
wartawan dan SMAN 6), maupun kekerasan guru terhadap murid, membuktikan bahwa
lembaga persekolahan belum sepenuhnya mampu menumbuhkan kultur pendidikan yang
humanis. Tidak hanya itu, kekerasan tidak hanya terjadi secara eksternal di
luar diri peserta didik, akan tetapi kekerasan secara internal di dalam diri
peserta didik dengan terciptanya instabilitas kejiwaan peserta didik yang
terlihat dari perilaku menyimpang seperti kecenderungan pada narkoba, hubungan
seks bebas, perkosaan, bunuh diri dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa
pengajaran nilai-nilai etika, akhlak, dan karakter keimanan atau religiusitas
belum berjalan secara maksimal.
Oleh karena itu
kemudian digagas sebuah paradigma pendidikan yang humanis–religius untuk
meretas persoalan yang terjadi di dunia pendidikan. Karena pada dasarnya,
pendidikan yang tidak memiliki kultur humanis dan mengabaikan religiusitas
sebagai wahana apresiasi potensi kemanusiaan yang ilahi (fitrah), akan
membuat peserta didik mengalami proses keterasingan diri (alienasi).
Sebagaimana penelitian Ivan Illich, Edgar Friedenberg, John Holt dan Jonathan
Kazol, serta banyak lainnya menyatakan bahwa sekolah-sekolah yang lebih besar
di tingkat lanjutan telah ikut mendorong rasa kesepian dan keterasingan siswa
tersebut.[3]
Terjadinya proses alienasi dikalangkan peserta didik inilah yang menjadi pemicu
munculnya kekerasan baik secara eksternal (fisik), maupun kekerasan secara
internal (psikis), dan menjadi persoalan tidak kunjung selesai di dunia
pendidikan umum, begitu pula dalam pendidikan Islam.
B.
Patologi Humanisme Sekuler.
Epistemologi
humanisme yang bersandarkan diri pada kemampuan rasionalitas manusia dengan segala otoritasnya
–utamanya di abad modern ini- melahirkan
problem akut kemanusiaan; seperti penindasan, keterbelakangan, masalah lingkungan, politik apartheid, tirani,
peperangan yang berkepanjangan, dalam
banyak hal lahir dari rahim ‘keangkuhan’ epistemologi rasional-humanis.
Keangkuhan epistemologi rasional ini pada perkembangan selanjutnya memunculkan ‘keangkuhan’ manusia untuk
bebas menawarkan dan menebarkan prinsip-prinsip rasionalisme ke dalam seluruh
realitas. Manusia sebagai subjek otonom atas rasionalitas itu justru mengalami
alienasi, keterasingan dan keterbelengguan oleh paradigma yang dicoba
dikembangkannya.
Pada dataran
epistemologis, mega-proyek modernisme didirikan di atas pondasi rasionalisme
Cartesian tersebut pada urutannya mengajak masyarakat modern untuk melihat realitas dunia ini, tidak
ubahnya bagaikan sebuah mesin jam raksasa
tanpa elemen spiritual yang terlihat menggerakkan. Epistemologi adalah
cara pandang untuk memahami dan
menangkap realitas. Epistemologi rasionalisme Cartesian yang sangat memuja subjek
‘aku’ yaitu I am the thinking thing, telah melahirkan semacam keangkuhan epistemologi
bahwa realitas itu bisa ditaklukkan
melalui pendefinisian secara positif.
Tatkala
rasionalitas-positivisme diproklamirkan sebagai satu-satunya cara pandang terhadap
realitas, yang muncul kemudian
adalah mistifikasi terhadap
validitas paham Cartesian, dan di
luar itu tidak benar. Maka sejak itu terjadilah imperialisme kultural epistemologis[4].
Kekejaman perang, perusakan lingkungan, dan sebagainya –barangkali- diawali
oleh penerapan paradigma epistemologi rasional tersebut. Sisi lain
modernitas (baca: sebagai salah satu keberhasilan ‘proyek’ humanisme)
juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengalienasian nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah
budaya modernitas, agama (misalnya) terpojok antara ideologi-ideologi besar
produk kemodernan yang hanya menghasilkan
kondisi-kondisi kemanusiaan yang berkooptasi oleh aspek-aspek material yang
berdampak pada nilai-nilai negatif yang dihasilkan oleh sains dan
teknologi yang bermuara
pada destruksi, tanpa sanggup memaknai
kebaruan keberhasilan itu secara
positif. Dampak yang paling nyata
lahirnya hedonisme, materialisme,
individualisme, bahkan sosialisme juga kapitalisme yang dibidani oleh kesanggupan
manusia, termasuk tafsiran manusia dalam memaknai kemanusiaannya.
Menariknya, di
tengah ‘hiruk pikuk’ filsafat Barat modern menancapkan pengaruhnya secara
hegemonik melalui penerapan tradisi kefilsafatan humanisme ke dalam setiap kultur maupun struktur
masyarakat (lain), ternyata ia justru sedang
dilanda sejumlah problem epistemologik yang mendasar. Artinya, di tengah
pengaruh yang cukup kuat dari tipikal
epistemologi rasional ke dalam ranah kognisi manusia, humanisme ternyata sedang
dipertanyakan kemampuannya untuk memanusiakan manusia. Alih-alih memberikan
penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan, humanisme justru menampilkan
dirinya sebagai sebuah kebebasan (sains dan
pengetahuan serta logika) tanpa kendali yang mereduksi nilai-nilai kemanusiaan pada tingkatan paling akut.
Manusia yang
dicoba diangkat dari keterasingannya oleh Humanisme-Marxis, justru
semakin terasing oleh produksi-produksi dan kerja yang membelenggu, sementara
humanisme liberal yang mencoba membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh
institusi birokrasi dan dominasi gereja misalnya, justru menampilkan dirinya sebagai kekuatan tiranik baru yang
bersembunyi di balik terminologi ‘liberalisasi’.
Prinsip-prinsip
humanisme modern tersebut bermula dari periode Renaisans yang merupakan awal perkembangan
sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi
perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai
bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat
yang –sekali lagi- terlihat jelas pada
pemikiran Descartes, yang melalui wawasan
‘humanisme’-nya menjadikan manusia –dengan segala kemampuan rasionalnya- sebagai ‘aku’
(subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia.
Model humanisme
rasional Descartes ini pada perkembangan selanjutnya justru semakin ‘memperparah’ kondisi
kemanusiaan, utamanya dalam menjelaskan
hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia kemudian hanya dihargai sebagai
pengedepanan nilai-nilai rasionalitas, padahal sisi ini hanya satu bagian dari
bagian lain nilai kemanusiaan. Akhirnya, dominasi rasionalitas ini ‘mematikan’
aspek spiritualitas kemanusiaan, bahkan nilai
kemanusiaan itu sendiri.
