Pada tataran praktik, filsafat pendidikan Islam
terjebak pada problem-problem pragmatis-teknikalistik, sehingga aspek-aspek
yang substantif dan essensial dari pendidikan Islam terabaikan. Dalam domain
filsafat pendidikan Islam, bahasan mengenai keimanan menjadi sangat krusial dan
mendasar, akan tetapi arus utama yang terjadi dalam pengajaran keimanan dalam
praktiknya lebih banyak menekankan pada indoktrinasi doktrin-doktrin kalam
yang sarat dengan proses dialektik yang menjemukan dan membuat minimnya
kontribusi pengajaran keimanan terhadap pembentukan karakter dan moral sebagai
seorang Muslim yang sesungguhnya. Dari proses ini terlihat bahwa visi
pendidikan Islam lebih berorientasi pada wawasan teoretik tentang Islam, dan
bukan bagaimana agar subyek didik menjadi seorang Muslim yang baik.
Selain
itu dunia kependidikan Islam menghadapi problematika yang cukup pelik, yaitu
ketika kemajuan teknologi informasi yang pada titik tertentu membawa efek
negatif secara moral (moral hazard) kepada pembentukan kepribadian
Muslim. Pada saat yang sama materi pemelajaran tentang keimanan sudah tidak
mampu lagi membekali subyek didik agar memiliki immunitas keimanan dan mampu
memproteksi diri dari efek negatif tersebut. Maka wajar apabila fenomena
degradasi moral yang terjadi di dunia pendidikan Barat akhirnya juga terjadi di
dunia pendidikan Islam. Hal tersebut diperparah oleh minimnya durasi
pemelajaran keagamaan khususnya di sekolah-sekolah umum, sehingga basis
moral-etik tidak lagi dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan.
Kegelisahan
teologis yang berkembang menjadi kegelisahan akademik pada proyeksi pemelajaran
keimanan, akhirnya membuat munculnya satu teori tentang pentingnya
mengintegrasikan aspek-aspek keimanan kepada Tuhan dalam proses pemelajaran di
ruang kelas, atau yang diistilahkan dengan integration faith and learning
(IFL). Paradigma ini berkembang pesat di dunia pendidikan Kristen sebagai
respons atas ketidakmampuan dunia pendidikan untuk menanggulangi efek-efek
negatif dari modernitas dan kemajuan teknologi informasi. Secara filosofis
paradigma ini juga merupakan jawaban atas gagalnya narasi-narasi besar filsafat
untuk memecahkan problematika kemanusiaan seperti demoralisasi yang merupakan
akibat langsung dari modernitas.
Dalam
konteks pendidikan Islam paradigma integration faith and learning
semestinya bukan suatu hal yang baru, karena segala aspek yang berkaitan dengan
Islam diikat oleh sebuah diktum idiologi tauhid. Dari konsep ini prinsip
integrasi dibangun, di mana secara epistemologis tidak ada dikotomi antara
domain rasio dan wilayah empirik. Salah satu terma yang digunakan al-Qur’an
adalah sam’a wal’ abshara wal’ af’idhah (indera dengar, penglihatan dan
rasio). Dengan demikian, dalam Islam juga tidak ada dikotomi antara iman (faith)
dan pikiran (reason), antara iman dan sejarah (faith and history),
serta antara iman dan pengajaran (faith and learning). Akan tetapi
kuatnya hegemoni paradigma berfikir model rasionalitas Barat yang positivistik,
membuat pendidikan Islam sulit untuk mendayagunakan potensi-potensi
essensialnya sebagai ciri khas dan karakter yang utama.
Oleh
karena itu, dalam perspektif integration faith and learning, pengajaran
segala bidang ilmu pengetahuan baik ilmu agama (perennial science)
maupun ilmu non agama (acquired science) berupaya menciptakan hubungan
subyek materi dengan dimensi ilahiah untuk memupuk kesadaran iman subyek didik.
Pada saat yang sama juga pengajaran diarahkan pada merekayasa model dan contoh-contoh
yang ada sebagai miniatur dari keseluruhan eksistensial (wholeness).
Dari pola seperti itu akan tercipta dengan sendirinya “gambar besar” tentang
aspek ketuhanan yang akan menghantarkan subyek didik pada “penemuan” yang
bermakna tentang makna-makna kehidupan.
Dengan
demikian, praktik pendidikan Islam seperti itu bisa memperkecil fenomena
dis-integrasi antara ilmu agama dan non agama, dan merestorasi kembali posisi
Tuhan yang sesungguhnya inheren dalam dimensi kemanusiaan. Wallahu
A’lamu Bishawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar