- PENDAHULUAN.
Masalah
pendidikan adalah masalah yang tak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena ia
menyangkut persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah moral kepada
eksistensi fithrawinya. Berbagai pemikiran telah dikembangkan para pakar
tentang hakekat, makna, dan tujuan pendidikan. Warna dari pemikiran itu sudah
tentu sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup (world view) dan
nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pakar tersebut. Tetapi dengan segala
perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka bersetuju
bahwa pendidikan bertujuan memberi bekal moral, intelektual, dan keterampilan
kepada anak manusia, agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh
percaya diri.
Pendidikan
mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa, sebab
lewat pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa
tersebut. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan
how to do, tetapi yang sangat penting adalah how to be, bagaimana
supaya how to be bisa terwujud, maka diperlukan transfer budaya dan
kultur.
Oleh
karena demikian pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan, maka perlu
diatur suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut, yang terpayungi
dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah satu
keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling
berkait antara satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan
pendidikan nasional.
Penyusunan
suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi
ummat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya dalam
hubungannya dengan masa lampau dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan di masa
depan.
Eksistensi
bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945, dimana Indonesia sebagai negara merdeka, bersatu dan berdaulat. Indonesia
telah dengan tegas menyatakan jati dirinya, tujuan dan pandangan hidupnya, sebagaimana yang
tertuang dalam preambul UUD 1945[1]. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk
membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan ideologis,
dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya.
Di
Indonesia, pendidikan diselenggarakan dan diperuntukkan bagi segenap warga
negara, sebagaimana tertuang jelas dalam UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka
pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya.
A. PEMBAHASAN
1.
Sumber Dana Pendidikan.
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan
prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Untuk itu maka
pemerintah pusat dan pemerintah tingkat daerah serta masyarakat, mengarahkan
sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(pasal 47 ayat 2). Sumber pandanaan pendidikan dari pemerintah meliputi
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja
daerah (APBD). Sedangkan sumber pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain
sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar,
pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk
pendidikan dan lain-lain penerimaan yang sah atau tidak melanggar
undang-undang.
Dengan
perintah undang-undang seperti itu, maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh
menggalang dana atau memungut dari manapun yang tidak sah dan tidak mengikat.
Artinya semua sumbangan yang masuk kas penyelenggara pendidikan tidak boleh
mengikat secara akademik, politik, ekonomi, dan tidak boleh melanggar prinsip
demokrasi, berkeadilan, serta tidak diskriminatif (pasal 4)[2].
Dana
pendidikan, baik yang bersumber dari APBN dan APBD, maupun yang bersumber dari
masyarakat dan peserta didik, harus dikelola berdasarkan prinsip keadilan,
efisiensi, transparan dan akuntabilitasnya terjaga dengan baik. Dengan demikian
diperlukan manajemen profesional dan penggunaan SIM (sistem informasi
manajemen) dengan menggunakan teknologi komputerisasi.
Dana
pendidikan selain sebagai gaji para pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal dari 20% dari APBD[3].
Namun hal ini belum terealisasi. Sekjen Departemen Pendidikan (Depdiknas), Dodi
Nandika di Jakarta, Selasa (29/11) mengatakan bahwa ia berharap tahun 2009
nanti APBN baru mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20%, meningkat 11,6%
dibanding tahun 2006 yang hanya dianggarkan sebesar 8,4% dari total APBN[4].
Data dari Depdiknas pada tahun 2005, anggaran pendidikan ditetapkan sebesar Rp.
25,5 trilyun, meningkat Rp. 10 trilyun dari tahun sebelumnya. Sedang untuk
tahun 2006, meski belum mencapai 20%, namun nilainya bertambah dari Rp. 10
trilyun, menjadi Rp. 36 trilyun.
Dilihat
dari prosentase tersebut, ternyata masih jauh dari yang diamanatkan oleh
undang-undang yang jumlahnya sebesar 20%. Namun dengan naiknya angka nominal
anggaran pendidikan, hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki
kepedulian untuk memprioritaskan masalah pendidikan, dengan peningkatan dana
anggaran yang cukup signifikan. Dari sini diharapkan anggaran pendidikan bisa
mencapai 20% dengan asumsi setiap tahun ada kenaikan sebesar 2 % dari tahun
sebelumnya.