Meletakkan
manusia hanya pada satu aspek tertentu
tersebut adalah prinsip
dari humanisme modern. Ilmu yang
dijadikan alat untuk menemukan kebenaran, justru mengarah pada pencarian kekuasaan
semata. Perkembangan sains dan teknologi
sebagai bagian integral dari proyek humanisme modern, untuk menunjukkan
keunggulan manusia, semakin hari kian menakutkan. Perlombaan senjata,
kompetisi yang tidak pernah
berhenti, media komunikasi yang hegemonik, pada akhirnya adalah cerminan dari ‘ruang’ kebebasan yang diberikan
terhadap manusia; untuk bereksperimentasi tiada henti. Pada titik selanjutnya, terjadilah
proses penghancuran martabat kemanusian
justru oleh manusia itu sendiri.
Humanisme
justru melahirkan anti humanisme; dan epistemologi rasional yang menjunjung kebebasan
dan kemerdekaan berpikir manusia justru menjadi ‘penjara’ baru, bahkan menjadi
kekuatan ideologis baru yang ‘mengerangkeng’ kebebasan manusia. Akhirnya, justru gerak humanisme
modern melahirkan sejumlah ketidakpastian eksistensial manusia; untuk menemukan
jati dirinya sebagai manusia, bahkan untuk menjadi manusia.
C.
Signifikansi Paradigma Humanis–Religius.
Humanis (Latin:
humanus) berasal dari akar kata homo yang berarti manusia dan
memiliki arti manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia[5].
Dalam konteks pendidikan Islam, nilai-nilai kemanusiaan (humanity)
mendapatkan perhatian khusus dalam doktrin-doktrin keislaman. Bahwa dalam
al-Qur’an secara tersurat telah dinyatakan pengakuan atas “ketinggian martabat
manusia” yang berarti bahwa Tuhan itu memuliakan manusia di atas “banyak dari
makhluk-makhlukNya yang lain”.[6]
Menurut Marcel A. Boisard, dalam Islam menerima prinsip dari al-Qur’an tersebut
tidak sekedar menerima konsepsi moral yang berlaku universal, akan tetapi sudah
merupakan kewajiban dan tanggung jawab secara teologis bagi setiap Muslim untuk
mengakui martabat kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi,
agama, seseorang.[7]
Secara
evolusioner, humanisme merupakan tahapan dimulainya paradigma manusia sebagai
pusat setelah alam pikiran Yunani kuno dan peradaban Barat beranjak dari
tahapan evolusi kosmosentris. Pada abad tengah, begitu tahapan kosmosentris
berakhir, manusia kemudian merubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan
diri pada Yang Ilahi atau teosentris. Dalam tahap ini alam semesta
dihayati sebagai buah karya Tuhan dan semua mendapatkan maknanya dalam Tuhan.
Dalam perkembangannya muncullah kesadaran baru tentang hakikat manusia yang rasional
dan bebas, yang melahirkan kiblat baru dalam kehidupan intelektual pada abad
ke-14. Akhirnya, kiblat pemikiran tersebut mengarah pada kerangka antroposentris
yang kritis di mana manusia (bukan Tuhan) menjadi titik pusat pemikirannya
sendiri.[8]
Apabila
ditinjau dari proses evolusi paradigma humanisme tersebut, sesungguhnya pada
saat kiblat pemikiran Barat di abad tengah bersifat teosentris dengan
pandangan teologis-metafisis yang cenderung menafikan nilai-nilai kemanusiaan,
di bawah hegemoni feodalistik lembaga kepausan dan Gereja ketika itu. Umat
Islam justru sedang berada pada masa keemasan (Renaissance of Islam) dan
sedang mempraktekkan kultur kehidupan keagamaan yang humanis, begitu pula dalam
aspek pendidikan. Joel L. Kraemer dalam Humanism in The Renaissance of Islam,
membuktikan bahwa pada masa keemasan Islam aspek humanisme telah mewarnai
kehidupan masyarakat ketika itu, yang ditandai oleh (1) pengadopsian etika
filosofis klasik dalam pelaksanaan pendidikan dan pembentukan karakter; (2) adanya
konsepsi mengenai kesetaraan (equality) dan kesatuan umat manusia; dan
(3) adanya perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan, atau kecintaan pada umat
manusia secara keseluruhan. Selain itu term insaniyya (humanity)
sudah sangat populer di kalangan filosof Muslim pada saat itu.[9]
Bahkan oleh George Makdisi kemudian memetakan kategori kelompok humanis dalam
sejarah Islam dengan sebutan humanis profesional dan amatir. Kelompok pertama
terdiri dari para duta besar, konselor, penegak hukum, pembicara, sastrawan,
pengadilan, perdana menteri, sejarawan dan tutor. Sedangkan kelompok kedua
adalah para peramal, astrolog, astronom, ahli kaligrafi, pedagang, dokter, dan
notaris.[10]
Oleh karena
itu, pada hakikatnya karakter dasar pendidikan Islam dalam sejarahnya adalah
bersifat humanis, akan tetapi dalam prakteknya pada saat ini pendidikan Islam
terjebak dalam formalisme dan formalitas agama, di mana lebih menekankan pada
proses transfer ilmu agama ketimbang proses transformasi nilai-nilai keagamaan
dan moral pada peserta didik. Selain itu kurikulum keagamaan hanya menjadi
formalitas atau “hiasan kurikulum” belaka, sehingga mengakibatkan
prinsip-prinsip humanis seperti kerukunan antar umat beragama, cinta, kasih
sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi kian
terpinggirkan dalam ranah praktik pendidikan Islam.
Oleh Prof. Abdurrahman
Mas’ud, paradigma humanis–religius adalah semacam antitesis atas pandangan
humanisme sekuler yang melakukan penolakan terhadap agama, karena agama
dianggap tidak bisa diharapkan untuk melakukan advokasi terhadap
masalah-masalah kemanusiaan, bahkan agama dituding sebagai “bahan bakar” bagi
timbulnya persoalan-persoalan kemanusiaan.[11]
Di sisi lain konsep tentang humanisme yang merupakan pilar utama peradaban
modern yang diwakili oleh dunia Barat, menyisakan beberapa persoalan mendasar
sehingga perlu dikaji ulang. Dalam kaitan ini Bambang Sugiharto menyatakan
bahwa mega proyek modernisasi yang pada awalnya berambisi pada humanisasi,
ternyata berakhir dengan dehumanisasi yang parah dan berskala global. Dewasa
ini humanisasi sering menjadi sasaran kritik yang mengandung praduga-praduga yang
sebetulnya bersifat humanistik.[12]
Oleh karena itu
paradigma humanis–religius adalah sebuah pemikiran alternatif, di saat sebagian
para pemikir dan intelektual menyangka bahwa paham humanisme bisa menggantikan
posisi agama. Sebagaimana yang di klaim oleh Pramudya Ananta Toer bahwa agama
yang dianutnya adalah “humanisme universal” (kemanusiaan sejagat). Walaupun
demikian, paradigma humanis–religius memiliki nilai dasar yang sama dengan
paham humanitarianisme, yang oleh Soedjatmoko ditegaskan sebagai tindak lanjut
dari kesadaran masing-masing manusia tidak lebih dan tidak kurang adalah
makhluk insani. Dalam hal ini berupaya menekankan kemanusiaan bersama dan tidak
serta-merta menyangkal atau meremehkan pentingnya hal-hal yang transendental
dalam agama. Menurutnya kemanusiaan bersama (humanitarianisme) merupakan
pijakan awal untuk belajar hidup dengan keragaman persepsi mengenai kebenaran.
Pada saat manusia memberi cap pada lawannya sebagai iblis, berarti manusia
tersebut merebut kemanusiaannya yang menjadi patokan dalam hubungan dengan
sesama manusia.[13]
Menurut Mas’ud,
ada beberapa alasan mengapa paradigma humanis–religius ini penting untuk dijadikan
sebagai sebuah paradigma baru pendidikan Islam, yakni: (1) Pola keberagamaan
umat Islam yang condong pada hubungan vertikal dan formalisasi ritual
keagamaan. Bahwa umat Islam saat ini merasa cukup dengan mencapai kesalehan
ritual daripada kesalehan sosial, sehingga yang tercipta adalah budaya
ritualistik yang sarat dengan kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam
nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Akibatnya umat Islam
secara obyektif belum mampu untuk tampil sebagai masyarakat yang berhasil
meretas persoalan-persoalan kemanusiaan (problem solvers).[14]
(2) Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional dan belum
berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Yakni kebijakan-kebijakan
yang berlangsung saat ini masih berorientasi pada pembangunan fisik dan bukan
pembangunan karakter (character building). (3) Kemandirian anak didik
dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh dalam capaian dunia
pendidikan. Menurut Mas’ud, alasan yang ketiga ini berakar pada pandangan dasar
keagamaan umat Islam bahwa konsep abdullah lebih utama dibandingkan
konsep khalifatullah, sehingga merasa sudah cukup apabila anaknya
menjadi muslim yang baik, saleh, atau menjadi seorang santri[15] walaupun
minim dalam penguasaan aspek-aspek life skill. Dalam kaitan persoalan
tersebut, Mas’ud menyatakan paling tidak
ada enam hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan
Islam dengan paradigma humanis – religius. Yaitu apresiasi yang tinggi terhadap
akal sehat (common sense), individualisasi menuju kemandirian,
menumbuhkan gairah keilmuan (thirst for knowledge), pendidikan
pluralisme, kontekstualisasi yang lebih mementingkan fungsi daripada simbol,
dan keseimbangan antara reward dan punishment.[16]
Sementara itu
paradigma humanis–religius memiliki afinitas dengan adagium yang menyatakan
bahwa manusia adalah makhluk yang dapat mendidik dan dapat dididik (homo
educabile). Dalam kaitan ini Prof. Abd. Rachman Assegaf menyatakan bahwa: pertama,
pendidikan lebih bersifat memberikan atau menyediakan stimulus agar secara
otomatis peserta didik memberikan respons kepadanya. Kedua, pendidik
tidak memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Ketiga, demokratisasi
merupakan model pendidikan yang sangat relevan untuk pengembangan potensi dasar
manusia sekaligus membantu menanamkan sikap percaya diri dan tanggung jawab. Keempat,
proses pendidikan harus selalu mengacu pada pendidikan keimanan yang sesuai
dengan ajaran Islam.[17]
Dalam konteks keindonesiaan,
pendidikan Islam adalah subsistem dari pendidikan Nasional, di mana pendidikan
Islam bersama pendidikan Nasional bersama-sama berupaya melakukan reformasi
pendidikan. Dalam artian bahwa paradigma humanis–religius menjadi payung
pemikiran terhadap upaya reformasi pendidikan yang meliputi hal-hal berikut: pertama,
penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam
proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu
membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik.
prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan dari
paradigma pengajaran ke pembelajaran. Kedua, adanya perubahan pandangan
tentang peran manusia dari paradigma sebagai sumber daya pembangunan menjadi
paradigma manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus
mampu membentuk manusia seutuhnya yang digambarkan sebagai manusia yang
mempunyai karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial dan
lingkungan kulturalnya. Ketiga, adanya pandangan terhadap peserta didik
yang terintegrasi dengan lingkungan sosial kulturalnya, yang pada gilirannya
akan menumbuhkan individu sebagai pribadi anggota masyarakat mandiri yang
berbudaya.[18]
D.
Implikasi – Implikasi Paradigma Humanis–Religius.
1.
Implikasi Filosofis.
Menurut Prof. Abd. Rachman Assegaf,[19]
salah satu dari implikasi dari paradigma humanis–religius adalah terjadinya
proses reintegrasi keilmuan, mengingat humanisme adalah khazanah pemikiran
filsafat etika yang bersumber dari Barat, dan pengadopsian falsafah humanisme
yang basis etiknya tidak dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan ke dalam
konteks pendidikan Islam, membuat paradigma ini ditambahi oleh istilah religius
agar falsafah humanisme yang antroposentris menjadi theo-antroposentris.
Prof. Abd. Rachman Assegaf menambahkan, bahwa
secara filosofis pendidikan humanis-religius berimplikasi pada munculnya sudut
pandang baru dalam menilai proyeksi dunia pendidikan. Pada dimensi ontologik,
akan melahirkan sudut pandang kemanusiaan, termasuk di dalamnya proses
interaksi yang humanis antara pendidik dan subyek didik. Pada dimensi
epistemologik akan melahirkan sudut pandang pengetahuan, yang berimplikasi
langsung pada materi atau isi pembelajaran. Pada dimensi aksiologis, akan
melahirkan sudut pandang tentang nilai, yang kemudian dapat menyentuh persoalan
pola evaluasi dan faktor-faktor etik dalam pendidikan Islam. Begitu pula dalam
aspek metodologi, pendidikan humanis-religius pada akhirnya akan berpengaruh
pada format metode, strategi, dan sistem pendidikan Islam itu sendiri[20].
Selain
itu apabila paradigma humanis–religius ini teraplikasikan dengan baik akan
melahirkan sebuah paradigma baru lainnya yaitu pendidikan Islam yang inklusif–multikultural.
Paradigma inklusif–multikultural ini ketika
dikontekstualisasi dalam ranah pendidikan Islam yang secara preskriptif telah
memikul beban sejarah perkembangan keilmuan. Di mana corak keilmuan yang
berkembang dalam pendidikan Islam bersifat integralistik-ensiklopedik di
satu sisi dan spesifik-parsialistik di sisi yang lain,[21]
telah memberikan andil besar dalam menciptakan dikotomi keilmuan antara
ilmu-ilmu sekular dan ilmu-ilmu agama. Maka dari itu, menurut Amin Abdullah,
perlu gerakan rapprochment, yakni kesediaan untuk saling menerima
keberadaan yang lain dengan lapang dada, atau sebagai gerakan penyatuan yang
diistilahkan dengan reintegrasi epistemologi keilmuan[22].
Dengan program reintegrasi ini diharapkan proses belajar mengajar secara
akademik pada akhirnya akan menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama seperti yang masih terjadi sampai saat ini. Karenanya dalam konteks
pendidikan Islam, sikap inklusif-multikultural dapat ditumbuhkan bersamaan
dengan upaya menegasikan sekat-sekat yang membatasi ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu agama.
