A. Pendahuluan.
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia,
Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan
ke-109 (1999).
Menurut survei Political
and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia
berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),
Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37
dari 57 negara yang disurvei di dunia. Selain itu menurut survei dari lembaga
yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Kualitas
pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP).
Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari
8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektivitas,
efisiensi dan standarisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan guru, prestasi
siswa, kesempatan pemerataan pendidikan dan rendahnya relevansi pendidikan
dengan kebutuhan serta mahalnya biaya pendidikan.
Menghadapi problematika
pendidikan, maka kemudian pemerintah merevisi undang-undang dan menerbitkan
peraturan-peraturan sebagai langkah-langkah strategis dalam rangka memperbaiki
dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai langkah awal, maka pemerintah
menghidupkan program sertifikasi sebagai wahana perbaikan kualitas para
pendidik, termasuk di dalamnya peningkatan kesejahteraan para pendidik, karena
dalam dasawarsa terakhir kesejahteraan pendidik selalu luput dari perhatian
pemerintah.
Di sisi lain,
kemudian bermunculan isu-isu strategis dalam dunia pendidikan, antara lain
kesadaran tentang pentingnya memajukan kapabilitas atau profesionalisme guru,
mengingat rendahnya kualitas profesional guru di Indonesia. Dari sini kemudian
pemerintah menggagas program Pendidikan Profesi Guru (PPG), sebagai salah satu
solusi perbaikan mutu SDM guru.
Dalam aspek
lain fenomena kemerosotan moral di kalangan peserta didik yang ditandai oleh
banyaknya fakta dan peristiwa tentang pergaulan bebas, narkoba, tawuran, sampai
persoalan bunuh diri yang menggelayuti persoalan pendidikan di Indonesia. Maka
kemudian digagas pengembangan pendidikan karakter dan pendidikan soft skill,
sebagai langkah awal perbaikan karakter, jiwa, perilaku para peserta didik yang
saat ini dianggap banyak melenceng dari norma-norma agama, sosial, dan budaya
ketimuran.
Demikian pula
halnya dengan upaya pemerataan pendidikan, khususnya pada kelompok peserta
didik yang berkebutuhan khusus, di mana telah terjadi ketimpangan layanan
pendidikan. Padahal kondisi keterbatasan fisik semestinya tidak menghalangi
peserta didik dari kelompok ini untuk menikmati layanan pendidikan yang setara
dengan peserta didik normal. Dari pemikiran ini kemudian muncul gagasan tentang
pentingnya pendidikan inklusi bagi peserta didik dari kelompok yang
berkebutuhan khusus.
Dalam aspek
metodologi pembelajaran, fenomena yang muncul adalah proses pembelajaran yang
monoton, bersifat satu arah, dan masih berpusat pada pendidik (teacher
centered). Akibatnya proses pembelajaran tidak lagi menyenangkan bagi
peserta didik, karena proses transformasi pengetahuan terjadi secara
mekanis-teknikalistik dan hanya mengejar target kurikulum, bukan pada pemahaman
peserta didik. Maka wajar kemudian, siswa tidak pernah mendapatkan atau memahami
apapun karena kesalahan dalam metode penyampaian dan pengajaran. Dari sini
kemudian, isu strategis selanjutnya adalah pentingnya memadukan proses
pendidikan dengan sisi metodologis yang menghibur (edutainment).
Isu strategis
lain yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah tentang pentingnya
pendidikan yang mengakomodir dimensi emosional dan spiritual yang sesungguhnya
telah menjadi dimensi intrinsik kepribadian manusia secara umum. Hal ini muncul
karena, pendidikan yang ada seolah-olah hanya berupaya merekonstruksi pemahaman
dan elemen-elemen kognitif semata, tetapi mengabaikan aspek-aspek emosional dan
spiritual-transedental peserta didik. Karena apabila yang dihasilkan dunia
persekolahan adalah sekelompok manusia yang pintar secara rasio tetapi tidak
memiliki kepekaan emosional dan kepekaan spiritual atau ruhani. Maka dampak
yang dimunculkan adalah menjamurnya fenomena kemerosotan moral dan pelabrakan
nilai dan norma-norma agama, sosial dan budaya oleh keluaran dunia pendidikan,
seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini. Oleh karena itu perlu basis
emosional-spiritual qoutient (ESQ) dalam dunia pendidikan.
B. Isu-Isu Strategis dalam Pendidikan
1.
Profesionalisme Guru dan Program PPG.
Dalam Pasal 39 Ayat (2) UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003 disebutkan bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan
profesional. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa guru merupakan suatu profesi,
yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar pendidikan. Walaupun pada
kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan. Keahlian
khusus tersebut dinamakan kompetensi profesional, yaitu seperangkat kemampuan
yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas
mengajarnya dengan berhasil. Mengenai kompetensi guru ini, Undang-Undang RI
Nomor 14 Tahun 2005 pada Pasal 1 ayat (10) menjelaskan bahwa kompetensi guru
merupakan karakteristik dasar yang ditunjukkan oleh guru dalam bentuk
pernyataan, sikap dan tindakan yang membentuk kepribadiannya dan mampu
membedakan dirinya dengan orang lain dengan performansi tinggi atau rendah
dalam melaksanakan tugasnya di bidang pekerjaan tertentu dalam lembaga
pendidikan.
Berdasarkan
makna profesional di atas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
profesional dengan kompetensi. Menurut M. Arifin bahwa kompetensi itu
bercirikan tiga kemampuan profesional yaitu kepribadian guru, penguasa ilmu dan
bahan pelajaran, dan keterampilan mengajar yang disebut the teaching triad.[1]
Dari sini dapat diambil benang merahnya bahwa profesi tanpa
kompetensi akan kehilangan makna, dan kompetensi tanpa profesi akan kehilangan
guna.
H. A. R. Tilaar
merumuskan ada sepuluh ciri dari suatu profesi, yaitu: (1) memiliki suatu keahlian
khusus; (2) merupakan suatu panggilan hidup; (3) Memiliki teori-teori yang baku
secara universal; (4) mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri
sendiri; (5) dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang
aplikatif; (6) memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya; (7) mempunyai
kode etik; (8) mempunyai klien yang jelas; (9) mempunyai organisasi profesi
yang kuat; (10) mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.[2] Namun
demikian, ciri-ciri tersebut masih sangat umum, karena belum dikaitkan dengan
bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih
spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik
di dalam maupun di luar kelas.
Menurut UU RI
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan sembilan kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: (1)
memiliki kepribadian ideal sebagai guru; (2) penguasaan landasan pendidikan;
(3) menguasai bahan pengajaran; (4) kemampuan menyusun program pengajaran; (5)
kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar; (6) kemampuan menyelenggarakan
program bimbingan; (7) kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah; (8)
kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan (9) kemampuan
menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.[3]
Dari uraian
tentang kompetensi yang harus dimiliki guru profesional sebagaimana di atas,
sebenarnya terangkum dalam empat kompetensi besar, yaitu: kompetensi
pedagogis, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Dalam upaya meningkatkan
profesionalisme dan mutu guru sebagaimana diamanatkan UUSPN Nomor 20 tahun
2003, UU Nomor 14 Tahun 2005 dan PP 74 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa guru
harus berpendidikan minimal S1/D-IV dan wajib memiliki sertifikat pendidik yang
diperoleh melalui pendidikan profesi guru. Maka pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8
tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru[4].
Berdasarkan Permen tersebut, program PPG
mulai dirintis oleh pemerintah tahun 2011 untuk menggantikan sistem sertifikasi
guru dengan penilaian portofolio yang akan berakhir tahun 2014. Hal ini dilakukan, karena dalam prakteknya, sistem
sertifikasi guru dengan penilaian portofolio telah dianggap gagal dalam
meningkatkan profesionalisme guru.
Menurut penjelasan
Pasal 15 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang SPN, pendidikan profesi adalah
pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik
untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Sedangkan Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang
diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV non
kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar memiliki berbagai
kompetensi secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat
memperoleh sertifikat pendidik sebagai bekal menjadi guru yang
profesional pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah[5].
Pada program PPG untuk lulusan S-1
kependidikan diberikan mata kuliah bidang studi dalam
bentuk subject specific pedagogy[6] (pendidikan bidang
studi) dan program pengalaman lapangan (PPL)
kependidikan. Sedangkan pada program PPG pasca
S1/D-IV Non kependidikan diberikan mata kuliah mengenai kompetensi akademik kependidikan (pedagogik), bidang studi dalam
bentuk subject specific pedagogy (pendidikan bidang studi), dan latihan mengajar atau
Program Pengalaman Lapangan (PPL).
Pasal 11 ayat (1) Permendiknas
No. 8 tahun 2009 tentang PPG menyebutkan bahwa sistem pembelajaran pada program
PPG mencakup perkuliahan, praktikum, dan praktek pengalaman lapangan yang
diselenggarakan dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen yang
ditugaskan khusus untuk kegiatan tersebut, dinilai secara objektif dan
transparan. Perkuliahan, praktikum, dan praktek pengalaman lapangan program PPG
dilaksanakan secara tatap muka dan berorientasi pada pencapaian kompetensi
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Perkuliahan PPG
diselesaikan dalam 2 (dua) semester dan sistem pembelajanya dilaksanakan dalam
dua bentuk, yaitu: (1) workshop pengemasan materi
bidang studi untuk pembelajaran yang mendidik (subject specific
pedagogy/SSP) untuk menyiapkan perangkat pembelajaran di sekolah (RPP Bahan
Ajar, Media Pembelajaran, Evaluasi Pembelajaran, dsb); (2) praktek Pengalaman
Lapangan (PPL) kependidikan yang berorientasi pada pencapaian kompetensi
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Proporsi beban belajar (SKS) untuk workshop SSP : PPL = 60 : 40.[7]
Prinsip-prinsip pembelajaran program PPG
adalah keaktifan peserta didik, higher order thinking (berfikir tingkat
tinggi), femanfaatan teknologi informasi, pembelajaran kontekstual, strategi
dan model pembelajaran bervariasi dan belajar dengan berbuat (learning by
doing).
2. Pendidikan
Karakter dan Pendidikan Soft Skill.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia[8]. Amanah
UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang
bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah
dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that
is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan
akhir pendidikan yang sebenarnya).
Wacana
pendidikan karakter telah menjadi isu penting dalam dunia pendidikan di
Indonesia saat ini. Hal ini dipicu oleh kesadaran yang bersifat kolektif
tentang merosotnya kualitas karakter dan kepribadian subyek didik yang terjadi
akhir-akhir ini. Seperti terlihat dengan tingginya eskalasi kekerasan di antara
pelajar baik pada jenjang pendidikan menengah maupun di level perguruan tinggi.
Belum lagi persoalan rendahnya moralitas subyek didik dengan menjamurnya
fenomena budaya narkoba dan seks bebas di kalangan pelajar, termasuk dengan
merosotnya nilai-nilai kemanusiaan dan adanya indikasi meningkatnya sifat
sadisme di kalangan subyek didik, terbukti oleh meningkatnya indeks tawuran
antar pelajar di tahun 2011. Selain itu isu pendidikan karakter juga menjadi salah
satu upaya pemerintah melalui Kemendikbud untuk mengikis budaya korupsi yang
berurat berakar dalam mind set masyarakat Indonesia.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak
akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan
berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis[9].
Karakter mulia
berarti individu mampu menghayati dan memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, intuitif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup
sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban,
pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu
berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau
gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat atau efisien,
menghargai waktu, pengabdian atau dedikatif, pengendalian diri, produktif,
ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu
juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu
juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik
adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional,
sosial, etika, dan perilaku).
Berdasarkan
grand design yang dikembangkan Kemendiknas tahun 2010, secara psikologis
dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi
dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah,
dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat
dikelompokkan dalam: oleh hati (spiritual and emotional development),
olah pikir (intelectual development), olah raga dan kinestetik (physical
and kinestetik development), dan olah rasa dan karsa (affective and
kreativity development).
Menurut
Doni Koesoema[10],
ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi diskursus
pendidikan karakter. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada
pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang
memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang ketiga
pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character
development)[11].
Pendidikan
karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu
yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti
kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dan lainnya, agar diketahui dan dipahami
oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta
pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada
pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan
nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang
relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu.
Fokus pertama
mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua
mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan
prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai.
Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam
membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.
Sejalan dengan
itu Menurut Ahmad Tafsir, karakter atau akhlak diajarkan melalui metode
internalisasi. Teknik pendidikannya ialah peneladanan, pembiasaan, penegakan
peraturan, dan pemotivasian[12]. Dalam
hal ini Furqon Hidayatullah menyatakan pendidikan karakter dapat dilakukan
secara intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Intrakurikuler terintegrasi ke
dalam mata pelajaran, sedangkan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam
pelajaran. Adapun pendekatan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui keteladanan,
penanaman kedisiplinan, pembiasaan, penciptaan suasana kondusif dan
integrasi-internalisasi[13].
Selain
pendidikan karakter, saat ini pendidikan soft skill juga menjadi isu
strategis dalam dunia pendidikan. Elemen soft skill menjadi sangat
penting untuk mengimbangi elemen hard skill yang saat ini telah menjadi
tujuan besar pendidikan. Konsep tentang soft
skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal
dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft
skill sendiri diartikan sebagai kemampuan-kemampuan tak terlihat yang
diperlukan untuk sukses atau dengan kata lain kemampuan diluar kemampuan teknis
dan kecerdasan intelektual (intellectual intelligence)
seperti kemampuan bekerjasama.
Konsep soft skills
merupakan istilah sosiologis yang berhubungan erat dengan kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) seseorang yang merupakan kumpulan karakter
kepribadian, kepekaan sosial, komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan,
dan optimisme, yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft skills
melengkapi hard skills (bagian dari IQ seseorang), di mana kedua hal
tersebut sangat dibutuhkan sebagai persyaratan dalam dunia kerja dan segala
aktivitas lainnya[14].
Secara garis besar, soft skills bisa digolongkan ke dalam dua kategori kemampuan yaitu intrapersonal skill dan interpersonal skill. Kecerdasan
Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan memahami
diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri, kemampuan
berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani. Tumbuh-kembang
soft skill tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, melalui pelatihan atau
pembelajaran, magang (on the job), serta iklim dan
suasana demokratis.
Kemampuan
intrapersonal mencakup aspek kesadaran diri (self awareness), yang
di dalamnya meliputi: kepercayaan diri, kemampuan untuk melakukan penilaian
dirinya, pembawaan, serta kemampuan mengendalikan emosi. Selain itu, kemampuan
intrapersonal juga mencakup aspek kemampuan diri (self skill), yang di
dalamnya meliputi: upaya peningkatan diri, kontrol diri, dapat dipercaya, dapat
mengelola waktu dan kekuatan, proaktif, dan konsisten.
Sedangkan kecerdasan
Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan untuk
mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan
temperamen orang lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh
orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjalin relasi dan komunikasi dengan
orang lain. Kemampuan interpersonal mencakup aspek
kesadaran sosial (social awareness), yang meliputi kemampuan kesadaran
politik, pengembangan aspek-aspek yang lain, berorientasi untuk melayani,
dan empati. Selain itu juga aspek kemampuan sosial (social skill), yang
meliputi kemampuan memimpin, mempunyai pengaruh, dapat berkomunikasi, mampu
mengelola konflik, kooperatif dengan siapa pun, dapat bekerja sama dengan tim,
dan bersinergi.[15]
Diharapkan dengan kemampuan tersebut seseorang mampu membangun hubungan yang
baik dengan orang lain, dengan cara yang menyenangkan, untuk mencapai hasil
hubungan yang menyenangkan.[16]
Di samping itu, soft skill
juga bisa diterjemahkan ke dalam kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu
untuk dapat mengembangan perasaan positif (positive feeling), selalu dan
bisa untuk berfikir positif (positive thinking), dan mempunyai kebiasaan
positif (positive habits) yang selalu diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain.
3. Pendidikan
Inklusi.
Pendidikan inklusi secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di
Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan
pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang
cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang
pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama
untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama
bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6
ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Pada sekolah
inklusi setiap anak dilayani sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua
diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi
dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik
dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Pendidikan
inklusi mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan
kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan
sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan
dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang
terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta
didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di
kelas lambat laun harus berubah.[17]
Istilah inklusi berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus
dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya
penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses
pembelajaran.[18]
Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan
menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta
didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian
pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah
dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif
dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan
tersebut.[19]
Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta
didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusi model
pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model
pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
Pendidikan inklusi pada dasarnya memiliki dua model. Pertama
yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan
peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam
kelas reguler. Kedua yaitu model inklusi parsial (partial
inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan
khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan
sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru
pendamping khusus.[20]
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie
Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusi yang mereka sebut
inklusi terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik
normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus.[21]
Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik
berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.
Model inklusi terbalik agaknya menjadi model yang kurang
lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus
sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik
normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan
khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal,
atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusi seperti apapun tampaknya tidak
menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusi.
Model pendidikan inklusi yang diselenggarakan
pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusi moderat.[22]
Pendidikan inklusi moderat yang dimaksud yaitu: Pendidikan inklusi yang
memadukan antara terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini dikenal dengan
model mainstreaming.
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang
memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa)
dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke
dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.[23]
Pendidikan
inklusi seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan
berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi
penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas
khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan
bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak
waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi).
Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di
sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau
tempat khusus (rumah sakit).
4. Konsep
Edutainment dalam Pendidikan.
Menurut hasil penelitiannya, Prof. Hamruni menjelaskan bahwa konsep
edutainment dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran, model
pembelajaran, konsep pembelajaran berbasis edutainment, pengembangan
pembelajaran dalam pendidikan Islam dan implikasi pembelajaran berbasis edutainment
dalam pendidikan Islam. Salah satunya dengan menumbuhkan sikap positif terhadap
belajar, membangun minat pembelajar, melibatkan emosi siswa dalam belajar dan
memberikan selingan permainan (games) dalam pembelajaran[24].
Dari segi bahasa edutainment
merupakan gabungan dari dua kata education dan entertainment yang
mengandung arti “pendidikan yang menyenangkan”. Sedangkan dari segi
terminologi, edutainment bisa didefinisikan sebagai proses pembelajaran
yang didesain dengan memadukan antara muatan pendidikan dan hiburan secara
harmonis, sehingga aktivitas pembelajaran berlangsung dengan menyenangkan[25].
Setyoadi Purwanto menjelaskan bahwa
ada empat prinsip yang menjadi karakteristik dari konsep edutainment
dalam pembelajaran antara lain: (a). Menjembatani proses belajar dan proses
mengajar; (b) Pembelajaran edutainment berlangsung dalam suasana
kondusif dan menyenangkan yang didasari atas perasaan gembira akan mempercepat
pembelajaran, sedangkan perasaan negatif seperti terancam, takut, sedih, merasa
tidak mampu akan memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya. Jika
seseorang menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu maka akan
menghasilkan lompatan prestasi belajar,
dan dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat yang mengakomodir gaya
dan keunikan belajar siswa, maka belajar dapat dioptimalkan.; (c). Menempatkan
anak sebagai pusat sekaligus subyek pendidikan, dan setiap pembelajaran selalu
diawali oleh menggali dan memahami kebutuhan anak; (d). Pembelajaran yang lebih
humanis[26].
Realitas objektif yang terjadi di
luar pendidikan telah menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang sangat cepat
semisal kemajuan teknologi, globalisasi dan perubahan peradaban. Perubahan
tersebut sudah barang tentu menuntut dunia pendidikan juga berubah. Menurut
Prof. Hamruni, pendidikan perlu menyusun dan melaksanakan proses pembelajaran
dengan mempertimbangkan arus perubahan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama
pengetahuan ditemukan dan dikembangkan oleh siswa sendiri tanpa menunggu
(bergantung) dari peran guru semata; kedua, siswa membangun pengetahuan
secara aktif; ketiga, pengajar perlu mengembangkan kompetensi dan
kemampuan siswa; dan keempat, pendidikan adalah interaksi pribadi di
antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa.
Model pembelajaran berbasis edutainment
dipandang sebagai sebuah pilihan model pembelajaran yang patut dikembangkan
untuk menggantikan atau menyempurnakan model-model pembelajaran yang
sebelumnya. Model pembelajaran edutainment menurut Prof. Hamruni,
berupaya agar pembelajaran yang terjadi berlangsung dalam suasana kondusif dan
menyenangkan. Menurutnya, ada tiga asumsi berkaitan dengan pemilihan model ini,
yaitu: pertama, perasaan positif (senang/gembira) dalam diri siswa akan
mempercepat proses pembelajaran, begitu pula sebaliknya; kedua, jika seseorang
(peserta didik) mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu, maka
ia akan membuat loncatan prestasi belajar yang sebelumnya tidak terduga; dan ketiga,
apabila setiap pembelajaran dapat dimotivasi dengan tepat dan diajar dengan
cara yang benar, cara yang menghargai gaya belajar dan modalitas mereka, maka
mereka semua akan dapat mencapai hasil belajar yang optimal[27].
Analisis Prof. Hamruni dalam bukunya
khususnya pada bab empat, menegaskan bahwa dalam pendidikan Islam terdapat
nilai-nilai untuk menanamkan kebahagiaan, dan kenyamanan dalam diri seseorang,
dan hal tersebut akan membuat bakat seseorang akan teraktualisasi secara
optimal[28]. Pendidikan
Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnah sarat akan nilai-nilai humanis
yang sekaligus menjadi barometer bahwa nuansa edutainment telah ada pada
pendidikan Islam yang tidak lain adalah pengejawantahan norma-norma dan
nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya. Prinsip-prinsip edutainment dalam
pendidikan Islam telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah serta
sahabat-sahabat yang selalu ittiba’ dengannya. Nuansa edutainment dalam
pendidikan Islam menurut Hamruni adalah sebagai berikut:
a.
Pendidikan Islam telah memberikan kemudahan
dan nuansa gembira
b.
Pendidikan Islam menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif
c.
Pendidikan Islam menarik minat
d.
Pendidikan Islam menyajikan materi yang
relevan
e.
Pendidikan Islam melibatkan emosi positif
dalam pembelajaran
f.
Pendidikan Islam melibatkan semua indera dan
pikiran
g.
Pendidikan Islam menyesuaikan dengan tingkat
kemampuan siswa
h.
Pendidikan Islam memberikan pengalaman sukses
i.
Pendidikan Islam merayakan hasil[29].
Dari sini
tampak jelas bahwa nuansa edutainment tampak pada materi pendidikan
Islam yang secara holistik sarat akan nilai-nilai humanis, perdamaian, dan
kebahagiaan. Kenyataan ini semestinya mendorong pada proses pembelajaran
pendidikan Islam yang notabene terdapat pembelajaran agama Islam yang harus
diimplementasikan ke dalam pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, sehingga
menutup kemungkinan timbulnya sikap bosan atau jenuh bagi peserta didik dalam
mempelajari ajaran-ajaran Islam.
5. Pendidikan
Berbasis ESQ (Emosional Spiritual Qoutient).
Daniel Goleman,
doktor psikologi dari Harvard dan pengarang buku sensasional, Emotional Intelligence, telah
menunjukkan satu jenis potensi diri di samping IQ (kecerdasan intelektual).
Temuan Goleman itu bernama EQ atau kecerdasan emosi. Menurut para peneliti
potensi diri, IQ baru dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu
memfungsikan EQ-nya. Sementara itu seorang psikolog, Danah Zohar bersama
seorang fisikawan; Ian Marshall mengenalkan satu lagi potensi diri yang disebut
dengan SQ (Spiritual Quotient). Menurut
Danah Zohar dan Ian Marshal, IQ dan EQ baru akan bekerja secara efektif apabila
seseorang mampu menjalankan SQ atau kecerdasan spiritualnya.
Kecerdasan
spiritual menurut Danah Zohar dan Ian Marshall adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.[30] Sedangkan
menurut Marsha Sinetar, yang dikutip oleh Agus Nggermanto, kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan
efektivitas, keberadaan atau hidup ke-Ilahian yang mempersatukan kita sebagai
bagiannya.[31]
Sementara itu Ary Ginanjar Agustian berpandangan bahwa, kecerdasan spiritual
adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan
kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju
manusia yang seutuhnya (hanif), dan
memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik),
serta berprinsip karena Allah.[32] Adapun Hidayat
Nataatmadja berpendapat bahwa, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
berlandaskan al-Qur’an sebagai sistem operasi inteligensi spiritual.[33]
Pada dekade belakangan dalam lapangan ilmu psikologi
khususnya pada aliran psikologi humanistik berkembang konsep mengenai Spiritual
Qoutient (SQ) sebagai antitesa dari konsep Intelectual Quotient (Q).
Kecerdasan spiritual dipandang sebagai salah satu kecerdasan yang paling tinggi
dibanding kecerdasan-kecerdasan yang lain. Menurut Khalil Khavari, kecerdasan
spiritual adalah kecakapan dalam dimensi non-material dan jiwa kemanusiaan
seseorang. Selain itu kecerdasan spiritual juga tidak harus berhubungan dengan
agama. Roberts A. Emmons menegaskan dalam bukunya The Psychology of Ultimate
Concerns, SQ adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun
dirinya secara utuh. Dalam kaitannya dengan ini, "SQ tidak bergantung pada
budaya dan tidak mengikuti nilai-nilai itu sendiri". Seorang anak terlahir
sebagai makhluk spiritual, semua bayi yang dilahirkan memiliki kecerdasan
spiritual yang tinggi. Namun apabila tidak dibina dan dikembangkan dengan baik
oleh orangtuanya, maka lambat laun kecerdasan ini bisa memudar. Emmons
menambahkan, bahwa seorang anak yang merasakan kehadiran Tuhan melampaui
hal-hal yang bersifat fisik dan material, akan mampu menggabungkan kesadaran
dalam lingkungannya dengan alam semesta yang lebih luas. Apa yang dilihat oleh
seorang anak tidak terbatas dengan apa yang ia saksikan melalui alat
inderawinya semata.[34] Selain itu tegas Emmons, dengan memiliki
kecerdasan spiritual yang mumpuni, seorang anak akan memiliki karakteristik (1)
kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (2) kemampuan untuk
mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (3) kemampuan untuk mensakralkan
pengalaman sehari-hari, (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual
untuk menyelesaikan masalah dan (5) kemampuan untuk berbuat baik. Demikian pula
halnya Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence: What We Can
Learn from the Early Awakening Child, juga menemukan potensi-potensi
pembawaan spiritual ('spiritual traits') pada anak-anak, seperti sifat
keberanian, optimisme, keimanan, perilaku konstruktif, empati, sikap memaafkan,
dan bahkan ketangkasan dalam menghadapi amarah dan bahaya. Semua itu, menurut
penelitian Sinetar, menjadi sifat-sifat spiritual anak-anak sejak usia dini.[35]
Dari paradigma Spiritual Qoutient (SQ) kemudian
berkembang konsep Spiritual Parenting (SP) yang digagas oleh banyak
pakar psikologi anak, menyikapi kondisi masyarakat yang hampa moral dan
nilai-nilai luhur ditambah ekses negatif dari media televisi, internet,
lingkungan, serta sistem pendidikan modern yang lebih menekankan pada materi
dan tercapainya prestasi, sehingga mengubur jiwa suci anak-anak masa kini.
Menurut Noeng
Muhadjir, salah satu nilai penting telaah aspek spiritual dalam proses
pendidikan adalah untuk mengolah aspek penghayatan transendental dalam
pendidikan yang selama ini diragukan dan bahkan ditolak oleh kalangan penganut
paham positivisme. Penolakan itu terjadi karena penghayatan tersebut sangat
mempribadi, penuh misteri, dan kadang tidak terpahami[36]. Selama
ini obyek kajian pendidikan terpenjara pada potensi kognitif, afektif dan
psikomotorik. Pandangan model Barat ini pada satu sisi mengabaikan apek
penghayatan transendental yang merupakan inti dari doktrin Islam yang penting,
yaitu konsep Ihsan. Noeng Muhadjir, menambahkan, bahwa meskipun aspek sufistik
tidak dapat direplikasi penghayatan substantifnya, namun dapat dikenal dan
dihayati prosesnya[37].
Sehingga menelaah proses sufistik-transendental dapat menjadi bagian dari upaya
pengkajian pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Proses
sufistik-transendental tersebut, dalam pengertian pragmatik merupakan bagian
dari wilayah “pengalaman”, di mana menurut Dewey, pengalaman tidak saja
menunjuk pada sesuatu yang sedang berlangsung di dalam kehidupan batin si
subyek, atau sesuatu yang ditanggap secara inderawi di dalam dunia luar,
ataupun sesuatu yang berada dibalik dunia inderawi yang hanya dapat dicapai
dengan akal budi dan intuisi[38]. Karena itu pengalaman bersifat menyeluruh
dan mencakup segala hal, termasuk proses sufistik-transendental.
Keterlibatan aspek sufistik-transendental dalam proses
pendidikan anak juga berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai ilahiah (keimanan)
sebagai pengalaman dasar (basic experience). Sebagaimana ditegaskan oleh
Dewey, bahwa pendidikan bukan semata-mata proses, melainkan tujuan dalam
dirinya sendiri yang bersifat reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi
pengalaman menuju suatu tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Suatu pengalaman
bersifat salah didik apabila pengalaman itu menghalangi atau mencacatkan
perkembangan selanjutnya[39]. Sebagai umat Islam, tentunya penanaman
nilai-nilai ilahiah sebagai pengalaman dasar merupakan sesuatu yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi, karena kurangnya aspek mendasar tersebut tidak hanya
menghalangi, akan juga tetapi juga akan mencacatkan proses perkembangan
kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu aspek sufistik-transendental yang
menjadi wahana pengalaman dasar seorang pribadi muslim menjadi bersifat
edukatif, karena dapat membantu perkembangan pengalaman berikutnya.
Metode spiritual dalam mendidik anak sangat terasa
urgensinya, karena seorang anak sejak pranatal hingga masa remaja melalui
tahapan-tahapan perkembangan baik fisik, psikis, maupun intelektual. Pada
tahapan-tahapan perkembangan tersebut diperlukan metode-metode tertentu agar
tidak terjadi anomali pada proses perkembangan sang anak. Kita dapat melihat
bahwa para orangtua masih kebingungan untuk menerapkan metode yang tepat untuk
mendidik anak-anaknya. Sebagian metode konvensional, terbukti tidak mampu
mengatasi permasalahan “salah didik” dan kenakalan remaja yang terus meningkat.
Metode konvensional yang ada juga hanya memberi penekanan pada perkembangan
intelektualitas dan mengabaikan aspek moral spiritual yang seharusnya
ditanamkan sejak dini. Dengan terlibatnya aspek spiritualitas dalam proses
mendidik anak, diharapkan dapat menjadi tawaran konseptual dan solusi
alternatif bagi pemecahan masalah tersebut.
C. Penutup.
Persoalan perbaikan mutu dan kualitas terus menjadi pekerjaan yang
tidak pernah usai selama proses pendidikan dan pengajaran terus berjalan.
Apalagi berbagai macam persoalan yang mendera perjalanan negara-bangsa
Indonesia, dari hari ke hari semakin kompleks, seolah-olah negara ini sulit
untuk melepaskan diri dari carut-marut yang terjadi di segala bidang. Buruknya
kualitas pendidikan dan pengajaran akan berkontribusi pada melemahnya sistem
budaya dan sistem sosial yang diikuti oleh ambruknya moralitas. Sehingga dalam
hal ini upaya perbaikan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia bergantung
pada hadirnya integritas moral dan intelektual para pemikir serta praktisi yang
berkecimpung di dunia pendidikan.
Oleh karena itu diperlukan
upaya-upaya strategis dalam rangka upaya perbaikan kualitas pendidikan di
Indonesia, dalam hal ini di antaranya adalah upaya pemerintah untuk
meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru dengan program PPG dan program
sertifikasi, sekaligus di dalamnya melakukan perbaikan kesejahteraan terhadap
guru. Selain itu digagas pula pendidikan karakter sebagai arus utama pendidikan
nasional dalam rangka mengembangkan karakter positif di kalangan subyek didik,
termasuk di dalamnya pengembangan soft skill subyek didik. Di sisi lain,
dalam rangka pemerataan layanan pendidikan, maka digagas pula pendidikan inklusi
untuk mengakomodir kelompok peserta didik yang dalam kategori difabel.
Sementara itu dalam konteks metodologis diperlukan adanya upaya pembaharuan
metode pembelajaran, yakni dengan pendekatan edutainment agar proses
pembelajaran lebih efektif dan efisien. Adapun dalam konteks pemikiran
pendidikan, digagas sebuah pemikiran tentang pentingnya menjadikan aspek EQ dan
SQ (ESQ) sebagai basis dalam pendidikan, sebagai jawaban atas kegersangan
emosional dan spiritual yang ditimbulkan oleh pendidikan sekuler yang lebih
mengedepankan dimensi intelektualitas semata. Wallahu A’lam Bishawwab.
DAFTAR RUJUKAN.
Agustian,
Ary, Ginanjar, (2004), Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam, Arga, Jakarta.
Arifin,
M, (1991), Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) , Bumi Aksara.
Jakarta
Dewey,
John, (2002), Pengalaman dan Pendidikan, terj. John de Santo, Kepel
Press, Yogyakarta.
Falah,
Maslahul, (2005), Tinjauan EQ dan SQ untuk Memberi Nama Bayi, Media
Insani, Yogyakarta.
fkip.ums.ac.id/…/50-program-pendidikan-profesi,
2011, diakses tanggal 7 Januari 2012.
guru-online.info/.../pendidikan-profesi-guru-ppg,
10 Oktober 2011, diakses tanggal 8 Januari 2012.
Hamruni,
Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam, (2008), Bidang Akademik UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta.
Hardin, Brent dan Hardin, Maria, (2004), “Into the Mainstream: Practical Strategies for
Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational
Psychology, McGraw-Hill/Dushkin, New York.
Hidayatullah,
Furqon, (2010) Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, Tuma Pustaka
dan UNS, Surakarta.
Jung,
Men, (2010), Go To The Next Level. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Koesoema,
Doni, Kucing Hitam Pendidikan Karakter, Kompas, 19 Juli, 2010.
Lindgren, Clay, Henry, (1967), Educational
Psychology in the Classroom, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.
Mangoenprasodjo,
A., Setiono, (2004), Pengasuhan Anak di Era Internet, ThinkFresh,
Yogyakarta.
Morrison, S, Goerge, (2009), Early
Childhood Education Today, Pearson Education Inc., New Jersey
Muhadjir,
Noeng, (2000), Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial,ed. V, Rake
Sarasin, Yogyakarta.
Nataatmadja,
Hidayat, (2003), Inteligensi Spiritual:
Inteligensi Manusia-manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, Intuisi
Press, Depok.
Nggermanto,
Agus, (2003), Kecerdasan Quantum Cara
Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, Nuansa, Bandung.
Panduan
Pendaftara Online Peserta Program PPG Kementerian Pendidikan Nasional, 2010
Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
R.
Poppy, Yaniawati, “Soft Skill Dalam Dunia Pendidikan”, Pikiran Rakyat,
Bandung, 06 Agustus 2009.
Reid,
Gavin, (2005), Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches
for Assesment, Teaching and Learning, David Fulton Publisher,
London.
Schulz, B, Jane, (1991), Mainstreaming
Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, Allyn
and Bacon, Boston.
Setyoadi
Purwanto, dalam http://mmedia
pendidikan pendidikan nilai.html. diakses
tanggal 29 Desember, 2011.
Tilaar,
H. A. R, (2000), Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp:
Pustaka Widyatama, Tt).
Zohar,
Danah dan Marshall, Ian, (2002), SQ:
Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Kehidupan,
Mizan, Bandung.
[1] M.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) ,(Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hlm. 105
[2] H.
A. R. Tilaar, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000), hlm. 137
[3]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt), hlm.6
[4] Panduan
Pendaftara Online Peserta Program PPG Kementerian Pendidikan Nasional, 2010
[5] guru-online.info/.../pendidikan-profesi-guru-ppg,
10 Oktober 2011, diakses tanggal 8 Januari 2012.
[6] Subject specific pedagogy adalah mata kuliah pengemasan materi
bidang studi menjadi perangkat pembelajaran yang komperehensif, mencakup:
standar kompetensi, materi, strategi, metoda, media, serta evaluasi. (Pasal
1 ayat (6) Permendiknas No. 8 Tahun 2009 Tentang Program PPG.)
[7] . fkip.ums.ac.id/…/50-program-pendidikan-profesi,
2011, diakses tanggal 7 Januari 2012.
[8] Di dalam UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Konsep penting ini juga turun ke dalam
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seperti pada Pasal 6 dan 7, bahkan
dikembangkan menjadi pilar pertama dalam belajar, yaitu: belajar untuk beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
[9] Lihat http://www.pendidikankarakter.org/articles_004.html. diunduh
tanggal 20 Desember 2011, 08.00 WIB.
[10] Doni Koesoema,
Kucing Hitam Pendidikan Karakter, Kompas, 19 Juli, 2010.
[11] Teori ini
berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Kohlberg
menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia
tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan
mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian
mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam
tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan:
pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan
pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi
tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat
sebelumnya. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg, diunduh 9 Januari 2012, 09.00. WIB.
[12] Ahmad Tafsir,
“Pengantar” dalam Abdul Majid, Pendidikan Karakter..., hlm. iv.
[13] Furqon
Hidayatullah, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa,
(Surakarta: Tuma Pustaka dan UNS, 2010), hlm. 39.
[14] Wikipedia.com
(diakses pada tanggal 17 Desember 2011)
[15] Yaniawati R.
Poppy. 2009. “Soft Skill Dalam Dunia Pendidikan.” Pikiran Rakyat.
Bandung, 06 Agustus
[16] Men Jung.
2010. Go To The Next Level. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. h. 60-61
[17] Henry
Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom, (Tokyo:
Charles E. Tuttle Company, 1967), cet. ke-III, h. 503-504
[18] Gavin Reid, Dyslexia
and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London:
David Fulton Publisher, 2005), h. 85.
[19] George
S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New
Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29
[20] George S.
Morrison, Early
Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc.,
2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29
[21] Brent
Hardin dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for
Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational
Psychology, (New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004), h. 46-48.
[22] Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, h. 8-9.
[23] Jane B.
Schulz, Mainstreaming
Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, (Boston:
Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia
“Mainstreaming” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29
[24] Hamruni, Konsep
Edutainment dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008), hlm. 205-207.
[25] Ibid,
hlm. 124-125.
[26] Setyoadi
Purwanto, dalam http://mmedia pendidikan
pendidikan nilai.html. diakses tanggal 29 Desember, 2011.
[27] Hamruni, Konsep
Edutainment..., hlm. 8-9.
[28] Ibid,
hlm. 205-208.
[29] Ibid,
hlm. 206-205.
[30] Danah Zohar
dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 4.
[31] Agus
Nggermanto, Kecerdasan Quantum Cara
Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2003), hlm.
117.
[32] Ary Ginanjar
Agustian, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2004), hlm. 57.
[33] Hidayat
Nataatmadja, Inteligensi Spiritual:
Inteligensi Manusia-manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, (Depok:
Intuisi Press, 2003), hlm. 29.
[34] Sebagaimana
dikutip oleh A. Setiono Mangoenprasodjo, Pengasuhan Anak di Era Internet,
(Yogyakarta: ThinkFresh, 2004), hlm. 21-22.
[35] Sebagaimana
dikutip oleh Maslahul Falah, Tinjauan EQ dan SQ untuk Memberi Nama Bayi,
(Yogyakarta: Media Insani, 2005), hlm 40.
[36] Noeng Muhadjir, Ilmu pendidikan dan Perubahan
Sosial,ed. V (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm. 165.
[37] Ibid,
hlm. 61.
[38] John Dewey, Pengalaman
dan Pendidikan, terj. John de Santo, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), hlm.
147.
[39] Ibid,
hlm. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar