Senin, 04 Juli 2022

Paradigma Humanis–Religius: Signifikansi dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam

 

Abstract

Islamic education is facing a dilemma of modernity and humanity, because the world of Islamic education that builds on the philosophy and Islamic values​​, on certain sides of the world it is difficult to meet with general education which is basically built on the philosophy and values ​​of Western Worldview tend to adopt the concept of secular humanism. On the other hand the internal situation, Islamic education dilemma facing humanity, because of the educational process was run still adopt the old patterns that are not considered humane. Similarly, the phenomenon of violence still occur in school environments that are in the realm of Islamic education, both physical and psychological violence. Faced with this dilemma, then there is a continual thoughts about the need to build a humanist discourse-religious education, as a form of thought formulation seeking common ground between the values ​​of humanism which evolved from the Western Worldview and values ​​of religiosity that comes from the Islamic Worldview.

Keywords: Humanism, Humanist-religious, Pathology, Significance, Implication.

 

A.  Pendahuluan.       

Istilah pendidikan humanis religius mengandung peta konsep yaitu adanya dua aspek pendidikan yang ingin diintegrasikan yakni pendidikan humanis dan pendidikan religius. Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat membangun sistem pendidikan yang dapat mengintegrasikan dari keduanya atau mengurangi kelemahannya. Pendidikan humanis yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan individu dan sosial yang memiliki kemerdekaan, tetapi dengan tidak meninggalkan (sekuler) dari nilai-nilai keagamaan yang diikuti masyarakatnya, atau menolak nilai ketuhanan (ateisme).

Dalam sebuah negara, masalah pendidikan selalu menjadi isu yang sangat penting sehingga melahirkan berbagai macam pendapat dan perdebatan mengenai arah dan orientasi pendidikan, bagaimana pendidikan direncanakan dan dilaksanakan, dievaluasi, dan seterusnya. Pendeknya, pendidikan merupakan isu strategis yang turut menentukan kualitas sebuah bangsa. Pendidikan diharapkan dapat bernilai sebagai proses 'pembelajaran' sekaligus sebagai 'pemberdayaan' kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) peserta didiknya.

Dalam proses pendidikan ada upaya untuk mengembangkan potensi manusia, baik secara jasmani, rohani maupun akal. Pada hakikatnya, keseluruhan potensi manusia yang dikembangkan dalam pendidikan tersebut bertujuan agar manusia dapat melaksanakan kehidupannya dengan baik, bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya dan juga bagi negaranya. Pendidikan dipercaya menjadi alat dan proses yang paling efektif untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa kini dan masa yang akan datang.

John Dewey dalam Democratic and Education menyatakan tentang fungsi penting pendidikan : ”Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating, process. All of these words mean that it implies attention to the conditions of growth.”[1] Pendidikan juga merupakan pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam beragam fungsi dan kebutuhan. Dalam pembelajaran terkandung upaya pemenuhan fungsi-fungsi sosial, ekonomi, politik, selain beragam kebutuhan material dan spiritual manusia. Menurut Paulo Freire bahwa pendidikan harus dipahami sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk berkesadaran (corpo consciente), bukan untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (automaton)[2], pendidikan yang menjadikan manusia sebagai benda terkendali adalah suatu perbuatan yang bersifat kontraproduktif terhadap fitrah ontologis manusia. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi manusia secara optimal, yaitu berupa pengembangan seluruh komponen kemanusiaannya, yaitu upaya pengembangan akal, rasa dan fisik (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik).

Bagaimana dengan pendidikan di Negara kita, Indonesia? Pendidikan di Negara Indonesia diharapkan bersifat humanis religius sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional, di mana dalam pengembangan kehidupan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Masyarakat mestinya menghargai nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, dan daerah.

Kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk sangat rentan terhadap berbagai konflik sosial (seperti etnisitas, strata sosial, pengangguran, kejahatan, kebodohan) yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karenanya pemecahan masalah sosial tersebut harus menggunakan nilai keagamaan dan kemanusiaan sebagai dasar kearifan untuk mencari cara pemecahannya, di samping cara yang bersifat ilmiah pragmatis. Sehingga sudah semestinya pendidikan kita kembali ke cita-cita semula yang sesuai dengan konsep humanis religius, baik dalam teori maupun implementasinya di lapangan pendidikan (institusi).

Gagasan humanisasi pendidikan menyeruak dalam wacana pemikiran pendidikan, ketika sistem dunia pendidikan tidak lagi berupaya mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi hereditas dalam jiwa dan kesadaran setiap peserta didik. Hal ini terjadi karena sistem dunia pendidikan yang berkembang saat ini hanya memberi penekanan pada aspek kognitif. Sehingga lembaga persekolahan atau bahkan perguruan tinggi hanya semacam “pabrik” yang memproduksi sekelompok manusia yang terdidik secara intelektual, tetapi miskin moral dan tidak sehat secara spiritual. Proses pendidikan yang tidak menghantarkan peserta didik pada kesadaran yang utuh ini kemudian disebut oleh Paulo Freire sebagai Banking Concept Education. Sehingga salah seorang pakar pendidikan lain seperti Ivan Illich menganggap bahwa proyeksi pendidikan dan pengajaran tidak bisa dimonopoli oleh institusi persekolahan semata, karena kesadaran yang utuh dari peserta didik juga bisa didapatkan di luar lembaga persekolahan (deschooling society).

Persoalan yang muncul belakangan ini seperti kekerasan dan anarkisme di sekolah, baik yang tampak dalam budaya tawuran antar siswa maupun dengan masyarakat sekitar (kasus wartawan dan SMAN 6), maupun kekerasan guru terhadap murid, membuktikan bahwa lembaga persekolahan belum sepenuhnya mampu menumbuhkan kultur pendidikan yang humanis. Tidak hanya itu, kekerasan tidak hanya terjadi secara eksternal di luar diri peserta didik, akan tetapi kekerasan secara internal di dalam diri peserta didik dengan terciptanya instabilitas kejiwaan peserta didik yang terlihat dari perilaku menyimpang seperti kecenderungan pada narkoba, hubungan seks bebas, perkosaan, bunuh diri dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa pengajaran nilai-nilai etika, akhlak, dan karakter keimanan atau religiusitas belum berjalan secara maksimal.

Oleh karena itu kemudian digagas sebuah paradigma pendidikan yang humanis–religius untuk meretas persoalan yang terjadi di dunia pendidikan. Karena pada dasarnya, pendidikan yang tidak memiliki kultur humanis dan mengabaikan religiusitas sebagai wahana apresiasi potensi kemanusiaan yang ilahi (fitrah), akan membuat peserta didik mengalami proses keterasingan diri (alienasi). Sebagaimana penelitian Ivan Illich, Edgar Friedenberg, John Holt dan Jonathan Kazol, serta banyak lainnya menyatakan bahwa sekolah-sekolah yang lebih besar di tingkat lanjutan telah ikut mendorong rasa kesepian dan keterasingan siswa tersebut.[3] Terjadinya proses alienasi dikalangkan peserta didik inilah yang menjadi pemicu munculnya kekerasan baik secara eksternal (fisik), maupun kekerasan secara internal (psikis), dan menjadi persoalan tidak kunjung selesai di dunia pendidikan umum, begitu pula dalam pendidikan Islam.

 

B.  Patologi Humanisme Sekuler.

Epistemologi humanisme yang bersandarkan diri pada kemampuan   rasionalitas manusia dengan segala otoritasnya –utamanya di abad modern ini-  melahirkan problem akut kemanusiaan; seperti penindasan, keterbelakangan,  masalah lingkungan, politik apartheid, tirani, peperangan yang berkepanjangan, dalam  banyak hal lahir dari rahim ‘keangkuhan’ epistemologi rasional-humanis. Keangkuhan epistemologi rasional ini pada perkembangan selanjutnya memunculkan  ‘keangkuhan’ manusia  untuk  bebas  menawarkan dan menebarkan  prinsip-prinsip rasionalisme ke dalam seluruh realitas. Manusia sebagai subjek otonom atas rasionalitas itu justru mengalami alienasi, keterasingan dan keterbelengguan oleh paradigma yang dicoba dikembangkannya.

Pada dataran epistemologis, mega-proyek modernisme didirikan di atas pondasi rasionalisme Cartesian tersebut pada urutannya mengajak masyarakat modern  untuk melihat realitas dunia ini, tidak ubahnya bagaikan sebuah mesin jam raksasa  tanpa elemen spiritual yang terlihat menggerakkan. Epistemologi adalah cara  pandang untuk memahami dan menangkap realitas. Epistemologi rasionalisme Cartesian yang sangat memuja subjek ‘aku’ yaitu I am the thinking thing, telah  melahirkan semacam keangkuhan epistemologi bahwa realitas itu bisa ditaklukkan   melalui pendefinisian secara positif.

Tatkala rasionalitas-positivisme diproklamirkan sebagai satu-satunya cara pandang terhadap realitas, yang  muncul  kemudian  adalah  mistifikasi  terhadap  validitas  paham Cartesian, dan di luar itu tidak benar. Maka sejak itu terjadilah   imperialisme kultural epistemologis[4]. Kekejaman perang, perusakan lingkungan, dan sebagainya –barangkali- diawali oleh penerapan paradigma epistemologi rasional tersebut. Sisi   lain  modernitas (baca: sebagai salah satu keberhasilan ‘proyek’ humanisme) juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap pengalienasian nilai-nilai  kemanusiaan.

Di tengah budaya modernitas, agama (misalnya) terpojok antara ideologi-ideologi besar produk kemodernan    yang hanya menghasilkan kondisi-kondisi kemanusiaan yang berkooptasi oleh aspek-aspek material yang berdampak pada nilai-nilai negatif yang dihasilkan oleh sains dan teknologi  yang  bermuara  pada  destruksi, tanpa sanggup  memaknai  kebaruan keberhasilan  itu  secara  positif.  Dampak  yang  paling  nyata  lahirnya  hedonisme, materialisme, individualisme, bahkan sosialisme juga kapitalisme yang dibidani oleh   kesanggupan   manusia,   termasuk tafsiran manusia dalam   memaknai kemanusiaannya.

Menariknya, di tengah ‘hiruk pikuk’ filsafat Barat modern menancapkan pengaruhnya secara hegemonik melalui penerapan tradisi kefilsafatan humanisme ke  dalam setiap kultur maupun struktur masyarakat (lain), ternyata ia justru sedang  dilanda sejumlah problem epistemologik yang mendasar. Artinya, di tengah pengaruh  yang cukup kuat dari tipikal epistemologi rasional ke dalam ranah kognisi manusia, humanisme ternyata sedang dipertanyakan kemampuannya untuk memanusiakan manusia. Alih-alih memberikan penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan, humanisme justru menampilkan dirinya sebagai sebuah kebebasan (sains dan  pengetahuan serta logika) tanpa kendali yang mereduksi nilai-nilai  kemanusiaan pada tingkatan paling akut.

Manusia yang dicoba  diangkat dari keterasingannya            oleh Humanisme-Marxis, justru semakin terasing oleh produksi-produksi dan kerja yang membelenggu, sementara humanisme liberal yang mencoba membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh institusi birokrasi dan dominasi gereja misalnya, justru menampilkan  dirinya sebagai kekuatan tiranik baru yang bersembunyi di balik terminologi ‘liberalisasi’.

Prinsip-prinsip humanisme modern tersebut bermula dari periode Renaisans yang merupakan awal perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi  perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah-masalah manusia. Semangat yang  –sekali lagi- terlihat jelas pada pemikiran Descartes, yang melalui wawasan   ‘humanisme’-nya menjadikan manusia –dengan segala kemampuan rasionalnya-  sebagai ‘aku’  (subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia.

Model humanisme rasional Descartes ini pada perkembangan selanjutnya   justru semakin ‘memperparah’ kondisi kemanusiaan, utamanya dalam menjelaskan  hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia kemudian hanya dihargai sebagai pengedepanan nilai-nilai rasionalitas, padahal sisi ini hanya satu bagian dari bagian lain nilai kemanusiaan. Akhirnya, dominasi rasionalitas ini ‘mematikan’ aspek  spiritualitas kemanusiaan, bahkan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Meletakkan manusia hanya pada satu  aspek  tertentu  tersebut  adalah  prinsip  dari  humanisme modern. Ilmu yang dijadikan alat  untuk menemukan kebenaran,  justru mengarah pada pencarian kekuasaan semata. Perkembangan sains dan  teknologi sebagai bagian integral dari proyek humanisme modern, untuk menunjukkan keunggulan manusia, semakin hari kian menakutkan. Perlombaan  senjata,  kompetisi  yang tidak pernah berhenti, media komunikasi yang hegemonik, pada akhirnya   adalah cerminan dari ‘ruang’ kebebasan yang diberikan terhadap manusia; untuk bereksperimentasi tiada henti. Pada titik selanjutnya, terjadilah proses penghancuran  martabat kemanusian justru oleh manusia itu sendiri. 

Humanisme justru melahirkan anti humanisme; dan epistemologi rasional yang menjunjung kebebasan dan kemerdekaan berpikir manusia justru menjadi ‘penjara’ baru, bahkan menjadi kekuatan ideologis baru yang ‘mengerangkeng’ kebebasan   manusia. Akhirnya, justru gerak humanisme modern melahirkan sejumlah ketidakpastian eksistensial manusia; untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia, bahkan untuk menjadi manusia.

 

C.  Signifikansi Paradigma Humanis–Religius.

Humanis (Latin: humanus) berasal dari akar kata homo yang berarti manusia dan memiliki arti manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia[5]. Dalam konteks pendidikan Islam, nilai-nilai kemanusiaan (humanity) mendapatkan perhatian khusus dalam doktrin-doktrin keislaman. Bahwa dalam al-Qur’an secara tersurat telah dinyatakan pengakuan atas “ketinggian martabat manusia” yang berarti bahwa Tuhan itu memuliakan manusia di atas “banyak dari makhluk-makhlukNya yang lain”.[6] Menurut Marcel A. Boisard, dalam Islam menerima prinsip dari al-Qur’an tersebut tidak sekedar menerima konsepsi moral yang berlaku universal, akan tetapi sudah merupakan kewajiban dan tanggung jawab secara teologis bagi setiap Muslim untuk mengakui martabat kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, agama, seseorang.[7]

Secara evolusioner, humanisme merupakan tahapan dimulainya paradigma manusia sebagai pusat setelah alam pikiran Yunani kuno dan peradaban Barat beranjak dari tahapan evolusi kosmosentris. Pada abad tengah, begitu tahapan kosmosentris berakhir, manusia kemudian merubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan diri pada Yang Ilahi atau teosentris. Dalam tahap ini alam semesta dihayati sebagai buah karya Tuhan dan semua mendapatkan maknanya dalam Tuhan. Dalam perkembangannya muncullah kesadaran baru tentang hakikat manusia yang rasional dan bebas, yang melahirkan kiblat baru dalam kehidupan intelektual pada abad ke-14. Akhirnya, kiblat pemikiran tersebut mengarah pada kerangka antroposentris yang kritis di mana manusia (bukan Tuhan) menjadi titik pusat pemikirannya sendiri.[8]

Apabila ditinjau dari proses evolusi paradigma humanisme tersebut, sesungguhnya pada saat kiblat pemikiran Barat di abad tengah bersifat teosentris dengan pandangan teologis-metafisis yang cenderung menafikan nilai-nilai kemanusiaan, di bawah hegemoni feodalistik lembaga kepausan dan Gereja ketika itu. Umat Islam justru sedang berada pada masa keemasan (Renaissance of Islam) dan sedang mempraktekkan kultur kehidupan keagamaan yang humanis, begitu pula dalam aspek pendidikan. Joel L. Kraemer dalam Humanism in The Renaissance of Islam, membuktikan bahwa pada masa keemasan Islam aspek humanisme telah mewarnai kehidupan masyarakat ketika itu, yang ditandai oleh (1) pengadopsian etika filosofis klasik dalam pelaksanaan pendidikan dan pembentukan karakter; (2) adanya konsepsi mengenai kesetaraan (equality) dan kesatuan umat manusia; dan (3) adanya perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan, atau kecintaan pada umat manusia secara keseluruhan. Selain itu term insaniyya (humanity) sudah sangat populer di kalangan filosof Muslim pada saat itu.[9] Bahkan oleh George Makdisi kemudian memetakan kategori kelompok humanis dalam sejarah Islam dengan sebutan humanis profesional dan amatir. Kelompok pertama terdiri dari para duta besar, konselor, penegak hukum, pembicara, sastrawan, pengadilan, perdana menteri, sejarawan dan tutor. Sedangkan kelompok kedua adalah para peramal, astrolog, astronom, ahli kaligrafi, pedagang, dokter, dan notaris.[10]

Oleh karena itu, pada hakikatnya karakter dasar pendidikan Islam dalam sejarahnya adalah bersifat humanis, akan tetapi dalam prakteknya pada saat ini pendidikan Islam terjebak dalam formalisme dan formalitas agama, di mana lebih menekankan pada proses transfer ilmu agama ketimbang proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral pada peserta didik. Selain itu kurikulum keagamaan hanya menjadi formalitas atau “hiasan kurikulum” belaka, sehingga mengakibatkan prinsip-prinsip humanis seperti kerukunan antar umat beragama, cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi kian terpinggirkan dalam ranah praktik pendidikan Islam.

Oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud, paradigma humanis–religius adalah semacam antitesis atas pandangan humanisme sekuler yang melakukan penolakan terhadap agama, karena agama dianggap tidak bisa diharapkan untuk melakukan advokasi terhadap masalah-masalah kemanusiaan, bahkan agama dituding sebagai “bahan bakar” bagi timbulnya persoalan-persoalan kemanusiaan.[11] Di sisi lain konsep tentang humanisme yang merupakan pilar utama peradaban modern yang diwakili oleh dunia Barat, menyisakan beberapa persoalan mendasar sehingga perlu dikaji ulang. Dalam kaitan ini Bambang Sugiharto menyatakan bahwa mega proyek modernisasi yang pada awalnya berambisi pada humanisasi, ternyata berakhir dengan dehumanisasi yang parah dan berskala global. Dewasa ini humanisasi sering menjadi sasaran kritik yang mengandung praduga-praduga yang sebetulnya bersifat humanistik.[12]

Oleh karena itu paradigma humanis–religius adalah sebuah pemikiran alternatif, di saat sebagian para pemikir dan intelektual menyangka bahwa paham humanisme bisa menggantikan posisi agama. Sebagaimana yang di klaim oleh Pramudya Ananta Toer bahwa agama yang dianutnya adalah “humanisme universal” (kemanusiaan sejagat). Walaupun demikian, paradigma humanis–religius memiliki nilai dasar yang sama dengan paham humanitarianisme, yang oleh Soedjatmoko ditegaskan sebagai tindak lanjut dari kesadaran masing-masing manusia tidak lebih dan tidak kurang adalah makhluk insani. Dalam hal ini berupaya menekankan kemanusiaan bersama dan tidak serta-merta menyangkal atau meremehkan pentingnya hal-hal yang transendental dalam agama. Menurutnya kemanusiaan bersama (humanitarianisme) merupakan pijakan awal untuk belajar hidup dengan keragaman persepsi mengenai kebenaran. Pada saat manusia memberi cap pada lawannya sebagai iblis, berarti manusia tersebut merebut kemanusiaannya yang menjadi patokan dalam hubungan dengan sesama manusia.[13]

Menurut Mas’ud, ada beberapa alasan mengapa paradigma humanis–religius ini penting untuk dijadikan sebagai sebuah paradigma baru pendidikan Islam, yakni: (1) Pola keberagamaan umat Islam yang condong pada hubungan vertikal dan formalisasi ritual keagamaan. Bahwa umat Islam saat ini merasa cukup dengan mencapai kesalehan ritual daripada kesalehan sosial, sehingga yang tercipta adalah budaya ritualistik yang sarat dengan kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Akibatnya umat Islam secara obyektif belum mampu untuk tampil sebagai masyarakat yang berhasil meretas persoalan-persoalan kemanusiaan (problem solvers).[14] (2) Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional dan belum berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Yakni kebijakan-kebijakan yang berlangsung saat ini masih berorientasi pada pembangunan fisik dan bukan pembangunan karakter (character building). (3) Kemandirian anak didik dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh dalam capaian dunia pendidikan. Menurut Mas’ud, alasan yang ketiga ini berakar pada pandangan dasar keagamaan umat Islam bahwa konsep abdullah lebih utama dibandingkan konsep khalifatullah, sehingga merasa sudah cukup apabila anaknya menjadi muslim yang baik, saleh, atau menjadi seorang santri[15] walaupun minim dalam penguasaan aspek-aspek life skill. Dalam kaitan persoalan tersebut, Mas’ud menyatakan paling tidak  ada enam hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan Islam dengan paradigma humanis – religius. Yaitu apresiasi yang tinggi terhadap akal sehat (common sense), individualisasi menuju kemandirian, menumbuhkan gairah keilmuan (thirst for knowledge), pendidikan pluralisme, kontekstualisasi yang lebih mementingkan fungsi daripada simbol, dan keseimbangan antara reward dan punishment.[16]

Sementara itu paradigma humanis–religius memiliki afinitas dengan adagium yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat mendidik dan dapat dididik (homo educabile). Dalam kaitan ini Prof. Abd. Rachman Assegaf menyatakan bahwa: pertama, pendidikan lebih bersifat memberikan atau menyediakan stimulus agar secara otomatis peserta didik memberikan respons kepadanya. Kedua, pendidik tidak memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Ketiga, demokratisasi merupakan model pendidikan yang sangat relevan untuk pengembangan potensi dasar manusia sekaligus membantu menanamkan sikap percaya diri dan tanggung jawab. Keempat, proses pendidikan harus selalu mengacu pada pendidikan keimanan yang sesuai dengan ajaran Islam.[17]

Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan Islam adalah subsistem dari pendidikan Nasional, di mana pendidikan Islam bersama pendidikan Nasional bersama-sama berupaya melakukan reformasi pendidikan. Dalam artian bahwa paradigma humanis–religius menjadi payung pemikiran terhadap upaya reformasi pendidikan yang meliputi hal-hal berikut: pertama, penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan dari paradigma pengajaran ke pembelajaran. Kedua, adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma sebagai sumber daya pembangunan menjadi paradigma manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya yang digambarkan sebagai manusia yang mempunyai karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Ketiga, adanya pandangan terhadap peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial kulturalnya, yang pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi anggota masyarakat mandiri yang berbudaya.[18]

 

 

D.  Implikasi – Implikasi Paradigma Humanis–Religius.

1.      Implikasi Filosofis.

            Menurut Prof. Abd. Rachman Assegaf,[19] salah satu dari implikasi dari paradigma humanis–religius adalah terjadinya proses reintegrasi keilmuan, mengingat humanisme adalah khazanah pemikiran filsafat etika yang bersumber dari Barat, dan pengadopsian falsafah humanisme yang basis etiknya tidak dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan ke dalam konteks pendidikan Islam, membuat paradigma ini ditambahi oleh istilah religius agar falsafah humanisme yang antroposentris menjadi theo-antroposentris.

             Prof. Abd. Rachman Assegaf menambahkan, bahwa secara filosofis pendidikan humanis-religius berimplikasi pada munculnya sudut pandang baru dalam menilai proyeksi dunia pendidikan. Pada dimensi ontologik, akan melahirkan sudut pandang kemanusiaan, termasuk di dalamnya proses interaksi yang humanis antara pendidik dan subyek didik. Pada dimensi epistemologik akan melahirkan sudut pandang pengetahuan, yang berimplikasi langsung pada materi atau isi pembelajaran. Pada dimensi aksiologis, akan melahirkan sudut pandang tentang nilai, yang kemudian dapat menyentuh persoalan pola evaluasi dan faktor-faktor etik dalam pendidikan Islam. Begitu pula dalam aspek metodologi, pendidikan humanis-religius pada akhirnya akan berpengaruh pada format metode, strategi, dan sistem pendidikan Islam itu sendiri[20].

Selain itu apabila paradigma humanis–religius ini teraplikasikan dengan baik akan melahirkan sebuah paradigma baru lainnya yaitu pendidikan Islam yang inklusif–multikultural. Paradigma inklusif–multikultural ini ketika dikontekstualisasi dalam ranah pendidikan Islam yang secara preskriptif telah memikul beban sejarah perkembangan keilmuan. Di mana corak keilmuan yang berkembang dalam pendidikan Islam bersifat integralistik-ensiklopedik di satu sisi dan spesifik-parsialistik di sisi yang lain,[21] telah memberikan andil besar dalam menciptakan dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu sekular dan ilmu-ilmu agama. Maka dari itu, menurut Amin Abdullah, perlu gerakan rapprochment, yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada, atau sebagai gerakan penyatuan yang diistilahkan dengan reintegrasi epistemologi keilmuan[22]. Dengan program reintegrasi ini diharapkan proses belajar mengajar secara akademik pada akhirnya akan menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang masih terjadi sampai saat ini. Karenanya dalam konteks pendidikan Islam, sikap inklusif-multikultural dapat ditumbuhkan bersamaan dengan upaya menegasikan sekat-sekat yang membatasi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.

Terkait dengan hal di atas, Amin Abdullah memandang perlu untuk menyusun ulang kurikulum, silabi serta mata kuliah dengan etos dan nafas integrasi epistemologi keilmuan dengan prinsip-prinsip dasar berikut. Antara lain hadharah al-ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak punya “karakter” yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh hadharah al-falsafah (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu hadharah al-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadharah al-ilm (sains dan teknologi), tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus ke arah gerakan radicalism-fundamentalism. Untuk itu, diperlukan hadharah al-falsafah (etik yang bersifat transformatif-liberatif). Di sisi lain hadharah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang terkandung dalam budaya teks dan lebih-lebih menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan oleh hadharah al-ilm (budaya ilmu-ilmu empiris-teknis)[23].

2.      Implikasi dalam Kurikulum.

a. Kompetensi.

Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya.

Lantas, bagaimana upaya kita dalam proses membangun kurikulum yang berbasis kemasyarakatan? Langkah awal yang bisa ditempuh adalah dengan merombak pola pikir dan kognisi para pendidik selama ini. Mereka adalah para pembuat kurikulum yang harus bertanggung jawab atas kualitas dan mutu pendidikan yang dikonsepkannya. Seperti yang tampak di permukaan, para pendidik dan pembuat kurikulum tidak mempunyai keseriusan dalam membuat konsep dan gagasan yang lebih serius dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas. Di sini cerdas tidak dimaknai sebagai bentuk penguatan kognisi saja, tapi juga penguatan pada aspek emosi, kepribadian, dan kesadaran diri si terdidik.

Mau tidak mau, si terdidik harus punya kesadaran kritis dalam meneropong atau menyoroti realitas yang dihadapinya. Obyek yang diamati akan sangat banyak, beragam, dan kompleks sekali. Sehingga, diperlukan perangkat analisis yang amat jitu dan tepat sasaran. Kemungkinan karakter pendidikan semacam ini perlu dibarengi dengan pengkondisian atas situasi proses belajar-mengajar yang elegan, egaliter, demokratis, dan manusiawi. Tanpa itu akan sangat mustahil bisa diharapkan.

Oleh karena itu para pendidik yang humanis-religius harus memiliki kompetensi dan pandangan tentang pendidikan sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan dan proses pendidikan berasal dari anak (siswa). Oleh karenanya, kurikulum dan tujuan pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan prakarsa anak.

2. Siswa adalah aktif bukan pasif. Anak memiliki keinginan belajar dan akan melakukan aktivitas belajar  apabila  mereka  tidak difrustasikan belajarnya oleh  orang dewasa atau penguasa yang memaksakan keinginannya.

3. Peran guru adalah sebagai penasihat, pembimbing, teman belajar bukan penguasa kelas. Tugas guru ialah membantu siswa belajar sehingga siswa memiliki kemandirian dalam belajar. Guru berperan sebagai pembimbing dan yang melakukan kegiatan mencari dan menemukan pengetahuan bersama siswa. Tidak boleh ada pengajaran yang bersifat otoriter, di mana guru sebagai penguasa dan murid menyesuaikan.

4. Sekolah sebagai bentuk kecil dari masyarakat luas. Pendidikan seharusnya tidak sekadar dibatasi sebagai kegiatan di dalam kelas dengan dibatasi empat dinding sehingga terpisah dari masyarakat luas. Karena pendidikan yang bermakna adalah apabila pendidikan itu dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat.

5. Aktivitas belajar harus berfokus pada pemecahan masalah, bukan sekadar mengajarkan mata pelajaran. Pemecahan masalah adalah bagian dari kegiatan kehidupan. Oleh karenanya, pendidikan harus membangun kemajuan siswa untuk memecahkan masalah. Kegiatan pendidikan bukan sebagai pemberian informasi atau data dari guru kepada siswa, yang terbatas sebagai aktivitas mengumpulkan dan mengingat kembali pengetahuan statis.

6. Iklim sekolah harus demokratis dan kooperatif karena kehidupan di masyarakat selalu hidup bersama  orang  lain,  maka  setiap  orang  harus  mampu  membangun  kooperasi  dengan  orang  lain. Namun, dalam realita pendidikan tradisional sering siswa dilarang untuk berbicara, berpindah tempat, atau kerja sama dengan siswa lain. Iklim demokratis dalam kelas dibutuhkan agar siswa dapat hidup secara demokratis di masyarakat.

Selain itu pendidik harus memiliki kompetensi secara psikologis untuk memandang siswa sebagai individu yang memiliki keunikan yang berbeda dengan siswa lain. Perbedaan keunikan individu siswa dalam kegiatan pendidikan dan belajar harus dapat  tampak  dan  dihargai  oleh  pendidik  atau  guru. Salah satu pandangan  eksistensialis yang bisa diterapkan oleh pendidik humanis-religius adalah adanya kemerdekaan atau kebebasan dalam diri individu untuk memilih apa yang dianggap benar bagi dirinya untuk dapat membangun dirinya menjadi (to become) seperti apa yang diinginkan. Kelahiran sebagai wujud keberadaan (eksistensi) individu di dunia adalah titik awal bagi individu untuk mengembangkan esensi dirinya. Esensi diri manusia dibangun melalui proses kehidupan di mana individu memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk menjadi apa adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru adalah sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan.

Nilai-nilai keagamaan berada dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan oleh individu masing-masing, tidak ada otoritas di luar diri individu yang dapat memberikan makna. Apabila individu melakukan perubahan makna akan pengetahuan, nilai-nilai, atau keagamaan maka hal itu dilakukan oleh  dirinya  dengan  rasa sukarela dan bukan karena paksaan dan otoritas di  luar  dirinya. Oleh karenanya,  komunikasi atau dialog menjadi instrumen penting bagi perubahan pemaknaan akan pengetahuan, nilai-nilai, maupun keagamaan.

b. Materi.

Dengan paradigma humanis–religius, materi kurikulum yang ada mengandung keterampilan-ketrampilan dan pelajaran-pelajaran yang menjelaskan realitas kehidupan fisik dengan elemen-elemen sosio–kultural yang mengikat di dalamnya, termasuk dimensi kemanusiaan atau humanitas untuk memeriksa dan memotret realitas yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena itu kurikulum yang diajarkan harus mengandung elemen-elemen kognitif dan normatif sekaligus, di mana subjek-subjek faktual, deskriptif, dan ilmiah dari dimensi kognitif adalah hal-hal yang diekstraksi dari tatanan fenomenologis kemanusiaan. Adapun dalam dimensi normatifnya, materi kurikulum mengandung subjek-subjek yang berorientasi pada nilai (value oriented). Studi-studi humanistis seperti sejarah, seni, sastra, filsafat dan agama dalam hal ini berguna dalam merangsang eksplorasi nilai-nilai etik dan aestetik.

Kaitannya dengan pendidikan Islam, saat ini masih terasa bahwa materi kurikulum pengajaran agama yang sifatnya masih bersifat taken from granted dengan pola indoktrinasi dan sistem hafalan dan membuat kreativitas peserta didik menjadi tumpul. Sehingga yang diperlukan adalah materi pelajaran yang mampu memantik kesadaran keagamaan (religuisitas) dan mampu memahami subjek-subjek normatif pelajaran agama dalam skala akal sehat (common sense), agar siswa tidak mudah untuk terpengaruh pada doktrin-doktrin keagamaan yang mengantarkan siswa pada pandangan radikal yang menjadi momok bagi pendidikan Islam pada saat ini.

Berpatokan pada hal tersebut di atas, dalam praktiknya materi atau kurikulum pendidikan Islam juga bernilai inklusif–multikultural yang membawa misi pesan perdamaian, tidak diberikan dalam bentuk indoktrinasi, tetapi dalam konteks inkuiri. Para murid dan guru berinkuiri bersama untuk memahami hakekat masalah yang dihadapi dan menemukan kemungkinan pemecahannya[24]. Pada saat yang sama perlu ditanamkan pada siswa tentang nilai-nilai dasar yang menjadi core values pendidikan Islam seperti integritas, kerendahan hati, kesetiaan, keberanian bertindak benar, keadilan, kesabaran, kerajinan, kesederhanaan, kesopanan, dan ketaatasasan (konsistensi)[25].

Selain itu kurikulum yang diajukan bersifat integratif dan tidak sekedar berupaya memenuhi standar kognitif, akan tetapi juga mengapresiasi dimensi afektif dan psikomotorik peserta didik. Dalam konteks pendidikan Islam, di mana materi kurikulum yang ada berupaya melatih peserta didik untuk “mentransendenkan diri” melalui peningkatan intensitas dan kualitas praktek ibadah peserta didik, karena pada sisi inilah dimensi afektif dan psikomotorik siswa bisa terapresiasi dengan baik. Dari sini siswa akan terlatih memiliki kualifikasi moralitas dan akhlak Islami yang saat ini mengalami degradasi. Sebagaimana jaminan dari al-Qur’an yang menyatakan bahwa kegiatan ibadah shalat akan mencondongkan seseorang pada kebajikan (amr ma’ruf) dan menolak kejahatan (nahy munkar). 

Oleh karena itu dalam paradigma humanis–religius materi kurikulum mengenai pelajaran keimanan menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas keberagamaan peserta didik. sebagaimana ditegaskan oleh Nielson, bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi kualitas keberagamaan seseorang, yaitu: (a) kualitas pemahamannya tentang Tuhan sebagai nilai tertinggi dalam sistem agamanya, (b) kadar pengalaman keagamaan sehari-hari, terutama bagaimana dia menghayati hubungan antara nilai-nilai ideal agama yang diyakininya dengan kenyataan kehidupan yang melibatkannya, dan (c) pandangan tentang dirinya, siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan kemampuannya.[26] Dengan materi kurikulum tentang keimanan (ilahiah) akan diterima prinsip-prinsip, yakni siswa diajari bahwa keberadaan manusia harus dapat dilihat melalui “jendela” dirinya sendiri, sehingga mampu menggenggam makna kebenaran. Kebenaran yang terjadi dalam suatu peristiwa di luar dirinya atau sebuah fenomena, dapat dilihat melalui jendela batin subyektifnya. Karena Tuhan mengajar manusia bahwa ia dapat melihat kebenaran melalui “jendela” personal dirinya.[27]  

c. Metode.

Pada aspek metode pembelajaran, perlu melibatkan peranan penting proses interaksi simbolik antara guru dan murid. Berkenaan dengan itu, dalam perspektif humanis–religius, guru tidak diperkenankan memiliki pandangan yang parsial terhadap potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Karena alasan-alasan kultural, biasanya guru di negara berkembang seperti Indonesia masih terjerat oleh pandangan yang parsial. Akibatnya siswa tidak mampu mengembangkan diri dan tidak mengalami interaksi yang positif dengan guru.[28]

Terkait dengan hal tersebut, Van Cleve Morris berpendapat bahwa metode pembelajaran yang dilakukan harus mampu menggali “intensitas kesadaran” dalam diri anak didik. Dengan kesadaran seperti itu berarti sebagai peserta didik harus mengakui bahwa sebagai individu, mereka selalu memilih secara bebas tanpa paksaan dan kreatif. Dengan demikian menurut Morris sebuah pendidikan “manusia sejati” harus membangkitkan suatu “kesadaran eksistensial” dalam diri anak didik bahwa dia adalah “suatu subjektivitas tunggal yang ada dalam dunia ini.[29] Karenanya tujuan utama dan paling mendasar dalam metode pembelajaran adalah mengantarkan murid mampu menemukan dirinya sendiri (dimensi batin), memahami kapasitasnya dan mampu mendisiplinkan diri sendiri. Dari proses ini siswa akan menggariskan “definisi-dirinya” masing-masing, dan dari sini dia akan memiliki tanggung jawab moral atas pilihan-pilihan sadarnya dalam bertindak.

Dalam metode pendidikan tradisional, komunikasi atau dialog yang bersifat interaksi dua arah dari guru  pada  siswa, dan siswa pada guru, telah  diubah  menjadi  bentuk  perintah  atau  penyampaian informasi yang satu arah. Dalam hal ini, hak-hak siswa sebagai individu yang memiliki kebebasan atau otoritas atas dirinya telah dirampas oleh guru. Pengetahuan dan nilai yang ditangkap siswa menjadi tidak orisinal atau tidak otentik, tetapi sekadar pengetahuan yang tidak memiliki makna bagi individu dan kehidupannya.

Hanya dengan metode dialog maka pengetahuan dan nilai-nilai yang dijadikan materi (isi) dialog tersebut  dapat  membantu  mengubah  pengetahuan  subjektif  menjadi  pengetahuan  objektif.  Dalam metode dialog terjadi proses komunikasi yang setara antara individu satu dengan individu lain, tidak ada unsur  pemaksaan  sehingga  memberi  kebebasan  bagi  setiap  individu  untuk mengambil  atau  tidak mengambil pengetahuan dan nilai-nilai. Hal ini juga sesuai dengan prinsip belajar yang disampaikan Rogers, yaitu situasi belajar yang paling efektif meningkatkan belajar yang bermakna adalah apabila (1) situasi yang mengancam diri siswa dikurangi seminimal mungkin, (2) perbedaan persepsi terhadap objek pemahaman diizinkan atau difasilitasi.

Paulo Freire[30] menjelaskan dialog adalah sebagai cara yang menusiawi untuk memaknai dunia, dalam arti juga untuk memahami dan memaknai pengetahuan dan nilai-nilai. Dia mengatakan “dialog adalah pertemuan antarorang (manusia), diperantarai oleh dunia, agar memahami (memaknai) dunia”. Apabila ini diterapkan pada situasi belajar maka dialog adalah perjumpaan antara guru dan siswa, diperantarai oleh materi (isi) pelajaran, agar dapat memahami (memaknai) materi pelajaran. Dialog tidak akan terjadi di antara mereka, di mana yang satu merampas hak orang lain (penindas) dan yang lain dirampas haknya (tertindas). Atau dengan bahasa lain bahwa dialog tidak akan terjadi antara guru yang telah merampas hak kebebasan siswa dengan siswa yang telah dirampas hak kebebasannya oleh guru.

Terakhir, Friere mengatakan dialog tidak mungkin terjadi apabila tidak melibatkan berpikir kritis. Manusia dan dunianya sebagai unsur yang tidak terpisahkan, sebagaimana guru dan murid dengan materi pelajaran sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Pemahaman atau pemaknaan terhadap dunia atau materi pelajaran dengan tujuan untuk melakukan perubahan kehidupan tidak dapat dilakukan tanpa berpikir kritis. Dalam proses pendidikan atau belajar dengan tujuan untuk perubahan kehidupan maka guru dan siswa harus melakukan pemahaman atau pemaknaan dengan menggunakan pemikiran kritis.

Dalam pengembangan metode pengajaran humanisme religius ditawarkan tiga tahapan pengajaran yang dapat membantu guru lebih dapat memahami, mendekati dan mengembangkan murid sebagai individu yang mengemban misi khalifah serta rahmat li al ‘alamin sekaligus hamba Allah yang didesain ahsan takwiim (sebaik-baik ciptaan).  Ketiga tahap tersebut dijelaskan Abdurrahman Mas’ud, yaitu liberating yang berarti guru membebaskan murid dari belenggu yang berhubungan dengan kultur, irrasionalitas tradisi dan ideologi, juga historical burden. Tahapan ini dilanjutkan dengan proses educating, yang berarti penanaman pesan-pesan nilai agama ke dalam benak murid aktif. Pada tahap ini guru lebih sebagai fasilitator, motivator, sekaligus role model (teladan). Proses terakhir adalah civilizing, di mana guru memposisikan murid pada fitrahnya sebagai khalitullah fil ardl, sementara guru pun membuka diri sebagai pemandu dan dinamisator bagi murid[31]. Keberhasilan ketiga proses ini memang harus didukung oleh semua aspek pendidikan yang ada, tidak hanya oleh guru sebagai single fighter.

Salah satu yang bisa ditawarkan dalam metode pembelajaran yang humanis-religius, adalah metode konstruktivis humanis religius (KHR), di mana metode pengajaran ini cocok untuk karakter lembaga pendidikan Islam. Alasannya, metode pengajaran ini mampu menjawab persoalan-persoalan tentang format metode pengajaran yang efektif,  yang selain mampu untuk mengkonstruk pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada subyek didik sekaligus juga dapat menanamkan dan membangun religiusitas subyek didik.

Model pengajaran KHR  merupakan integrasi dari dua model pengajaran yang telah ada sebelumnya, yaitu model pengajaran konstruktivis yang umum digunakan dan dikenal efektitasnya dalam pengajaran untuk subyek didik, dan metode pengajaran humanis religius, yang berangkat dari pendekatan humanisme religius pada pendidikan Islam.

d. Evaluasi.

Dalam proses evaluasinya, pendidikan humanis-religius tidak saja berdiri sendiri dalam sebuah mata pelajaran, akan tetapi penanaman nilai-nilai humanis-religius dapat menjadi hidden curriculum dalam mata pelajaran tertentu yang basisnya adalah humanities. Selain itu proses penanaman nilai-nilai humanis-religius dan sekaligus proses evaluasinya, juga tidak bisa hanya dimonopoli oleh pihak sekolah, akan tetapi melibatkan peran yang sifatnya sinergis antara orang tua di rumah, dan guru di sekolah. Dalam hal ini guru juga harus menjalin relasi yang baik dengan orang tua peserta didik. Hal ini penting agar guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memantau kekonsistenan perkembangan sikap humanis-religius peserta didik baik di sekolah maupun di rumah. Bisa terjadi suatu situasi di mana seorang peserta didik mampu berhumanis-religius baik di sekolah tetapi ketika siswa berada di rumah hal sebaliknyalah yang terjadi. Seorang siswa bisa menjadi anak yang sangat patuh terhadap guru di sekolah, tetapi menjadi anak yang sangat memberontak terhadap orang tua di rumah.

Untuk mencegah hal tersebut, guru dan orang tua harus saling bertukar informasi tentang perkembangan humanis-religius anak didik. Kuesioner adalah cara sederhana yang dapat digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi dari orang tua tentang perkembangan sikap humanis-religius anak didiknya di rumah. Kuesioner tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan sederhana berkaitan dengan nilai-nilai humanis-religius yang dipelajari anak di sekolah dan orang tua bertugas untuk memberikan jawaban dalam kaitan pelaksanaan nilai-nilai humanis-religius tersebut oleh anak di rumah. Informasi dari orang tua yang didapat oleh guru dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan nilai-nilai humanis-religius peserta didik yang bersangkutan. Di samping orang tua, guru juga dapat meminta setiap peserta didiknya untuk menilai perkembangan nilai-nilai humanis-religius temannya satu sama lain. Dengan menggabungkan informasi dari orang tua, siswa, maupun dari guru sendiri maka penilaian perkembangan nilai-nilai humanis-religius yang diberikan oleh guru kepada setiap peserta didiknya akan lebih obyektif.

 

 

3. Implikasi dalam Aspek Pendidik dan Subyek Didik.

Dalam paradigma humanis–religius, seorang pendidik hendaknya bertindak sebagai role model, suri teladan bagi kehidupan sosial akademis subyek didik, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pendidik juga hendaknya sebagai sosok yang lebih religius daripada subyek didik, dan harus menunjukkan sikap kasih sayang kepada subyek didik; antusias dan ikhlas mendengarkan dan menjawab pertanyaan dan keluhan siswa tanpa dibarengi oleh sikap-sikap emosional. Selain itu pendidik hendaknya memperlakukan subyek didik sebagai subjek dan mitra belajar, dan bukan objek, karenanya pendidik bertindak sebagai fasilitator yang lebih mengutamakan bimbingan untuk menumbuhkan kreativitas subyek didik.[32]

Dengan paradigma humanis–religius subyek didik diposisikan secara istimewa sebagai subjek pembelajaran, karena itu tidak ada pandangan parsial yang memandang subyek didik hanya pada sisi intelektual semata, akan tetapi juga melakukan evaluasi terhadap sisi-sisi emosional, atau bahkan aspek spiritualitas peserta didik. Dengan demikian, salah satu fokus yang ingin dicapai dalam metode pembelajarannya adalah tumbuhnya integrasi kepribadian subyek didik. Menurut Munir, integrasi kepribadian ialah pribadi setiap individu yang terintegrasi pada setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu subyek didik ini benar-benar menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah “proses menjadi”, “proses berubah”, dan “proses berkembang”. Di dalam proses ini seorang inidividu subyek didik terus berusaha secara sadar memilih berbagai pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan, perubahan dan pertumbuhannya dirinya tersebut.[33]

Kaitannya dengan aspek pendidik dan subyek didik, dengan paradigma humanis–religius, atmosfer akademik yang menjadi nuansa utama adalah suasana keterbukaan antara pendidik dan subyek didik. Karena itu menurut John Holt, bahwa pendidik harus memiliki asumsi dasar bahwa murid sebagai subyek didik yang “pintar, energik, penuh keingintahuan, bergairah belajar, dan baik pada pelajaran” dan tidak harus ditipu daya, dibujuk, atau dipaksa dalam belajar seperti yang sering terjadi dalam sekolah-sekolah konvensional.[34] Dengan adanya suasana kondusif antara pendidik dan subyek didik, akan tercipta lingkungan pengajaran yang mendukung kemungkinan terbukanya pilihan-pilihan yang luas bagi siswa untuk mengekspresikan diri. Selain itu siswa dapat belajar dengan berlandaskan pada minat dan potensi dirinya tanpa dipaksa oleh sekolah ataupun guru. 

 

D. Catatan Penutup.

Dengan paradigma humanis–religius, semestinya institusi pendidikan Islam didirikan dalam rangka mengakomodir semua elemen dan anggota masyarakat Muslim, termasuk di dalamnya yang dalam kategori miskin secara ekonomi. Karena ada tendensi dalam praktek pendidikan Islam di Indonesia belakangan ini, yakni berdirinya sekolah-sekolah Islam swasta terpadu (terpaksa pakai duit) dan tidak menyentuh masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Karena itu dengan paradigma ini, pendidikan Islam harus memiliki keberpihakan pada masyarakat Muslim yang dalam kategori miskin, agar pendidikan Islam tidak hanya dinikmati oleh segelintir kelompok elit.

Selain itu pendidikan Islam punya tanggung jawab besar untuk berperan serta dalam upaya memberantas perilaku dan budaya korupsi yang sedang merambah negeri ini. Karena pendidikan Islam yang bangun di atas asas dan nilai-nilai agama semestinya punya materi dan khazanah keilmuan yang kaya untuk melaksanakan pendidikan humanis-religius yang telah menjadi agenda pendidikan nasional. Dalam artian bahwa pendidikan humanis-religius tidak semata-mata untuk kembali melakukan pengajaran nilai-nilai kebangsaan seperti Pancasila dan kewarganegaraan (civic education). Akan tetapi sesungguhnya aspek yang substansial dalam karakter seseorang, adalah sejauh mana nilai-nilai keimanan (teologis) menjadi power control terhadap segala perilaku dan tindakan.

Persoalan lain yang mendera pendidikan Islam adalah derasnya arus budaya Barat yang dalam beberapa aspek tidak senafas dengan nilai-nilai Islam dan budaya ketimuran. Hal ini turut memicu meningkatnya degradasi moral dan akhlak Islami di kalangan peserta didik dewasa ini. Oleh karena dengan karakternya yang religius sekaligus humanis, pendidikan Islam juga harus mampu merancang sebuah strategi kebudayaan dalam rangka memproteksi generasi muda Muslim dari anasir-anasir budaya asing yang dapat melemahkan moralitas Islami, agar tidak terjadi proses lost generation, seperti yang terjadi di dunia Barat pada masa ini.

Secara umum, realisasi praktek pendidikan masih jauh dari pemikiran pendidikan humanis-religius. Pendidikan tradisional dalam realisasinya di sekolah masih cenderung berorientasi pada buku dan guru, dan  penyampaian  informasi  atau  data  tentang  kehidupan  secara  statis.  Murid  diposisikan  sekadar penerima pengetahuan dari nilai-nilai secara pasif sehingga pengetahuan dan nilai-nilai tidak memiliki arti dinamis bagi perubahan kehidupan murid atau masyarakat. Pengetahuan dan nilai-nilai sekadar menjadi objek pasif yang seolah-olah dapat diberikan atau dipindahkan pada orang lain, yang terlepas (terasing) dan maknanya yang dinamis bagi perubahan kehidupan manusia.

Pendidikan dalam realitanya masih menderita dehumanisasi karena pengetahuan nilai-nilai masih diartikan sebagai objek pemilikan (having) bukan menjadi pengetahuan dan nilai yang membangun perubahan diri (being). Ada keterpisahan antara pengetahuan dan nilai-nilai dengan diri manusianya, dan  karena  keterpisahan  itu  manusia  mengalami  proses  dehumanisasi,  dan  manusia  mengalami penurunan martabatnya menjadi serendah binatang yang serakah.

Pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dibangun manusia sebenarnya adalah sebuah konstruksi, kreasi (ciptaan), atau penciptaan kembali yang berada dan melekat dalam diri manusia (seseorang) dan digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya untuk mewujudkan tujuan kehidupan yang mulia. Namun, dalam realita yang dilakukan di sekolah tradisional pengetahuan dan nilai berubah menjadi sekadar kata-kata, ucapan-ucapan kosong yang bersifat verbalistik.

Pengetahuan dan nilai-nilai kehilangan makna tindakan, yaitu pengetahuan dan nilai-nilai yang diamalkan bagi perubahan kehidupan. Pengetahuan dan nilai-nilai yang secara benar mengandung keduanya,  yaitu  ide  kreasi  dan  tindakan  untuk  melakukan  perubahan  atau  pengembangan  diri. Manakala  pengetahuan  dan  nilai-nilai kehilangan muatan keduanya (keduanya dilupakan) atau mengalami keterpisahan maka pengetahuan dan nilai akan berubah menjadi atribut-atribut sosial, atau sekadar menjadi bentuk ritual-ritual yang kurang menyentuh pada perubahan kualitas diri. Dalam hal ini pengetahuan dan nilai bukan berfungsi untuk mendorong perubahan kehidupan, tetapi cenderung untuk melestarikan kondisi statis atau tidak mengalami perubahan.

Dari paparan di atas disimpulkan bahwa gagasan paradigma pendidikan yang humanis dan religius dimunculkan dalam rangka menjadi sebuah kerangka pikir bagi upaya pembaharuan dalam pendidikan Islam. Karena problem dehumanisasi yang secara tersamar terjadi dalam dunia pendidikan, juga terjadi dalam ranah pendidikan Islam. Seperti halnya memperlakukan peserta didik sebagai objek pembelajaran dan mengabaikan potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh mereka. Sementara sistem pendidikan yang berjalan mengebiri dimensi-dimensi kemanusiaan peserta didik. Pada saat yang sama dimensi religiusitas tidak menjadi faktor penting dalam proses pembentukan karakter peserta didik. Akibatnya semakin banyak siswa yang teralienasi dan kehilangan jati diri dan menambah daftar keterlibatan siswa dalam persoalan kekerasan baik secara internal maupun eksternal.

Paradigma humanis–religius hadir sebagai antitesis pandangan humanisme universal yang cenderung sekuler dan mengabaikan nilai-nilai agama. Selain itu pandangan ini hadir untuk meretas persoalan yang terjadi di dalam internal pendidikan Islam seperti formalisasi doktrin-doktrin agama, pengekangan potensi peserta didik, serta kurangnya kemandirian dan tanggung jawab. Pandangan humanis–religius juga berimplikasi pada aspek-aspek filosofis, yang dalam hal ini terkait dengan proyek reintegrasi keilmuan, pada aspek kurikulum terkait dengan kompetensi, materi, metode, evaluasi, dan pada aspek pendidik dan subyek didik.. Wallahu A’lamu Bishawwab.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bibliografi.

Abdullah, Amin, A. (2006), Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Assegaf, Abdurrahman, (2011), Filsafat Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta.

Bayrakli, Bayraktar, (2004), Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Suharsono, Inisiasi Press, Jakarta

Boisard, A., Marcel, (1980), L’ Humanisme De L’ Islam, diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan Judul Humanisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Dananjaya, Utomo, Sekolah Khusus Anak Cerdas?, Kompas, Senin, 26 September 2011.

Dewey, John, (1916),  Democracy and Education, Macmillan Company, USA.

Freire, Paulo, (1995), Pendidikan Kaum Tertindas . terj. Tim Redaksi LP3ES, LP3ES, Jakarta.

__________, (1972), Pedagogy of the Oppressed, Penguin Books Ltd, Auckland N.Z

Hidayat, Komaruddin, “Postmodernisme  dan  Keangkuhan  Epistemologi Rasional”,  dalam  Sutoyo,  dkk,  (ed), (1994),  Postmodernisme  dan  Masa  Depan Peradaban, Aditya Media, Yogyakarta.

Holt, John, (1972), Freedom and Beyond, E.P. Dutton and Co., New York

Kraemer, L., Joel, (1986),  Humanism in The Renaissance of Islam, E. J. Brill., Leiden.

Makdisi, George, (1990), The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, Edinburgh.

Mangunhardjana, A., (1997), Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta

Mas’ud, Abdurrahman, (2002) Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Gama Media, Yogyakarta.

Masruri, Siswanto, (2005), Humanitarianisme Soedjatmoko, Pilar Media, Yogyakarta.

Miller, P., John, (2002), Humanizing The Class Room, disadur oleh Abdul Munir Mulkhan dengan judul, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Morris, Cleve, Van, (1966), Existensialism in Education, New York.

Mulkhan, Munir, Abdul, (2002), Nalar Spiritual Pendidikan, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Nielson, Anker, E., (1980), Religion and Personality Integration, Uppsala, USA.

Sugiharto, Bambang, “Humanisme, Dulu, Kini, dan Esok”, Majalah Basis, no.09-10, th.46 (September-Oktober 1997).

Sutrisno, Mudji, “Paradigma humanisme”, Driyarkara, th. xxi, no. 4, 1994/1995.

Zuchdi, Darmiyanti, (2008), Humanisasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.

               

 

 



[1] John Dewey, Democracy and Education, (USA: Macmillan Company, 1916), hlm. 23.

[2] Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas . terj. Tim Redaksi LP3ES, (Jakarta : LP3ES, 1995), hlm. 54.

[3] John P. Miller, Humanizing The Class Room, disadur oleh Abdul Munir Mulkhan dengan judul, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 15.

[4] Komaruddin Hidayat, “Postmodernisme  dan  Keangkuhan  Epistemologi Rasional”,  dalam 

Sutoyo,  dkk,  (ed),  Postmodernisme  dan  Masa  Depan Peradaban, (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), hlm. 62.

[5] A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 93.

[6] Surat 17 (al-Israa’) ayat 70.

[7] Marcel A. Boisard, L’ Humanisme De L’ Islam, diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan Judul Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 116.

[8] Mudji Sutrisno, “Paradigma humanisme”, Driyarkara, th. xxi, no. 4, 1994/1995, hlm. 1-2.

[9] Joel L. Kraemer, Humanism in The Renaissance of Islam, (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 10.

[10] George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, (Edinburgh, 1990), hlm. 232-233.

[11] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 133.

[12] Bambang Sugiharto, “Humanisme, Dulu, Kini, dan Esok”, Majalah Basis, no.09-10, th.46 (September-Oktober 1997): 38.

[13] Siswanto Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 186-187.

[14] Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan..., hlm. 144-146.

[15] Ibid, hlm. 150-151.

[16] Ibid, hlm. 154.

[17] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 164. 

[18] Lihat Utomo Dananjaya, Sekolah Khusus Anak Cerdas?, Kompas, Senin, 26 September 2011.

[19] Kuliah Pendahuluan Mata Kuliah Pendidikan Humanis – Religius, pada Jumat, 23 September 2011 di PPS UIN Sunan Kaljaga. 

[20] Kuliah Lanjutan Mata Kuliah Pendidikan Humanis – Religius, pada Jumat, 30 September 2011 di PPS UIN Sunan Kaljaga.

[21] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 95-96.

[22] Ibid, hlm. 97. 

[23] Ibid, hlm. 402-403.

[24] Darmiyanti Zuchdi, Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 170.

[25] Ibid, hlm. 166.

[26] E. Anker Nielson, Religion and Personality Integration, (USA: Uppsala, 1980), hlm. 9-10.   

[27] Bayraktar Bayrakli, Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Suharsono, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 123.

[28] Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan..., hlm. 194-195.

[29] Van Cleve Morris, Existensialism in Education, (New York, 1966), hlm. 110.

[30] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (Auckland N.Z.: Penguin Books Ltd, 1972), hal. 35.

[31] Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan..., hlm. 202.

[32] Ibid, hlm. 202-203.

[33] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 93.

[34] John Holt, Freedom and Beyond, (New York: E.P. Dutton and Co., 1972), hlm. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...