Senin, 04 Juli 2022

Peningkatan SDM vs Sentralisme Pendidikan

 

Sejak dimulainya pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, khususnya di wilayah Kaltim mulailah terjadi pemekaran-pemekaran wilayah dalam bentuk pembentukan Kabupaten-kabupaten baru, sehingga tercipta sub struktur pemerintahan baru dengan kualitas SDM yang minim. Persoalan peningkatan SDM adalah salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia setelah pemberantasan korupsi, dan itu semua bergantung pada persoalan pendidikan. Kalau SDM suatu bangsa sudah membaik maka secara gradual bangsa itu akan segera keluar dari problem kemiskinan, karena ketidaksejahteraan sebuah masyarakat adalah pertanda kerapuhan sendi-sendi suatu bangsa. Terciptanya kriminalitas, kerusuhan massa, dan perilaku korupsi salah satunya dipicu oleh persoalan ekonomi.

Beberapa tahun terakhir ini baik pemerintah daerah ditingkat satu maupun tingkat dua di Kaltim mulai menyiapkan anggaran untuk menggalakkan perbaikan kualitas SDM melalui peningkatan pendidikan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari meningkatnya APBD karena pemberlakuan otonomi daerah. Akan tetapi ironisnya peningkatan SDM di Kaltim terbilang lambat, karena masih tertinggal oleh sebuah Kabupaten di Propinsi DIY yang bernama Bantul yang baru-baru ini menjadi model percontohan peningkatan SDM di Indonesia. Padahal Kabupaten Bantul notabene adalah Kabupaten yang minim APBD-nya. Yang menjadi pertanyaan besar mengapa Kaltim yang kaya sumber daya alam dan besar APBD-nya belum mampu meningkatkan SDM secara signifikan, dan kira-kira hambatan apa yang terjadi.

Kabupaten Bantul yang sangat dekat dengan kota Yogyakarta yang juga merupakan kota pelajar, membuat bupatinya H. Idham Samawi terinspirasi untuk meningkatkan SDM masyarakatnya dengan menyekolahkan guru-guru lulusan S1 untuk melanjutkan S2 sampai jenjang S3 dengan biaya APBD. Sehingga wajar dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Bantul dapat membuat terobosan-terobosan baru utamanya dalam hal pendidikan.

Apabila diamati secara retrospektif, ada semacam "kecelakaan sejarah" dalam hal pendidikan di Indonesia selama ini, khususnya pada era Orde Baru dibawah pemerintahan Soeharto. Dimasa Orde Baru pola kekuasaan sangat sentralistik, karena Soeharto menerapkan pola -Jawa sentris- secara ketat, dimana pulau Jawa menjadi pusat roda perputaran ekonomi, sosial, politik dan budaya, dan daerah luar Jawa menjadi korban eksploitasi secara massif. Hal ini pula yang yang terjadi dibidang pendidikan, dimana pendidikan hanya berkembang dengan pesat di kota-kota seperti Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Bandung dan Malang sehingga terjadi yang disebut sentralisme pendidikan. Ini merupakan efek dari sentralisme kekuasaan yang kemudian berkembang menjadi sentralisme ekonomi dan politik yang berefek pada sentralisme pendidikan. Sehingga muncul sinyalemen bahwa pendidikan yang berkualitas hanya bisa didapatkan di pulau Jawa. Melihat fakta ini, adalah wajar apabila Kabupaten Bantul dapat meningkatkan SDM masyarakatnya, karena secara geografis berdekatan dengan kota -pelajar- Yogyakarta.

Sentralisme pendidikan inilah salah satu penghambat terbesar peningkatan SDM di Kaltim, karena hanya sebagian kecil warga Kaltim yang mampu mengenyam pendidikan di pulau Jawa. Selain itu membumbungnya biaya pendidikan pada saat ini semakin memperkeruh upaya perbaikan SDM, karena pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya, dan orang-orang miskin akan tetap terbawa oleh arus kemiskinan, seperti diilustrasikan oleh sebuah buku yang dikarang oleh Eko Prasetyo yang berjudul "orang miskin dilarang sekolah". Oleh karena itu upaya peningkatan SDM bukanlah pekerjaan mudah, dan diperlukan proses yang panjang.

Pendidikan yang baik menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, dalam artian bahwa mendidik seseorang harus didasarkan pada kaidah fitrawinya sebagai manusia, yaitu apa-apa yang diajarkan akan membawa kepada kesadaran diri tentang hakekat eksistensialnya sebagai manusia dan hakekat menjalani kehidupan. Secara dasariah para filsuf menganalogikan manusia sebagai binatang yang berfikir (al-Hayawan an-Nathiqah), dan fungsi pendidikan adalah memperluas makna tersebut menjadi manusia yang berfikir (al-Insan an-Nathiqah). Oleh karena itu sumber daya manusia yang baik adalah apabila tiga daya substansial insani yang dimiliki dapat berfungsi secara efektif. Yang pertama adalah pengembangan daya kognitif, yaitu pengembangan kemampuan penalaran terhadap sesuatu dengan melakukan proses transfer segala bidang kajian ilmu yang diminati sebagai dasar karakteristik intelektualnya. Yang paling esensial dari pengembangan daya kognitif  adalah menghidupkan kreativitas membaca buku, dan menciptakan semacam budaya membaca buku untuk membentuk kemampuan diskursif-spekulatif seseorang. Hal inilah yang dipraktikkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Malaysia, Korea dan negara maju lainnya di Eropa.

Yang kedua, SDM yang baik tidak hanya kuat dalam hal Intelectual Qoutient atau daya kognitif, akan tetapi juga harus kuat dalam daya afektifnya yaitu kemampuan mengolah rasa, jiwa, atau hatinya. Ini berkaitan dengan aspek-aspek emosional seseorang, dan pendidikan emosional yang terbaik adalah melalui keluarga dan lingkungan yang ditopang oleh semangat religiusitas yang tinggi. Disinilah peranan ilmu agama menjadi penting sebagai penyeimbang dari daya kognitif yang telah dimiliki. Sedangkan yang ketiga adalah pengembangan daya psikomotorik seseorang melalui pelatihan-pelatihan untuk pengembangan skill dengan pengetahuan yang bersifat praktis dan terapan.

Dengan demikian menanggapi permasalahan SDM ini, alangkah baiknya pemerintah daerah Kaltim baik ditingkat satu maupun tingkat dua melakukan langkah-langkah taktis dibidang pendidikan seperti halnya peningkatan mutu dan kualitas perguruan tinggi yang sudah ada dengan pembangunan sarana fisik yang baik dan kualitas pengajar yang mumpuni. Selain itu mempermudah akselerasi akses terhadap buku-buku dari pusat-pusat pendidikan di pulau Jawa, sekaligus memberikan subsidi terhadap penjualan buku-buku tersebut, sehingga terjangkau oleh pembeli di Kaltim. Karena saat ini prosentase pembeli dan pembaca buku di Kaltim sangat minim, disamping karena buku masih dianggap barang yang mewah dan mahalnya harga buku membuat minat baca semakin tidak bertambah. Untuk meningkatkan minat baca kita bisa mencontoh gagasan walikota Yogyakarta Heri Zudianto yang sedang membangun Taman Pintar, yang disana masyarakat Yogyakarta dapat membeli dan membaca buku dengan enjoy karena didukung oleh suasana yang kondusif.

Walhasil, untuk menghilangkan sentralisme pendidikan di Indonesia membutuhkan waktu yang lama, semoga dengan pemerintahan baru nanti dapat merombak sistem pendidikan di Indonesia yang sangat sentralistik, dan memberi ruang yang luas kepada daerah-daerah di luar Jawa untuk mengembangkan pendidikan secara mandiri, agar kesetaraan di dalam pencapaian ilmu pengetahuan dapat dinikmati oleh segenap masyarakat Indonesia. Selain itu menjadikan reformasi pendidikan sebagai prioritas utama setelah pemberantasan korupsi, karena pendidikan adalah satu-satunya prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Karena bangsa Indonesia sudah tertinggal jauh di dalam penguasaan ilmu pengetahuan, sementara Rusia sudah mulai mereformasi sistem pendidikannya sejak tahun 1694 di bawah pemerintahan Peter Agung, yang kemudian disusul oleh Jepang pada tahun 1868 yang dikenal dengan Restorasi Kaisar Meiji. Oleh karena itu kita harus segera bangkit dari keterpurukan sejarah, untuk membuat sejarah gemilang di masa mendatang. Wallahu A'lamu Bishawwab. (*Penulis adalah pemerhati masalah kemanusiaan, tinggal di Ponpes Hidayatullah Pusat Balikpapan.)                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...