Senin, 04 Juli 2022

PENDANAAN PENDIDIKAN NASIONAL

 

  1. PENDAHULUAN.

Masalah pendidikan adalah masalah yang tak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena ia menyangkut persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah moral kepada eksistensi fithrawinya. Berbagai pemikiran telah dikembangkan para pakar tentang hakekat, makna, dan tujuan pendidikan. Warna dari pemikiran itu sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup (world view) dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pakar tersebut. Tetapi dengan segala perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka bersetuju bahwa pendidikan bertujuan memberi bekal moral, intelektual, dan keterampilan kepada anak manusia, agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.

Pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa, sebab lewat pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do, tetapi yang sangat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to be bisa terwujud, maka diperlukan transfer budaya dan kultur.

Oleh karena demikian pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan, maka perlu diatur suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut, yang terpayungi dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkait antara satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi ummat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya dalam hubungannya dengan masa lampau dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan di masa depan.

Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Indonesia sebagai negara merdeka, bersatu dan berdaulat. Indonesia telah dengan tegas menyatakan jati dirinya, tujuan  dan pandangan hidupnya, sebagaimana yang tertuang dalam preambul UUD 1945[1].  Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan ideologis, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya.

Di Indonesia, pendidikan diselenggarakan dan diperuntukkan bagi segenap warga negara, sebagaimana tertuang jelas dalam UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, maka pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya.

 

A.    PEMBAHASAN

1. Sumber Dana Pendidikan.

Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Untuk itu maka pemerintah pusat dan pemerintah tingkat daerah serta masyarakat, mengarahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Sumber pandanaan pendidikan dari pemerintah meliputi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sedangkan sumber pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan dan lain-lain penerimaan yang sah atau tidak melanggar undang-undang.

Dengan perintah undang-undang seperti itu, maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh menggalang dana atau memungut dari manapun yang tidak sah dan tidak mengikat. Artinya semua sumbangan yang masuk kas penyelenggara pendidikan tidak boleh mengikat secara akademik, politik, ekonomi, dan tidak boleh melanggar prinsip demokrasi, berkeadilan, serta tidak diskriminatif (pasal 4)[2].

Dana pendidikan, baik yang bersumber dari APBN dan APBD, maupun yang bersumber dari masyarakat dan peserta didik, harus dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparan dan akuntabilitasnya terjaga dengan baik. Dengan demikian diperlukan manajemen profesional dan penggunaan SIM (sistem informasi manajemen) dengan menggunakan teknologi komputerisasi.

Dana pendidikan selain sebagai gaji para pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal dari  20% dari APBD[3]. Namun hal ini belum terealisasi. Sekjen Departemen Pendidikan (Depdiknas), Dodi Nandika di Jakarta, Selasa (29/11) mengatakan bahwa ia berharap tahun 2009 nanti APBN baru mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20%, meningkat 11,6% dibanding tahun 2006 yang hanya dianggarkan sebesar 8,4% dari total APBN[4]. Data dari Depdiknas pada tahun 2005, anggaran pendidikan ditetapkan sebesar Rp. 25,5 trilyun, meningkat Rp. 10 trilyun dari tahun sebelumnya. Sedang untuk tahun 2006, meski belum mencapai 20%, namun nilainya bertambah dari Rp. 10 trilyun, menjadi Rp. 36 trilyun.

Dilihat dari prosentase tersebut, ternyata masih jauh dari yang diamanatkan oleh undang-undang yang jumlahnya sebesar 20%. Namun dengan naiknya angka nominal anggaran pendidikan, hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki kepedulian untuk memprioritaskan masalah pendidikan, dengan peningkatan dana anggaran yang cukup signifikan. Dari sini diharapkan anggaran pendidikan bisa mencapai 20% dengan asumsi setiap tahun ada kenaikan sebesar 2 % dari tahun sebelumnya.

Anggaran pendidikan nasional untuk pertama kalinya mencapai presentase yang tinggi (22,5 %) terjadi pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid[5]. Boleh jadi inilah bukti nyata komitmen pemerintahan Gusdur pada bidang pendidikan, yang tidak hanya diucapkan, tapi diwujudkan lewat tindakan nyata. Kenaikan anggaran pendidikan yang tinggi itu mempunyai makna bagi upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, bila seluruh dana tersebut terserap untuk pengembangan pendidikan secara efektif, efisien, dan tidak terlalu banyak dikorupsi dan diselewengkan oleh aparat pendidikan. Namun demikian, anggaran pendidikan yang tinggi tidak otomatis akan meningkatkan mutu pendidikan nasional, bila tidak ditunjang oleh kenaikan anggaran bidang lain, terutama yang berkaitan dekat dengan proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, seperti pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana fisik, serta sarana transportasi, telekomunikasi, fasilitas kesehatan dan lainnya. Agar peningkatan anggaran pendidikan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan, dibutuhkan perencanaan yang matang. Karena bila tidak disertai perencanaan yang matang dan kemampuan mengelola dengan baik, yang terjadi justru sebaliknya. Kenaikan anggaran pendidikan bisa memperparah mental korupsi yang ada di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang selama ini dikenal juga sebagai departemen terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kekhawatiran semacam itu cukup beralasan, mengingat lemahnya kemampuan institusi itu untuk melakukan perencanaan secara matang dan pengelolaan dana secara baik, dan belum teruji di lapangan.

Gugatan masyarakat terhadap pemerintah menyangkut penyelenggaraan pendidikan yang bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana, mustahil untuk diselenggarakan pendidikan yang dimaksud. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Anggaran sektor pendidikan terhadap PDP (pendapatan nasional bruto) rata-rata 2,2 %, sedangkan anggaran sektor pendidikan terhadap APBN, rata-rata 12,1 %. Anggaran Diknas terhadap APBN rata-rata 7,3 %. Perbandingan dalam menentukan seluruh anggaran sektor pendidikan nasional yang melalui Depdiknas rata-rata: 59,17 %, sedangkan untuk yang membiayai kegiatan-kegiatan pendidikan yang di luar Depdiknas, yaitu oleh instansi-instansi terkait selain Depdiknas, rata-rata: 40,8 %[6]. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan pendidikan yang didanai oleh Depdiknas, rata-rata lebih besar dari pada kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh instansi diluar Depdiknas.

Rasio pendanaan kegiatan pendidikan nasional tersebut, berbanding terbalik dengan kenyataan di masyarakat. Kegiatan yang berada di Depdiknas lebih kecil dari pada kegiatan yang berada diluar Depdiknas.

2. Peran Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah.

Pemerintah adalah milik masyarakat. Pada masa lalu, pemerintah yang sentralistik dan hierarkis sangat diperlukan, mengikuti rantai komando hingga sampai staf yang berhubungan dengan masyarakat[7]. Sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar wilayah masih sangat lamban, dan aparatur pemerintahan masih relatif belum terdidik. Kini keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat pesat, kebutuhan masyarakat semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini pengambilan keputusan harus melibatkan masyarakat, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat dan membuka ruang partisipasi publik.

Tuntutan reformasi yang amat penting adalah demokratisasi. Konsep demokrasi dalam pengelolaan pendidikan, kemudian dituangkan dalam undang-undang Sisdiknas. Dalam bab III tentang prinsip penyelengaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskrimantif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa[8].

Dalam pasal 10 UU Sisdiknas 2003 juga disebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi segenap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (pasal 11 ayat 2).

Namun kenyataannya di lapangan apakah UU Sisdiknas tahun 2003 itu telah sempurna dilaksanakan oleh aparat pemerintah?, kita ambil contoh misalnya, secara struktural madrasah berada dalam lingkungan Departemen Agama. Maka tanggung jawabnya pun berada di pundak Depag. Pertanyaan mendasar yang dimunculkan dalam menyikapi diterapkannya otonomi daerah ini adalah: kebijakan apakah yang diberlakukan bagi madrasah . Madrasah yang berada di bawah institusi Depag, tetapi alokasi pendanaan yang dikucurkan tidak berbeda dengan yang diterima di sekolah konvensional. Ada data yang ditemukan tentang pendanaan ini, misalnya pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per-siswa MIN adalah Rp.19.000, sedangkan SDN sebesar Rp. 100.000 (1:5,2), MTS, Rp. 33.000, sedangkan SMP, Rp. 46.000, (1:1,4)[9].    

Diskriminasi seperti ini harus diakhiri, karena juga tidak sesuai dengan  UU Sisdiknas tahun 2003. mengakhirinya tidak mesti madrasah berada di bawah Diknas atau Pemda, tetapi yang perlu diperhatikan adalah alokasi pembiayaan tidak berbeda antara madrasah dan sekolah konvensional. Pada RAPBN tahun 2002, telah diajukan rencana anggaran pendidikan sebesar Rp. 11,552 trilyun, sekitar 24,5 % dari anggaran pembangunan yang sebesar Rp. 11.47.147 trilyun. Anggaran yang sedemikian itu juga dialokasikan secara proporsional kepada madrasah[10].

Jelas kiranya bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak mungkin tercapai tanpa tersedianya dana dan sarana yang lengkap dan relevan dengan kebutuhan program-program yang ditangani. Namun fasilitas yang lengkap dan mahal tidak dengan sendirinya menjamin tercapainya pendidikan berkualitas, hal ini akan sangat tergantung pada sistem pengelolaan: “memperoleh”, “membelanjakan”, dan “mengembangkan”, serta kemampuan moral para petugas yang bertanggung jawab. Mastuhu mengatakan bahwa  ada butir-butir pemikiran bagaimana seharusnya sistem pendanaan pendidikan dilaksanakan dimasa-masa mendatang, yaitu:

a.       Pemerintah pusat dan daerah hendaknya berperan sebagai Funding Agency.

b.      Pimpinan sekolah atau perguruan tinggi berkewajiban memberikan kewenangan kepada unit atau bagian hierarkis struktural di bawahnya.

c.       Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat

d.      Perhitungan dana hendaknya diorientasikan atas kebutuhan per-siswa.

e.       Perlu dirumuskan “satu sistem pendanaan nasional” (SSPPN), namun masing-masing pemerintah daerah memiliki otonomi dalam mengelola pendidikannya.

f.        Pengelolaan dana harus transparan dan bertanggung jawab.

g.      Strategi pendanaan dan prioritasnya harus selalu memfokuskan diri pada pembangunan mutu pendidikan[11]. 

Maka suatu keharusan bagi sekolah untuk mengembangkan berbagai aneka sumber pendanaan dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha, industri, perdagangan dan sebagainya untuk mendapatkan dana segar pendidikan yang lebih banyak, agar sekolah dapat melayani kebutuhan masyarakat. 

3. Pemerintahan yang Demokratis.

Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance) itu terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Bekerja dalam negara demokratis merupakan cita-cita semua orang yang mau hidup di negara yang menjunjung tinggi semangat demokrasi dan demokratisasi. Selama ini kita belum benar-benar merasakan hal yang demikian itu. Pemerintah sekarang berkeinginan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi di segala bidang, dan prinsip demokrasi yang paling asasi adalah mendasarkan kekuasaan pada kehendak rakyat secara semesta, bukannya ditangan penguasa yang terkadang dipenuhi tendensi politik tertentu. Sementara itu rakyat tidak memiliki rasa takut yang berlebihan untuk memasuki suatu serikat atau perkumpulan yang sesuai dengan hati nurani dan kebutuhan emosionalnya. Selaras dengan tidak adanya rasa takut ini, juga dikembangkan adanya kenyataan dihargainya moral perbedaan pendapat[12].

Pemerintah bisa bertindak demokratis jika peran kontrolnya yang dilakukan rakyat dijalankan secara maksimal, proporsional, konstitusional dan bertanggung jawab. Di dalam pemerintahan yang modern dan demokratis, hampir tidak mungkin manajemen birokrasi pemerintahannya bisa dijalankan, tanpa adanya kontrol penuh dari rakyat. Salah satu kekhawatiran yang tergolong fundamental terhadap pemerintahan modern sekarang ini adalah untuk mendorong timbulya kebiasaan mengunakan kekuasaan dan otoritas yang dipegang oleh penguasa pemerintahan untuk kepentingan tercapainya tujuan masyarakat. Kebiasaan ini harus selalu diingatkan kepada pemerintah, sebagai wujud akuntabilitas.  Salah satu wujud akuntabilitas tersebut adalah mendorong agar semua produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak harus diupayakan dan didasarkan atas undang-undang. Dengan UU rakyat mampu mengakses untuk mengontrol dan mengkritisinya. Lembaga pemerintah yang ada di pusat dan di daerah sekarang ini cenderung menjadi bahan sorotan dan perhatian rakyat banyak, karena terlalu banyaknya borok-borok kekuasaan disana-sini.

Di sebuah negara demokratis, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang dipakai pemerintah adalah milik rakyat, dan anggaran menunjukkan rencana pemerintah untuk membelanjakan uang rakyat. Dalam lingkup daerah, anggaran daerah merupakan blue print keberadaan sebuah daerah. Menjadi sangat penting karena untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran daerah merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik dan lembaga-lembaga pemerintah daerah[13].  

Jadi dalam negara yang demokratis ini, diharapkan  dalam pelaksanaan pendidikan harus secara demokratis dan tidak diskriminatif. Dalam negara yang demokratis ini bagaimana tata pemerintahan yang baik dan ideal dapat disusun dan dilaksanakan. Misalnya memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Mendorong terciptanya otonomi manajerial, terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi.

Tata pemerintahan yang baik dapat menjamin adanya proses kesejahteraan, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni pemerintah (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business) yang berada disektor swasta[14]. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding maka akan terjadi pembiasaan buruk dari tata kepemerintahan yang baik tersebut.

Kita harapkan dimasa datang komponen tersebut bisa menimbulkan hubungan yang kohesif, kongruen, selaras dalam kesetaraan serta terjadi simbiosis mutualisme. Sehingga masing-masing mempunyai peran yang sama pentingnya dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik.

Timbulnya korupsi karena terjadi ketidakseimbangan antara tiga komponen tersebut, dalam arti berat sebalah. Peran pemerintah yang sentral memberikan kontribusi yang besar terhadap komponen sektor swasta tanpa diimbangi peran rakyat untuk bisa mengontrolnya. Jika terjadi proses keseimbangan (equilibrium) maka segala macam penyimpangan termasuk korupsi bisa dideteksi sedini mungkin, hingga tidak berlarut-larut. Seperti yang terjadi di Depdiknas dan Depag. Di samping itu, salah satu komponen yang penting yaitu, tegaknya prinsip moralitas pada aparatus dan birokrasi pemerintahan. Karena selama ini aspek moralitas sering terpinggirkan oleh kepentingan hewaniah para aparatus dan birokrat, dan hanya menjadi sekedar pelengkap penderita pada saat sumpah jabatan saja.

 

        C. KESIMPULAN

            Dari paparan singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa secara normatif aspek pendanaan secara ideal sesungguhnya sudah ditetapkan oleh undang-undang. Namun tetap terjadi ketidaksesuaian dan ambigu disana-sini, karena kurang siapnya penyelenggara kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang dan kehandak hati nurani rakyat secara sungguh-sungguh. Terjadinya disparitas pendanaan antara madrasah dan sekolah konvensional justru melahirkan masalah baru. Selain itu terjadinya inefisiensi pendanaan dan kurangnya kejelian pemerintah menetapkan skala prioritas dalam pembangunan pendidikan nasional membuat anggaran yang sudah ditetapkan menjadi kontraproduktif. Sesungguhnya pemerintah saat ini tampaknya belum mampu melepaskan diri dari hegemoni politik, sehingga tidak mampu percaya diri untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, khususnya mengangkat sekolah atau madrasah yang selama ini menjadi marginal oleh sekolah-sekolah unggulan yang pada umumnya menjadi konsumsi kaum elit. S            ehingga statement “orang cerdas dan pintar” akan terus menerus akan dimonopoli oleh orang-orang kaya. Maka dari itu wajar kemudian timbul istilah “orang miskin dilarang sekolah”, karena pendidikan sudah kehilangan nilai asasinya untuk mencerdaskan bangsa secara keseluruhan, dan mulai mengadopsi concept of banking education, seperti yang ditegaskan oleh Paulo Freire. Munculnya otonomi daerah juga menjadi tantangan baru pendidikan nasional, karena pendidikan mampu membebaskan diri dari belenggu ”sentralisme pendidikan”, khususnya bagi pendidikan nasional di luar Jawa yang pada masa Orde Baru menjadi korban, dan menjadi marginal secara intelektual. Yang menjadi masalah adalah apabila aparatus dan birokrasi di daerah menjadikan otonomi daerah sebagai lahan korupsi baru, dan pengembangan pendidikan serta pembangunan sekolah hanya sebatas proyek, yang juga menjadi lahan korupsi baru, mengingat kurangnya kontrol pemerintah pusat kepada daerah. Pada akhirnya, landasan penting bagi tegaknya pendanaan pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang ideal, adalah terbangunnya pemerintahan yang demokratis, dimana terjadi sinergi antara pemerintah, rakyat dan para usahawan yang ditopang oleh sistem militer yang efisien. Lebih dari itu adalah tegaknya prinsip-prinsip moralitas agama, dan itu diantaranya merupakan tugas berat para pemikir pendidikan Islam untuk mengkonstruk ulang pemikiran dan membentuk pola pikir serta pandangan dunia baru yang lebih tepat dan terarah. Wallahu A’lamu Bishawwab.                          

 

Kepustakaan

Departemen Agama RI., Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Undang-undang Sisdiknas, Jakarta, 2003.

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta, LKIS, 2005.

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21.,Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2004.

Munir, Badrul, Perencanaan Anggaran Kinerja (Memangkas Inefisiensi Anggaran Daerah), Mataram, SamawaCenter, 2003.

Toha, Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta, Rajawali, 2002.

Kedaulatan Rakyat, Kamis, 1 Desember 2005.

 



[1] Departemen Agama RI., Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Undang-undang Sisdiknas, Jakarta, 2003, hlm. 13.

 

[2] Ibid, hlm. 13.

[3] Ibid, hlm. 55.

 

[4] Kedaulatan Rakyat, Kamis, 1 Desember 2005, hlm. 13.

 

[5] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKIS, Yogyakarta,2005, hlm. 5.

[6] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Safiria Insania Press, Yogyakarta,2004, hlm. 54.

[7] Badrul Munir, Perencanaan Anggaran Kinerja (Memangkas Inefisiensi Anggaran Daerah), Samawa Center, Mataram, 2003. hlm. 11.

 

[8] Departemen Agama RI., Paradigma Baru…, hlm. 37-38.

[9] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 58.

 

[10] Ibid, hlm. 58.

[11] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran…, hlm. 111-114.

 

[12] Miftah Toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 2002, hlm. 56.

[13] Badrul Munir, Perencanaan Anggaran…, hlm. 31. 

[14] Miftah Toha, Birokrasi dan Politik..., hlm. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GELIAT MUSLIM AUSTRALIA

Dipenghujung akhir tahun 2017, saya (Abdurrohim) dari STIS Hidayatullah Balikpapan, berlima dengan dr. Ahmad Handayani, Ketua Cabang Mer-C M...