Dalam tradisi
masyarakat lokal Kalimantan dikenal konsep “Kepuhunan”. Konsep ini
merupakan local wisdom yang masih diyakini dan diapresiasi dengan baik
oleh masyarakat Kalimantan. Term Kepuhunan berasal dari bahasa etnis
Banjar yang merupakan bahasa ekspresi atas tindakan-tindakan tertentu yang
dianggap tabu dan apabila dilakukan, diyakini secara kausal akan menimbulkan
akibat negatif bagi yang melanggar tabu tersebut.
Penelusuran dilakukan melalui
wawancara mendalam terhadap beberapa responden yang dikategorisasi dalam dua
kelompok, yaitu kaum tua yang merupakan representasi dari penjaga tradisi lokal
tersebut dan kaum muda yang merupakan representasi dari kelompok yang telah
merubah paradigma (shifting paradigm) tentang konsep Kepuhunan.
Dari hasil penelusuran tersebut
dapat diidentifikasi bahwa konsep Kepuhunan merupakan konsep utama dari
beberapa tindakan seperti, (1) apabila seseorang yang bertamu atau salah
seorang anggota keluarga hendak bepergian dalam jangka waktu yang lama dan
belum sempat mencicipi suatu makanan yang disuguhkan maka ia disarankan untuk
mengambil secuil makanan tersebut sekedarnya. Diyakini secara umum apabila
tidak dilakukan maka dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka bagi orang
tersebut. Selain itu juga konsep Kepuhunan juga diidentifikasi dengan
(2) apabila seseorang memiliki hasrat atau keinginan untuk mengonsumsi suatu
makanan, maka ia harus segera memenuhi hasratnya tersebut, walaupun hanya
mencicipi secuil dari makanan tersebut. Apabila ia tidak melakukannya, maka
juga diyakini akan menimbulkan malapetaka.
Dari hasil wawancara yang dilakukan,
dihasilkan beberapa pandangan: Pertama, secara umum dari kalangan kaum
tua, menganggap konsep Kepuhunan benar adanya dan merupakan tradisi
turun temurun yang harus dilestarikan. Dalam hal ini konsep Kepuhunan
mewakili nilai etik dan estetik sekaligus, bahwa apabila seseorang bertamu maka
ia harus mencicipi makanan yang dihidangkan walaupun hanya secuil sebagai
bentuk penghormatan kepada sang tuan rumah, begitupula halnya bagi anggota
keluarga yang hendak bepergian sebaiknya ia meninggalkan rumah tidak dalam
keadaan lapar, dalam artian telah siap secara fisik maupun psikis untuk
bepergian. Adapun mengenai sebab apabila ia tidak melakukan hal tersebut,
kalangan kaum tua meyakini ada paralelitas dan koinsidensi antara tindakan
dengan sebab-sebab yang bersifat metafisik. Kedua, responden dari
kalangan muda yang secara umum terpelajar dan memiliki pandangan agama yang
moderat, menganggap konsep Kepuhunan adalah kearifan lokal yang harus
dilestarikan, mengingat merosotnya nilai-nilai etik dan estetik pada umumnya
anak muda. Akan tetapi mengenai sebab-sebab metafisik bahwa apabila tidak
melakukannya akan mendapatkan malapetaka, ditolak dan dianggap irrasional,
sehingga tidak ada paralelitas dan koinsidensi antara tindakan dengan
sebab-sebab yang bersifat metafisik. Ketiga, adalah responden baik dari
kalangan tua maupun muda yang memiliki pandangan agama yang fundamental dan
tekstual, menganggap konsep Kepuhunan bersifat heretik (bid’ah)
karena tidak memiliki landasan normatif maupun tuntunan dari Nabi S.A.W.,
sehingga sama sekali tertolak dan wajib untuk ditinggalkan.
Dalam hal ini penulis menganalisis
bahwa konsep Kepuhunan adalah kearifan lokal yang bertumbuh berdasarkan
dimensi etik dan estetik dalam lokalitas tertentu. Sebagai tradisi turun
temurun, pada sisi-sisi tertentu ada hal-hal yang sudah tidak lagi relevan
dengan kondisi kekinian, misalnya proses sebab-akibat yang bersifat
okasionalistik sehingga mengabaikan realitas empirik dan rasionalitas
kemanusiaan secara umum. Akan tetapi bukan berarti konsep Kepuhunan ini
tertolak secara mutlak sebagaimana pandangan fundamental-tekstual yang
menganggapnya sebagai bid’ah budaya.
Karena pada
tataran basis etik dan estetik-nya terlihat interkoneksitasnya dengan wisdom
universal yang terkandung pada hadits-hadits Nabi S.A.W., tentangnya pentingnya
mempererat hubungan kemanusiaan yang berbasiskan rahmat dan kasih sayang (silaturrahim),
dalam hal ini secara lebih spesifik Nabi S.A.W., menganjurkan untuk memenuhi
undangan, apabila diundang. Bahkan pada hadist yang lain dianjurkan untuk
membatalkan puasanya apabila disuguhi makanan ketika sedang bertamu. Dari sini
terlihat similaritas diantara dua konsep yang tampaknya berlawanan. Oleh karena
itu konsep Kepuhunan sebenarnya merupakan cerminan dari interaksi secara
simbolik suatu komunitas masyarakat dengan kultur yang merupakan faktor unik
dan genuine dari lokalitas masyarakat tertentu. Sehingga konsep Kepuhunan
ini sebaiknya dipertahankan sebagai suatu kearifan lokal yang harus
dilestarikan, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi kekinian dan dimensi
empirik serta rasionalitas kemanusiaan yang selalu berkembang. (Wallahu A’lam
Bishawwab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar