Senin, 04 Juli 2022

TEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM Studi atas Proses Diseminasi Paham Iman Komunitas Muslim Awal Periode Mekkah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Keimanan Islam

 

A.    Latar Belakang Masalah.

 

Salah satu diktum teologis mendasar dalam konsepsi pemikiran Islam adalah konsep tentang keesaan Tuhan (tauhid). Dari konsep inilah pemikiran Islam mengalami perkembangan dengan ciri khas, watak, dan nilai-nilai fundamentalnya. Pada masa klasik dialektika pemikiran tentang ketuhanan ini menjadi atmosfir utama pemikiran Islam, sehingga pemikiran teologis atau yang juga lazim disebut Falsafah Kalam mempunyai tempat yang sangat sentral dalam bangunan pemikiran Islam klasik. Oleh karena itu pandangan teologis/kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah ataupun Maturidiah dan lainnya, menjadi tonggak sejarah yang tidak dapat dihapus dari wawasan intelektual Islam klasik. Dalam konteks pendidikan Islam, wawasan teologis/kalam tersebut masih dibahas di berbagai pusat-pusat pendidikan dan pengajaran Islam baik di pesantren, madrasah Tsanawiyah/Aliyah, IAIN/UIN maupun program-program Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah diberbagai perguruan tinggi di luar negeri.

Teologi dipahami sebagai pembahasan atau ilmu tentang ketuhanan, yang menjadi dasar dari setiap agama. Kemudian istilah teologi tidak hanya digunakan sebagai nama dari ilmu yang membicarakan tentang tuhan, tetapi juga menunjuk pada materi kepercayaan. Oleh karena itu term ‘teologi’ dapat digunakan untuk menunjuk pada kedua makna tersebut, yakni pemaknaan teologi tidak lagi dibatasi diskusi tentang aspek ketuhanan, tetapi juga sebagai paham keagamaan dari seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini ada teologi dalam corak dogmatik yang lebih menekankan pada pentingnya pemahaman dan penjiwaan kredo, dogma atau doktrin agama. Selain itu dan ada pula teologi dalam corak praktis, yang merupakan penerapan teologi dogmatik ke dalam aturan-aturan kehidupan, termasuk di dalamnya aspek-aspek pendidikan. Menurut Farid Essack, doktrin teologis pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri. Ia terkait dengan jaringan institusi atau lembaga sosial kemasyarakatan. Bahkan, kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan tampaknya selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengkristal di masyarakat.[1]

Paling tidak ada dua pola hubungan antara teologi dan pendidikan, yaitu yang pertama, adalah hubungan yang bersifat fungsional. Bahwa konsepsi teologis adalah suatu worldview atau pandangan dunia yang membutuhkan sejenis instrumen untuk mentransmisikan gagasan teologis tersebut ke dalam spektrum yang lebih luas dan kongkret.[2] Misalnya, salah satu media transmisi yang dapat digunakan adalah institusi pendidikan. Selain itu bahwa suatu sistem teologi biasanya hanya pada tataran wacana para pemikir dan teolog, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Untuk itu dibutuhkan peran ulama, mubaligh dan guru.[3] Oleh karena itu secara kasat mata sesungguhnya hubungan fungsional antara teologi dan pendidikan sangatlah erat, akan tetapi dimensi pragmatis, tolak ukur dan watak dari dunia pendidikan yang memiliki karakter yang khas, sehingga persoalan teologi tidak masuk dalam hitungan dunia pendidikan. Kedua, hubungan antara teologi dan pendidikan bersifat simbiotik (saling memengaruhi). Pada satu sisi, nilai dan spirit teologi dapat menjadi landasan konseptual yang kokoh dan ‘berjiwa’, bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan yang menjadi garapan dunia pendidikan.[4]

Berkaitan dengan hal tersebut, realitas objektif yang terjadi saat ini, pendidikan tentang teologi (keimanan) (aqidah dan akhlaq) tidak memberikan pengaruh signifikan pada peserta didik. Dibuktikan oleh tingginya dekadensi moral dan merosotnya penghargaan peserta didik terhadap norma-norma agama. Tanpa semata-mata menuding serbuan budaya bebas dari Barat yang diserap oleh peserta didik melalui media televisi dan internet sebagai satu-satunya faktor penyebab fenomena demoralisasi. Akan tetapi perlu pembaharuan dalam pendidikan keimanan, di mana porsi yang berlebihan tentang perdebatan teologis-dogmatis di dalamnya, membuat materi pendidikan keimanan menjadi stagnan dan menjemukan. Hal tersebut sejalan dengan visi pendidikan Islam yang tidak semata-mata mengajarkan ilmu tentang Islam, akan tetapi agar bagaimana peserta didik menjadi seorang Muslim yang baik (teaching about Islam but teaching about being Moslem).

Fenomena menurunnya kualitas keberagamaan atau keberimanan di kalangan peserta didik akhirnya berimbas pada terjadinya penurunan kualitas karakter dan kepribadian peserta didik atau keluaran lembaga pendidikan. Hal ini membuat Kementerian Pendidikan Nasional menggagas pentingnya pendidikan karakter. Dalam artian bahwa pendidikan karakter tidak semata-mata untuk kembali melakukan pengajaran nilai-nilai kebangsaan seperti Pancasila dan kewarganegaraan (civic education). Akan tetapi sesungguhnya aspek yang substansial dalam karakter seseorang, adalah sejauhmana nilai-nilai keimanan (teologis) menjadi power control terhadap segala perilaku dan tindakan. Amin Abdullah berpendapat bahwa sifat pendidikan karakter adalah multidimensi  dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu,  tidak sektoral-parsial, ad hoc, apalagi atomistik. Menurutnya pendidikan karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. Pendidikan agama, begitu juga pendidikan kewarganegaraan pada level manapun tidak dapat berbuat banyak jika ia berdiri sendiri (self sufficiency), karena jika tidak dikaitkan dengan budaya, sosial, hukum dan politik misalnya,  maka pendidikan agama hanya akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkin mudah dihapal,  tapi seringkali  tidak dapat dipraktikkan dan diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks[5].

Dalam konteks pendidikan Islam, prinsip-prinsip keimanan yang diajarkan bersifat given dan telah baku, sehingga pada umumnya resepsi dan pemaknaan terhadap konsep-konsep keimanan itu menjadi taken from granted. Padahal sesungguhnya konsep-konsep keimanan yang diajarkan selama ini pada peserta didik sudah mengalami proses dialektika interpretasi sejak masa klasik dalam sejarah pemikiran Islam. Seiring dengan perkembangan zaman, konsepsi keberimanan yang dikonstruksi dalam locus dan tempus tertentu itu diduga telah mengalami banyak pendistorsian makna, sehingga dalam beberapa sisi tertentu sudah banyak yang tidak lagi sesuai.

