Sejak dimulainya pemberlakuan undang-undang otonomi
daerah, khususnya di wilayah Kaltim mulailah terjadi pemekaran-pemekaran
wilayah dalam bentuk pembentukan Kabupaten-kabupaten baru, sehingga tercipta
sub struktur pemerintahan baru dengan kualitas SDM yang minim. Persoalan
peningkatan SDM adalah salah satu masalah terbesar bangsa
Beberapa tahun terakhir ini baik
pemerintah daerah ditingkat satu maupun tingkat dua di Kaltim mulai menyiapkan
anggaran untuk menggalakkan perbaikan kualitas SDM melalui peningkatan
pendidikan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya APBD karena
pemberlakuan otonomi daerah. Akan tetapi ironisnya peningkatan SDM di Kaltim
terbilang lambat, karena masih tertinggal oleh sebuah Kabupaten di Propinsi DIY
yang bernama Bantul yang baru-baru ini menjadi model percontohan peningkatan
SDM di Indonesia. Padahal Kabupaten Bantul notabene adalah Kabupaten yang minim
APBD-nya. Yang menjadi pertanyaan besar mengapa Kaltim yang kaya sumber daya
alam dan besar APBD-nya belum mampu meningkatkan SDM secara signifikan, dan kira-kira
hambatan apa yang terjadi.
Kabupaten Bantul yang sangat dekat dengan
Apabila diamati secara retrospektif, ada semacam
"kecelakaan sejarah" dalam hal pendidikan di
Sentralisme pendidikan inilah salah satu
penghambat terbesar peningkatan SDM di Kaltim, karena hanya sebagian kecil
warga Kaltim yang mampu mengenyam pendidikan di pulau Jawa. Selain itu
membumbungnya biaya pendidikan pada saat ini semakin memperkeruh upaya perbaikan
SDM, karena pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya, dan
orang-orang miskin akan tetap terbawa oleh arus kemiskinan, seperti
diilustrasikan oleh sebuah buku yang dikarang oleh Eko Prasetyo yang berjudul "orang
miskin dilarang sekolah". Oleh karena itu upaya peningkatan SDM bukanlah
pekerjaan mudah, dan diperlukan proses yang panjang.
Pendidikan yang baik menurut Paulo Freire
adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, dalam artian bahwa mendidik
seseorang harus didasarkan pada kaidah fitrawinya sebagai manusia, yaitu
apa-apa yang diajarkan akan membawa kepada kesadaran diri tentang hakekat
eksistensialnya sebagai manusia dan hakekat menjalani kehidupan. Secara
dasariah para filsuf menganalogikan manusia sebagai binatang yang berfikir (al-Hayawan
an-Nathiqah), dan fungsi pendidikan adalah memperluas makna tersebut
menjadi manusia yang berfikir (al-Insan an-Nathiqah). Oleh karena itu
sumber daya manusia yang baik adalah apabila tiga daya substansial insani yang
dimiliki dapat berfungsi secara efektif. Yang pertama adalah pengembangan daya
kognitif, yaitu pengembangan kemampuan penalaran terhadap sesuatu dengan
melakukan proses transfer segala bidang kajian ilmu yang diminati sebagai dasar
karakteristik intelektualnya. Yang paling esensial dari pengembangan daya
kognitif adalah menghidupkan kreativitas
membaca buku, dan menciptakan semacam budaya membaca buku untuk membentuk
kemampuan diskursif-spekulatif seseorang. Hal inilah yang dipraktikkan oleh negara-negara
maju seperti Amerika,
Yang kedua, SDM yang baik tidak hanya
kuat dalam hal Intelectual Qoutient atau daya kognitif, akan tetapi juga
harus kuat dalam daya afektifnya yaitu kemampuan mengolah rasa, jiwa, atau
hatinya. Ini berkaitan dengan aspek-aspek emosional seseorang, dan pendidikan
emosional yang terbaik adalah melalui keluarga dan lingkungan yang ditopang
oleh semangat religiusitas yang tinggi. Disinilah peranan ilmu agama menjadi
penting sebagai penyeimbang dari daya kognitif yang telah dimiliki. Sedangkan
yang ketiga adalah pengembangan daya psikomotorik seseorang melalui
pelatihan-pelatihan untuk pengembangan skill dengan pengetahuan yang bersifat
praktis dan terapan.
Dengan demikian menanggapi permasalahan
SDM ini, alangkah baiknya pemerintah daerah Kaltim baik ditingkat satu maupun
tingkat dua melakukan langkah-langkah taktis dibidang pendidikan seperti halnya
peningkatan mutu dan kualitas perguruan tinggi yang sudah ada dengan
pembangunan sarana fisik yang baik dan kualitas pengajar yang mumpuni. Selain
itu mempermudah akselerasi akses terhadap buku-buku dari pusat-pusat pendidikan
di pulau Jawa, sekaligus memberikan subsidi terhadap penjualan buku-buku
tersebut, sehingga terjangkau oleh pembeli di Kaltim. Karena saat ini
prosentase pembeli dan pembaca buku di Kaltim sangat minim, disamping karena
buku masih dianggap barang yang mewah dan mahalnya harga buku membuat minat
baca semakin tidak bertambah. Untuk meningkatkan minat baca kita bisa mencontoh
gagasan walikota Yogyakarta Heri Zudianto yang sedang membangun Taman Pintar,
yang disana masyarakat
Walhasil, untuk menghilangkan sentralisme
pendidikan di Indonesia membutuhkan waktu yang lama, semoga dengan pemerintahan
baru nanti dapat merombak sistem pendidikan di Indonesia yang sangat
sentralistik, dan memberi ruang yang luas kepada daerah-daerah di luar Jawa
untuk mengembangkan pendidikan secara mandiri, agar kesetaraan di dalam
pencapaian ilmu pengetahuan dapat dinikmati oleh segenap masyarakat Indonesia.
Selain itu menjadikan reformasi pendidikan sebagai prioritas utama setelah
pemberantasan korupsi, karena pendidikan adalah satu-satunya prasyarat kemajuan
sebuah bangsa. Karena bangsa Indonesia sudah tertinggal jauh di dalam
penguasaan ilmu pengetahuan, sementara Rusia sudah mulai mereformasi sistem
pendidikannya sejak tahun 1694 di bawah pemerintahan Peter Agung, yang kemudian
disusul oleh Jepang pada tahun 1868 yang dikenal dengan Restorasi Kaisar Meiji.
Oleh karena itu kita harus segera bangkit dari keterpurukan sejarah, untuk
membuat sejarah gemilang di masa mendatang. Wallahu A'lamu Bishawwab.
(*Penulis adalah pemerhati masalah kemanusiaan, tinggal di Ponpes Hidayatullah
Pusat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar