Senin, 04 Juli 2022

ISU-ISU STRATEGIS DALAM PENDIDIKAN

 

A. Pendahuluan.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). 

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Selain itu menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektivitas, efisiensi dan standarisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan guru, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan dan rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan serta mahalnya biaya pendidikan.

Menghadapi problematika pendidikan, maka kemudian pemerintah merevisi undang-undang dan menerbitkan peraturan-peraturan sebagai langkah-langkah strategis dalam rangka memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai langkah awal, maka pemerintah menghidupkan program sertifikasi sebagai wahana perbaikan kualitas para pendidik, termasuk di dalamnya peningkatan kesejahteraan para pendidik, karena dalam dasawarsa terakhir kesejahteraan pendidik selalu luput dari perhatian pemerintah.

Di sisi lain, kemudian bermunculan isu-isu strategis dalam dunia pendidikan, antara lain kesadaran tentang pentingnya memajukan kapabilitas atau profesionalisme guru, mengingat rendahnya kualitas profesional guru di Indonesia. Dari sini kemudian pemerintah menggagas program Pendidikan Profesi Guru (PPG), sebagai salah satu solusi perbaikan mutu SDM guru.

Dalam aspek lain fenomena kemerosotan moral di kalangan peserta didik yang ditandai oleh banyaknya fakta dan peristiwa tentang pergaulan bebas, narkoba, tawuran, sampai persoalan bunuh diri yang menggelayuti persoalan pendidikan di Indonesia. Maka kemudian digagas pengembangan pendidikan karakter dan pendidikan soft skill, sebagai langkah awal perbaikan karakter, jiwa, perilaku para peserta didik yang saat ini dianggap banyak melenceng dari norma-norma agama, sosial, dan budaya ketimuran.

Demikian pula halnya dengan upaya pemerataan pendidikan, khususnya pada kelompok peserta didik yang berkebutuhan khusus, di mana telah terjadi ketimpangan layanan pendidikan. Padahal kondisi keterbatasan fisik semestinya tidak menghalangi peserta didik dari kelompok ini untuk menikmati layanan pendidikan yang setara dengan peserta didik normal. Dari pemikiran ini kemudian muncul gagasan tentang pentingnya pendidikan inklusi bagi peserta didik dari kelompok yang berkebutuhan khusus.

Dalam aspek metodologi pembelajaran, fenomena yang muncul adalah proses pembelajaran yang monoton, bersifat satu arah, dan masih berpusat pada pendidik (teacher centered). Akibatnya proses pembelajaran tidak lagi menyenangkan bagi peserta didik, karena proses transformasi pengetahuan terjadi secara mekanis-teknikalistik dan hanya mengejar target kurikulum, bukan pada pemahaman peserta didik. Maka wajar kemudian, siswa tidak pernah mendapatkan atau memahami apapun karena kesalahan dalam metode penyampaian dan pengajaran. Dari sini kemudian, isu strategis selanjutnya adalah pentingnya memadukan proses pendidikan dengan sisi metodologis yang menghibur (edutainment).

Isu strategis lain yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah tentang pentingnya pendidikan yang mengakomodir dimensi emosional dan spiritual yang sesungguhnya telah menjadi dimensi intrinsik kepribadian manusia secara umum. Hal ini muncul karena, pendidikan yang ada seolah-olah hanya berupaya merekonstruksi pemahaman dan elemen-elemen kognitif semata, tetapi mengabaikan aspek-aspek emosional dan spiritual-transedental peserta didik. Karena apabila yang dihasilkan dunia persekolahan adalah sekelompok manusia yang pintar secara rasio tetapi tidak memiliki kepekaan emosional dan kepekaan spiritual atau ruhani. Maka dampak yang dimunculkan adalah menjamurnya fenomena kemerosotan moral dan pelabrakan nilai dan norma-norma agama, sosial dan budaya oleh keluaran dunia pendidikan, seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini. Oleh karena itu perlu basis emosional-spiritual qoutient (ESQ) dalam dunia pendidikan.

 

 B. Isu-Isu Strategis dalam Pendidikan

1. Profesionalisme Guru dan Program PPG.

Dalam Pasal 39 Ayat (2) UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan. Keahlian khusus tersebut dinamakan kompetensi profesional, yaitu seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Mengenai kompetensi guru ini, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 pada Pasal 1 ayat (10) menjelaskan bahwa kompetensi guru merupakan karakteristik dasar yang ditunjukkan oleh guru dalam bentuk pernyataan, sikap dan tindakan yang membentuk kepribadiannya dan mampu membedakan dirinya dengan orang lain dengan performansi tinggi atau rendah dalam melaksanakan tugasnya di bidang pekerjaan tertentu dalam lembaga pendidikan.

Berdasarkan makna profesional di atas menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara profesional dengan kompetensi. Menurut M. Arifin bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampuan profesional yaitu kepribadian guru, penguasa ilmu dan bahan pelajaran, dan keterampilan mengajar yang disebut the teaching triad.[1]   Dari sini dapat diambil benang merahnya bahwa profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dan kompetensi tanpa profesi akan kehilangan guna.

H. A. R. Tilaar merumuskan ada sepuluh ciri dari suatu profesi, yaitu: (1) memiliki suatu keahlian khusus; (2) merupakan suatu panggilan hidup; (3) Memiliki teori-teori yang baku secara universal; (4) mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri; (5) dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif; (6) memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya; (7) mempunyai kode etik; (8) mempunyai klien yang jelas; (9) mempunyai organisasi profesi yang kuat; (10) mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.[2] Namun demikian, ciri-ciri tersebut masih sangat umum, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas.

Menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan sembilan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: (1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru; (2) penguasaan landasan pendidikan; (3) menguasai bahan pengajaran; (4) kemampuan menyusun program pengajaran; (5) kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar; (6) kemampuan menyelenggarakan program bimbingan; (7) kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah; (8) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan (9) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.[3]

Dari uraian tentang kompetensi yang harus dimiliki guru profesional sebagaimana di atas, sebenarnya terangkum dalam empat kompetensi besar, yaitu: kompetensi  pedagogis, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi  profesional  yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan mutu guru sebagaimana diamanatkan UUSPN Nomor 20 tahun 2003, UU Nomor 14 Tahun 2005 dan PP 74 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa guru harus berpendidikan minimal S1/D-IV dan wajib memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru. Maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 tahun 2009 tentang Program Pendidikan Profesi Guru[4]. Berdasarkan Permen tersebut,  program PPG mulai dirintis oleh pemerintah tahun 2011 untuk menggantikan sistem sertifikasi guru dengan penilaian portofolio yang akan berakhir tahun 2014. Hal ini dilakukan, karena dalam prakteknya, sistem sertifikasi guru dengan penilaian portofolio telah dianggap gagal dalam meningkatkan profesionalisme guru.

Menurut penjelasan Pasal 15 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang SPN, pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Sedangkan Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV non kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik  sebagai bekal menjadi guru yang profesional pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah[5].

Pada program PPG untuk lulusan S-1 kependidikan diberikan mata kuliah bidang studi dalam bentuk subject specific pedagogy[6] (pendidikan bidang studi) dan program pengalaman lapangan (PPL) kependidikan. Sedangkan pada program PPG pasca S1/D-IV Non kependidikan diberikan mata kuliah mengenai kompetensi akademik kependidikan (pedagogik), bidang studi dalam bentuk subject specific pedagogy (pendidikan bidang studi), dan latihan mengajar atau Program Pengalaman Lapangan (PPL).

Pasal 11 ayat (1) Permendiknas No. 8 tahun 2009 tentang PPG menyebutkan bahwa sistem pembelajaran pada program PPG mencakup perkuliahan, praktikum, dan praktek pengalaman lapangan yang diselenggarakan dengan pemantauan langsung secara intensif oleh dosen yang ditugaskan khusus untuk kegiatan tersebut, dinilai secara objektif dan transparan. Perkuliahan, praktikum, dan praktek pengalaman lapangan program PPG dilaksanakan secara tatap muka dan berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan.

Perkuliahan PPG diselesaikan dalam 2 (dua) semester dan sistem pembelajanya dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu: (1) workshop pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran yang mendidik (subject specific pedagogy/SSP) untuk menyiapkan perangkat pembelajaran di sekolah (RPP Bahan Ajar, Media Pembelajaran, Evaluasi Pembelajaran, dsb); (2) praktek Pengalaman Lapangan (PPL) kependidikan yang berorientasi pada pencapaian kompetensi merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, menindaklanjuti hasil penilaian, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan. Proporsi beban belajar (SKS) untuk workshop SSP : PPL = 60 : 40.[7]

 Prinsip-prinsip pembelajaran program PPG adalah keaktifan peserta didik, higher order thinking (berfikir tingkat tinggi), femanfaatan teknologi informasi, pembelajaran kontekstual, strategi dan model pembelajaran bervariasi dan belajar dengan berbuat (learning by doing).

           

2. Pendidikan Karakter dan Pendidikan Soft Skill.

            Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia[8]. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Wacana pendidikan karakter telah menjadi isu penting dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini dipicu oleh kesadaran yang bersifat kolektif tentang merosotnya kualitas karakter dan kepribadian subyek didik yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti terlihat dengan tingginya eskalasi kekerasan di antara pelajar baik pada jenjang pendidikan menengah maupun di level perguruan tinggi. Belum lagi persoalan rendahnya moralitas subyek didik dengan menjamurnya fenomena budaya narkoba dan seks bebas di kalangan pelajar, termasuk dengan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan dan adanya indikasi meningkatnya sifat sadisme di kalangan subyek didik, terbukti oleh meningkatnya indeks tawuran antar pelajar di tahun 2011. Selain itu isu pendidikan karakter juga menjadi salah satu upaya pemerintah melalui Kemendikbud untuk mengikis budaya korupsi yang berurat berakar dalam mind set masyarakat Indonesia.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis[9].

Karakter mulia berarti individu mampu menghayati dan memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, intuitif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat atau efisien, menghargai waktu, pengabdian atau dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas tahun 2010, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: oleh hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intelectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetik development), dan olah rasa dan karsa (affective and kreativity development).

Menurut Doni Koesoema[10], ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi diskursus pendidikan karakter. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang ketiga pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character development)[11].

Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dan lainnya, agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu.

Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.

Sejalan dengan itu Menurut Ahmad Tafsir, karakter atau akhlak diajarkan melalui metode internalisasi. Teknik pendidikannya ialah peneladanan, pembiasaan, penegakan peraturan, dan pemotivasian[12]. Dalam hal ini Furqon Hidayatullah menyatakan pendidikan karakter dapat dilakukan secara intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Intrakurikuler terintegrasi ke dalam mata pelajaran, sedangkan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam pelajaran. Adapun pendekatan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui keteladanan, penanaman kedisiplinan, pembiasaan, penciptaan suasana kondusif dan integrasi-internalisasi[13].

Selain pendidikan karakter, saat ini pendidikan soft skill juga menjadi isu strategis dalam dunia pendidikan. Elemen soft skill menjadi sangat penting untuk mengimbangi elemen hard skill yang saat ini telah menjadi tujuan besar pendidikan. Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan-kemampuan tak terlihat yang diperlukan untuk sukses atau dengan kata lain kemampuan diluar kemampuan teknis dan kecerdasan intelektual (intellectual intelligence) seperti kemampuan bekerjasama.

Konsep soft skills merupakan istilah sosiologis yang berhubungan erat dengan kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) seseorang yang merupakan kumpulan karakter kepribadian, kepekaan sosial, komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimisme, yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft skills melengkapi hard skills (bagian dari IQ seseorang), di mana kedua hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai persyaratan dalam dunia kerja dan segala aktivitas lainnya[14].

Secara garis besar, soft skills bisa digolongkan ke dalam dua kategori kemampuan yaitu intrapersonal skill dan interpersonal skill. Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan  memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri, kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif dan berani. Tumbuh-kembang soft skill tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, melalui pelatihan atau pembelajaran, magang (on the job), serta  iklim dan suasana demokratis.

Kemampuan intrapersonal mencakup  aspek kesadaran diri (self awareness), yang di dalamnya meliputi: kepercayaan diri, kemampuan untuk melakukan penilaian dirinya, pembawaan, serta kemampuan mengendalikan emosi. Selain itu, kemampuan intrapersonal juga mencakup aspek kemampuan diri (self skill), yang di dalamnya meliputi: upaya peningkatan diri, kontrol diri, dapat dipercaya, dapat mengelola waktu dan kekuatan, proaktif, dan konsisten.

Sedangkan kecerdasan Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan  untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain. Kemampuan interpersonal mencakup aspek kesadaran sosial (social awareness), yang meliputi kemampuan kesadaran politik, pengembangan aspek-aspek yang lain,  berorientasi untuk melayani, dan empati. Selain itu juga aspek kemampuan sosial (social skill), yang meliputi kemampuan memimpin, mempunyai pengaruh, dapat berkomunikasi, mampu mengelola konflik, kooperatif dengan siapa pun, dapat bekerja sama dengan tim, dan bersinergi.[15] Diharapkan dengan kemampuan tersebut seseorang mampu membangun hubungan yang baik dengan orang lain, dengan cara yang menyenangkan, untuk mencapai hasil hubungan yang menyenangkan.[16]

Di samping itu, soft skill juga bisa diterjemahkan ke dalam kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat mengembangan perasaan positif (positive feeling), selalu dan bisa untuk berfikir positif (positive thinking), dan mempunyai kebiasaan positif (positive habits) yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain.

 

3. Pendidikan Inklusi.

Pendidikan inklusi secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).           

Pada sekolah inklusi setiap anak dilayani sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Pendidikan inklusi mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah.[17]

Istilah inklusi berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran.[18] Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut.[19]

Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusi model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Pendidikan inklusi pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusi parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.[20]

Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusi yang mereka sebut inklusi terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus.[21] Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.

Model inklusi terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusi seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusi.

Model pendidikan inklusi yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusi moderat.[22] Pendidikan inklusi moderat yang dimaksud yaitu: Pendidikan inklusi yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming.

Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.[23]

Pendidikan inklusi seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

 

4. Konsep Edutainment dalam Pendidikan.

            Menurut hasil penelitiannya, Prof. Hamruni menjelaskan bahwa konsep edutainment dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran, model pembelajaran, konsep pembelajaran berbasis edutainment, pengembangan pembelajaran dalam pendidikan Islam dan implikasi pembelajaran berbasis edutainment dalam pendidikan Islam. Salah satunya dengan menumbuhkan sikap positif terhadap belajar, membangun minat pembelajar, melibatkan emosi siswa dalam belajar dan memberikan selingan permainan (games) dalam pembelajaran[24].

            Dari segi bahasa edutainment merupakan gabungan dari dua kata education dan entertainment yang mengandung arti “pendidikan yang menyenangkan”. Sedangkan dari segi terminologi, edutainment bisa didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang didesain dengan memadukan antara muatan pendidikan dan hiburan secara harmonis, sehingga aktivitas pembelajaran berlangsung dengan menyenangkan[25].

            Setyoadi Purwanto menjelaskan bahwa ada empat prinsip yang menjadi karakteristik dari konsep edutainment dalam pembelajaran antara lain: (a). Menjembatani proses belajar dan proses mengajar; (b) Pembelajaran edutainment berlangsung dalam suasana kondusif dan menyenangkan yang didasari atas perasaan gembira akan mempercepat pembelajaran, sedangkan perasaan negatif seperti terancam, takut, sedih, merasa tidak mampu akan memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya. Jika seseorang menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu maka akan menghasilkan  lompatan prestasi belajar, dan dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat yang mengakomodir gaya dan keunikan belajar siswa, maka belajar dapat dioptimalkan.; (c). Menempatkan anak sebagai pusat sekaligus subyek pendidikan, dan setiap pembelajaran selalu diawali oleh menggali dan memahami kebutuhan anak; (d). Pembelajaran yang lebih humanis[26].

            Realitas objektif yang terjadi di luar pendidikan telah menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang sangat cepat semisal kemajuan teknologi, globalisasi dan perubahan peradaban. Perubahan tersebut sudah barang tentu menuntut dunia pendidikan juga berubah. Menurut Prof. Hamruni, pendidikan perlu menyusun dan melaksanakan proses pembelajaran dengan mempertimbangkan arus perubahan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama pengetahuan ditemukan dan dikembangkan oleh siswa sendiri tanpa menunggu (bergantung) dari peran guru semata; kedua, siswa membangun pengetahuan secara aktif; ketiga, pengajar perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa; dan keempat, pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa.

            Model pembelajaran berbasis edutainment dipandang sebagai sebuah pilihan model pembelajaran yang patut dikembangkan untuk menggantikan atau menyempurnakan model-model pembelajaran yang sebelumnya. Model pembelajaran edutainment menurut Prof. Hamruni, berupaya agar pembelajaran yang terjadi berlangsung dalam suasana kondusif dan menyenangkan. Menurutnya, ada tiga asumsi berkaitan dengan pemilihan model ini, yaitu: pertama, perasaan positif (senang/gembira) dalam diri siswa akan mempercepat proses pembelajaran, begitu pula sebaliknya; kedua, jika seseorang (peserta didik) mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu, maka ia akan membuat loncatan prestasi belajar yang sebelumnya tidak terduga; dan ketiga, apabila setiap pembelajaran dapat dimotivasi dengan tepat dan diajar dengan cara yang benar, cara yang menghargai gaya belajar dan modalitas mereka, maka mereka semua akan dapat mencapai hasil belajar yang optimal[27].

            Analisis Prof. Hamruni dalam bukunya khususnya pada bab empat, menegaskan bahwa dalam pendidikan Islam terdapat nilai-nilai untuk menanamkan kebahagiaan, dan kenyamanan dalam diri seseorang, dan hal tersebut akan membuat bakat seseorang akan teraktualisasi secara optimal[28]. Pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnah sarat akan nilai-nilai humanis yang sekaligus menjadi barometer bahwa nuansa edutainment telah ada pada pendidikan Islam yang tidak lain adalah pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalamnya. Prinsip-prinsip edutainment dalam pendidikan Islam telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah serta sahabat-sahabat yang selalu ittiba’ dengannya. Nuansa edutainment dalam pendidikan Islam menurut Hamruni adalah sebagai berikut:

a.       Pendidikan Islam telah memberikan kemudahan dan nuansa gembira

b.      Pendidikan Islam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif

c.       Pendidikan Islam menarik minat

d.      Pendidikan Islam menyajikan materi yang relevan

e.       Pendidikan Islam melibatkan emosi positif dalam pembelajaran

f.        Pendidikan Islam melibatkan semua indera dan pikiran

g.      Pendidikan Islam menyesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa

h.      Pendidikan Islam memberikan pengalaman sukses

i.        Pendidikan Islam merayakan hasil[29].

Dari sini tampak jelas bahwa nuansa edutainment tampak pada materi pendidikan Islam yang secara holistik sarat akan nilai-nilai humanis, perdamaian, dan kebahagiaan. Kenyataan ini semestinya mendorong pada proses pembelajaran pendidikan Islam yang notabene terdapat pembelajaran agama Islam yang harus diimplementasikan ke dalam pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, sehingga menutup kemungkinan timbulnya sikap bosan atau jenuh bagi peserta didik dalam mempelajari ajaran-ajaran Islam.

 

5. Pendidikan Berbasis ESQ (Emosional Spiritual Qoutient).

Daniel Goleman, doktor psikologi dari Harvard dan pengarang buku sensasional, Emotional Intelligence, telah menunjukkan satu jenis potensi diri di samping IQ (kecerdasan intelektual). Temuan Goleman itu bernama EQ atau kecerdasan emosi. Menurut para peneliti potensi diri, IQ baru dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu memfungsikan EQ-nya. Sementara itu seorang psikolog, Danah Zohar bersama seorang fisikawan; Ian Marshall mengenalkan satu lagi potensi diri yang disebut dengan SQ (Spiritual Quotient). Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, IQ dan EQ baru akan bekerja secara efektif apabila seseorang mampu menjalankan SQ atau kecerdasan spiritualnya.

Kecerdasan spiritual menurut Danah Zohar dan Ian Marshall adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.[30] Sedangkan menurut Marsha Sinetar, yang dikutip oleh Agus Nggermanto, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektivitas, keberadaan atau hidup ke-Ilahian yang mempersatukan kita sebagai bagiannya.[31] Sementara itu Ary Ginanjar Agustian berpandangan bahwa, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip karena Allah.[32] Adapun Hidayat Nataatmadja berpendapat bahwa, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berlandaskan al-Qur’an sebagai sistem operasi inteligensi spiritual.[33]

Pada dekade belakangan dalam lapangan ilmu psikologi khususnya pada aliran psikologi humanistik berkembang konsep mengenai Spiritual Qoutient (SQ) sebagai antitesa dari konsep Intelectual Quotient (Q). Kecerdasan spiritual dipandang sebagai salah satu kecerdasan yang paling tinggi dibanding kecerdasan-kecerdasan yang lain. Menurut Khalil Khavari, kecerdasan spiritual adalah kecakapan dalam dimensi non-material dan jiwa kemanusiaan seseorang. Selain itu kecerdasan spiritual juga tidak harus berhubungan dengan agama. Roberts A. Emmons menegaskan dalam bukunya The Psychology of Ultimate Concerns, SQ adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. Dalam kaitannya dengan ini, "SQ tidak bergantung pada budaya dan tidak mengikuti nilai-nilai itu sendiri". Seorang anak terlahir sebagai makhluk spiritual, semua bayi yang dilahirkan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Namun apabila tidak dibina dan dikembangkan dengan baik oleh orangtuanya, maka lambat laun kecerdasan ini bisa memudar. Emmons menambahkan, bahwa seorang anak yang merasakan kehadiran Tuhan melampaui hal-hal yang bersifat fisik dan material, akan mampu menggabungkan kesadaran dalam lingkungannya dengan alam semesta yang lebih luas. Apa yang dilihat oleh seorang anak tidak terbatas dengan apa yang ia saksikan melalui alat inderawinya semata.[34] Selain itu tegas Emmons, dengan memiliki kecerdasan spiritual yang mumpuni, seorang anak akan memiliki karakteristik (1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah dan (5) kemampuan untuk berbuat baik. Demikian pula halnya Marsha Sinetar dalam bukunya Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child, juga menemukan potensi-potensi pembawaan spiritual ('spiritual traits') pada anak-anak, seperti sifat keberanian, optimisme, keimanan, perilaku konstruktif, empati, sikap memaafkan, dan bahkan ketangkasan dalam menghadapi amarah dan bahaya. Semua itu, menurut penelitian Sinetar, menjadi sifat-sifat spiritual anak-anak sejak usia dini.[35]

Dari paradigma Spiritual Qoutient (SQ) kemudian berkembang konsep Spiritual Parenting (SP) yang digagas oleh banyak pakar psikologi anak, menyikapi kondisi masyarakat yang hampa moral dan nilai-nilai luhur ditambah ekses negatif dari media televisi, internet, lingkungan, serta sistem pendidikan modern yang lebih menekankan pada materi dan tercapainya prestasi, sehingga mengubur jiwa suci anak-anak masa kini.

Menurut Noeng Muhadjir, salah satu nilai penting telaah aspek spiritual dalam proses pendidikan adalah untuk mengolah aspek penghayatan transendental dalam pendidikan yang selama ini diragukan dan bahkan ditolak oleh kalangan penganut paham positivisme. Penolakan itu terjadi karena penghayatan tersebut sangat mempribadi, penuh misteri, dan kadang tidak terpahami[36]. Selama ini obyek kajian pendidikan terpenjara pada potensi kognitif, afektif dan psikomotorik. Pandangan model Barat ini pada satu sisi mengabaikan apek penghayatan transendental yang merupakan inti dari doktrin Islam yang penting, yaitu konsep Ihsan. Noeng Muhadjir, menambahkan, bahwa meskipun aspek sufistik tidak dapat direplikasi penghayatan substantifnya, namun dapat dikenal dan dihayati prosesnya[37]. Sehingga menelaah proses sufistik-transendental dapat menjadi bagian dari upaya pengkajian pendidikan, khususnya pendidikan Islam.

Proses sufistik-transendental tersebut, dalam pengertian pragmatik merupakan bagian dari wilayah “pengalaman”, di mana menurut Dewey, pengalaman tidak saja menunjuk pada sesuatu yang sedang berlangsung di dalam kehidupan batin si subyek, atau sesuatu yang ditanggap secara inderawi di dalam dunia luar, ataupun sesuatu yang berada dibalik dunia inderawi yang hanya dapat dicapai dengan akal budi dan intuisi[38]. Karena itu pengalaman bersifat menyeluruh dan mencakup segala hal, termasuk proses sufistik-transendental.

Keterlibatan aspek sufistik-transendental dalam proses pendidikan anak juga berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai ilahiah (keimanan) sebagai pengalaman dasar (basic experience). Sebagaimana ditegaskan oleh Dewey, bahwa pendidikan bukan semata-mata proses, melainkan tujuan dalam dirinya sendiri yang bersifat reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi pengalaman menuju suatu tingkat pengalaman yang lebih tinggi. Suatu pengalaman bersifat salah didik apabila pengalaman itu menghalangi atau mencacatkan perkembangan selanjutnya[39]. Sebagai umat Islam, tentunya penanaman nilai-nilai ilahiah sebagai pengalaman dasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena kurangnya aspek mendasar tersebut tidak hanya menghalangi, akan juga tetapi juga akan mencacatkan proses perkembangan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu aspek sufistik-transendental yang menjadi wahana pengalaman dasar seorang pribadi muslim menjadi bersifat edukatif, karena dapat membantu perkembangan pengalaman berikutnya.

Metode spiritual dalam mendidik anak sangat terasa urgensinya, karena seorang anak sejak pranatal hingga masa remaja melalui tahapan-tahapan perkembangan baik fisik, psikis, maupun intelektual. Pada tahapan-tahapan perkembangan tersebut diperlukan metode-metode tertentu agar tidak terjadi anomali pada proses perkembangan sang anak. Kita dapat melihat bahwa para orangtua masih kebingungan untuk menerapkan metode yang tepat untuk mendidik anak-anaknya. Sebagian metode konvensional, terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan “salah didik” dan kenakalan remaja yang terus meningkat. Metode konvensional yang ada juga hanya memberi penekanan pada perkembangan intelektualitas dan mengabaikan aspek moral spiritual yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Dengan terlibatnya aspek spiritualitas dalam proses mendidik anak, diharapkan dapat menjadi tawaran konseptual dan solusi alternatif bagi pemecahan masalah tersebut.

 

C. Penutup.

            Persoalan perbaikan mutu dan kualitas terus menjadi pekerjaan yang tidak pernah usai selama proses pendidikan dan pengajaran terus berjalan. Apalagi berbagai macam persoalan yang mendera perjalanan negara-bangsa Indonesia, dari hari ke hari semakin kompleks, seolah-olah negara ini sulit untuk melepaskan diri dari carut-marut yang terjadi di segala bidang. Buruknya kualitas pendidikan dan pengajaran akan berkontribusi pada melemahnya sistem budaya dan sistem sosial yang diikuti oleh ambruknya moralitas. Sehingga dalam hal ini upaya perbaikan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia bergantung pada hadirnya integritas moral dan intelektual para pemikir serta praktisi yang berkecimpung di dunia pendidikan.

            Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya strategis dalam rangka upaya perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini di antaranya adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru dengan program PPG dan program sertifikasi, sekaligus di dalamnya melakukan perbaikan kesejahteraan terhadap guru. Selain itu digagas pula pendidikan karakter sebagai arus utama pendidikan nasional dalam rangka mengembangkan karakter positif di kalangan subyek didik, termasuk di dalamnya pengembangan soft skill subyek didik. Di sisi lain, dalam rangka pemerataan layanan pendidikan, maka digagas pula pendidikan inklusi untuk mengakomodir kelompok peserta didik yang dalam kategori difabel. Sementara itu dalam konteks metodologis diperlukan adanya upaya pembaharuan metode pembelajaran, yakni dengan pendekatan edutainment agar proses pembelajaran lebih efektif dan efisien. Adapun dalam konteks pemikiran pendidikan, digagas sebuah pemikiran tentang pentingnya menjadikan aspek EQ dan SQ (ESQ) sebagai basis dalam pendidikan, sebagai jawaban atas kegersangan emosional dan spiritual yang ditimbulkan oleh pendidikan sekuler yang lebih mengedepankan dimensi intelektualitas semata. Wallahu A’lam Bishawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN.

           

Agustian, Ary, Ginanjar, (2004), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta.

Arifin, M, (1991), Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) , Bumi Aksara. Jakarta

Dewey, John, (2002), Pengalaman dan Pendidikan, terj. John de Santo, Kepel Press, Yogyakarta.

Falah, Maslahul, (2005), Tinjauan EQ dan SQ untuk Memberi Nama Bayi, Media Insani, Yogyakarta.

fkip.ums.ac.id/…/50-program-pendidikan-profesi, 2011, diakses tanggal 7 Januari 2012.

guru-online.info/.../pendidikan-profesi-guru-ppg, 10 Oktober 2011, diakses tanggal 8 Januari 2012.

Hamruni, Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam, (2008), Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta.  

Hardin, Brent dan Hardin, Maria, (2004), “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, McGraw-Hill/Dushkin, New York.

Hidayatullah, Furqon, (2010) Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, Tuma Pustaka dan UNS, Surakarta.

Jung, Men, (2010), Go To The Next Level. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Koesoema, Doni, Kucing Hitam Pendidikan Karakter, Kompas, 19 Juli, 2010.

Lindgren, Clay, Henry, (1967), Educational Psychology in the Classroom, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.

Mangoenprasodjo, A., Setiono, (2004), Pengasuhan Anak di Era Internet, ThinkFresh, Yogyakarta.

Morrison, S, Goerge, (2009), Early Childhood Education Today, Pearson Education Inc., New Jersey

Muhadjir, Noeng, (2000), Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial,ed. V, Rake Sarasin, Yogyakarta.

Nataatmadja, Hidayat, (2003), Inteligensi Spiritual: Inteligensi Manusia-manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, Intuisi Press, Depok.

Nggermanto, Agus, (2003), Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, Nuansa, Bandung.

Panduan Pendaftara Online Peserta Program PPG Kementerian Pendidikan Nasional, 2010

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

R. Poppy, Yaniawati, “Soft Skill Dalam Dunia Pendidikan”, Pikiran Rakyat,  Bandung, 06 Agustus 2009.

Reid, Gavin, (2005), Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, David Fulton Publisher, London.

Schulz, B, Jane, (1991), Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, Allyn and Bacon, Boston.

Setyoadi Purwanto, dalam http://mmedia pendidikan pendidikan nilai.html. diakses tanggal 29 Desember, 2011.

Tilaar, H. A. R, (2000),  Paradigma Baru Pendidikan Nasional,  PT Rineka Cipta, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt).

Zohar, Danah dan Marshall, Ian, (2002), SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung.

 

 

 

 

         

 

           

 



[1] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) ,(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 105

[2] H. A. R. Tilaar,  Paradigma Baru Pendidikan Nasional,  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hlm. 137

[3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt), hlm.6

[4] Panduan Pendaftara Online Peserta Program PPG Kementerian Pendidikan Nasional, 2010

[5]  guru-online.info/.../pendidikan-profesi-guru-ppg, 10 Oktober 2011, diakses tanggal 8 Januari 2012.

[6] Subject specific pedagogy adalah mata kuliah pengemasan materi bidang studi menjadi perangkat pembelajaran yang komperehensif, mencakup: standar kompetensi, materi, strategi, metoda, media, serta evaluasi. (Pasal 1 ayat (6) Permendiknas No. 8 Tahun 2009 Tentang Program PPG.)

 

[7] . fkip.ums.ac.id/…/50-program-pendidikan-profesi, 2011, diakses tanggal 7 Januari 2012.

[8] Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Konsep penting ini juga turun ke dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seperti pada Pasal 6 dan 7, bahkan dikembangkan menjadi pilar pertama dalam belajar, yaitu: belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

[9] Lihat http://www.pendidikankarakter.org/articles_004.html. diunduh tanggal 20 Desember 2011, 08.00 WIB.  

[10] Doni Koesoema, Kucing Hitam Pendidikan Karakter, Kompas, 19 Juli, 2010.

[11] Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg, diunduh  9 Januari 2012, 09.00. WIB.

[12] Ahmad Tafsir, “Pengantar” dalam Abdul Majid, Pendidikan Karakter..., hlm. iv.

[13] Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Tuma Pustaka dan UNS, 2010), hlm. 39.

[14] Wikipedia.com (diakses pada tanggal 17 Desember 2011)

[15] Yaniawati R. Poppy. 2009. “Soft Skill Dalam Dunia Pendidikan.” Pikiran Rakyat.  Bandung, 06 Agustus

[16] Men Jung. 2010. Go To The Next Level. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. h. 60-61

[17] Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom, (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967), cet. ke-III, h. 503-504

[18] Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 85.

[19] George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29

[20] George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29

[21] Brent Hardin dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, (New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004), h. 46-48.

[22] Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, h. 8-9.

[23] Jane B. Schulz, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, (Boston: Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia “Mainstreaming” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29

 

[24] Hamruni, Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), hlm. 205-207. 

[25] Ibid, hlm. 124-125.

[26] Setyoadi Purwanto, dalam http://mmedia pendidikan pendidikan nilai.html. diakses tanggal 29 Desember, 2011.

[27] Hamruni, Konsep Edutainment..., hlm. 8-9.

[28] Ibid, hlm. 205-208.

[29] Ibid, hlm. 206-205.

[30] Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 4.

[31] Agus Nggermanto, Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, (Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 117.

[32] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta:  Arga, 2004), hlm. 57.

[33] Hidayat Nataatmadja, Inteligensi Spiritual: Inteligensi Manusia-manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, (Depok: Intuisi Press, 2003), hlm. 29.

[34] Sebagaimana dikutip oleh A. Setiono Mangoenprasodjo, Pengasuhan Anak di Era Internet, (Yogyakarta: ThinkFresh, 2004), hlm. 21-22.

[35] Sebagaimana dikutip oleh Maslahul Falah, Tinjauan EQ dan SQ untuk Memberi Nama Bayi, (Yogyakarta: Media Insani, 2005), hlm 40.

[36] Noeng Muhadjir, Ilmu pendidikan dan Perubahan Sosial,ed. V (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hlm. 165.

[37] Ibid, hlm. 61.

[38] John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, terj. John de Santo, (Yogyakarta: Kepel Press, 2002), hlm. 147.

[39] Ibid, hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...