Menurunnya kualitas keberimanan dan karakter serta kepribadian peserta didik pada masa kini mengindikasikan bahwa telah terjadi diskrepansi atau anomali antara materi pengajaran keimanan (aqidah dan akhlaq) dengan hasil yang ingin dicapai. Dengan demikian telah terjadi ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen dalam proses penanaman nilai-nilai keimanan bagi peserta didik. Oleh sebab itu berarti ada permasalahan pada substansi materi pengajaran dan dalam proses pemelajaran, sehingga membuat konsepsi keimanan hanya sampai pada wilayah teoritik dan tidak mengejawantah dalam ranah praktik. Berkaitan dengan itu, Amin Abdullah berpandangan bahwa model pembelajaran pendidikan keberimanan atau akhlak yang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alih pengetahuan moral, agama atau karakter’ (transfer of knowledge tentang moral, agama  atau karakter). Dengan paradigma pembelajaran seperti ini,  maka yang ditekankan oleh pendidik adalah penguasaan materi sesuai SAP yang tersedia dan daya serap anak didik atau memorisasi/hafalan lebih dipentingkan. Praktik ini tergambar dengan jelas dalam model soal ujian atau test yang dibuat oleh guru atau dosen.  Akibat langsung yang tidak dirasakan selama bertahun-tahun adalah bahwa pendidikan keberimanan atau moral dan akhlak terlalu berorientasi pada intelektualisme etis[6].

Tidak hanya pada model pembelajaran pendidikan keberimanan yang hanya menitikberatkan pada proses transfer pengetahuan dan konsepsi-konsepsi teoritik mengenai keimanan. Akan tetapi juga terjadi permasalahan pada ranah substansi materi pengajarannya, karena tampaknya konsepsi-konsepsi teoritik mengenai keimanan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan penghayatan keimanan peserta didik, mengingat meningkatnya fenomena demoralisasi dan dekadensi karakter dan kepribadian pada masa kini. Oleh karena itu substansi materi pengajaran keimanan menjadi konsepsi yang mandul, atau dalam istilah Whitehead disebut dengan innate idea’s. Hal ini terjadi diduga juga karena konsepsi-konsepsi teologis atau konsep keimanan dalam Islam telah mengalami performative contradiction. Terjadinya kontradiksi performatif dalam konsep-konsep keberimanan, karena masing-masing aliran-aliran, mazhab, sekte-sekte, kelompok, organisasi keagamaan memiliki bangunan pemahaman konsepsi teologisnya sendiri-sendiri dalam melakukan interpretasi konsepsi tentang keimanan yang direduksi dari dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits-hadits.

Salah satu efek yang ditimbulkan dari fenomena performative contradiction ini adalah munculnya suatu pemahaman yang radikal dari kelompok atau organisasi Islam tertentu (hard liners), yang melakukan segala cara untuk mempraktikkan dan menegaskan doktrin idiologisnya, dengan mengorbankan dimensi-dimensi kemanusiaan. Pandangan radikal tersebut merupakan konsepsi dan interpretasi yang diderivasi dari doktrin keimanan di dalam Islam. Oleh karena itu, dalam menyikapi permasalahan ini diperlukan suatu konsensus yang bersifat universal mengenai konsepsi keimanan Islam baik dalam ranah teori maupun dalam ranah praktik.

Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa perlu dilakukan penelusuran ulang secara historis dalam sejarah awal perkembangan Islam pada periode Mekkah, untuk menilai kembali bagaimana proses pengajaran dan diseminasi pemahaman nilai-nilai keimanan Islam pada masa ketika doktrin teologis mengenai keimanan Islam ini pertama kali diajarkan oleh Muhammad S.A.W. kepada para komunitas Muslim awal ketika itu. Karena kita menemukan fakta yang gamblang dalam sejarah Islam pada periode Mekkah tentang ketahanan, immunitas, dan kualitas keimanan yang luar biasa dari para sahabat atau komunitas Muslim awal dalam menghadapi tekanan dan siksaan baik secara fisik, mental, emosional dari pemegang kekuasaan politik di Mekkah pada masa itu.

Dari fakta sederhana ini dapat dimaknai bahwa terdapat fenomena unik dan menarik tentang bagaimana cara Muhammad S.A.W. di dalam mengajarkan nilai-nilai keimanan kepada komunitas Muslim awal tersebut, dan bagaimana materi pengajaran keimanan pada masa itu, yang tentunya sangat berkaitan erat dengan wahyu-wahyu awal yang diturunkan ketika itu. Metode dan materi pengajaran keimanan pada masa itu bisa dipastikan sangat jauh berbeda dengan metode dan materi pengajaran mengenai keimanan pada masa sekarang yang jauh lebih kompleks dan konsepsi-konsepsinya sudah mengalami banyak perubahan karena diarahkan sesuai dengan pandangan dunia masing-masing aliran, sekte, kelompok dan organisasi, sehingga membuat konsepsi keimanan menjadi innate ideas dan terjebak dalam performative contradiction.

Selain itu fokus penelitian ini lebih menitikberatkan pada proses historis yang terjadi pada periode Mekkah, karena diasumsikan bahwa pada periode inilah Muhammad S.A.W. sebagai pembawa ajaran Islam meletakkan dasar-dasar pemahaman keimanan kepada para Sahabat atau komunitas Muslim awal ketika itu sebagai modal utama bagi terbentuknya masyarakat Muslim yang pada akhirnya kemudian terwujud pada periode Madinah. Di sisi lain, apabila dilihat dalam proses kronik historis yang terjadi dalam sejarah Nabi Muhammad S.A.W. (Sirah Nabawiyah), terdapat perbedaan mendasar antara periode Mekkah dan periode Madinah, dimana terlihat pada periode Mekkah proses diseminasi dan pembelajaran nilai-nilai keimanan Islam berlangsung dengan sangat intensif. Salah satunya adalah peranan dari rumah Arqam bin Abi Arqam, seorang Sahabat dari Bani Makhzum yang terkenal kuat dan berpengaruh. Selama beberapa tahun di rumah yang kemudian dikenal dengan “Darul Arqam” inilah Muhammad S.A.W. siang dan malam mengajarkan keimanan Islam kepada komunitas Muslim awal, hingga penganut Islam mencapai empat puluh orang[7]. Hal ini diperkuat oleh pandangan umum ulama tafsir bahwa wahyu-wahyu Makkiyah berisikan seruan-seruan keimanan yang bersifat universal.

Sementara itu pada periode Madinah, Muhammad S.A.W. bersama komunitas Muslim yang ada, lebih banyak terlibat oleh upaya meneguhkan posisi kota Madinah sebagai pusat kegiatan politik, sehingga intensitas pembelajaran nilai-nilai keimanan tidak sebagaimana ketika pada periode Mekkah. Dalam kronik sejarah Islam pada periode Madinah, Umat Islam awal ketika itu lebih banyak disibukkan oleh peperangan demi peperangan untuk merespon perlawanan kabilah-kabilah lain terhadap derasnya arus ekspansi dan perluasan  gerakan dakwah Islam ke seluruh penjuru Jazirah Arab. Hal ini diperkuat pula oleh pandangan umum ulama tafsir bahwa wahyu-wahyu yang turun pada periode Madinah secara lebih spesifik berisi mengenai peraturan-peraturan normatif (syari’at) dan aturan main mengenai hubungan antar sesama manusia (mu’amalah). Sekalipun demikian wahyu-wahyu yang turun pada periode Madinah tetap mengandung dimensi keimanan, dengan penekanan yang lebih pada dimensi aturan dan pelaksanaannya.

Adapun alasan pemilihan tema dan judul di atas, pertama, pada tataran praktik, filsafat pendidikan Islam terjebak pada problem-problem pragmatik-teknikalistik, sehingga aspek-aspek yang substantif dan esensial seperti dimensi keimanan dalam pendidikan Islam menjadi terabaikan. Sementara itu dalam domain filsafat pendidikan Islam, bahasan mengenai keimanan menjadi sangat krusial dan mendasar, akan tetapi arus utama yang terjadi dalam pengajaran keimanan dalam praktiknya lebih banyak menekankan pada indoktrinasi doktrin-doktrin kalam yang sarat dengan proses dialektik yang menjemukan. Kedua, apabila dilihat dari perspektif teori pusat dan pinggiran (center and periphery), maka proses kronik historis pada masa Muhammad S.A.W. merupakan pusat dari sejarah Umat Islam. Historiografi Islam pada level akademik baik dari kalangan orientalis maupun para sarjana Muslim masa kini lebih banyak membahas sejarah Islam dari pinggir. Karena menganggap proses kronik historis pada masa Muhammad S.A.W. tidak perlu direkonstruksi ulang dan dianggap sudah selesai. Hal ini membuat kajian mengenai sejarah Umat Islam pada masa Muhammad S.A.W. kian terabaikan. Padahal pada masa inilah, landasan historis, filosofis dan idiologis Peradaban Islam dibangun. Selain itu penelitian-penelitian studi keislaman yang ada sangat jarang yang menyentuh dan menelaah ulang proses kronik historis pada masa Muhammad S.A.W..

 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik suatu proposisi bahwa konsepsi dan doktrin teologis tentang keberimanan yang melembaga dalam pandangan teologis aliran, madzhab, sekte, kelompok, organisasi Islam tertentu telah mengalami anomali, sehingga pandangan teologis tersebut mengalami performative contradiction. Akibatnya ide-ide dan konsep keberimanan yang sampai kepada para peserta didik tidak lagi berfungsi untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penghayatan keimanan dan perbaikan karakter serta kepribadian peserta didik atau menjadi innate ideas. Oleh karena itu perlu rekayasa ulang atau redisain kurikulum pembelajaran mengenai keimanan Islam dengan mencoba menelusuri kembali fakta-fakta historis tantang proses diseminasi paham iman komunitas Muslim awal pada periode Mekkah. Dari sini aspek-aspek historis dari sejarah pada masa Muhammad S.A.W. (Sirah Nabawiah) dimaknai kembali agar ditemukan lesson learn tertentu sebagai bagian dari upaya pembaharuan kurikulum dan pengajaran keimanan dalam pendidikan Islam pada masa sekarang.

 

 

 

B.     Rumusan Masalah

Berangkat dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, penelitian ini diarahkan pada kajian mengenai proses kronik historis sejarah Islam klasik, khususnya pada periode Mekkah, karena pada masa ini proses internalisasi paham keimanan Islam terjadi secara intensif, untuk dikontekstualisasikan pada kurikulum dan praktik pengajaran keimanan Islam pada masa sekarang. Rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah:

1.      Bagaimana proses diseminasi paham iman komunitas Muslim awal pada periode Mekkah?

2.      Bagaimana signifikansinya terhadap proses pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam praktik pembelajaran pendidikan agama Islam di lembaga persekolahan?

3.      Bagaimana implikasinya terhadap upaya pembaharuan kurikulum dan metode pengajaran keimanan Islam pada masa kini?

 

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini secara historis maupun filosofis bertujuan untuk mengelaborasi kembali fakta-fakta sejarah mengenai proses diseminasi pemahaman keimanan Islam di dalam komunitas Muslim awal pada periode Mekkah sebagai gambaran par exellence mengenai proses pengajaran konsep-konsep keimanan. Termasuk di dalamnya menelaah kembali peranan Muhammad S.A.W. sebagai aktor utama di dalam proses tersebut, peranan ‘Darul Arqam’ sebagai madrasah pertama yang mengajarkan konsepsi keimanan Islam, dan peranan secara sistematik wahyu-wahyu yang pertama kali turun di dalam menstimulasi kuatnya pemahaman keimanan Islam anggota komunitas Muslim awal tersebut. Dari situ akan diuraikan tentang signikansi di dalam proses pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam praktik pembelajaran dan implikasinya terhadap redisain kurikulum dan metode pengajaran keimanan Islam pada masa kini.

Formulasi yang merupakan hasil elaborasi dan telaah secara mendalam terhadap fakta-fakta historis tersebut diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi upaya penguatan penghayatan keimanan Islam dan perbaikan karakter serta kepribadian peserta didik yang berada di dalam ranah dunia persekolahan. Dengan demikian formulasi tersebut dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam memetakan kembali konsepsi-konsepsi, materi dan metode dan kurikulum pengajaran keimanan Islam. Sehingga terjadi penyegaran ulang terhadap konsepsi-konsepi serta ide-ide tentang keimanan Islam yang telah mengalami innate ideas, serta mampu mengikis fenomena performative contradiction di dalam praktik pengajaran keimanan Islam di kalangan peserta didik.

 

D.    Jenis dan Metode Penelitian    

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), yakni mengeksplorasi literatur-literatur terkait, baik literatur yang ditulis pada rentang masa yang menjadi fokus kajian maupun literatur yang menyorotnya, untuk kemudian dianalisis secara teoritis-filosofis, disimpulkan dan diangkat relevansi serta kontekstualitasnya dalam konteks kekinian. Apabila berpijak pada pemetaan jenis studi pustaka Noeng Muhadjir, penelitian ini berupaya memadukan antara studi pustaka yang lebih memerlukan olahan filosofis dan teoritis dengan studi pustaka yang memerlukan uji kebermaknaan empiris di lapangan.[8] Mengikuti rumusan Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen[9], data dalam penelitian ini meliputi keseluruhan bahan kasar yang ditemukan dari laporan sejarah, dan sifatnya sebagai laporan sejarah tidak perlu diragukan, karena menurut pendapat Louis Gottschalk[10], data tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas dasar adanya bukti-bukti historis.

Data penelitian ini menunjuk pada proses diseminasi paham iman komunitas Muslim awal periode Mekkah (610-622 M). Oleh karena itu, data tidak hanya meliputi gejala inderawi, tetapi juga gejala psikologis dan kerangka fikirnya. Meskipun demikian, penelitian kesejarahan masih memiliki peluang untuk menelaah isinya. Peluang ini dimungkinkan oleh sifat kenyataan sejarah yang tidak terbatas pada kenyataan pada kenyataan inderawi, tetapi juga menjangkau fakta yang bermakna (facts of Meaning), yakni fakta sejarah yang ditangkap oleh pengertian dan pemahaman yang mendalam[11]. Sejalan dengan itu, menurut Sartono Kartodirjo, kenyataan sejarah tidak hanya terdiri dari artefact, tetapi juga sociofact dan mentifact[12].

Sebagai laporan sejarah, maka data yang dikumpulkan perlu diuji mengenai kebenaran informasi yang dikandungnya. Menurut Homer Carey Hocket kritik eksternal terhadap sejarah adalah meliputi penentuan penulis naskah, keaslian laporan sejarah dan masalah waktu. Sedangkan kritik internal lebih diarahkan pada pengujian isi dari laporan sejarah tersebut[13]. Atas dasar pertimbangan tersebut, bahwa tujuan penelitian ini dalam rangka untuk menjelaskan sejarah, dan bukan melakukan suatu proses rekonstruksi benar atau tidaknya proses sejarah yang ada, maka fakta sejarah yang keras lebih diutamakan dari fakta lunak[14]. Pemilihan fakta sejarah keras tidak terlalu memerlukan kritik sejarah, karena sudah merupakan fakta yang disepakati dan dipahami bersama oleh para ahli sejarah, termasuk dalam konteks penelitian ini, yang berupaya melakukan telaah ulang proses sejarah Islam pada periode Mekkah.

Diantara signifikansi penelitian kesejarahan dalam konteks pendidikan menurut Burke Johnson dan Larry Christensen adalah dalam rangka untuk mengidentifikasi keterkaitan antara masa lalu dengan masa sekarang, dan juga untuk mencatat dan mengevaluasi pencapaian-pencapaian individu-individu, agensi-agensi dan institusi-institusi[15]. Adapun langkah-langkah metodologis yang diambil adalah: (1), mengidentifikasi topik penelitian dan merancang suatu formulasi untuk masalah penelitian atau menjawab rumusan masalah; (2), mengumpulkan data atau literature review, yang dalam konteks metodologi sejarah disebut dengan proses heuristik; (3) mengevaluasi sumber-sumber sejarah pendidikan dengan melakukan kritik eksternal dan internal; (4), adalah melakukan data sintesis dan persiapan laporan atau eksposisi narasi penelitian[16].

Selain itu, karena penelitian ini termasuk dalam ranah penelitian kualitatif, maka analisis data mengacu pada skema yang diajukan oleh Creswell, yaitu, data mentah yang berupa dokumen sejarah, transkrip, catatan lapangan dan gambar diorganisir sedemikian rupa dan dipersiapkan untuk dianalisis, kemudian seluruh data tersebut mengalami proses pembacaan ulang secara menyeluruh agar bisa dikategorisasikan dalam bentuk tema-tema dan deskripsi-deskripsi. Selanjutnya dilakukan proses interrelasi antara tema-tema dan deskripsi-deskripsi itu, yang kemudian proses ini melahirkan pengelompokan makna, dimana puncaknya adalah melakukan interpretasi terhadap makna-makna tersebut.

Karena pendekatan dalam penelitian ini adalah sejarah, maka yang digunakan adalah metode analisis historis deskriptif-analitik. Oleh karena itu mengikuti pandangan Royce A. Singleton, Jr dan Bruce C. Straits, penelitian ini tidak sekedar mendeskripsikan peristiwa masa lalu (historical events), melainkan juga berupaya menganalisisnya untuk menuju ke arah pengembangan pemahaman yang luas tentang dunia sosial masa silam[17]. Selain itu analisis kesejarahan menurut W. James Potter, paling tidak mempunyai tiga karakteristik utama, yakni: (1) berkepentingan terhadap masa lalu, (2) bersifat empiris (berdasarkan sumber-sumber primer dan sekunder), dan (3) mengarah pada sintesis dan pemaknaan[18]. Di sisi lain, karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan kaitan, relevansi dan kontekstualisasi obyek kajian dalam konteks kekinian, maka yang digunakan adalah model penalaran induksi analitis (analytical induction), yaitu proses analisis sirkuler dari pemahaman-pemahaman selektif dalam rangka membangun sebuah teori atau mengembangkan transferabilitas ke dalam setting yang berbeda[19]. Atas dasar itu kajian disertasi ini juga di arahkan pada upaya penemuan implikasi-impilkasi yang bersifat teoritis dalam konteks pendidikan keimanan Islam pada masa sekarang.

 

E.     Kajian Pustaka

Karya sejarah Muslim tertua yang membahas kronik historis pada periode Makkah adalah kitab Sirah Nabi karya Ibnu Ishaq. Karya ini dipandang sebagai kemajuan diantara karya-karya masa awal dan narasi-narasi oral yang tercatat dalam literatur kenabian yang dikenal dengan sebutan Maghazi-Sirah. Dalam karyanya The Sectarian Milieu, Wansbrough berpendapat bahwa karya Ibnu Ishaq mengandung “formula paling awal tentang identitas Muslim”[20]. Menurut Earle H. Waugh, karya Ibnu Ishaq menyerupai Odyssey Homerus Muslim awal[21]. Karya ini merupakan sumber sejarah yang penting bagi historiografi mengenai sejarah Islam pada masa Muhammad S.A.W. pada masa-masa selanjutnya.

Karya sejarah yang mirip dengan Sirah Nabi Ibnu Ishaq adalah kitab al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, dimana karya ini mampu menghadirkan fakta sejarah dengan rangkaian nama penyampai berita, dan menarasikan proses historis pada masa Muhammad S.A.W. secara kronologis. Cara penulisan sejarah ini kemudian diikuti oleh penulis lain seperti Ibnu Jarir al-Thabary dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah. Adapun karya yang menekankan pada penuturan kronologis dan mendekatkan dengan sumber-sumbernya secara langsung adalah karya Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh dan Ibnu Abdil Barr dalam ad-Durar fi Sirati ar-Rasul.

Penulisan tentang kronik historis pada masa Muhammad S.A.W. terus dilakukan oleh sejarawan dan cendekiawan Muslim hingga masa era sekarang, diantara yang mampu membahas kajian Sirah Nabawi secara populer dan mampu meraih hati pembaca yang sangat banyak, adalah karya M. Haekal dalam Hayaatu Muhammad. Selain karya tersebut, model genre yang sama juga dilakukan oleh M. Hasan An-Nadwi dalam Sirah Muhammad S.A.W. dan Shafiurrahman al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiah. Selain penulisan sejarah Islam yang menjadikan Muhammad S.A.W. sebagai tokoh sentralnya, maka juga ada karya sejarah yang lebih menitikberatkan pada kronik historis para sahabat seperti al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya al-Asqalany, dan Yusuf al-Kandahlawy dalam Hayat al-Shahabah.

Jika literatur di atas lebih menekankan pada aspek kronologis dan kronik historis sejarah awal Islam serta sekaligus berfungsi sebagai sumber ajaran, maka juga terdapat beberapa karya tulis ilmuan Muslim kontemporer seperti Fazl Ahmad dalam Muhammad; The Prophet of Islam; H.M. Balyuzi dalam Muhammad and The Course of  Islam; Ashgar Ali Engginer dalam Prophet Muhammad (S.A.W.) as a Liberator; Fathullah Gulen dalam Prophet Muhammad: Aspects of His Life. Sedangkan karya tulis ilmuan Barat yang menaruh perhatian pada proses kronik historis Muhammad S.A.W., seperti W. Montgomery Watt dalam Muhammad at Mecca dan Muhammad: The Prophet and Statesman, serta Muhammad as The Founder of Islam; Robert Caspar dalam A Historical introduction to Islamic Theology: Muhammad and The Classical Period; Clinton Bennet dalam In Search of Muhammad; G.Widengren dalam Muhammad, The Apostle of God and His Ascension; Heikki Raisanen dalam Marcion, Muhammad and The Mahatma: Exagetical Perspectives on The Encounter of Cultures and Faiths; Robert R Gullick. Jr., dalam Muhammad: The Educator.

Sementara itu kajian disertasi yang membahas kronik historis pada masa awal Islam antara lain karya Fu’ad Jabali yang berjudul: The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada kecenderungan sosial-politik ketika itu, yakni mengenai penyebaran para Sahabat ke seluruh penjuru wilayah kekuasan Islam, dan keterlibatan Sahabat dalam dinamika politik yang terjadi. Karenanya karya ini tidak membahas secara khusus tentang peranan Sahabat pada periode Mekkah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muhammad Zain dalam disertasinya yang berjudul: Profesi Sahabat Nabi dan Hadis yang Diriwayatkannya. Penelitian ini lebih menekankan pada tinjauan sosio-antropologis para Sahabat Nabi, yakni ingin menunjukkan bahwa transmisi hadis di kalangan Sahabat Nabi tidak selamanya berdasarkan pada misi risalah yang mereka emban, tetapi juga dilatari oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga karya ini juga tidak secara khusus mengkaji persoalan yang menjadi tema pokok penelitian ini.

Senada dengan itu Muslim A. Kadir dalam disertasinya yang berjudul: Konfigurasi Iman Sahabat Muhajirin dan Ansar, berupaya mengkaji tahap perkembangan perilaku iman Sahabat yang dapat menumbuhkan perubahan sosial dan bentuk konfigurasi iman sahabat tersebut menjadi potensi perubahan sosial untuk mencapai tujuan risalah, yakni menampilkan “Islam sebagai rahmat-an li al-alamin”. Dalam kajiannya ini, ia menyimpulkan bahwa masyarakat Muhajirin dan Anshar dapat mencapai tujuan risalahnya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Diantara faktor pendukung tercapainya hal tersebut adalah (1) mereka dapat menghayati turunnya wahyu sehingga mereka dapat menyelesaikan persoalan sosial yang sedang dihadapinya yang notabene juga berdasar dari jawaban wahyu; dan (2) mereka juga mendapat bimbingan langsung dari Nabi S.A.W. Karya ini juga tidak membahas secara spesifik tema pokok dari penelitian ini, dan tidak mengkaitkannya dengan aspek-aspek pendidikan keimanan Islam. Walaupun demikian, penelitian disertasi ini dapat dijadikan referensi dalam rangka menelaah lebih lanjut mengenai proyeksi keimanan para Sahabat.

 

F.     Kerangka Teoritik

Pertama, kerangka teoritik yang digunakan sebagai landasan rasional dalam penelitian ini adalah teori prophetik-transformatif yang digagas oleh Kuntowijoyo, dimana ia menawarkan methodological objectivism, seraya menolak methodological secularism dengan membawa alternatif ilmu sosial profetik. Tidak bermaksud membedakan antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial sekuler, akan tetapi bertujuan merumuskan ilmu sosial yang objektif[22]. Dalam hal ini objektifikasi yang dimaksud adalah upaya konkretisasi nilai-nilai normatif yang dihayati secara internal dalam ketegori dan bahasa ilmu, bukan dalam kategori dan bahasa normatif. Atau disebut juga sebagai kongkretisasi keyakinan normatif yang dihayati secara internal, tapi tidak lagi dalam bentuknya yang normatif[23].

Di sinilah letak perbedaan pengilmuan Islam dan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan[24].

Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi[25]. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110[26].

Adapun mengenai “ketakbebasnilaian” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas diantara komunitas keilmuan[27].  

Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya[28]. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia.

Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.

Kedua, karena kajian penelitian ini lebih menitikberatkan pada kajian kesejarahan yang berupaya mencari titik temu dan kontekstualitasnya dengan realitas kekinian, maka kerangka teoritik yang melandasai penelitian ini adalah teori lingkaran historis-hermeneutik Wilhelm Dilthey. Ia mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami  dalam tiga proses, yaitu: pertama, melalui sudut pandang para pelaku sejarah, dalam konteks penelitian ini, adalah sudut pandang Muhammad dan para Sahabat yang menjadi anggota komunitas Muslim awal pada periode Mekkah. Kedua, melalui peristiwa sejarah, dan yang ketiga, ialah melalui gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup[29].

Menurut Dilthey, ada dua proses pemahaman untuk menyusun kembali (rekonstruksi) masa lampau berdasarkan konteksnya. Pertama, proses hubungan kausalitas, yakni memahami peristiwa sejarah berdasarkan ungkapan-ungkapan dari pengalaman seseorang. Penyelidikan terhadap ungkapan dengan mundur kepada pengalaman seseorang berarti melakukan proses hubungan sebab akibat. Kedua, proses hubungan kausalitas, yakni proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa yang orang dapat melihat kelanjutan proses tersebut, sehingga ia dapat mengambil bagian di dalamnya. Seseorang akan mampu memahami peristiwa sejarah, jika mampu memutar balik proses kausal dari akibat-sebab ke sebab-akibat. Kedua bagian ini tidak dapat dipisahkan, karena dalam proses pemahaman itu sendiri, akal pikiran akan mengambil alih timbul-tenggelamnya sebab dan akibat dalam rangkaian penyebaban. Jadi, kelangsungan waktu, baik masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang transenden terhadap momen yang sarat dengan pengalaman[30].  

Menurut Dilthey, bahwa hidup ini adalah kenyataan historis, kenyataan yang hanya dapat dijelaskan dengan proses sejarahnya. Jadi seorang sejarawan dituntut untuk mengindahkan historical mindedness, yaitu bagaimana seseorang menempatkan diri pada konteks zamannya, karena setiap zaman mempunyai jiwa zamannya sendiri. Seseorang diharapkan mengalihkan imajinasinya ke masa itu untuk dapat meresapkan “suasana” atau “iklimnya”. Meskipun demikian, sejarawan harus menyadari bahwa dia berada pada zaman yang berbeda[31].

Suatu gejala senantiasa ditempatkan dalam setting historis, suatu struktur situasional yang terdapat di dalamnya terjadi gejala sejarah yang dikaji. Dengan demikian nampak lingkungan sosialnya beserta unsur-unsur kulturalnya serta pengaruhnya pada gejala itu. Kondisi dimana peritiwa itu terjadi  akan tampak jelas, maka ada proses relativisasi fakta. Dengan kata lain, apabila suatu gejala dikembalikan dalam setting historisnya akan tampak zeitgebundenheit-nya atau ikatan waktunya bersifat relatif[32]. Sehingga dalam proses historis-hermeneutik ini, ada dua langkah yang ditempuh, (a) pelaksanaannya dengan menggunakan perspektif historis, menempatkan baik penyelidik maupun subject matter pada konteks sejarahnya; (b) kemampuan untuk menyajikan analisis makro dari struktur sosial budaya yang ada[33].

Dalam hal ini teori lingkaran historis-hermeneutik Dilthey di dasarkan pada lingkaran tiga konsep utama, yaitu: “erlebnis” (pengalaman), “ausdruck” (ekspresi) dan “verstehen” (pemahaman)[34]. Menurutnya, setiap pengalaman baru menurut isinya turut ditentukan oleh semua pengalaman yang sampai pada saat itu yang pernah dimilikinya dan pengalaman baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama. Apa yang sekarang dialami seseorang, dilihat dari latar belakang masa lampaunya. Cara membayangkan masa lampau tergantung pada pengalaman hidup yang sekarang diperolehnya. Dengan demikian terjadi proses timbal balik terus menerus antara pengalaman baru dan lama. Pengalaman timbal-balik itu yang pada akhirnya menentukan pengalaman hidup seseorang. Pengalaman mengenai dunia hidup seseorang yang ditentukan oleh proses timbal-balik itu –pengalaman dalam arti sejati− oleh Dilthey disebut dengan “erlebnis[35].

Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda. Perbedaan itu ditentukan oleh sifat khas seseorang yang diperoleh dari pertautan antara pengalaman lama dengan pengalaman baru, menurut proses timbal-balik. Dengan kata lain, cara seseorang memberi reaksi terhadap kenyataan merupakan ciri khas dalam kepribadiannya. Kesatuan dan kebertautan dalam proses timbal balik itu memunculkan sifat dan struktur pengalaman hidup seseorang yang di dalamnya terdapat aspek produktif dan reseptif. Dengan demikian pelaku sejarah bertindak dan mencipta berdasarkan kesatuan dan kebertautan yang khas bagi kepribadiannya. Kemudian diproyeksikan ke luar dalam bentuk perbuatan tertentu, sebuah karya sejarah atau gagasan. Dengan adanya kesatuan dan kebertautan dalam erlebnis timbul adanya hal-hal yang berkaitan dengan produktif. Ini yang dikatakan Dilthey dengan istilah “ausdruck” (ekspresi). “Ausdruck” selalu merupakan obyektivasi mengenai kebertautan dan koherensi dalam Erlebnis[36].

Menurut R.G. Collingwood, seorang ahli sejarah dapat merekonstruksi kembali erlebnis pelaku sejarah, apabila dia sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, mengaktualisasikan kembali keadaan-keadaan dahulu yang melingkupi pelaku sejarah. Ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi dan sebagainya, seorang ahli sejarah mementaskan kembali di atas panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologis dan intelektual yang dahulu dirasakan oleh pelaku sejarah[37].

Seorang peneliti sejarah yang telah dapat merekonstruksi kembali dalam batinnya tentang pengalaman-pengalaman seorang pelaku sejarah dengan menggunakan pengalaman hidupnya sendiri, berarti ia telah mampu memahami (“verstehen”) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu. Dalam verstehen itu selalu ada konotasi “dalam keadaan demikian, maka aku sendiri akan berbuat dan berfikir demikian”[38].

Menghayati kembali (to re-enact) situasi tokoh sejarah, berarti meneliti batinnya. Padahal peneliti hanya dapat menghayati apa yang hidup dalam benak seseorang  dan yang mendasarinya. Oleh karena itu Collingwood berpendapat bahwa semua sejarah adalah sejarah alam pikiran (ini tidak berarti bahwa semua sejarah adalah sejarah intelektual). Ia mengatakan bahwa re-enactment itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang tidak dapat dikontrol. Dengan kata lain peneliti sejarah tidak menghapus dirinya sendiri, kemudian menjelma kembali dalam batin seorang tokoh sejarah. Akan tetapi peneliti selalu sadar bahwa “re-enactment” itu terjadi dalam batinnya sendiri, sehingga tidak terjadi identifikasi total antara peneliti sejarah dengan tokoh sejarah. Jadi peneliti sejarah hendaknya selalu penuh imajinasi, ia harus pandai mengadakan ektrapolasi dan intrapolasi menurut pengalamannya sendiri[39].

            Ketiga, karena penelitian ini menempatkan sosok Muhammad S.A.W. dan para Sahabat yang menyertainya sebagai figur-figur paradigmatik pada momen historis di periode Mekkah, maka kerangka teoritik yang melandasi penelitian ini adalah teori model. Menurut Earle H. Waugh, bahwa materi keislaman itu sendiri memperkaya kita berkenaan dengan struktur yang inheren dalam materi tersebut; bahkan menyebabkan bentuk yang diberikan pada struktur-struktur itu tidak monovalent, fokusnya harus pada model-model daripada pola-pola sebagai lokus penyelidikan. Dapat dipahami bahwa tugas analisis itu sendiri menghendaki semacam penarikan kembali bentuk ulangan dari matriknya dalam materi dan karenanya secara sadar menginginkan agar apa yang kita cari tidak pernah mempunyai obyektivitas yang sama seperti fakta ilmiah. Namun demikian, upaya untuk menemukan makna telah menata “fakta-fakta” yang saling berhubungan dan paham tentang model adalah cara yang paling tepat dimana kita mempergunakan keahlian analisis untuk menciptakan makna di luar dari data yang berdimensi banyak[40].

            Dalam hal penerapan teori model ini, Ramsey, seorang religionis terkemuka dari Oxford University berpendapat bahwa “dengan menggunakan model-model yang disediakan oleh setiap disiplin ilmu kita dapat memahami misteri yang ada dihadapan kita, bahkan dapat memberi kontribusi akademik. Ia juga menyatakan bahwa “titik utamanya adalah apakah model-model itu bersifat ilmiah atau sosial yang lahir atas dasar suatu pandangan yang dalam hal ini menyatakan bahwa masing-masing dari kita memiliki subyektivitasnya sendiri[41]. Ramsey menambahkan bahwa model-model dari berbagai disiplin ilmu dapat mengatakan sesuatu yang penting tentang realitas, tetapi tidak dapat menyediakan model ultim. Demikian pula teologi terbatas pada apa yang dikatakan. Upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah kembali ke belakang dan menekankan “dimensi lebih jauh” atau “kesaksian akan kedalaman yang masing-masing terabaikan dan tersembunyi[42].

            Selain itu Ewert Counsins melihat teori model ini bekerja dalam dua tingkatan. Tingkatan pertama berkaitan dengan pengalaman keagamaan dalam mencari apa yang disebut dengan “model-model pengalaman” (experiental models). Model pengalaman adalah struktur-struktur atau bentuk-bentuk pengalaman keagamaan. Istilah “pengalaman” mengimplikasikan unsur subyektif dan istilah “model” mengimplikasikan varietas dalam pengalaman keagamaan. Tingkatan kedua, metode memerhatikan ekspresi perumpamaan, kredo keagamaan, dan sistem teologi. Ekspresi-ekspresi semacam itu diidentifikasi sebagai model-model ekspresif (expressive models) yang mengambil seluruh bentuk yang digunakan orang beragama dalam menyatakan pengalaman keagamaan dirinya. Demikianlah kerja para sarjana untuk menyelidiki model pengalaman, mengisolasi dan menggalinya, kemudian “memetakan korelasi antara pengalaman dan ekspresinya”[43]. 

            Kaitannya dengan penelitian ini, paradigma Islam tentang Muhammad S.A.W. dan para Sahabat yang menyertainya dalam proses diseminasi paham iman pada periode Mekkah menjadi fokus dalam menerapkan teori model ini. Dalam hal ini prosesnya adalah sebagai berikut: Pertama, kita mengusulkan hubungan langsung antara sitz im leben setiap ekspresi keimanan di dalam proses kronik historis pada periode Mekkah, sehingga, dalam bahasa Cousin, kita dapat menemukan setting “pengalaman” di luar ekspresi yang dibuat. Kedua, kita mengambil citra Muhammad S.A.W. dan para Sahabat yang menyertainya dalam proses diseminasi paham iman pada periode Mekkah, yakni dengan membawanya bersama-sama makna-makna yang dapat dikembangkan dan dieksplorasi yang mengatasi apa yang dijumpai dalam setting aslinya. Ketiga, karena model itu sendiri tidak mempunyai kandungan keagamaan khusus, maka kita diperbolehkan menggali bahasa yang memiliki dirinya sendiri agar menjadi berbobot dengan tradisinya sendiri. Keempat, kita mendapatkan pola-pola dalam proses kronik historis pada periode Mekkah yang membuka dimensi-dimensi untuk kajian lebih lanjut.  

 

G.    Sistematika Pembahasan

Dalama penelitian ini pembahasan dibagi ke dalam enam bab pembahasan dengan uraian sebagai berikut:

Bab Pertama, pendahuluan yang memuat uraian tentang latar belakang mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan, masalah apa yang menjadi fokus penelitian, jenis, metode dan kerangka teoritis apa yang dipergunakan dalam penelitian ini. Di samping itu, dalam bab pertama ini juga dimaksudkan untuk memberikan pengantar sekaligus uraian secara paradigmatik mengenai tema-tema pokok masalah yang akan diteliti.

Bab Kedua, akan mendiskripsikan atau menarasikan secara idiografis mengenai data atau fakta historis yang menjadi fokus penelitian ini. Secara umum yang dibahas dalam bab ini adalah horison pendidikan keimanan Islam pada periode Mekkah (610-622 M), yang di dalamnya secara runtut akan menjelaskan sketsa historis pendidikan keimanan oleh Muhammad S.A.W. kepada para Sahabat yang menjadi komunitas Muslim awal. Dalam hal ini peranan “madrasah” pertama dalam Islam, yaitu Dar al-Arqam akan menjadi fokus pembahasan. Selain itu juga akan diuraikan mengenai pola diseminasi paham iman para Sahabat awal dengan mencoba menelaah lebih jauh peranan secara sistematik wahyu-wahyu yang pertama kali turun. Dari sini akan ditampilkan sketsa biografis komunitas muslim awal yang telah mendapatkan pembinaan langsung dari Nabi S.A.W. tersebut, khususnya penjelasan tentang fenomena ketahanan atau immunitas keimanan para Sahabat dalam merespon tekanan psikologis, sosial, politik dari para penguasa kota Mekkah.

Bab Ketiga, pada bab ini peneliti mencoba mengelaborasi tentang implikasi dari penjelasan sebelumnya, dengan mencoba menemukan signifikansi pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam proses pembelajaran atau yang dikenal dengan integration faith and learning (IFL). Dalam hal ini akan diuraikan wawasan epistemologis pendidikan yang menjadikan nilai-nilai keimanan sebagai basis pengajaran. Kemudian penjelasan secara paradigmatik mengenai visi holistik dalam pendidikan keimanan Islam, yang dilanjutkan dengan uraian mengenai aplikasi pengintegrasian nilai-nilai keimanan dalam proses pembelajaran.

Bab Keempat, pada bab ini akan diuraikan penjelasan mengenai implikasi yang menelaah sisi-sisi relevansi dari proyeksi pembelajaran keimanan Islam pada periode Mekkah. Dalam hal ini akan didedahkan secara paradigmatik mengenai bagaimana seharusnya core values dari pendidikan keimanan Islam, dan perlunya core values tersebut menjadi bagian penting dalam upaya pembaharuan kurikulum pembelajaran keimanan Islam. Kemudian setelah itu akan dijelaskan format aplikasinya dalam konteks kurikulum pembelajaran dengan menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam peranan sistematik dari proses turunnya wahyu-wahyu awal kepada Nabi S.A.W.

Bab Kelima, pada bab ini akan diuraikan temuan teoritik dari penelitian ini, yakni penjelasan tentang formulasi-formulasi yang berhasil dikonstruksi dari proses kronik historis pada proses diseminasi paham iman komunitas Muslim awal pada periode Mekkah. Formulasi-formulasi tersebut akan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan bagi upaya pembaharuan kurikulum pembelajaran keimanan Islam.

Bab Keenam, sebagai bab terakhir yang menguraikan kesimpulan dari penelitian, saran-saran, dan rekomendasi, serta kata penutup, yang isinya antara lain mengungkapkan kontribusinya secara umum kepada dunia pendidikan Islam, serta menyajikan keterbatasan penelitian ini, agar dengan mudah dapat diketahui sisi-sisi tertentu dari penelitian ini yang bisa dikembangkan dalam penelitian selanjutnya.

 



[1] Lihat Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas; al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 120.

[2] Thariq Modanggu, Perjumpaan Teologi dan Pendidikan, (Jakarta: Qalam Nusantara, 2010), hlm. 32.

[3] Lihat H.A.R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, (Boston: Beacon Press, 1968), hlm. 207.

[4] Thariq Modanggu, Perjumpaan Teologi..., hlm. 34.

[5] M. Amin Abdullah, Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan Hati Nurani, makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010, hlm. 3.

[6] Ibid, hlm. 4-5.

[7] Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, (Jakarta: Tama Publisher, 2005), hlm. 205.

[8] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi III (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996), hlm. 159.

[9] Robert C. Bogdan & Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, (London, Allyn and Bacon Inc., 1982), hlm. 73.

[10] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. N. Notosutanto, (Jakarta: UI Press, 1973), hlm.32.

[11] Ibid, hlm. 28.

[12] Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992), hlm. 154.

[13] Homer Carey Hocket, The Critical Method in Historical Research, (New York, The MacMillan Company) 1985), hlm. 15.

[14] Kartodirjo, Pendekatan..., hlm. 17.

[15] Burke Johnson & Larry Christensen, Educational Research: Quantitative and Qualitative Approaches, (London: Allyn and Bacon, 2000), hlm. 343.

[16] Ibid, hlm. 345.

[17] Royce A. Singleton, Jr & Bruce C. Straits, Approaches in Social Research, edisi III (New York: Oxford University Press, 1999), hlm. 376.

[18] W. James Potter, An Analysis of Thinking and Research about Qualitative Methods, (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate, 1996), hlm. 142.

[19] Ibid, hlm. 156.

[20] John Wansbrough, The Sectarian Milieu: Content and Composition of Salvation History (Oxford: Oxford University Press, 1978), hlm. 103.

[21] Earle H. Waugh, Muhammad Populer: Model-model dalam Interpretasi Paradigma Islam, dalam Richard C. Martin (ed), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 70.  

[22] Kata objektif ini, bukanlah objektifitas yang dimaksudkan positivisme. Positivisme menyatakan bahwa untuk mencapai obyektifitas seorang ilmuan sosial harus membebaskan diri dari persepsi-persepsi, pra-konsepsi-pra-konsepsi atau nilai-nilai dalam aktifitas ilmiahnya. Lihat M. Fahmi, Islam Transendental (Menelusuri jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo), (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 270.

[23] Ibid, hlm. 271.

[24] Lihat makalah Zainal Abidin Bagir, Pengilmuan Islam dan Integrasi Ilmu dengan Etika: Gagasan Kuntowijoyo, disampaikan dalam seminar Apresiasi Hidup dan Pemikiran Kuntowijoyo, di University Center UGM, 26 Mei 2005, hlm. 7-8.

[25] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, hlm. 52.57.

[26] “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali Imran (3): 110).

[27] Ibid, hlm. 9.

[28] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu…, hlm. 57.

[29] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 53.  

[30] Ibid, hlm. 58.

[31] Kartodirjo, Pendekatan..., hlm. 77

[32] Ibid, hlm. 42.

`               [33] Hendry Etzkowitz dan Ronald M. Glassman, The Renescience of Sociological Theory, (Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc., 1991), hlm. 187.

[34] P.J.Odman & D. Kerdeman, Hermeneutics, dalam John P. Keeves & Gabrielle Lakomski, Issues in Educational Research, (Amsterdam: Elsevier Science Ltd, 1999), hlm. 188.

[35] Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 48.            

[36] F.R. Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 157-159.

[37] R.G. Collingwood, Ide Sejarah, terj. Mohd Yusrof Ibrahim, (Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1985), hlm. 212.

[38] Ankersmith, Refleksi, hlm. 162.

[39] Ibid, hlm. 172-173.

[40] Waugh, Muhammad Populer..., 62-63.

[41] Ian T. Ramsey, Religion and Science, (London: Oxford University Press, 1964), hlm. 45.

[42] Ian T. Ramsey, Models and Mystery, (London: Oxford University Press, 1964), hlm. 21, 66.

[43] Ewert Cousins, “Models and the Future of Theology”, Continuum 7, (1969), hlm. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...