Terkait dengan hal di atas, Amin Abdullah
memandang perlu untuk menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah dengan
etos dan nafas integrasi epistemologi keilmuan dengan prinsip-prinsip dasar
berikut. Antara lain hadharah al-ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu
empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak punya “karakter” yang
berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh hadharah
al-falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu hadharah
al-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam
kombinasinya dengan hadharah al-ilm (sains dan teknologi), tanpa
mengenal humanities kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak
hati-hati akan mudah terbawa arus ke arah gerakan radicalism-fundamentalism.
Untuk itu, diperlukan hadharah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif).
Di sisi lain hadharah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering
jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang terkandung dalam budaya teks
dan lebih-lebih menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan oleh hadharah
al-ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis)[23].
2.
Implikasi
dalam Kurikulum.
a.
Kompetensi.
Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas
sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi
kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial.
Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk
meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari
bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka
itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya.
Lantas, bagaimana upaya kita dalam proses
membangun kurikulum yang berbasis kemasyarakatan? Langkah awal yang bisa
ditempuh adalah dengan merombak pola pikir dan kognisi para pendidik selama
ini. Mereka adalah para pembuat kurikulum yang harus bertanggung jawab atas
kualitas dan mutu pendidikan yang dikonsepkannya. Seperti yang tampak di
permukaan, para pendidik dan pembuat kurikulum tidak mempunyai keseriusan dalam
membuat konsep dan gagasan yang lebih serius dalam upaya membangun masyarakat
yang cerdas. Di sini cerdas tidak dimaknai sebagai bentuk penguatan kognisi
saja, tapi juga penguatan pada aspek emosi, kepribadian, dan kesadaran diri si
terdidik.
Mau tidak mau, si terdidik harus punya
kesadaran kritis dalam meneropong atau menyoroti realitas yang dihadapinya.
Obyek yang diamati akan sangat banyak, beragam, dan kompleks sekali. Sehingga,
diperlukan perangkat analisis yang amat jitu dan tepat sasaran. Kemungkinan
karakter pendidikan semacam ini perlu dibarengi dengan pengkondisian atas
situasi proses belajar-mengajar yang elegan, egaliter, demokratis, dan
manusiawi. Tanpa itu akan sangat mustahil bisa diharapkan.
Oleh karena itu para pendidik yang
humanis-religius harus memiliki kompetensi dan pandangan tentang pendidikan
sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan dan proses pendidikan
berasal dari anak (siswa). Oleh karenanya, kurikulum dan tujuan pendidikan
menyesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan prakarsa anak.
2. Siswa adalah aktif bukan pasif. Anak
memiliki keinginan belajar dan akan melakukan aktivitas belajar apabila
mereka tidak difrustasikan
belajarnya oleh orang dewasa atau
penguasa yang memaksakan keinginannya.
3. Peran guru adalah sebagai penasihat,
pembimbing, teman belajar bukan penguasa kelas. Tugas guru ialah membantu siswa
belajar sehingga siswa memiliki kemandirian dalam belajar. Guru berperan
sebagai pembimbing dan yang melakukan kegiatan mencari dan menemukan
pengetahuan bersama siswa. Tidak boleh ada pengajaran yang bersifat otoriter,
di mana guru sebagai penguasa dan murid menyesuaikan.
4. Sekolah sebagai bentuk kecil dari masyarakat
luas. Pendidikan seharusnya tidak sekadar dibatasi sebagai kegiatan di dalam
kelas dengan dibatasi empat dinding sehingga terpisah dari masyarakat luas. Karena
pendidikan yang bermakna adalah apabila pendidikan itu dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan masyarakat.
5. Aktivitas belajar harus berfokus pada
pemecahan masalah, bukan sekadar mengajarkan mata pelajaran. Pemecahan masalah
adalah bagian dari kegiatan kehidupan. Oleh karenanya, pendidikan harus
membangun kemajuan siswa untuk memecahkan masalah. Kegiatan pendidikan bukan
sebagai pemberian informasi atau data dari guru kepada siswa, yang terbatas
sebagai aktivitas mengumpulkan dan mengingat kembali pengetahuan statis.
6. Iklim sekolah harus demokratis dan
kooperatif karena kehidupan di masyarakat selalu hidup bersama orang
lain, maka setiap
orang harus mampu
membangun kooperasi dengan
orang lain. Namun, dalam realita
pendidikan tradisional sering siswa dilarang untuk berbicara, berpindah tempat,
atau kerja sama dengan siswa lain. Iklim demokratis dalam kelas dibutuhkan agar
siswa dapat hidup secara demokratis di masyarakat.
Selain itu pendidik harus memiliki kompetensi
secara psikologis untuk memandang siswa sebagai individu yang memiliki keunikan
yang berbeda dengan siswa lain. Perbedaan keunikan individu siswa dalam
kegiatan pendidikan dan belajar harus dapat
tampak dan dihargai
oleh pendidik atau
guru. Salah satu pandangan
eksistensialis yang bisa diterapkan oleh pendidik humanis-religius
adalah adanya kemerdekaan atau kebebasan dalam diri individu untuk memilih apa
yang dianggap benar bagi dirinya untuk dapat membangun dirinya menjadi (to
become) seperti apa yang diinginkan. Kelahiran sebagai wujud keberadaan
(eksistensi) individu di dunia adalah titik awal bagi individu untuk
mengembangkan esensi dirinya. Esensi diri manusia dibangun melalui proses
kehidupan di mana individu memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus
bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk
menjadi apa adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya
terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru adalah
sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan.
Nilai-nilai keagamaan berada dalam diri
individu yang memperoleh pemaknaan oleh individu masing-masing, tidak ada
otoritas di luar diri individu yang dapat memberikan makna. Apabila individu
melakukan perubahan makna akan pengetahuan, nilai-nilai, atau keagamaan maka
hal itu dilakukan oleh dirinya dengan
rasa sukarela dan bukan karena paksaan dan otoritas di luar
dirinya. Oleh karenanya,
komunikasi atau dialog menjadi instrumen penting bagi perubahan
pemaknaan akan pengetahuan, nilai-nilai, maupun keagamaan.
b.
Materi.
Dengan paradigma humanis–religius, materi
kurikulum yang ada mengandung keterampilan-ketrampilan dan pelajaran-pelajaran
yang menjelaskan realitas kehidupan fisik dengan elemen-elemen sosio–kultural
yang mengikat di dalamnya, termasuk dimensi kemanusiaan atau humanitas untuk
memeriksa dan memotret realitas yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena itu
kurikulum yang diajarkan harus mengandung elemen-elemen kognitif dan normatif
sekaligus, di mana subjek-subjek faktual, deskriptif, dan ilmiah dari dimensi
kognitif adalah hal-hal yang diekstraksi dari tatanan fenomenologis
kemanusiaan. Adapun dalam dimensi normatifnya, materi kurikulum mengandung
subjek-subjek yang berorientasi pada nilai (value oriented). Studi-studi
humanistis seperti sejarah, seni, sastra, filsafat dan agama dalam hal ini
berguna dalam merangsang eksplorasi nilai-nilai etik dan aestetik.
Kaitannya dengan pendidikan Islam, saat ini
masih terasa bahwa materi kurikulum pengajaran agama yang sifatnya masih
bersifat taken from granted dengan pola indoktrinasi dan sistem hafalan
dan membuat kreativitas peserta didik menjadi tumpul. Sehingga yang diperlukan
adalah materi pelajaran yang mampu memantik kesadaran keagamaan (religuisitas)
dan mampu memahami subjek-subjek normatif pelajaran agama dalam skala akal
sehat (common sense), agar siswa tidak mudah untuk terpengaruh pada
doktrin-doktrin keagamaan yang mengantarkan siswa pada pandangan radikal yang
menjadi momok bagi pendidikan Islam pada saat ini.
Berpatokan
pada hal tersebut di atas, dalam praktiknya materi atau kurikulum pendidikan
Islam juga bernilai inklusif–multikultural yang membawa misi pesan perdamaian,
tidak diberikan dalam bentuk indoktrinasi, tetapi dalam konteks inkuiri. Para
murid dan guru berinkuiri bersama untuk memahami hakekat masalah yang dihadapi
dan menemukan kemungkinan pemecahannya[24].
Pada saat yang sama perlu ditanamkan pada siswa tentang nilai-nilai dasar yang
menjadi core values pendidikan Islam seperti integritas, kerendahan
hati, kesetiaan, keberanian bertindak benar, keadilan, kesabaran, kerajinan,
kesederhanaan, kesopanan, dan ketaatasasan (konsistensi)[25].
Selain itu kurikulum yang diajukan bersifat
integratif dan tidak sekedar berupaya memenuhi standar kognitif, akan tetapi
juga mengapresiasi dimensi afektif dan psikomotorik peserta didik. Dalam
konteks pendidikan Islam, di mana materi kurikulum yang ada berupaya melatih
peserta didik untuk “mentransendenkan diri” melalui peningkatan intensitas dan
kualitas praktek ibadah peserta didik, karena pada sisi inilah dimensi afektif
dan psikomotorik siswa bisa terapresiasi dengan baik. Dari sini siswa akan
terlatih memiliki kualifikasi moralitas dan akhlak Islami yang saat ini
mengalami degradasi. Sebagaimana jaminan dari al-Qur’an yang menyatakan bahwa
kegiatan ibadah shalat akan mencondongkan seseorang pada kebajikan (amr
ma’ruf) dan menolak kejahatan (nahy munkar).
Oleh karena itu dalam paradigma
humanis–religius materi kurikulum mengenai pelajaran keimanan menjadi sangat
penting untuk meningkatkan kualitas keberagamaan peserta didik. sebagaimana
ditegaskan oleh Nielson, bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi kualitas
keberagamaan seseorang, yaitu: (a) kualitas pemahamannya tentang Tuhan sebagai
nilai tertinggi dalam sistem agamanya, (b) kadar pengalaman keagamaan
sehari-hari, terutama bagaimana dia menghayati hubungan antara nilai-nilai
ideal agama yang diyakininya dengan kenyataan kehidupan yang melibatkannya, dan
(c) pandangan tentang dirinya, siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan
kemampuannya.[26]
Dengan materi kurikulum tentang keimanan (ilahiah) akan diterima
prinsip-prinsip, yakni siswa diajari bahwa keberadaan manusia harus dapat
dilihat melalui “jendela” dirinya sendiri, sehingga mampu menggenggam makna
kebenaran. Kebenaran yang terjadi dalam suatu peristiwa di luar dirinya atau
sebuah fenomena, dapat dilihat melalui jendela batin subyektifnya. Karena Tuhan
mengajar manusia bahwa ia dapat melihat kebenaran melalui “jendela” personal
dirinya.[27]
c.
Metode.
Pada aspek metode pembelajaran, perlu
melibatkan peranan penting proses interaksi simbolik antara guru dan murid.
Berkenaan dengan itu, dalam perspektif humanis–religius, guru tidak
diperkenankan memiliki pandangan yang parsial terhadap potensi dan kemampuan
yang dimiliki oleh siswa. Karena alasan-alasan kultural, biasanya guru di
negara berkembang seperti Indonesia masih terjerat oleh pandangan yang parsial.
Akibatnya siswa tidak mampu mengembangkan diri dan tidak mengalami interaksi
yang positif dengan guru.[28]
Terkait dengan hal tersebut, Van Cleve Morris
berpendapat bahwa metode pembelajaran yang dilakukan harus mampu menggali
“intensitas kesadaran” dalam diri anak didik. Dengan kesadaran seperti itu
berarti sebagai peserta didik harus mengakui bahwa sebagai individu, mereka
selalu memilih secara bebas tanpa paksaan dan kreatif. Dengan demikian menurut
Morris sebuah pendidikan “manusia sejati” harus membangkitkan suatu “kesadaran
eksistensial” dalam diri anak didik bahwa dia adalah “suatu subjektivitas
tunggal yang ada dalam dunia ini.[29]
Karenanya tujuan utama dan paling mendasar dalam metode pembelajaran adalah mengantarkan
murid mampu menemukan dirinya sendiri (dimensi batin), memahami kapasitasnya
dan mampu mendisiplinkan diri sendiri. Dari proses ini siswa akan menggariskan
“definisi-dirinya” masing-masing, dan dari sini dia akan memiliki tanggung
jawab moral atas pilihan-pilihan sadarnya dalam bertindak.
Dalam metode pendidikan tradisional, komunikasi
atau dialog yang bersifat interaksi dua arah dari guru pada
siswa, dan siswa pada guru, telah
diubah menjadi bentuk
perintah atau penyampaian informasi yang satu arah. Dalam
hal ini, hak-hak siswa sebagai individu yang memiliki kebebasan atau otoritas
atas dirinya telah dirampas oleh guru. Pengetahuan dan nilai yang ditangkap
siswa menjadi tidak orisinal atau tidak otentik, tetapi sekadar pengetahuan
yang tidak memiliki makna bagi individu dan kehidupannya.
Hanya dengan metode dialog maka pengetahuan dan
nilai-nilai yang dijadikan materi (isi) dialog tersebut dapat
membantu mengubah pengetahuan
subjektif menjadi pengetahuan
objektif. Dalam metode dialog
terjadi proses komunikasi yang setara antara individu satu dengan individu
lain, tidak ada unsur pemaksaan sehingga
memberi kebebasan bagi
setiap individu untuk mengambil atau
tidak mengambil pengetahuan dan nilai-nilai. Hal ini juga sesuai dengan
prinsip belajar yang disampaikan Rogers, yaitu situasi belajar yang paling
efektif meningkatkan belajar yang bermakna adalah apabila (1) situasi yang
mengancam diri siswa dikurangi seminimal mungkin, (2) perbedaan persepsi
terhadap objek pemahaman diizinkan atau difasilitasi.
Paulo Freire[30] menjelaskan
dialog adalah sebagai cara yang menusiawi untuk memaknai dunia, dalam arti juga
untuk memahami dan memaknai pengetahuan dan nilai-nilai. Dia mengatakan “dialog
adalah pertemuan antarorang (manusia), diperantarai oleh dunia, agar memahami
(memaknai) dunia”. Apabila ini diterapkan pada situasi belajar maka dialog
adalah perjumpaan antara guru dan siswa, diperantarai oleh materi (isi)
pelajaran, agar dapat memahami (memaknai) materi pelajaran. Dialog tidak akan
terjadi di antara mereka, di mana yang satu merampas hak orang lain (penindas)
dan yang lain dirampas haknya (tertindas). Atau dengan bahasa lain bahwa dialog
tidak akan terjadi antara guru yang telah merampas hak kebebasan siswa dengan
siswa yang telah dirampas hak kebebasannya oleh guru.
Terakhir, Friere mengatakan dialog tidak
mungkin terjadi apabila tidak melibatkan berpikir kritis. Manusia dan dunianya
sebagai unsur yang tidak terpisahkan, sebagaimana guru dan murid dengan materi
pelajaran sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Pemahaman atau pemaknaan
terhadap dunia atau materi pelajaran dengan tujuan untuk melakukan perubahan
kehidupan tidak dapat dilakukan tanpa berpikir kritis. Dalam proses pendidikan
atau belajar dengan tujuan untuk perubahan kehidupan maka guru dan siswa harus
melakukan pemahaman atau pemaknaan dengan menggunakan pemikiran kritis.
Dalam pengembangan metode pengajaran humanisme
religius ditawarkan tiga tahapan pengajaran yang dapat membantu guru lebih
dapat memahami, mendekati dan mengembangkan murid sebagai individu yang
mengemban misi khalifah serta rahmat li al ‘alamin sekaligus hamba Allah
yang didesain ahsan takwiim (sebaik-baik ciptaan). Ketiga tahap tersebut dijelaskan Abdurrahman
Mas’ud, yaitu liberating yang berarti guru membebaskan murid dari
belenggu yang berhubungan dengan kultur, irrasionalitas tradisi dan ideologi,
juga historical burden. Tahapan ini dilanjutkan dengan proses educating,
yang berarti penanaman pesan-pesan nilai agama ke dalam benak murid aktif. Pada
tahap ini guru lebih sebagai fasilitator, motivator, sekaligus role model
(teladan). Proses terakhir adalah civilizing, di mana guru memposisikan
murid pada fitrahnya sebagai khalitullah fil ardl, sementara guru pun
membuka diri sebagai pemandu dan dinamisator bagi murid[31].
Keberhasilan ketiga proses ini memang harus didukung oleh semua aspek
pendidikan yang ada, tidak hanya oleh guru sebagai single fighter.
Salah satu yang bisa ditawarkan dalam metode
pembelajaran yang humanis-religius, adalah metode konstruktivis humanis
religius (KHR), di mana metode pengajaran ini cocok untuk karakter lembaga
pendidikan Islam. Alasannya, metode pengajaran ini mampu menjawab
persoalan-persoalan tentang format metode pengajaran yang efektif, yang selain mampu untuk mengkonstruk
pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada subyek didik sekaligus juga dapat
menanamkan dan membangun religiusitas subyek didik.
Model pengajaran KHR merupakan integrasi dari dua model pengajaran
yang telah ada sebelumnya, yaitu model pengajaran konstruktivis yang umum
digunakan dan dikenal efektitasnya dalam pengajaran untuk subyek didik, dan
metode pengajaran humanis religius, yang berangkat dari pendekatan humanisme
religius pada pendidikan Islam.
d.
Evaluasi.
Dalam proses
evaluasinya, pendidikan humanis-religius tidak saja berdiri sendiri dalam
sebuah mata pelajaran, akan tetapi penanaman nilai-nilai humanis-religius dapat
menjadi hidden curriculum dalam mata pelajaran tertentu yang basisnya
adalah humanities. Selain itu proses penanaman nilai-nilai
humanis-religius dan sekaligus proses evaluasinya, juga tidak bisa hanya
dimonopoli oleh pihak sekolah, akan tetapi melibatkan peran yang sifatnya
sinergis antara orang tua di rumah, dan guru di sekolah. Dalam hal ini guru
juga harus menjalin relasi yang baik dengan orang tua peserta didik. Hal ini
penting agar guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memantau
kekonsistenan perkembangan sikap humanis-religius peserta didik baik di sekolah
maupun di rumah. Bisa terjadi suatu situasi di mana seorang peserta didik mampu
berhumanis-religius baik di sekolah tetapi ketika siswa berada di rumah hal
sebaliknyalah yang terjadi. Seorang siswa bisa menjadi anak yang sangat patuh
terhadap guru di sekolah, tetapi menjadi anak yang sangat memberontak terhadap
orang tua di rumah.
Untuk mencegah
hal tersebut, guru dan orang tua harus saling bertukar informasi tentang
perkembangan humanis-religius anak didik. Kuesioner adalah cara sederhana yang
dapat digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi dari orang tua tentang
perkembangan sikap humanis-religius anak didiknya di rumah. Kuesioner tersebut
berisikan pertanyaan-pertanyaan sederhana berkaitan dengan nilai-nilai humanis-religius
yang dipelajari anak di sekolah dan orang tua bertugas untuk memberikan jawaban
dalam kaitan pelaksanaan nilai-nilai humanis-religius tersebut oleh anak di
rumah. Informasi dari orang tua yang didapat oleh guru dapat dijadikan salah
satu pertimbangan untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan nilai-nilai humanis-religius
peserta didik yang bersangkutan. Di samping orang tua, guru juga dapat meminta
setiap peserta didiknya untuk menilai perkembangan nilai-nilai humanis-religius
temannya satu sama lain. Dengan menggabungkan informasi dari orang tua, siswa,
maupun dari guru sendiri maka penilaian perkembangan nilai-nilai
humanis-religius yang diberikan oleh guru kepada setiap peserta didiknya akan
lebih obyektif.
3. Implikasi dalam Aspek Pendidik dan Subyek
Didik.
Dalam paradigma humanis–religius, seorang
pendidik hendaknya bertindak sebagai role model, suri teladan bagi
kehidupan sosial akademis subyek didik, baik di dalam kelas maupun di luar
kelas. Pendidik juga hendaknya sebagai sosok yang lebih religius daripada
subyek didik, dan harus menunjukkan sikap kasih sayang kepada subyek didik;
antusias dan ikhlas mendengarkan dan menjawab pertanyaan dan keluhan siswa
tanpa dibarengi oleh sikap-sikap emosional. Selain itu pendidik hendaknya
memperlakukan subyek didik sebagai subjek dan mitra belajar, dan bukan objek,
karenanya pendidik bertindak sebagai fasilitator yang lebih mengutamakan
bimbingan untuk menumbuhkan kreativitas subyek didik.[32]
Dengan paradigma humanis–religius subyek didik
diposisikan secara istimewa sebagai subjek pembelajaran, karena itu tidak ada
pandangan parsial yang memandang subyek didik hanya pada sisi intelektual
semata, akan tetapi juga melakukan evaluasi terhadap sisi-sisi emosional, atau
bahkan aspek spiritualitas peserta didik. Dengan demikian, salah satu fokus
yang ingin dicapai dalam metode pembelajarannya adalah tumbuhnya integrasi
kepribadian subyek didik. Menurut Munir, integrasi kepribadian ialah pribadi
setiap individu yang terintegrasi pada setiap pertumbuhan dan perkembangan
dirinya. Individu subyek didik ini benar-benar menyadari bahwa hidupnya adalah
sebuah “proses menjadi”, “proses berubah”, dan “proses berkembang”. Di dalam
proses ini seorang inidividu subyek didik terus berusaha secara sadar memilih
berbagai pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan, perubahan dan
pertumbuhannya dirinya tersebut.[33]
Kaitannya dengan aspek pendidik dan subyek
didik, dengan paradigma humanis–religius, atmosfer akademik yang menjadi nuansa
utama adalah suasana keterbukaan antara pendidik dan subyek didik. Karena itu
menurut John Holt, bahwa pendidik harus memiliki asumsi dasar bahwa murid
sebagai subyek didik yang “pintar, energik, penuh keingintahuan, bergairah
belajar, dan baik pada pelajaran” dan tidak harus ditipu daya, dibujuk, atau
dipaksa dalam belajar seperti yang sering terjadi dalam sekolah-sekolah
konvensional.[34]
Dengan adanya suasana kondusif antara pendidik dan subyek didik, akan tercipta
lingkungan pengajaran yang mendukung kemungkinan terbukanya pilihan-pilihan
yang luas bagi siswa untuk mengekspresikan diri. Selain itu siswa dapat belajar
dengan berlandaskan pada minat dan potensi dirinya tanpa dipaksa oleh sekolah
ataupun guru.
D. Catatan Penutup.
Dengan paradigma humanis–religius, semestinya
institusi pendidikan Islam didirikan dalam rangka mengakomodir semua elemen dan
anggota masyarakat Muslim, termasuk di dalamnya yang dalam kategori miskin
secara ekonomi. Karena ada tendensi dalam praktek pendidikan Islam di Indonesia
belakangan ini, yakni berdirinya sekolah-sekolah Islam swasta terpadu (terpaksa
pakai duit) dan tidak menyentuh masyarakat dari kalangan menengah ke bawah.
Karena itu dengan paradigma ini, pendidikan Islam harus memiliki keberpihakan
pada masyarakat Muslim yang dalam kategori miskin, agar pendidikan Islam tidak
hanya dinikmati oleh segelintir kelompok elit.
Selain itu pendidikan Islam punya tanggung
jawab besar untuk berperan serta dalam upaya memberantas perilaku dan budaya
korupsi yang sedang merambah negeri ini. Karena pendidikan Islam yang bangun di
atas asas dan nilai-nilai agama semestinya punya materi dan khazanah keilmuan
yang kaya untuk melaksanakan pendidikan humanis-religius yang telah menjadi
agenda pendidikan nasional. Dalam artian bahwa pendidikan humanis-religius
tidak semata-mata untuk kembali melakukan pengajaran nilai-nilai kebangsaan
seperti Pancasila dan kewarganegaraan (civic education). Akan
tetapi sesungguhnya aspek yang substansial dalam karakter seseorang, adalah
sejauh mana nilai-nilai keimanan (teologis) menjadi power control
terhadap segala perilaku dan tindakan.
Persoalan lain yang mendera pendidikan Islam
adalah derasnya arus budaya Barat yang dalam beberapa aspek tidak senafas
dengan nilai-nilai Islam dan budaya ketimuran. Hal ini turut memicu
meningkatnya degradasi moral dan akhlak Islami di kalangan peserta didik dewasa
ini. Oleh karena dengan karakternya yang religius sekaligus humanis, pendidikan
Islam juga harus mampu merancang sebuah strategi kebudayaan dalam rangka
memproteksi generasi muda Muslim dari anasir-anasir budaya asing yang dapat
melemahkan moralitas Islami, agar tidak terjadi proses lost generation,
seperti yang terjadi di dunia Barat pada masa ini.
Secara umum, realisasi praktek pendidikan masih
jauh dari pemikiran pendidikan humanis-religius. Pendidikan tradisional dalam
realisasinya di sekolah masih cenderung berorientasi pada buku dan guru,
dan penyampaian informasi
atau data tentang
kehidupan secara statis.
Murid diposisikan sekadar penerima pengetahuan dari nilai-nilai
secara pasif sehingga pengetahuan dan nilai-nilai tidak memiliki arti dinamis
bagi perubahan kehidupan murid atau masyarakat. Pengetahuan dan nilai-nilai
sekadar menjadi objek pasif yang seolah-olah dapat diberikan atau dipindahkan
pada orang lain, yang terlepas (terasing) dan maknanya yang dinamis bagi
perubahan kehidupan manusia.
Pendidikan dalam realitanya masih menderita
dehumanisasi karena pengetahuan nilai-nilai masih diartikan sebagai objek
pemilikan (having) bukan menjadi pengetahuan dan nilai yang membangun
perubahan diri (being). Ada keterpisahan antara pengetahuan dan
nilai-nilai dengan diri manusianya, dan
karena keterpisahan itu
manusia mengalami proses
dehumanisasi, dan manusia
mengalami penurunan martabatnya menjadi serendah binatang yang serakah.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan
dibangun manusia sebenarnya adalah sebuah konstruksi, kreasi (ciptaan), atau
penciptaan kembali yang berada dan melekat dalam diri manusia (seseorang) dan
digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya untuk mewujudkan tujuan
kehidupan yang mulia. Namun, dalam realita yang dilakukan di sekolah
tradisional pengetahuan dan nilai berubah menjadi sekadar kata-kata,
ucapan-ucapan kosong yang bersifat verbalistik.
Pengetahuan dan nilai-nilai kehilangan makna
tindakan, yaitu pengetahuan dan nilai-nilai yang diamalkan bagi perubahan
kehidupan. Pengetahuan dan nilai-nilai yang secara benar mengandung
keduanya, yaitu ide
kreasi dan tindakan
untuk melakukan perubahan
atau pengembangan diri. Manakala pengetahuan
dan nilai-nilai kehilangan muatan
keduanya (keduanya dilupakan) atau mengalami keterpisahan maka pengetahuan dan
nilai akan berubah menjadi atribut-atribut sosial, atau sekadar menjadi bentuk
ritual-ritual yang kurang menyentuh pada perubahan kualitas diri. Dalam hal ini
pengetahuan dan nilai bukan berfungsi untuk mendorong perubahan kehidupan,
tetapi cenderung untuk melestarikan kondisi statis atau tidak mengalami
perubahan.
Dari paparan di atas disimpulkan bahwa gagasan
paradigma pendidikan yang humanis dan religius dimunculkan dalam rangka menjadi
sebuah kerangka pikir bagi upaya pembaharuan dalam pendidikan Islam. Karena
problem dehumanisasi yang secara tersamar terjadi dalam dunia pendidikan, juga
terjadi dalam ranah pendidikan Islam. Seperti halnya memperlakukan peserta
didik sebagai objek pembelajaran dan mengabaikan potensi-potensi dasar yang
dimiliki oleh mereka. Sementara sistem pendidikan yang berjalan mengebiri
dimensi-dimensi kemanusiaan peserta didik. Pada saat yang sama dimensi
religiusitas tidak menjadi faktor penting dalam proses pembentukan karakter
peserta didik. Akibatnya semakin banyak siswa yang teralienasi dan kehilangan
jati diri dan menambah daftar keterlibatan siswa dalam persoalan kekerasan baik
secara internal maupun eksternal.
Paradigma humanis–religius hadir sebagai
antitesis pandangan humanisme universal yang cenderung sekuler dan mengabaikan
nilai-nilai agama. Selain itu pandangan ini hadir untuk meretas persoalan yang
terjadi di dalam internal pendidikan Islam seperti formalisasi doktrin-doktrin
agama, pengekangan potensi peserta didik, serta kurangnya kemandirian dan
tanggung jawab. Pandangan humanis–religius juga berimplikasi pada aspek-aspek
filosofis, yang dalam hal ini terkait dengan proyek reintegrasi keilmuan, pada
aspek kurikulum terkait dengan kompetensi, materi, metode, evaluasi, dan pada
aspek pendidik dan subyek didik.. Wallahu A’lamu Bishawwab.
Bibliografi.
Abdullah, Amin,
A. (2006), Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Assegaf,
Abdurrahman, (2011), Filsafat Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta.
Bayrakli, Bayraktar,
(2004), Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Suharsono, Inisiasi
Press, Jakarta
Boisard,
A., Marcel, (1980), L’ Humanisme De L’ Islam, diterjemahkan oleh H.M.
Rasjidi dengan Judul Humanisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Dananjaya,
Utomo, Sekolah Khusus Anak Cerdas?, Kompas, Senin, 26 September 2011.
Dewey,
John, (1916), Democracy and Education,
Macmillan Company, USA.
Freire,
Paulo, (1995), Pendidikan Kaum Tertindas . terj. Tim Redaksi LP3ES,
LP3ES, Jakarta.
__________,
(1972), Pedagogy of the Oppressed, Penguin Books Ltd, Auckland N.Z
Hidayat,
Komaruddin, “Postmodernisme dan Keangkuhan
Epistemologi Rasional”,
dalam Sutoyo, dkk,
(ed), (1994), Postmodernisme dan
Masa Depan Peradaban, Aditya
Media, Yogyakarta.
Holt,
John, (1972), Freedom and Beyond, E.P. Dutton and Co., New York
Kraemer,
L., Joel, (1986), Humanism in The
Renaissance of Islam, E. J. Brill., Leiden.
Makdisi, George,
(1990), The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, Edinburgh.
Mangunhardjana,
A., (1997), Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta
Mas’ud,
Abdurrahman, (2002) Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Gama
Media, Yogyakarta.
Masruri,
Siswanto, (2005), Humanitarianisme Soedjatmoko, Pilar Media, Yogyakarta.
Miller,
P., John, (2002), Humanizing The Class Room, disadur oleh Abdul Munir
Mulkhan dengan judul, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Kreasi
Wacana, Yogyakarta.
Morris,
Cleve, Van, (1966), Existensialism in Education, New York.
Mulkhan, Munir,
Abdul, (2002), Nalar Spiritual Pendidikan, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Nielson,
Anker, E., (1980), Religion and Personality Integration, Uppsala, USA.
Sugiharto,
Bambang, “Humanisme, Dulu, Kini, dan Esok”, Majalah Basis, no.09-10, th.46
(September-Oktober 1997).
Sutrisno,
Mudji, “Paradigma humanisme”, Driyarkara, th. xxi, no. 4, 1994/1995.
Zuchdi,
Darmiyanti, (2008), Humanisasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.
[1] John Dewey, Democracy and Education, (USA: Macmillan Company,
1916), hlm. 23.
[2] Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas . terj. Tim Redaksi
LP3ES, (Jakarta : LP3ES, 1995), hlm. 54.
[3] John P. Miller, Humanizing The Class Room, disadur oleh Abdul
Munir Mulkhan dengan judul, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 15.
[4] Komaruddin Hidayat, “Postmodernisme
dan Keangkuhan Epistemologi Rasional”, dalam
Sutoyo, dkk,
(ed), Postmodernisme dan
Masa Depan Peradaban,
(Yogyakarta: Aditya Media, 1994), hlm. 62.
[5] A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z,
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 93.
[6] Surat 17 (al-Israa’) ayat 70.
[7] Marcel A. Boisard, L’ Humanisme De L’ Islam, diterjemahkan oleh
H.M. Rasjidi dengan Judul Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), hlm. 116.
[8] Mudji Sutrisno, “Paradigma humanisme”, Driyarkara, th. xxi, no.
4, 1994/1995, hlm. 1-2.
[9] Joel L. Kraemer, Humanism in The Renaissance of Islam, (Leiden:
E. J. Brill, 1986), hlm. 10.
[10] George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the
Christian West, (Edinburgh, 1990), hlm. 232-233.
[11] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
(Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 133.
[12] Bambang Sugiharto, “Humanisme, Dulu, Kini, dan Esok”, Majalah Basis,
no.09-10, th.46 (September-Oktober 1997): 38.
[13] Siswanto Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko, (Yogyakarta:
Pilar Media, 2005), hlm. 186-187.
[14] Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan..., hlm. 144-146.
[15] Ibid, hlm. 150-151.
[16] Ibid, hlm. 154.
[17] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011), hlm. 164.
[18] Lihat Utomo Dananjaya, Sekolah Khusus Anak Cerdas?, Kompas,
Senin, 26 September 2011.
[19] Kuliah Pendahuluan Mata Kuliah Pendidikan Humanis – Religius, pada
Jumat, 23 September 2011 di PPS UIN Sunan Kaljaga.
[20] Kuliah Lanjutan Mata Kuliah Pendidikan Humanis – Religius, pada Jumat,
30 September 2011 di PPS UIN Sunan Kaljaga.
[21] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 95-96.
[22] Ibid, hlm. 97.
[23] Ibid, hlm. 402-403.
[24] Darmiyanti Zuchdi, Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), hlm. 170.
[25] Ibid, hlm. 166.
[26] E. Anker Nielson, Religion and Personality Integration,
(USA: Uppsala, 1980), hlm. 9-10.
[27] Bayraktar Bayrakli, Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj.
Suharsono, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 123.
[28] Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan..., hlm. 194-195.
[29] Van Cleve Morris, Existensialism in Education, (New York,
1966), hlm. 110.
[30] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (Auckland N.Z.: Penguin
Books Ltd, 1972), hal. 35.
[31] Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan..., hlm. 202.
[32] Ibid, hlm. 202-203.
[33] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002), hlm. 93.
[34] John Holt, Freedom and Beyond, (New York: E.P. Dutton and Co.,
1972), hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar