Senin, 04 Juli 2022

Integration Faith and Learning (IFL) Dalam Praktik Pendidikan Islam

 

Pada tataran praktik, filsafat pendidikan Islam terjebak pada problem-problem pragmatis-teknikalistik, sehingga aspek-aspek yang substantif dan essensial dari pendidikan Islam terabaikan. Dalam domain filsafat pendidikan Islam, bahasan mengenai keimanan menjadi sangat krusial dan mendasar, akan tetapi arus utama yang terjadi dalam pengajaran keimanan dalam praktiknya lebih banyak menekankan pada indoktrinasi doktrin-doktrin kalam yang sarat dengan proses dialektik yang menjemukan dan membuat minimnya kontribusi pengajaran keimanan terhadap pembentukan karakter dan moral sebagai seorang Muslim yang sesungguhnya. Dari proses ini terlihat bahwa visi pendidikan Islam lebih berorientasi pada wawasan teoretik tentang Islam, dan bukan bagaimana agar subyek didik menjadi seorang Muslim yang baik.

            Selain itu dunia kependidikan Islam menghadapi problematika yang cukup pelik, yaitu ketika kemajuan teknologi informasi yang pada titik tertentu membawa efek negatif secara moral (moral hazard) kepada pembentukan kepribadian Muslim. Pada saat yang sama materi pemelajaran tentang keimanan sudah tidak mampu lagi membekali subyek didik agar memiliki immunitas keimanan dan mampu memproteksi diri dari efek negatif tersebut. Maka wajar apabila fenomena degradasi moral yang terjadi di dunia pendidikan Barat akhirnya juga terjadi di dunia pendidikan Islam. Hal tersebut diperparah oleh minimnya durasi pemelajaran keagamaan khususnya di sekolah-sekolah umum, sehingga basis moral-etik tidak lagi dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan.

            Kegelisahan teologis yang berkembang menjadi kegelisahan akademik pada proyeksi pemelajaran keimanan, akhirnya membuat munculnya satu teori tentang pentingnya mengintegrasikan aspek-aspek keimanan kepada Tuhan dalam proses pemelajaran di ruang kelas, atau yang diistilahkan dengan integration faith and learning (IFL). Paradigma ini berkembang pesat di dunia pendidikan Kristen sebagai respons atas ketidakmampuan dunia pendidikan untuk menanggulangi efek-efek negatif dari modernitas dan kemajuan teknologi informasi. Secara filosofis paradigma ini juga merupakan jawaban atas gagalnya narasi-narasi besar filsafat untuk memecahkan problematika kemanusiaan seperti demoralisasi yang merupakan akibat langsung dari modernitas.

            Dalam konteks pendidikan Islam paradigma integration faith and learning semestinya bukan suatu hal yang baru, karena segala aspek yang berkaitan dengan Islam diikat oleh sebuah diktum idiologi tauhid. Dari konsep ini prinsip integrasi dibangun, di mana secara epistemologis tidak ada dikotomi antara domain rasio dan wilayah empirik. Salah satu terma yang digunakan al-Qur’an adalah sam’a wal’ abshara wal’ af’idhah (indera dengar, penglihatan dan rasio). Dengan demikian, dalam Islam juga tidak ada dikotomi antara iman (faith) dan pikiran (reason), antara iman dan sejarah (faith and history), serta antara iman dan pengajaran (faith and learning). Akan tetapi kuatnya hegemoni paradigma berfikir model rasionalitas Barat yang positivistik, membuat pendidikan Islam sulit untuk mendayagunakan potensi-potensi essensialnya sebagai ciri khas dan karakter yang utama.

            Oleh karena itu, dalam perspektif integration faith and learning, pengajaran segala bidang ilmu pengetahuan baik ilmu agama (perennial science) maupun ilmu non agama (acquired science) berupaya menciptakan hubungan subyek materi dengan dimensi ilahiah untuk memupuk kesadaran iman subyek didik. Pada saat yang sama juga pengajaran diarahkan pada merekayasa model dan contoh-contoh yang ada sebagai miniatur dari keseluruhan eksistensial (wholeness). Dari pola seperti itu akan tercipta dengan sendirinya “gambar besar” tentang aspek ketuhanan yang akan menghantarkan subyek didik pada “penemuan” yang bermakna tentang makna-makna kehidupan.

            Dengan demikian, praktik pendidikan Islam seperti itu bisa memperkecil fenomena dis-integrasi antara ilmu agama dan non agama, dan merestorasi kembali posisi Tuhan yang sesungguhnya inheren dalam dimensi kemanusiaan. Wallahu A’lamu Bishawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...