Senin, 04 Juli 2022

Konsep “Kepuhunan” Dalam Tradisi Lokal Masyarakat Kalimantan

 

Dalam tradisi masyarakat lokal Kalimantan dikenal konsep “Kepuhunan”. Konsep ini merupakan local wisdom yang masih diyakini dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat Kalimantan. Term Kepuhunan berasal dari bahasa etnis Banjar yang merupakan bahasa ekspresi atas tindakan-tindakan tertentu yang dianggap tabu dan apabila dilakukan, diyakini secara kausal akan menimbulkan akibat negatif bagi yang melanggar tabu tersebut.

            Penelusuran dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap beberapa responden yang dikategorisasi dalam dua kelompok, yaitu kaum tua yang merupakan representasi dari penjaga tradisi lokal tersebut dan kaum muda yang merupakan representasi dari kelompok yang telah merubah paradigma (shifting paradigm) tentang konsep Kepuhunan.

            Dari hasil penelusuran tersebut dapat diidentifikasi bahwa konsep Kepuhunan merupakan konsep utama dari beberapa tindakan seperti, (1) apabila seseorang yang bertamu atau salah seorang anggota keluarga hendak bepergian dalam jangka waktu yang lama dan belum sempat mencicipi suatu makanan yang disuguhkan maka ia disarankan untuk mengambil secuil makanan tersebut sekedarnya. Diyakini secara umum apabila tidak dilakukan maka dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka bagi orang tersebut. Selain itu juga konsep Kepuhunan juga diidentifikasi dengan (2) apabila seseorang memiliki hasrat atau keinginan untuk mengonsumsi suatu makanan, maka ia harus segera memenuhi hasratnya tersebut, walaupun hanya mencicipi secuil dari makanan tersebut. Apabila ia tidak melakukannya, maka juga diyakini akan menimbulkan malapetaka.

            Dari hasil wawancara yang dilakukan, dihasilkan beberapa pandangan: Pertama, secara umum dari kalangan kaum tua, menganggap konsep Kepuhunan benar adanya dan merupakan tradisi turun temurun yang harus dilestarikan. Dalam hal ini konsep Kepuhunan mewakili nilai etik dan estetik sekaligus, bahwa apabila seseorang bertamu maka ia harus mencicipi makanan yang dihidangkan walaupun hanya secuil sebagai bentuk penghormatan kepada sang tuan rumah, begitupula halnya bagi anggota keluarga yang hendak bepergian sebaiknya ia meninggalkan rumah tidak dalam keadaan lapar, dalam artian telah siap secara fisik maupun psikis untuk bepergian. Adapun mengenai sebab apabila ia tidak melakukan hal tersebut, kalangan kaum tua meyakini ada paralelitas dan koinsidensi antara tindakan dengan sebab-sebab yang bersifat metafisik. Kedua, responden dari kalangan muda yang secara umum terpelajar dan memiliki pandangan agama yang moderat, menganggap konsep Kepuhunan adalah kearifan lokal yang harus dilestarikan, mengingat merosotnya nilai-nilai etik dan estetik pada umumnya anak muda. Akan tetapi mengenai sebab-sebab metafisik bahwa apabila tidak melakukannya akan mendapatkan malapetaka, ditolak dan dianggap irrasional, sehingga tidak ada paralelitas dan koinsidensi antara tindakan dengan sebab-sebab yang bersifat metafisik. Ketiga, adalah responden baik dari kalangan tua maupun muda yang memiliki pandangan agama yang fundamental dan tekstual, menganggap konsep Kepuhunan bersifat heretik (bid’ah) karena tidak memiliki landasan normatif maupun tuntunan dari Nabi S.A.W., sehingga sama sekali tertolak dan wajib untuk ditinggalkan.

            Dalam hal ini penulis menganalisis bahwa konsep Kepuhunan adalah kearifan lokal yang bertumbuh berdasarkan dimensi etik dan estetik dalam lokalitas tertentu. Sebagai tradisi turun temurun, pada sisi-sisi tertentu ada hal-hal yang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi kekinian, misalnya proses sebab-akibat yang bersifat okasionalistik sehingga mengabaikan realitas empirik dan rasionalitas kemanusiaan secara umum. Akan tetapi bukan berarti konsep Kepuhunan ini tertolak secara mutlak sebagaimana pandangan fundamental-tekstual yang menganggapnya sebagai bid’ah budaya.

Karena pada tataran basis etik dan estetik-nya terlihat interkoneksitasnya dengan wisdom universal yang terkandung pada hadits-hadits Nabi S.A.W., tentangnya pentingnya mempererat hubungan kemanusiaan yang berbasiskan rahmat dan kasih sayang (silaturrahim), dalam hal ini secara lebih spesifik Nabi S.A.W., menganjurkan untuk memenuhi undangan, apabila diundang. Bahkan pada hadist yang lain dianjurkan untuk membatalkan puasanya apabila disuguhi makanan ketika sedang bertamu. Dari sini terlihat similaritas diantara dua konsep yang tampaknya berlawanan. Oleh karena itu konsep Kepuhunan sebenarnya merupakan cerminan dari interaksi secara simbolik suatu komunitas masyarakat dengan kultur yang merupakan faktor unik dan genuine dari lokalitas masyarakat tertentu. Sehingga konsep Kepuhunan ini sebaiknya dipertahankan sebagai suatu kearifan lokal yang harus dilestarikan, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi kekinian dan dimensi empirik serta rasionalitas kemanusiaan yang selalu berkembang. (Wallahu A’lam Bishawwab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...