Anggaran
pendidikan nasional untuk pertama kalinya mencapai presentase yang tinggi (22,5
%) terjadi pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid[5].
Boleh jadi inilah bukti nyata komitmen pemerintahan Gusdur pada bidang
pendidikan, yang tidak hanya diucapkan, tapi diwujudkan lewat tindakan nyata.
Kenaikan anggaran pendidikan yang tinggi itu mempunyai makna bagi upaya
peningkatan mutu pendidikan nasional, bila seluruh dana tersebut terserap untuk
pengembangan pendidikan secara efektif, efisien, dan tidak terlalu banyak
dikorupsi dan diselewengkan oleh aparat pendidikan. Namun demikian, anggaran
pendidikan yang tinggi tidak otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan
nasional, bila tidak ditunjang oleh kenaikan anggaran bidang lain, terutama
yang berkaitan dekat dengan proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah,
seperti pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana fisik, serta sarana
transportasi, telekomunikasi, fasilitas kesehatan dan lainnya. Agar peningkatan
anggaran pendidikan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan demi
tercapainya tujuan pendidikan, dibutuhkan perencanaan yang matang. Karena bila
tidak disertai perencanaan yang matang dan kemampuan mengelola dengan baik,
yang terjadi justru sebaliknya. Kenaikan anggaran pendidikan bisa memperparah
mental korupsi yang ada di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang
selama ini dikenal juga sebagai departemen terkorup kedua setelah Departemen
Agama. Kekhawatiran semacam itu cukup beralasan, mengingat lemahnya kemampuan
institusi itu untuk melakukan perencanaan secara matang dan pengelolaan dana secara
baik, dan belum teruji di lapangan.
Gugatan
masyarakat terhadap pemerintah menyangkut penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana, mustahil untuk
diselenggarakan pendidikan yang dimaksud. Namun dana bukan satu-satunya unsur
yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Anggaran sektor pendidikan terhadap PDP (pendapatan nasional bruto) rata-rata
2,2 %, sedangkan anggaran sektor pendidikan terhadap APBN, rata-rata 12,1 %.
Anggaran Diknas terhadap APBN rata-rata 7,3 %. Perbandingan dalam menentukan
seluruh anggaran sektor pendidikan nasional yang melalui Depdiknas rata-rata:
59,17 %, sedangkan untuk yang membiayai kegiatan-kegiatan pendidikan yang di
luar Depdiknas, yaitu oleh instansi-instansi terkait selain Depdiknas,
rata-rata: 40,8 %[6].
Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan pendidikan yang didanai oleh Depdiknas,
rata-rata lebih besar dari pada kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan
oleh instansi diluar Depdiknas.
Rasio
pendanaan kegiatan pendidikan nasional tersebut, berbanding terbalik dengan
kenyataan di masyarakat. Kegiatan yang berada di Depdiknas lebih kecil dari
pada kegiatan yang berada diluar Depdiknas.
2.
Peran Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah.
Pemerintah
adalah milik masyarakat. Pada masa lalu, pemerintah yang sentralistik dan
hierarkis sangat diperlukan, mengikuti rantai komando hingga sampai staf yang
berhubungan dengan masyarakat[7].
Sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitif,
komunikasi antar wilayah masih sangat lamban, dan aparatur pemerintahan masih
relatif belum terdidik. Kini keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi
sudah sangat pesat, kebutuhan masyarakat semakin kompleks, dan staf pemerintah
sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini pengambilan keputusan
harus melibatkan masyarakat, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat dan membuka
ruang partisipasi publik.
Tuntutan
reformasi yang amat penting adalah demokratisasi. Konsep demokrasi dalam
pengelolaan pendidikan, kemudian dituangkan dalam undang-undang Sisdiknas.
Dalam bab III tentang prinsip penyelengaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak
diskrimantif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultur, dan kemajemukan bangsa[8].
Dalam
pasal 10 UU Sisdiknas 2003 juga disebutkan bahwa pemerintah pusat dan
pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi segenap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun (pasal 11 ayat 2).
Namun
kenyataannya di lapangan apakah UU Sisdiknas tahun 2003 itu telah sempurna
dilaksanakan oleh aparat pemerintah?, kita ambil contoh misalnya, secara
struktural madrasah berada dalam lingkungan Departemen Agama. Maka tanggung
jawabnya pun berada di pundak Depag. Pertanyaan mendasar yang dimunculkan dalam
menyikapi diterapkannya otonomi daerah ini adalah: kebijakan apakah yang
diberlakukan bagi madrasah . Madrasah yang berada di bawah institusi Depag,
tetapi alokasi pendanaan yang dikucurkan tidak berbeda dengan yang diterima di
sekolah konvensional. Ada data yang ditemukan tentang pendanaan ini, misalnya
pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per-siswa MIN adalah Rp.19.000,
sedangkan SDN sebesar Rp. 100.000 (1:5,2), MTS, Rp. 33.000, sedangkan SMP, Rp.
46.000, (1:1,4)[9].
Diskriminasi
seperti ini harus diakhiri, karena juga tidak sesuai dengan UU Sisdiknas tahun 2003. mengakhirinya tidak
mesti madrasah berada di bawah Diknas atau Pemda, tetapi yang perlu
diperhatikan adalah alokasi pembiayaan tidak berbeda antara madrasah dan sekolah
konvensional. Pada RAPBN tahun 2002, telah diajukan rencana anggaran pendidikan
sebesar Rp. 11,552 trilyun, sekitar 24,5 % dari anggaran pembangunan yang
sebesar Rp. 11.47.147 trilyun. Anggaran yang sedemikian itu juga dialokasikan
secara proporsional kepada madrasah[10].
Jelas
kiranya bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak mungkin tercapai tanpa
tersedianya dana dan sarana yang lengkap dan relevan dengan kebutuhan
program-program yang ditangani. Namun fasilitas yang lengkap dan mahal tidak
dengan sendirinya menjamin tercapainya pendidikan berkualitas, hal ini akan
sangat tergantung pada sistem pengelolaan: “memperoleh”, “membelanjakan”, dan
“mengembangkan”, serta kemampuan moral para petugas yang bertanggung jawab.
Mastuhu mengatakan bahwa ada butir-butir
pemikiran bagaimana seharusnya sistem pendanaan pendidikan dilaksanakan
dimasa-masa mendatang, yaitu:
a. Pemerintah pusat dan daerah hendaknya berperan sebagai Funding
Agency.
b. Pimpinan sekolah atau perguruan tinggi berkewajiban memberikan
kewenangan kepada unit atau bagian hierarkis struktural di bawahnya.
c.
Pemerintah pusat bekerja sama
dengan pemerintah daerah setempat
d.
Perhitungan dana hendaknya
diorientasikan atas kebutuhan per-siswa.
e.
Perlu dirumuskan “satu sistem
pendanaan nasional” (SSPPN), namun masing-masing pemerintah daerah memiliki
otonomi dalam mengelola pendidikannya.
f.
Pengelolaan dana harus transparan
dan bertanggung jawab.
g.
Strategi pendanaan dan
prioritasnya harus selalu memfokuskan diri pada pembangunan mutu pendidikan[11].
Maka
suatu keharusan bagi sekolah untuk mengembangkan berbagai aneka sumber
pendanaan dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha, industri, perdagangan
dan sebagainya untuk mendapatkan dana segar pendidikan yang lebih banyak, agar
sekolah dapat melayani kebutuhan masyarakat.
3.
Pemerintahan yang Demokratis.
Salah
satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance) itu
terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Bekerja dalam negara demokratis
merupakan cita-cita semua orang yang mau hidup di negara yang menjunjung tinggi
semangat demokrasi dan demokratisasi. Selama ini kita belum benar-benar
merasakan hal yang demikian itu. Pemerintah sekarang berkeinginan untuk
menegakkan prinsip-prinsip demokrasi di segala bidang, dan prinsip demokrasi
yang paling asasi adalah mendasarkan kekuasaan pada kehendak rakyat secara
semesta, bukannya ditangan penguasa yang terkadang dipenuhi tendensi politik
tertentu. Sementara itu rakyat tidak memiliki rasa takut yang berlebihan untuk
memasuki suatu serikat atau perkumpulan yang sesuai dengan hati nurani dan
kebutuhan emosionalnya. Selaras dengan tidak adanya rasa takut ini, juga
dikembangkan adanya kenyataan dihargainya moral perbedaan pendapat[12].
Pemerintah
bisa bertindak demokratis jika peran kontrolnya yang dilakukan rakyat
dijalankan secara maksimal, proporsional, konstitusional dan bertanggung jawab.
Di dalam pemerintahan yang modern dan demokratis, hampir tidak mungkin
manajemen birokrasi pemerintahannya bisa dijalankan, tanpa adanya kontrol penuh
dari rakyat. Salah satu kekhawatiran yang tergolong fundamental terhadap
pemerintahan modern sekarang ini adalah untuk mendorong timbulya kebiasaan
mengunakan kekuasaan dan otoritas yang dipegang oleh penguasa pemerintahan
untuk kepentingan tercapainya tujuan masyarakat. Kebiasaan ini harus selalu
diingatkan kepada pemerintah, sebagai wujud akuntabilitas. Salah satu wujud akuntabilitas tersebut
adalah mendorong agar semua produk hukum dan kebijakan yang menyangkut
kehidupan rakyat banyak harus diupayakan dan didasarkan atas undang-undang.
Dengan UU rakyat mampu mengakses untuk mengontrol dan mengkritisinya. Lembaga
pemerintah yang ada di pusat dan di daerah sekarang ini cenderung menjadi bahan
sorotan dan perhatian rakyat banyak, karena terlalu banyaknya borok-borok
kekuasaan disana-sini.
Di
sebuah negara demokratis, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang
dipakai pemerintah adalah milik rakyat, dan anggaran menunjukkan rencana
pemerintah untuk membelanjakan uang rakyat. Dalam lingkup daerah, anggaran
daerah merupakan blue print keberadaan sebuah daerah. Menjadi sangat
penting karena untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab
terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran daerah merupakan instrumen pelaksanaan
akuntabilitas publik dan lembaga-lembaga pemerintah daerah[13].
Jadi
dalam negara yang demokratis ini, diharapkan
dalam pelaksanaan pendidikan harus secara demokratis dan tidak
diskriminatif. Dalam negara yang demokratis ini bagaimana tata pemerintahan
yang baik dan ideal dapat disusun dan dilaksanakan. Misalnya memberikan
pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Mendorong terciptanya otonomi
manajerial, terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan
oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan diciptakan
pengelolaan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi.
Tata
pemerintahan yang baik dapat menjamin adanya proses kesejahteraan, kesamaan,
kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan
oleh tiga komponen yakni pemerintah (government), rakyat (citizen),
dan usahawan (business) yang berada disektor swasta[14].
Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan
derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata
kepemerintahan yang baik. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding maka akan
terjadi pembiasaan buruk dari tata kepemerintahan yang baik tersebut.
Kita
harapkan dimasa datang komponen tersebut bisa menimbulkan hubungan yang
kohesif, kongruen, selaras dalam kesetaraan serta terjadi simbiosis mutualisme.
Sehingga masing-masing mempunyai peran yang sama pentingnya dalam menciptakan
tata kepemerintahan yang baik.
Timbulnya
korupsi karena terjadi ketidakseimbangan antara tiga komponen tersebut, dalam
arti berat sebalah. Peran pemerintah yang sentral memberikan kontribusi yang
besar terhadap komponen sektor swasta tanpa diimbangi peran rakyat untuk bisa
mengontrolnya. Jika terjadi proses keseimbangan (equilibrium) maka
segala macam penyimpangan termasuk korupsi bisa dideteksi sedini mungkin,
hingga tidak berlarut-larut. Seperti yang terjadi di Depdiknas dan Depag. Di
samping itu, salah satu komponen yang penting yaitu, tegaknya prinsip moralitas
pada aparatus dan birokrasi pemerintahan. Karena selama ini aspek moralitas
sering terpinggirkan oleh kepentingan hewaniah para aparatus dan birokrat, dan
hanya menjadi sekedar pelengkap penderita pada saat sumpah jabatan saja.
C. KESIMPULAN
Dari paparan singkat di atas dapat
ditarik beberapa kesimpulan bahwa secara normatif aspek pendanaan secara ideal
sesungguhnya sudah ditetapkan oleh undang-undang. Namun tetap terjadi
ketidaksesuaian dan ambigu disana-sini, karena kurang siapnya penyelenggara
kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang dan kehandak hati nurani
rakyat secara sungguh-sungguh. Terjadinya disparitas pendanaan antara madrasah
dan sekolah konvensional justru melahirkan masalah baru. Selain itu terjadinya
inefisiensi pendanaan dan kurangnya kejelian pemerintah menetapkan skala
prioritas dalam pembangunan pendidikan nasional membuat anggaran yang sudah
ditetapkan menjadi kontraproduktif. Sesungguhnya pemerintah saat ini tampaknya
belum mampu melepaskan diri dari hegemoni politik, sehingga tidak mampu percaya
diri untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, khususnya mengangkat
sekolah atau madrasah yang selama ini menjadi marginal oleh sekolah-sekolah
unggulan yang pada umumnya menjadi konsumsi kaum elit. S ehingga statement “orang cerdas dan pintar” akan terus
menerus akan dimonopoli oleh orang-orang kaya. Maka dari itu wajar kemudian
timbul istilah “orang miskin dilarang sekolah”, karena pendidikan sudah
kehilangan nilai asasinya untuk mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, dan
mulai mengadopsi concept of banking education, seperti yang ditegaskan
oleh Paulo Freire. Munculnya otonomi daerah juga menjadi tantangan baru pendidikan
nasional, karena pendidikan mampu membebaskan diri dari belenggu ”sentralisme
pendidikan”, khususnya bagi pendidikan nasional di luar Jawa yang pada masa
Orde Baru menjadi korban, dan menjadi marginal secara intelektual. Yang menjadi
masalah adalah apabila aparatus dan birokrasi di daerah menjadikan otonomi
daerah sebagai lahan korupsi baru, dan pengembangan pendidikan serta
pembangunan sekolah hanya sebatas proyek, yang juga menjadi lahan korupsi baru,
mengingat kurangnya kontrol pemerintah pusat kepada daerah. Pada akhirnya,
landasan penting bagi tegaknya pendanaan pendidikan dan penyelenggaraan
pendidikan yang ideal, adalah terbangunnya pemerintahan yang demokratis, dimana
terjadi sinergi antara pemerintah, rakyat dan para usahawan yang ditopang oleh
sistem militer yang efisien. Lebih dari itu adalah tegaknya prinsip-prinsip
moralitas agama, dan itu diantaranya merupakan tugas berat para pemikir
pendidikan Islam untuk mengkonstruk ulang pemikiran dan membentuk pola pikir
serta pandangan dunia baru yang lebih tepat dan terarah. Wallahu A’lamu
Bishawwab.
Kepustakaan
Departemen Agama RI., Dirjen Kelembagaan Agama Islam,
Memahami Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Undang-undang Sisdiknas,
Jakarta, 2003.
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta, LKIS, 2005.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21.,Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2004.
Munir, Badrul, Perencanaan Anggaran Kinerja
(Memangkas Inefisiensi Anggaran Daerah), Mataram, SamawaCenter, 2003.
Toha, Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta,
Rajawali, 2002.
Kedaulatan Rakyat, Kamis, 1 Desember 2005.
[1]
Departemen Agama RI., Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Memahami Paradigma
Baru Pendidikan Islam dalam Undang-undang Sisdiknas, Jakarta, 2003, hlm.
13.
[3]
Ibid, hlm. 55.
[6]
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21.
Safiria Insania Press, Yogyakarta,2004, hlm. 54.
[7]
Badrul Munir, Perencanaan Anggaran Kinerja (Memangkas Inefisiensi Anggaran
Daerah), Samawa Center, Mataram, 2003. hlm. 11.
[9]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 58.
[11]
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…, hlm. 111-114.
[13]
Badrul Munir, Perencanaan Anggaran…, hlm. 31.
[14]
Miftah Toha, Birokrasi dan Politik..., hlm. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar