A. Latar Belakang
Masalah.
Salah
satu diktum teologis mendasar dalam konsepsi pemikiran Islam adalah
konsep tentang keesaan Tuhan (tauhid). Dari konsep inilah pemikiran
Islam mengalami perkembangan dengan ciri khas, watak, dan nilai-nilai
fundamentalnya. Pada masa klasik dialektika pemikiran tentang ketuhanan ini
menjadi atmosfir utama pemikiran Islam, sehingga pemikiran teologis atau yang juga lazim disebut Falsafah Kalam
mempunyai tempat yang sangat sentral dalam bangunan pemikiran Islam klasik.
Oleh karena itu pandangan teologis/kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah ataupun
Maturidiah dan lainnya, menjadi tonggak sejarah yang tidak dapat dihapus dari
wawasan intelektual Islam klasik. Dalam konteks pendidikan Islam, wawasan
teologis/kalam tersebut masih dibahas di berbagai pusat-pusat pendidikan dan
pengajaran Islam baik di pesantren, madrasah Tsanawiyah/Aliyah, IAIN/UIN maupun
program-program Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah
diberbagai perguruan tinggi di luar negeri.
Teologi dipahami sebagai pembahasan atau ilmu tentang
ketuhanan, yang menjadi dasar dari setiap agama. Kemudian istilah teologi tidak
hanya digunakan sebagai nama dari ilmu yang membicarakan tentang tuhan, tetapi
juga menunjuk pada materi kepercayaan. Oleh karena itu term ‘teologi’ dapat
digunakan untuk menunjuk pada kedua makna tersebut, yakni pemaknaan teologi
tidak lagi dibatasi diskusi tentang aspek ketuhanan, tetapi juga sebagai paham
keagamaan dari seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini ada teologi dalam corak
dogmatik yang lebih menekankan pada pentingnya pemahaman dan penjiwaan kredo,
dogma atau doktrin agama. Selain itu dan ada pula teologi dalam corak praktis,
yang merupakan penerapan teologi dogmatik ke dalam aturan-aturan kehidupan,
termasuk di dalamnya aspek-aspek pendidikan. Menurut Farid Essack, doktrin
teologis pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri. Ia terkait dengan jaringan
institusi atau lembaga sosial kemasyarakatan. Bahkan, kepentingan ekonomi,
sosial, politik, pertahanan tampaknya selalu menyertai pemikiran teologis yang
sudah mengkristal di masyarakat.[1]
Paling
tidak ada dua pola hubungan antara teologi dan pendidikan, yaitu yang pertama,
adalah hubungan yang bersifat fungsional. Bahwa konsepsi teologis adalah suatu worldview atau pandangan dunia yang membutuhkan sejenis
instrumen untuk mentransmisikan gagasan teologis tersebut ke dalam spektrum
yang lebih luas dan kongkret.[2]
Misalnya, salah satu media transmisi yang dapat digunakan adalah institusi
pendidikan. Selain itu bahwa suatu sistem teologi biasanya hanya pada tataran
wacana para pemikir dan teolog, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas.
Untuk itu dibutuhkan peran ulama, mubaligh dan guru.[3]
Oleh karena itu secara kasat mata sesungguhnya hubungan fungsional antara
teologi dan pendidikan sangatlah erat, akan tetapi dimensi pragmatis, tolak
ukur dan watak dari dunia pendidikan yang memiliki karakter yang khas, sehingga
persoalan teologi tidak masuk dalam hitungan dunia pendidikan. Kedua,
hubungan antara teologi dan pendidikan bersifat simbiotik (saling memengaruhi).
Pada satu sisi, nilai dan spirit teologi dapat menjadi landasan konseptual yang
kokoh dan ‘berjiwa’, bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan yang menjadi
garapan dunia pendidikan.[4]
Berkaitan dengan hal tersebut,
realitas objektif yang terjadi saat ini, pendidikan tentang teologi (keimanan) (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan
pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi
moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama.
Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh
peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor
penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan
keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di
dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan.
Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata
mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik
menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about
being Moslem).
Fenomena menurunnya kualitas keberagamaan atau
keberimanan di kalangan peserta didik akhirnya berimbas pada terjadinya
penurunan kualitas karakter dan kepribadian peserta didik atau keluaran lembaga
pendidikan. Hal ini membuat Kementerian Pendidikan Nasional menggagas
pentingnya pendidikan karakter. Dalam artian bahwa pendidikan karakter tidak
semata-mata untuk kembali melakukan pengajaran nilai-nilai kebangsaan seperti
Pancasila dan kewarganegaraan (civic education). Akan tetapi
sesungguhnya aspek yang substansial dalam karakter seseorang, adalah sejauhmana
nilai-nilai keimanan (teologis) menjadi power control terhadap
segala perilaku dan tindakan. Amin Abdullah
berpendapat bahwa sifat pendidikan karakter adalah multidimensi
dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh,
interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial, ad
hoc, apalagi atomistik. Menurutnya pendidikan
karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi,
politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. Pendidikan agama, begitu juga
pendidikan kewarganegaraan pada level manapun tidak dapat berbuat banyak jika
ia berdiri sendiri (self sufficiency), karena jika tidak dikaitkan
dengan budaya, sosial, hukum dan politik misalnya, maka pendidikan agama
hanya akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang
mungkin mudah dihapal, tapi seringkali tidak dapat dipraktikkan dan
diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks[5].
Dalam konteks pendidikan Islam, prinsip-prinsip keimanan
yang diajarkan bersifat given dan telah baku, sehingga pada umumnya
resepsi dan pemaknaan terhadap konsep-konsep keimanan itu menjadi taken from
granted. Padahal sesungguhnya konsep-konsep keimanan yang diajarkan selama
ini pada peserta didik sudah mengalami proses dialektika interpretasi sejak
masa klasik dalam sejarah pemikiran Islam. Seiring dengan perkembangan zaman,
konsepsi keberimanan yang dikonstruksi dalam locus dan tempus
tertentu itu diduga telah mengalami banyak pendistorsian makna, sehingga dalam
beberapa sisi tertentu sudah banyak yang tidak lagi sesuai.
Menurunnya kualitas keberimanan dan karakter
serta kepribadian peserta didik pada masa kini mengindikasikan bahwa telah
terjadi diskrepansi atau anomali antara materi pengajaran keimanan (aqidah
dan akhlaq) dengan hasil yang ingin dicapai. Dengan demikian telah terjadi
ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen dalam proses
penanaman nilai-nilai keimanan bagi peserta didik. Oleh sebab itu berarti ada
permasalahan pada substansi materi pengajaran dan dalam proses pemelajaran,
sehingga membuat konsepsi keimanan hanya sampai pada wilayah teoritik dan tidak
mengejawantah dalam ranah praktik. Berkaitan dengan itu, Amin Abdullah
berpandangan bahwa model pembelajaran pendidikan
keberimanan atau akhlak yang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alih
pengetahuan moral, agama atau karakter’ (transfer of knowledge tentang
moral, agama atau karakter). Dengan paradigma pembelajaran seperti
ini, maka yang ditekankan oleh pendidik adalah penguasaan materi sesuai
SAP yang tersedia dan daya serap anak didik atau memorisasi/hafalan lebih
dipentingkan. Praktik ini tergambar dengan jelas dalam model soal ujian atau
test yang dibuat oleh guru atau dosen. Akibat langsung yang tidak
dirasakan selama bertahun-tahun adalah bahwa pendidikan keberimanan atau moral
dan akhlak terlalu berorientasi pada intelektualisme etis[6].
Tidak hanya pada model pembelajaran pendidikan
keberimanan yang hanya menitikberatkan pada proses transfer pengetahuan dan
konsepsi-konsepsi teoritik mengenai keimanan. Akan tetapi juga terjadi
permasalahan pada ranah substansi materi pengajarannya, karena tampaknya
konsepsi-konsepsi teoritik mengenai keimanan tersebut tidak berpengaruh secara
signifikan dalam meningkatkan penghayatan keimanan peserta didik, mengingat
meningkatnya fenomena demoralisasi dan dekadensi karakter dan kepribadian pada
masa kini. Oleh karena itu substansi materi pengajaran keimanan menjadi
konsepsi yang mandul, atau dalam istilah Whitehead disebut dengan innate
idea’s. Hal ini terjadi diduga juga karena konsepsi-konsepsi teologis atau
konsep keimanan dalam Islam telah mengalami performative contradiction. Terjadinya
kontradiksi performatif dalam konsep-konsep keberimanan, karena masing-masing
aliran-aliran, mazhab, sekte-sekte, kelompok, organisasi keagamaan memiliki
bangunan pemahaman konsepsi teologisnya sendiri-sendiri dalam melakukan
interpretasi konsepsi tentang keimanan yang direduksi dari dalil-dalil
al-Qur’an dan Hadits-hadits.
Salah satu efek yang ditimbulkan dari fenomena performative
contradiction ini adalah munculnya suatu pemahaman yang radikal dari
kelompok atau organisasi Islam tertentu (hard liner’s), yang
melakukan segala cara untuk mempraktikkan dan menegaskan doktrin idiologisnya,
dengan mengorbankan dimensi-dimensi kemanusiaan. Pandangan radikal tersebut
merupakan konsepsi dan interpretasi yang diderivasi dari doktrin keimanan di
dalam Islam. Oleh karena itu, dalam menyikapi permasalahan ini diperlukan suatu
konsensus yang bersifat universal mengenai konsepsi keimanan Islam baik dalam
ranah teori maupun dalam ranah praktik.
Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti
berasumsi bahwa perlu dilakukan penelusuran ulang secara historis dalam sejarah
awal perkembangan Islam pada periode Mekkah, untuk menilai kembali bagaimana
proses pengajaran dan diseminasi pemahaman nilai-nilai keimanan Islam pada masa
ketika doktrin teologis mengenai keimanan Islam ini pertama kali diajarkan oleh
Muhammad S.A.W. kepada para komunitas Muslim awal ketika itu. Karena kita
menemukan fakta yang gamblang dalam sejarah Islam pada periode Mekkah tentang
ketahanan, immunitas, dan kualitas keimanan yang luar biasa dari para sahabat
atau komunitas Muslim awal dalam menghadapi tekanan dan siksaan baik secara
fisik, mental, emosional dari pemegang kekuasaan politik di Mekkah pada masa
itu.
Dari fakta sederhana ini dapat dimaknai bahwa
terdapat fenomena unik dan menarik tentang bagaimana cara Muhammad S.A.W. di
dalam mengajarkan nilai-nilai keimanan kepada komunitas Muslim awal tersebut,
dan bagaimana materi pengajaran keimanan pada masa itu, yang tentunya sangat
berkaitan erat dengan wahyu-wahyu awal yang diturunkan ketika itu. Metode dan
materi pengajaran keimanan pada masa itu bisa dipastikan sangat jauh berbeda
dengan metode dan materi pengajaran mengenai keimanan pada masa sekarang yang
jauh lebih kompleks dan konsepsi-konsepsinya sudah mengalami banyak perubahan
karena diarahkan sesuai dengan pandangan dunia masing-masing aliran, sekte,
kelompok dan organisasi, sehingga membuat konsepsi keimanan menjadi innate
idea’s dan terjebak dalam performative contradiction.
Selain itu fokus penelitian ini lebih
menitikberatkan pada proses historis yang terjadi pada periode Mekkah, karena
diasumsikan bahwa pada periode inilah Muhammad S.A.W. sebagai pembawa ajaran
Islam meletakkan dasar-dasar pemahaman keimanan kepada para Sahabat atau
komunitas Muslim awal ketika itu sebagai modal utama bagi terbentuknya
masyarakat Muslim yang pada akhirnya kemudian terwujud pada periode Madinah. Di
sisi lain, apabila dilihat dalam proses kronik historis yang terjadi dalam
sejarah Nabi Muhammad S.A.W. (Sirah Nabawiyah), terdapat perbedaan
mendasar antara periode Mekkah dan periode Madinah, dimana terlihat pada
periode Mekkah proses diseminasi dan pembelajaran nilai-nilai keimanan Islam
berlangsung dengan sangat intensif. Salah satunya adalah peranan dari rumah
Arqam bin Abi Arqam, seorang Sahabat dari Bani Makhzum yang terkenal kuat dan
berpengaruh. Selama beberapa tahun di rumah yang kemudian dikenal dengan “Darul
Arqam” inilah Muhammad S.A.W. siang dan malam mengajarkan keimanan Islam kepada
komunitas Muslim awal, hingga penganut Islam mencapai empat puluh orang[7].
Hal ini diperkuat oleh pandangan umum ulama tafsir bahwa wahyu-wahyu Makkiyah
berisikan seruan-seruan keimanan yang bersifat universal.
Sementara itu pada periode Madinah, Muhammad S.A.W.
bersama komunitas Muslim yang ada, lebih banyak terlibat oleh upaya meneguhkan
posisi kota Madinah sebagai pusat kegiatan politik, sehingga intensitas
pembelajaran nilai-nilai keimanan tidak sebagaimana ketika pada periode Mekkah.
Dalam kronik sejarah Islam pada periode Madinah, Umat Islam awal ketika itu
lebih banyak disibukkan oleh peperangan demi peperangan untuk merespon
perlawanan kabilah-kabilah lain terhadap derasnya arus ekspansi dan perluasan gerakan dakwah Islam ke seluruh penjuru
Jazirah Arab. Hal ini diperkuat pula oleh pandangan umum ulama tafsir bahwa
wahyu-wahyu yang turun pada periode Madinah secara lebih spesifik berisi
mengenai peraturan-peraturan normatif (syari’at) dan aturan main mengenai
hubungan antar sesama manusia (mu’amalah). Sekalipun demikian
wahyu-wahyu yang turun pada periode Madinah tetap mengandung dimensi keimanan,
dengan penekanan yang lebih pada dimensi aturan dan pelaksanaannya.
Adapun alasan pemilihan tema dan judul di atas,
pertama, pada tataran praktik, filsafat pendidikan Islam
terjebak pada problem-problem pragmatik-teknikalistik, sehingga aspek-aspek
yang substantif dan esensial seperti dimensi keimanan dalam pendidikan Islam
menjadi terabaikan. Sementara itu dalam domain filsafat pendidikan Islam,
bahasan mengenai keimanan menjadi sangat krusial dan mendasar, akan tetapi arus
utama yang terjadi dalam pengajaran keimanan dalam praktiknya lebih banyak
menekankan pada indoktrinasi doktrin-doktrin kalam yang sarat dengan
proses dialektik yang menjemukan. Kedua, apabila
dilihat dari perspektif teori pusat dan pinggiran (center and periphery),
maka proses kronik historis pada masa Muhammad S.A.W. merupakan pusat dari
sejarah Umat Islam. Historiografi Islam pada level akademik baik dari kalangan
orientalis maupun para sarjana Muslim masa kini lebih banyak membahas sejarah
Islam dari pinggir. Karena menganggap proses kronik historis pada masa Muhammad
S.A.W. tidak perlu direkonstruksi ulang dan dianggap sudah selesai. Hal ini
membuat kajian mengenai sejarah Umat Islam pada masa Muhammad S.A.W. kian
terabaikan. Padahal pada masa inilah, landasan historis, filosofis dan
idiologis Peradaban Islam dibangun. Selain itu penelitian-penelitian studi
keislaman yang ada sangat jarang yang menyentuh dan menelaah ulang proses
kronik historis pada masa Muhammad S.A.W..
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik suatu proposisi bahwa konsepsi dan doktrin
teologis tentang keberimanan yang melembaga dalam pandangan teologis aliran,
madzhab, sekte, kelompok, organisasi Islam tertentu telah mengalami anomali,
sehingga pandangan teologis tersebut mengalami performative contradiction.
Akibatnya ide-ide dan konsep keberimanan yang sampai kepada para peserta didik
tidak lagi berfungsi untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
penghayatan keimanan dan perbaikan karakter serta kepribadian peserta didik
atau menjadi innate idea’s. Oleh karena itu perlu rekayasa
ulang atau redisain kurikulum pembelajaran mengenai keimanan Islam dengan
mencoba menelusuri kembali fakta-fakta historis tantang proses diseminasi paham
iman komunitas Muslim awal pada periode Mekkah. Dari sini aspek-aspek historis
dari sejarah pada masa Muhammad S.A.W. (Sirah Nabawiah) dimaknai kembali
agar ditemukan lesson learn tertentu sebagai bagian dari upaya
pembaharuan kurikulum dan pengajaran keimanan dalam pendidikan Islam pada masa
sekarang.
B.
Rumusan
Masalah
Berangkat dari permasalahan yang telah
diuraikan di atas, penelitian ini diarahkan pada kajian mengenai proses kronik
historis sejarah Islam klasik, khususnya pada periode Mekkah, karena pada masa
ini proses internalisasi paham keimanan Islam terjadi secara intensif, untuk
dikontekstualisasikan pada kurikulum dan praktik pengajaran keimanan Islam pada
masa sekarang. Rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah:
1.
Bagaimana
proses diseminasi paham iman komunitas Muslim awal pada periode Mekkah?
2.
Bagaimana
signifikansinya terhadap proses pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam
praktik pembelajaran pendidikan agama Islam di lembaga persekolahan?
3.
Bagaimana
implikasinya terhadap upaya pembaharuan kurikulum dan metode pengajaran
keimanan Islam pada masa kini?
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini secara historis maupun filosofis
bertujuan untuk mengelaborasi kembali fakta-fakta sejarah mengenai proses
diseminasi pemahaman keimanan Islam di dalam komunitas Muslim awal pada periode
Mekkah sebagai gambaran par exellence mengenai proses pengajaran
konsep-konsep keimanan. Termasuk di dalamnya menelaah kembali peranan Muhammad S.A.W.
sebagai aktor utama di dalam proses tersebut, peranan ‘Darul Arqam’ sebagai
madrasah pertama yang mengajarkan konsepsi keimanan Islam, dan peranan secara
sistematik wahyu-wahyu yang pertama kali turun di dalam menstimulasi kuatnya pemahaman
keimanan Islam anggota komunitas Muslim awal tersebut. Dari situ akan diuraikan
tentang signikansi di dalam proses pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam
praktik pembelajaran dan implikasinya terhadap redisain kurikulum dan metode
pengajaran keimanan Islam pada masa kini.
Formulasi yang merupakan hasil elaborasi dan
telaah secara mendalam terhadap fakta-fakta historis tersebut diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran bagi upaya penguatan penghayatan keimanan Islam dan
perbaikan karakter serta kepribadian peserta didik yang berada di dalam ranah
dunia persekolahan. Dengan demikian formulasi tersebut dapat digunakan sebagai
kerangka acuan dalam memetakan kembali konsepsi-konsepsi, materi dan metode dan
kurikulum pengajaran keimanan Islam. Sehingga terjadi penyegaran ulang terhadap
konsepsi-konsepi serta ide-ide tentang keimanan Islam yang telah mengalami innate
idea’s, serta mampu mengikis fenomena performative
contradiction di dalam praktik pengajaran keimanan Islam di kalangan
peserta didik.
D.
Jenis dan Metode
Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis
penelitian kepustakaan (library research), yakni mengeksplorasi
literatur-literatur terkait, baik literatur yang ditulis pada rentang masa yang
menjadi fokus kajian maupun literatur yang menyorotnya, untuk kemudian
dianalisis secara teoritis-filosofis, disimpulkan dan diangkat relevansi serta
kontekstualitasnya dalam konteks kekinian. Apabila berpijak pada pemetaan jenis
studi pustaka Noeng Muhadjir, penelitian ini berupaya memadukan antara studi
pustaka yang lebih memerlukan olahan filosofis dan teoritis dengan studi
pustaka yang memerlukan uji kebermaknaan empiris di lapangan.[8]
Mengikuti rumusan Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen[9],
data dalam penelitian ini meliputi keseluruhan bahan kasar yang ditemukan dari
laporan sejarah, dan sifatnya sebagai laporan sejarah tidak perlu diragukan,
karena menurut pendapat Louis Gottschalk[10],
data tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas dasar adanya bukti-bukti
historis.
Data penelitian ini menunjuk pada proses
diseminasi paham iman komunitas Muslim awal periode Mekkah (610-622 M). Oleh
karena itu, data tidak hanya meliputi gejala inderawi, tetapi juga gejala
psikologis dan kerangka fikirnya. Meskipun demikian, penelitian kesejarahan
masih memiliki peluang untuk menelaah isinya. Peluang ini dimungkinkan oleh
sifat kenyataan sejarah yang tidak terbatas pada kenyataan pada kenyataan
inderawi, tetapi juga menjangkau fakta yang bermakna (facts of Meaning),
yakni fakta sejarah yang ditangkap oleh pengertian dan pemahaman yang mendalam[11].
Sejalan dengan itu, menurut Sartono Kartodirjo, kenyataan sejarah tidak hanya
terdiri dari artefact, tetapi juga sociofact dan mentifact[12].
Sebagai laporan sejarah, maka data yang
dikumpulkan perlu diuji mengenai kebenaran informasi yang dikandungnya. Menurut
Homer Carey Hocket kritik eksternal terhadap sejarah adalah meliputi penentuan
penulis naskah, keaslian laporan sejarah dan masalah waktu. Sedangkan kritik
internal lebih diarahkan pada pengujian isi dari laporan sejarah tersebut[13].
Atas dasar pertimbangan tersebut, bahwa tujuan penelitian ini dalam rangka
untuk menjelaskan sejarah, dan bukan melakukan suatu proses rekonstruksi benar
atau tidaknya proses sejarah yang ada, maka fakta sejarah yang keras lebih
diutamakan dari fakta lunak[14].
Pemilihan fakta sejarah keras tidak terlalu memerlukan kritik sejarah, karena
sudah merupakan fakta yang disepakati dan dipahami bersama oleh para ahli
sejarah, termasuk dalam konteks penelitian ini, yang berupaya melakukan telaah
ulang proses sejarah Islam pada periode Mekkah.
Diantara signifikansi
penelitian kesejarahan dalam konteks pendidikan menurut Burke Johnson dan Larry
Christensen adalah dalam rangka untuk mengidentifikasi keterkaitan antara masa
lalu dengan masa sekarang, dan juga untuk mencatat dan mengevaluasi
pencapaian-pencapaian individu-individu, agensi-agensi dan institusi-institusi[15].
Adapun langkah-langkah metodologis yang diambil adalah: (1), mengidentifikasi
topik penelitian dan merancang suatu formulasi untuk masalah penelitian atau
menjawab rumusan masalah; (2), mengumpulkan data atau literature review,
yang dalam konteks metodologi sejarah disebut dengan proses heuristik; (3)
mengevaluasi sumber-sumber sejarah pendidikan dengan melakukan kritik eksternal
dan internal; (4), adalah melakukan data sintesis dan persiapan laporan atau
eksposisi narasi penelitian[16].
Selain itu, karena
penelitian ini termasuk dalam ranah penelitian kualitatif, maka analisis data
mengacu pada skema yang diajukan oleh Creswell, yaitu, data mentah yang berupa dokumen sejarah, transkrip, catatan lapangan dan
gambar diorganisir sedemikian rupa dan dipersiapkan untuk dianalisis, kemudian
seluruh data tersebut mengalami proses pembacaan ulang secara menyeluruh agar bisa
dikategorisasikan dalam bentuk tema-tema dan deskripsi-deskripsi. Selanjutnya
dilakukan proses interrelasi antara tema-tema dan deskripsi-deskripsi itu, yang kemudian proses ini melahirkan
pengelompokan makna, dimana puncaknya adalah melakukan interpretasi terhadap
makna-makna tersebut.
Karena pendekatan dalam penelitian ini adalah
sejarah, maka yang digunakan adalah metode analisis historis
deskriptif-analitik. Oleh karena itu mengikuti pandangan Royce A. Singleton, Jr
dan Bruce C. Straits, penelitian ini tidak sekedar mendeskripsikan peristiwa
masa lalu (historical events), melainkan juga berupaya menganalisisnya
untuk menuju ke arah pengembangan pemahaman yang luas tentang dunia sosial masa
silam[17].
Selain itu analisis kesejarahan menurut W. James Potter, paling tidak mempunyai
tiga karakteristik utama, yakni: (1) berkepentingan terhadap masa lalu, (2)
bersifat empiris (berdasarkan sumber-sumber primer dan sekunder), dan (3)
mengarah pada sintesis dan pemaknaan[18].
Di sisi lain, karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan kaitan, relevansi
dan kontekstualisasi obyek kajian dalam konteks kekinian, maka yang digunakan
adalah model penalaran induksi analitis (analytical induction), yaitu
proses analisis sirkuler dari pemahaman-pemahaman selektif dalam rangka
membangun sebuah teori atau mengembangkan transferabilitas ke dalam setting
yang berbeda[19]. Atas dasar itu kajian
disertasi ini juga di arahkan pada upaya penemuan implikasi-impilkasi yang
bersifat teoritis dalam konteks pendidikan keimanan Islam pada masa sekarang.
E.
Kajian
Pustaka
Karya sejarah Muslim tertua yang membahas
kronik historis pada periode Makkah adalah kitab Sirah Nabi karya Ibnu
Ishaq. Karya ini dipandang sebagai kemajuan diantara karya-karya masa awal dan
narasi-narasi oral yang tercatat dalam literatur kenabian yang dikenal dengan
sebutan Maghazi-Sirah. Dalam karyanya The Sectarian Milieu,
Wansbrough berpendapat bahwa karya Ibnu Ishaq mengandung “formula paling awal
tentang identitas Muslim”[20].
Menurut Earle H. Waugh, karya Ibnu Ishaq menyerupai Odyssey Homerus
Muslim awal[21]. Karya ini merupakan
sumber sejarah yang penting bagi historiografi mengenai sejarah Islam pada masa
Muhammad S.A.W. pada masa-masa selanjutnya.
Karya sejarah yang mirip dengan Sirah Nabi
Ibnu Ishaq adalah kitab al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, dimana
karya ini mampu menghadirkan fakta sejarah dengan rangkaian nama penyampai
berita, dan menarasikan proses historis pada masa Muhammad S.A.W. secara
kronologis. Cara penulisan sejarah ini kemudian diikuti oleh penulis lain
seperti Ibnu Jarir al-Thabary dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Ibnu
Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah. Adapun karya yang menekankan pada
penuturan kronologis dan mendekatkan dengan sumber-sumbernya secara langsung
adalah karya Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh dan Ibnu Abdil
Barr dalam ad-Durar fi Sirati ar-Rasul.
Penulisan tentang kronik historis pada masa
Muhammad S.A.W. terus dilakukan oleh sejarawan dan cendekiawan Muslim hingga
masa era sekarang, diantara yang mampu membahas kajian Sirah Nabawi
secara populer dan mampu meraih hati pembaca yang sangat banyak, adalah karya
M. Haekal dalam Hayaatu Muhammad. Selain karya tersebut, model genre
yang sama juga dilakukan oleh M. Hasan An-Nadwi dalam Sirah Muhammad S.A.W.
dan Shafiurrahman al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiah. Selain penulisan
sejarah Islam yang menjadikan Muhammad S.A.W. sebagai tokoh sentralnya, maka
juga ada karya sejarah yang lebih menitikberatkan pada kronik historis para
sahabat seperti al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya al-Asqalany, dan
Yusuf al-Kandahlawy dalam Hayat al-Shahabah.
Jika literatur di atas lebih menekankan pada
aspek kronologis dan kronik historis sejarah awal Islam serta sekaligus
berfungsi sebagai sumber ajaran, maka juga terdapat beberapa karya tulis ilmuan
Muslim kontemporer seperti Fazl Ahmad dalam Muhammad; The Prophet of
Islam; H.M. Balyuzi dalam Muhammad and The Course of Islam; Ashgar Ali Engginer dalam Prophet
Muhammad (S.A.W.) as a Liberator; Fathullah Gulen dalam Prophet
Muhammad: Aspects of His Life. Sedangkan karya tulis ilmuan Barat
yang menaruh perhatian pada proses kronik historis Muhammad S.A.W., seperti W.
Montgomery Watt dalam Muhammad at Mecca dan Muhammad: The
Prophet and Statesman, serta Muhammad as The Founder of Islam;
Robert Caspar dalam A Historical introduction to Islamic Theology: Muhammad
and The Classical Period; Clinton Bennet dalam In Search of Muhammad;
G.Widengren dalam Muhammad, The Apostle of God and His Ascension;
Heikki Raisanen dalam Marcion, Muhammad and The Mahatma: Exagetical
Perspectives on The Encounter of Cultures and Faiths; Robert R Gullick.
Jr., dalam Muhammad: The Educator.
Sementara itu kajian disertasi yang membahas
kronik historis pada masa awal Islam antara lain karya Fu’ad Jabali yang
berjudul: The Companions of the Prophet: A Study of Geographical
Distribution and Political Alignments. Penelitian ini lebih menitikberatkan
pada kecenderungan sosial-politik ketika itu, yakni mengenai penyebaran para
Sahabat ke seluruh penjuru wilayah kekuasan Islam, dan keterlibatan Sahabat
dalam dinamika politik yang terjadi. Karenanya karya ini tidak membahas secara
khusus tentang peranan Sahabat pada periode Mekkah. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Muhammad Zain dalam disertasinya yang berjudul: Profesi
Sahabat Nabi dan Hadis yang Diriwayatkannya. Penelitian ini lebih
menekankan pada tinjauan sosio-antropologis para Sahabat Nabi, yakni ingin
menunjukkan bahwa transmisi hadis di kalangan Sahabat Nabi tidak selamanya
berdasarkan pada misi risalah yang mereka emban, tetapi juga dilatari oleh
kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga karya ini juga tidak secara khusus
mengkaji persoalan yang menjadi tema pokok penelitian ini.
Senada dengan itu Muslim A. Kadir dalam
disertasinya yang berjudul: Konfigurasi Iman Sahabat Muhajirin dan Ansar,
berupaya mengkaji tahap perkembangan perilaku iman Sahabat yang dapat
menumbuhkan perubahan sosial dan bentuk konfigurasi iman sahabat tersebut
menjadi potensi perubahan sosial untuk mencapai tujuan risalah, yakni
menampilkan “Islam sebagai rahmat-an li al-alamin”. Dalam kajiannya ini,
ia menyimpulkan bahwa masyarakat Muhajirin dan Anshar dapat mencapai tujuan
risalahnya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Diantara faktor
pendukung tercapainya hal tersebut adalah (1) mereka dapat menghayati turunnya
wahyu sehingga mereka dapat menyelesaikan persoalan sosial yang sedang
dihadapinya yang notabene juga berdasar dari jawaban wahyu; dan (2) mereka juga
mendapat bimbingan langsung dari Nabi S.A.W. Karya ini juga tidak membahas
secara spesifik tema pokok dari penelitian ini, dan tidak mengkaitkannya dengan
aspek-aspek pendidikan keimanan Islam. Walaupun demikian, penelitian disertasi
ini dapat dijadikan referensi dalam rangka menelaah lebih lanjut mengenai
proyeksi keimanan para Sahabat.
F.
Kerangka
Teoritik
Pertama,
kerangka teoritik yang digunakan sebagai landasan rasional dalam penelitian ini
adalah teori prophetik-transformatif yang digagas oleh
Kuntowijoyo, dimana ia menawarkan
methodological objectivism, seraya menolak methodological secularism
dengan membawa alternatif ilmu sosial profetik. Tidak bermaksud membedakan
antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler, akan tetapi bertujuan
merumuskan ilmu sosial yang objektif[22]. Dalam hal ini objektifikasi yang dimaksud
adalah upaya konkretisasi nilai-nilai normatif yang dihayati secara internal
dalam ketegori dan bahasa ilmu, bukan dalam kategori dan bahasa normatif. Atau
disebut juga sebagai kongkretisasi keyakinan normatif yang dihayati secara
internal, tapi tidak lagi dalam bentuknya yang normatif[23].
Di
sinilah letak perbedaan pengilmuan Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam
bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan
“pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu
tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan
agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah
“membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan[24].
Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh
Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba
memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi
diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup
jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi[25]. Kerangka teoritis yang ditawarkan
oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini
diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110[26].
Adapun
mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan
keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo
menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif,
dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama
oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke
universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas
pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas
murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai
istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai
realitas diantara komunitas keilmuan[27].
Kuntowijoyo
melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai,
sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi.
Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal
yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih
berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada
beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah
proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya
sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan
adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada
akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus
bermanfaat untuk manusia seluruhnya[28].
Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia.
Dengan
mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat
ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu.
Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan
menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu
modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.
Kedua, karena kajian penelitian ini lebih menitikberatkan pada kajian kesejarahan
yang berupaya mencari titik temu dan kontekstualitasnya dengan realitas
kekinian, maka kerangka teoritik yang melandasai penelitian ini adalah teori
lingkaran historis-hermeneutik Wilhelm Dilthey. Ia mengatakan bahwa
peristiwa sejarah dapat dipahami dalam
tiga proses, yaitu: pertama, melalui sudut pandang para pelaku sejarah,
dalam konteks penelitian ini, adalah sudut pandang Muhammad dan para Sahabat
yang menjadi anggota komunitas Muslim awal pada periode Mekkah. Kedua, melalui
peristiwa sejarah, dan yang ketiga, ialah melalui gagasan yang berlaku
pada saat sejarawan itu hidup[29].
Menurut Dilthey, ada dua proses pemahaman
untuk menyusun kembali (rekonstruksi) masa lampau berdasarkan konteksnya. Pertama,
proses hubungan kausalitas, yakni memahami peristiwa sejarah berdasarkan
ungkapan-ungkapan dari pengalaman seseorang. Penyelidikan terhadap ungkapan
dengan mundur kepada pengalaman seseorang berarti melakukan proses hubungan
sebab akibat. Kedua, proses hubungan kausalitas, yakni proses
menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa yang orang dapat
melihat kelanjutan proses tersebut, sehingga ia dapat mengambil bagian di
dalamnya. Seseorang akan mampu memahami peristiwa sejarah, jika mampu memutar
balik proses kausal dari akibat-sebab ke sebab-akibat. Kedua bagian ini tidak
dapat dipisahkan, karena dalam proses pemahaman itu sendiri, akal pikiran akan
mengambil alih timbul-tenggelamnya sebab dan akibat dalam rangkaian penyebaban.
Jadi, kelangsungan waktu, baik masa lampau, masa kini maupun masa yang akan
datang transenden terhadap momen yang sarat dengan pengalaman[30].
Menurut Dilthey, bahwa hidup ini adalah
kenyataan historis, kenyataan yang hanya dapat dijelaskan dengan proses
sejarahnya. Jadi seorang sejarawan dituntut untuk mengindahkan historical
mindedness, yaitu bagaimana seseorang menempatkan diri pada konteks
zamannya, karena setiap zaman mempunyai jiwa zamannya sendiri. Seseorang
diharapkan mengalihkan imajinasinya ke masa itu untuk dapat meresapkan
“suasana” atau “iklimnya”. Meskipun demikian, sejarawan harus menyadari bahwa
dia berada pada zaman yang berbeda[31].
Suatu gejala senantiasa ditempatkan dalam setting
historis, suatu struktur situasional yang terdapat di dalamnya terjadi gejala
sejarah yang dikaji. Dengan demikian nampak lingkungan sosialnya beserta
unsur-unsur kulturalnya serta pengaruhnya pada gejala itu. Kondisi dimana
peritiwa itu terjadi akan tampak jelas,
maka ada proses relativisasi fakta. Dengan kata lain, apabila suatu gejala
dikembalikan dalam setting historisnya akan tampak zeitgebundenheit-nya
atau ikatan waktunya bersifat relatif[32].
Sehingga dalam proses historis-hermeneutik ini, ada dua langkah yang
ditempuh, (a) pelaksanaannya dengan menggunakan perspektif historis,
menempatkan baik penyelidik maupun subject matter pada konteks
sejarahnya; (b) kemampuan untuk menyajikan analisis makro dari struktur sosial
budaya yang ada[33].
Dalam hal ini teori lingkaran historis-hermeneutik
Dilthey di dasarkan pada lingkaran tiga konsep utama, yaitu: “erlebnis”
(pengalaman), “ausdruck” (ekspresi) dan “verstehen” (pemahaman)[34].
Menurutnya, setiap pengalaman baru menurut isinya turut ditentukan oleh semua
pengalaman yang sampai pada saat itu yang pernah dimilikinya dan pengalaman
baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama.
Apa yang sekarang dialami seseorang, dilihat dari latar belakang masa
lampaunya. Cara membayangkan masa lampau tergantung pada pengalaman hidup yang
sekarang diperolehnya. Dengan demikian terjadi proses timbal balik terus
menerus antara pengalaman baru dan lama. Pengalaman timbal-balik itu yang pada
akhirnya menentukan pengalaman hidup seseorang. Pengalaman mengenai dunia hidup
seseorang yang ditentukan oleh proses timbal-balik itu –pengalaman dalam arti
sejati− oleh Dilthey disebut dengan “erlebnis”[35].
Setiap orang mempunyai kepribadian yang
berbeda. Perbedaan itu ditentukan oleh sifat khas seseorang yang diperoleh dari
pertautan antara pengalaman lama dengan pengalaman baru, menurut proses
timbal-balik. Dengan kata lain, cara seseorang memberi reaksi terhadap
kenyataan merupakan ciri khas dalam kepribadiannya. Kesatuan dan kebertautan
dalam proses timbal balik itu memunculkan sifat dan struktur pengalaman hidup
seseorang yang di dalamnya terdapat aspek produktif dan reseptif. Dengan
demikian pelaku sejarah bertindak dan mencipta berdasarkan kesatuan dan
kebertautan yang khas bagi kepribadiannya. Kemudian diproyeksikan ke luar dalam
bentuk perbuatan tertentu, sebuah karya sejarah atau gagasan. Dengan adanya
kesatuan dan kebertautan dalam erlebnis timbul adanya hal-hal yang
berkaitan dengan produktif. Ini yang dikatakan Dilthey dengan istilah “ausdruck”
(ekspresi). “Ausdruck” selalu merupakan obyektivasi mengenai kebertautan
dan koherensi dalam Erlebnis[36].
Menurut R.G. Collingwood, seorang ahli
sejarah dapat merekonstruksi kembali erlebnis pelaku sejarah, apabila
dia sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, mengaktualisasikan
kembali keadaan-keadaan dahulu yang melingkupi pelaku sejarah. Ketika ia
berbuat, merasakan emosi-emosi dan sebagainya, seorang ahli sejarah mementaskan
kembali di atas panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologis dan
intelektual yang dahulu dirasakan oleh pelaku sejarah[37].
Seorang peneliti sejarah yang telah dapat
merekonstruksi kembali dalam batinnya tentang pengalaman-pengalaman seorang
pelaku sejarah dengan menggunakan pengalaman hidupnya sendiri, berarti ia telah
mampu memahami (“verstehen”) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu.
Dalam verstehen itu selalu ada konotasi “dalam keadaan demikian, maka
aku sendiri akan berbuat dan berfikir demikian”[38].
Menghayati kembali (to re-enact)
situasi tokoh sejarah, berarti meneliti batinnya. Padahal peneliti hanya dapat
menghayati apa yang hidup dalam benak seseorang
dan yang mendasarinya. Oleh karena itu Collingwood berpendapat bahwa
semua sejarah adalah sejarah alam pikiran (ini tidak berarti bahwa semua
sejarah adalah sejarah intelektual). Ia mengatakan bahwa re-enactment
itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang tidak dapat dikontrol.
Dengan kata lain peneliti sejarah tidak menghapus dirinya sendiri, kemudian
menjelma kembali dalam batin seorang tokoh sejarah. Akan tetapi peneliti selalu
sadar bahwa “re-enactment” itu terjadi dalam batinnya sendiri, sehingga
tidak terjadi identifikasi total antara peneliti sejarah dengan tokoh sejarah.
Jadi peneliti sejarah hendaknya selalu penuh imajinasi, ia harus pandai
mengadakan ektrapolasi dan intrapolasi menurut pengalamannya sendiri[39].
Ketiga,
karena penelitian ini menempatkan sosok Muhammad S.A.W. dan para Sahabat
yang menyertainya sebagai figur-figur paradigmatik pada momen historis di
periode Mekkah, maka kerangka teoritik yang melandasi penelitian ini adalah teori
model. Menurut Earle H. Waugh, bahwa materi keislaman itu sendiri
memperkaya kita berkenaan dengan struktur yang inheren dalam materi tersebut;
bahkan menyebabkan bentuk yang diberikan pada struktur-struktur itu tidak monovalent,
fokusnya harus pada model-model daripada pola-pola sebagai lokus penyelidikan.
Dapat dipahami bahwa tugas analisis itu sendiri menghendaki semacam penarikan kembali
bentuk ulangan dari matriknya dalam materi dan karenanya secara sadar
menginginkan agar apa yang kita cari tidak pernah mempunyai obyektivitas yang
sama seperti fakta ilmiah. Namun demikian, upaya untuk menemukan makna telah
menata “fakta-fakta” yang saling berhubungan dan paham tentang model adalah
cara yang paling tepat dimana kita mempergunakan keahlian analisis untuk
menciptakan makna di luar dari data yang berdimensi banyak[40].
Dalam
hal penerapan teori model ini, Ramsey, seorang religionis terkemuka dari
Oxford University berpendapat bahwa “dengan menggunakan model-model yang
disediakan oleh setiap disiplin ilmu kita dapat memahami misteri yang ada
dihadapan kita, bahkan dapat memberi kontribusi akademik. Ia juga menyatakan
bahwa “titik utamanya adalah apakah model-model itu bersifat ilmiah atau sosial
yang lahir atas dasar suatu pandangan yang dalam hal ini menyatakan bahwa masing-masing
dari kita memiliki subyektivitasnya sendiri[41].
Ramsey menambahkan bahwa model-model dari berbagai disiplin ilmu dapat
mengatakan sesuatu yang penting tentang realitas, tetapi tidak dapat
menyediakan model ultim. Demikian pula teologi terbatas pada apa yang
dikatakan. Upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah kembali ke belakang dan
menekankan “dimensi lebih jauh” atau “kesaksian akan kedalaman yang
masing-masing terabaikan dan tersembunyi[42].
Selain
itu Ewert Counsins melihat teori model ini bekerja dalam dua tingkatan.
Tingkatan pertama berkaitan dengan pengalaman keagamaan dalam mencari apa yang
disebut dengan “model-model pengalaman” (experiental models). Model
pengalaman adalah struktur-struktur atau bentuk-bentuk pengalaman keagamaan.
Istilah “pengalaman” mengimplikasikan unsur subyektif dan istilah “model”
mengimplikasikan varietas dalam pengalaman keagamaan. Tingkatan kedua, metode
memerhatikan ekspresi perumpamaan, kredo keagamaan, dan sistem teologi.
Ekspresi-ekspresi semacam itu diidentifikasi sebagai model-model ekspresif (expressive
models) yang mengambil seluruh bentuk yang digunakan orang beragama dalam
menyatakan pengalaman keagamaan dirinya. Demikianlah kerja para sarjana untuk
menyelidiki model pengalaman, mengisolasi dan menggalinya, kemudian “memetakan
korelasi antara pengalaman dan ekspresinya”[43].
Kaitannya
dengan penelitian ini, paradigma Islam tentang Muhammad S.A.W. dan para Sahabat
yang menyertainya dalam proses diseminasi paham iman pada periode Mekkah
menjadi fokus dalam menerapkan teori model ini. Dalam hal ini prosesnya adalah
sebagai berikut: Pertama, kita mengusulkan hubungan langsung antara sitz
im leben setiap ekspresi keimanan di dalam proses kronik historis pada
periode Mekkah, sehingga, dalam bahasa Cousin, kita dapat menemukan setting
“pengalaman” di luar ekspresi yang dibuat. Kedua, kita mengambil citra
Muhammad S.A.W. dan para Sahabat yang menyertainya dalam proses diseminasi
paham iman pada periode Mekkah, yakni dengan membawanya bersama-sama
makna-makna yang dapat dikembangkan dan dieksplorasi yang mengatasi apa yang
dijumpai dalam setting aslinya. Ketiga, karena model itu sendiri
tidak mempunyai kandungan keagamaan khusus, maka kita diperbolehkan menggali
bahasa yang memiliki dirinya sendiri agar menjadi berbobot dengan tradisinya
sendiri. Keempat, kita mendapatkan pola-pola dalam proses kronik
historis pada periode Mekkah yang membuka dimensi-dimensi untuk kajian lebih
lanjut.
G. Sistematika
Pembahasan
Dalama penelitian ini pembahasan dibagi ke
dalam enam bab pembahasan dengan uraian sebagai berikut:
Bab Pertama, pendahuluan yang memuat uraian tentang latar
belakang mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan, masalah apa yang
menjadi fokus penelitian, jenis, metode dan kerangka teoritis apa yang
dipergunakan dalam penelitian ini. Di samping itu, dalam bab pertama ini juga
dimaksudkan untuk memberikan pengantar sekaligus uraian secara paradigmatik
mengenai tema-tema pokok masalah yang akan diteliti.
Bab Kedua, akan mendiskripsikan atau menarasikan secara
idiografis mengenai data atau fakta historis yang menjadi fokus penelitian ini.
Secara umum yang dibahas dalam bab ini adalah horison pendidikan keimanan Islam
pada periode Mekkah (610-622 M), yang di dalamnya secara runtut akan
menjelaskan sketsa historis pendidikan keimanan oleh Muhammad S.A.W. kepada
para Sahabat yang menjadi komunitas Muslim awal. Dalam hal ini peranan
“madrasah” pertama dalam Islam, yaitu Dar al-Arqam akan menjadi fokus
pembahasan. Selain itu juga akan diuraikan mengenai pola diseminasi paham iman
para Sahabat awal dengan mencoba menelaah lebih jauh peranan secara sistematik
wahyu-wahyu yang pertama kali turun. Dari sini akan ditampilkan sketsa
biografis komunitas muslim awal yang telah mendapatkan pembinaan langsung dari
Nabi S.A.W. tersebut, khususnya penjelasan tentang fenomena ketahanan atau
immunitas keimanan para Sahabat dalam merespon tekanan psikologis, sosial,
politik dari para penguasa kota Mekkah.
Bab Ketiga, pada bab ini peneliti mencoba mengelaborasi
tentang implikasi dari penjelasan sebelumnya, dengan mencoba menemukan
signifikansi pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam proses pembelajaran
atau yang dikenal dengan integration faith and learning (IFL).
Dalam hal ini akan diuraikan wawasan epistemologis pendidikan yang menjadikan
nilai-nilai keimanan sebagai basis pengajaran. Kemudian penjelasan secara
paradigmatik mengenai visi holistik dalam pendidikan keimanan Islam, yang
dilanjutkan dengan uraian mengenai aplikasi pengintegrasian nilai-nilai
keimanan dalam proses pembelajaran.
Bab Keempat, pada bab ini akan diuraikan penjelasan mengenai
implikasi yang menelaah sisi-sisi relevansi dari proyeksi pembelajaran keimanan
Islam pada periode Mekkah. Dalam hal ini akan didedahkan secara paradigmatik
mengenai bagaimana seharusnya core values dari pendidikan keimanan
Islam, dan perlunya core values tersebut menjadi bagian penting dalam
upaya pembaharuan kurikulum pembelajaran keimanan Islam. Kemudian setelah itu
akan dijelaskan format aplikasinya dalam konteks kurikulum pembelajaran dengan
menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam peranan sistematik dari proses
turunnya wahyu-wahyu awal kepada Nabi S.A.W.
Bab Kelima, pada bab ini akan diuraikan temuan teoritik dari
penelitian ini, yakni penjelasan tentang formulasi-formulasi yang berhasil
dikonstruksi dari proses kronik historis pada proses diseminasi paham iman
komunitas Muslim awal pada periode Mekkah. Formulasi-formulasi tersebut akan
dapat dijadikan sebagai kerangka acuan bagi upaya pembaharuan kurikulum
pembelajaran keimanan Islam.
Bab Keenam, sebagai bab terakhir yang menguraikan kesimpulan
dari penelitian, saran-saran, dan rekomendasi, serta kata penutup, yang isinya
antara lain mengungkapkan kontribusinya secara umum kepada dunia pendidikan
Islam, serta menyajikan keterbatasan penelitian ini, agar dengan mudah dapat
diketahui sisi-sisi tertentu dari penelitian ini yang bisa dikembangkan dalam
penelitian selanjutnya.
[1] Lihat
Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas; al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme,
(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 120.
[2]
Thariq Modanggu, Perjumpaan Teologi dan Pendidikan, (Jakarta: Qalam
Nusantara, 2010), hlm. 32.
[3] Lihat
H.A.R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, (Boston: Beacon
Press, 1968), hlm. 207.
[4] Thariq Modanggu, Perjumpaan Teologi..., hlm. 34.
[5] M. Amin Abdullah, Pendidikan Karakter :
Mengasah Kepekaan Hati Nurani, makalah disampaikan pada acara
Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika,
Yogyakarta, 15 April 2010, hlm. 3.
[6] Ibid, hlm. 4-5.
[7] Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, (Jakarta: Tama
Publisher, 2005), hlm. 205.
[8] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi III
(Yogyakarta: Rakesarasin, 1996), hlm. 159.
[9] Robert C. Bogdan & Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education,
(London, Allyn and Bacon Inc., 1982), hlm. 73.
[10]
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. N. Notosutanto, (Jakarta: UI
Press, 1973), hlm.32.
[11] Ibid,
hlm. 28.
[12]
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992), hlm. 154.
[13]
Homer Carey Hocket, The Critical Method in Historical Research, (New
York, The MacMillan Company) 1985), hlm. 15.
[14]
Kartodirjo, Pendekatan..., hlm. 17.
[15]
Burke Johnson & Larry Christensen, Educational Research: Quantitative
and Qualitative Approaches, (London: Allyn and Bacon, 2000), hlm. 343.
[16] Ibid,
hlm. 345.
[17]
Royce A. Singleton, Jr & Bruce C. Straits, Approaches in Social Research,
edisi III (New York: Oxford University Press, 1999), hlm. 376.
[18] W.
James Potter, An Analysis of Thinking and Research about Qualitative Methods,
(New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate, 1996), hlm. 142.
[19] Ibid,
hlm. 156.
[20] John
Wansbrough, The Sectarian Milieu: Content and Composition of Salvation
History (Oxford: Oxford University Press, 1978), hlm. 103.
[21]
Earle H. Waugh, Muhammad Populer: Model-model dalam Interpretasi Paradigma
Islam, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi
Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2001), hlm. 70.
[22] Kata objektif ini,
bukanlah objektifitas yang dimaksudkan positivisme. Positivisme menyatakan
bahwa untuk mencapai obyektifitas seorang ilmuan sosial harus membebaskan diri
dari persepsi-persepsi, pra-konsepsi-pra-konsepsi atau nilai-nilai dalam
aktifitas ilmiahnya. Lihat M. Fahmi, Islam Transendental (Menelusuri
jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo), (Yogyakarta: Pilar Media, 2005),
hlm. 270.
[23] Ibid, hlm.
271.
[24] Lihat makalah Zainal
Abidin Bagir, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan
Kuntowijoyo, disampaikan dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran
Kuntowijoyo, di University Center UGM, 26 Mei 2005, hlm. 7-8.
[25] Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu…, hlm. 52.57.
[26] “Kamu adalah umat
terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali Imran (3):
110).
[27] Ibid, hlm. 9.
[28] Kuntowijoyo, Islam
sebagai Ilmu…, hlm. 57.
[29] E.
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1993), hlm. 53.
[30] Ibid,
hlm. 58.
[31]
Kartodirjo, Pendekatan..., hlm. 77
[32] Ibid,
hlm. 42.
` [33]
Hendry Etzkowitz dan Ronald M. Glassman, The Renescience of Sociological
Theory, (Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc., 1991), hlm. 187.
[34]
P.J.Odman & D. Kerdeman, Hermeneutics, dalam John P. Keeves & Gabrielle
Lakomski, Issues in Educational Research, (Amsterdam: Elsevier Science
Ltd, 1999), hlm. 188.
[35]
Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 48.
[36] F.R.
Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia, 1987),
hlm. 157-159.
[37] R.G.
Collingwood, Ide Sejarah, terj. Mohd Yusrof Ibrahim, (Kualalumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1985), hlm. 212.
[38]
Ankersmith, Refleksi, hlm. 162.
[39] Ibid,
hlm. 172-173.
[40] Waugh,
Muhammad Populer..., 62-63.
[41] Ian
T. Ramsey, Religion and Science, (London: Oxford University Press,
1964), hlm. 45.
[42] Ian
T. Ramsey, Models and Mystery, (London: Oxford University Press, 1964),
hlm. 21, 66.
[43]
Ewert Cousins, “Models and the Future of Theology”, Continuum 7, (1969),
hlm. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar